Kamis, 15 Juli 2010

KEBANGKITAN SASTRA (DI) LAMPUNG

Oleh: ASARPIN



Pemantik

Lampung mendapat sorotan para pemerhati sastra karena negeri ini banyak sekali melahirkan penyair. Hampir setiap minggu kita temukan puisi yang ditulis penyair Lampung di koran nasional maupun lokal. Bahkan di TIM pernah diadakan diskusi khusus membicarakan fenomena kepenyairan di Lampung. Salah satu pembicaranya adalah Nirwan Dewanto—kritikus yang dianggap paling berwibawa dalam dua dekade terakhir.
Esai Nirwan Dewanto berjudul “Homo poeticus lampungensis” (Koran Tempo, 26/9 dan 2/10) hemat saya tak hanya kritik atas puisi delapan penyair Lampung, tapi sekaligus kritik atas puisi penyair muda pada umumnya yang terlampau banyak dibebani oleh para pendahulu mereka. Menurut Nirwan, yang menonjol di pentas nasional selma ini bukan puisi yang ditulis penyair Lampung, tapi penyairnya sendirilah yang menonjol. Dengan kata lain: pribadi penyair atau biografinya lebih mengemuka ketimbang capaian puisinya.
Nirwan lupa bahwa penyair Lampung sebagian besar menulis puisi lirik. Ini artinya hal yang wajar kalau yang menonjol adalah penyairnya. Bukankah Goenawan Mohamad sendiri dalam sebuah esai bertajuk Lirik, Laut, Lupa, pernah menandaskan: “Di dalam puisi lirik, sang penyairlah, bukan gramatika, yang berada di titik sentral, menentukan”.
Kritik Nirwan yang lain seakan ingin membuktikan bahwa penyair terkini gagal melahirkan puisi yang terlepas dari bayang-bayang penyair terdahulu. Tapi saya kira tudingan semacam itu bukan khas Nirwan. Sebelumnya cukup sering kita membaca esai-esai kritik sastra yang menghubung-hubungan puisi penyair muda dengan puisi penyair senior. Hanya saja Nirwan dengan tegas menyebut pengaruh puisi terdahulu terhadap puisi mutakhir dengan tuntutan yang berlebihan agar para penyair sekarang melakukan pembaruan.
Kritik sastra yang cerewet menuntut kehadiran sosok pembaru di lapangan puisi itu, terjebak dengan ide-ide kaum reformis. Masih relevankah mengharapkan kehadiran pembaru di lapangan puisi Indonesia mutakhir? Bukankah jauh lebih mendesak menyelam filosofi kepenyairan mutakhir, sambil terus melakukan kritik terhadap bahasa, metafora, gaya dan diksi puisi-puisi mutakhir. Terlampau menekankan kemunculan sosok pembaru bisa membuat kita stres karena sudah sejak lama tidak ada lagi sosok pembaru di lapangan puisi.

Chairil kita sebut pembaru karena memperbarui wawasan estetik puisi-puisi tradisional. Sutardji kita katakan sebagai pembaru karena dia menghasilkan puisi-puisi yang merupakan perlawanan terhadp lirik dan kata Amir Hamzah dan Chairil serta penyair sesudahnya. Rendra kita bilang sebagai penyair karena hanya dia yang menulis puisi dengan nada protes yang begitu kuat, sementara sajak-sajak sebelum dia justru masih malu-malu.

Saya kira tiga penyair itu yang pantas disebut pembaru perpuisian Indonesia modern. Silahkan dibantah dan disanggah. Sekarang yang lebih penting bukan lagi mencari pembaru tapi bagaimana sjak-sajak mutakhir menghadirkan kedalaman kemaknaan, sekalipun kita tahu kedalaman itu adalah bahasa ruang.

Tapi Nirwan mungkin bisa menemukan pembaru yang baru. Siapa tahu. Sebab kritiknya terhadap puisi delapan penyair Lampung tidak lain kecuali hasrat menggebu mencari sosok pembaru yang sayangnya tidak ditemukan. Nirwan harus menganggap judul-judul puisi delapan penyair Lampung sangat ajaib dan mentereng. Apakah penilaian dengan cara melihat judul-judul puisi demikian cukup menjadi alasan untuk menyimpulkan bahwa Lampung baru sebatas negeri penyair, belum negeri puisi?

Apakah kritik sastra dengan cara menyebut judul-judul puisi demikian cukup meyakinkan untuk menyimpulkan bahwa puisi yang dihasilkan delapan penyair Lampung itu bertanda puisi-puisi mereka cacat dan tak akan dapat tempat bagi pembaca? Jika demikian adanya, setiap orang bisa saja menampilkan judul-judul puisi yang lain dari karya penyair yang sama, namun kesimpulan akhirnya justru berbeda seratus derajat, bahkan bertolak belakang: bahwa berdasarkan judul-judul puisi penyair yang sama, saya menemukan kesederhaan berbahasa dan jauh dari kesan mentereng.

Saya setuju dengan argumentasi bahwa puisi yang sederhana—dalam arti pilihan judul dan ungkapan—lebih menjanjikan ketimbang puisi yang menggunakan ungkapan bahasa yang gagah-gagahan. Akan tetapi soalnya menjadi lain ketika kita mengatakan bahwa puisi yang mengandalkan kesederhanaan merupakan puisi yang tidak memiliki cacat. Saya kira anggapan Nirwan sulit dipertahankan. Sebab ada banyak judul puisi liris karya Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono—yang sering dianggap penyair liris kita yang nyaris tak tertandingi hingga hari ini—begitu mentereng, tapi hampir tidak pernah ada kritikus yang mempersoalkannya, termasuk Nirwan.

Tuduhan bahwa puisi delapan penyair Lampung terlampau mengejar maha bayangan bunyi di ujung baris, hemat saya tak perlu dibesar-besarkan dalam dunia kritik sastra. Upaya mengejar nada, bunyi atau musikalisasi—apakah bunyi di awal baris atau di ujung baris—tidaklah bertanda cacat dalam sebuah puisi. Alangkah banyaknya puisi liris kita yang berhasil selama ini akan kita katakan cacat lantaran bunyi di ujung baris dimasukkan ke dalam daftar kecelakaan sebuah puisi. Bahkan puisi-puisi Nirwan begitu kental dengan permianan bunyi di ujung baris, seperti puisi “Lautan Di Bulan”:

“....Menyanyi sambil mematahkan tangan mereka sendiri: Paling indah adalah tatanan pohonan di bumi, tidurlah dan jangan lagi memandang kemari, biarlah kejahatan menjadi milik bumi.” Atau “Biarlah gedung—gedung itu tersipu malu melihatku/Sampai seorang anak datang mengerat kelaminku...Kutulis surat kepada ikan-ikan di laut dengan darahku/ Agar mereka selalu bersabar menunggu hari kematianku.”

Demikian juga terasa agak janggal bila Nirwan selalu menyarankan agar para penyair terdahulu harus dibunuh oleh penyair terkini hanya karena melihat satu dua hal kemiripan pada puisi mereka. Nirwan luput bahwa karya yang telah di pungut sepanjang proses kreatif seseorang tak sepenuhnya bisa dipertegas sebagai sebuah kegagalan apalagi layak dicap sebagai sajak mengekor. Bukankah intan dan permata bisa bercahaya dengan indah lantaran dibentuk dari berbagai unsur campuran? Sentuhan dengan beragam unsur, apalagi dengan unsur batin, justru bisa melahirkan kemungkinan proses kreatif dan hasil yang mengejutkan.




Apa yang Lampung dari Sastra(wan)Lampung?

Lampung dikenal negeri yang pernah jaya dengan hasil bumi seperti lada, cengkih, kopi, dengan laut yang membentang luas dari selatan sampi utara, dari timur hingga wilayah barat. Beberapa bandar perdagangan di zaman kolonial masih terkenal sampai sekarang. Tak kurang dari dua belas bandar pernah ada di propinsi ini, dua teluk dengan bukit barisan selatan yang kehijau-hijauan di perbatasan antara Tanggamus dan Lampung Barat, dan bukit-bukit kecil yang berada di sudut-sudut kota Bandar Lampung.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Lampung dikenal sebagai negeri yang banyak melahirkan penyair. Sejak 2000-an memang ada semacam gairah baru bagi perkembangan sastra di Lampung, khususnya untuk puisi. Sampai-sampai kepala Bahasa Propinsi Lampung (waktu itu masih dijabat Agus Sri Danardana) pernah menegaskan adanya semacam kebangkitan penulisan sastra di kalangan siswa di Lampung. Dari berbagai lomba cerpen dan puisi, serta penyelenggaraan bengkel sastra dan kemah sastra yang diadakan Balai Bahasa Propinsi Lampung, memang muncul penulis-penulis cerpen dan puisi yang berbakat dengan usia yang masih sangat muda.

Selain di kalangan siswa, Lampung juga diramaikan dengan munculnya penyair yang dikenal di kancah nasional, seperti Isbedy Stiawan ZS (penyair dan cerpenis)., Iwan Nurdaya Djafar (penyair-penerjemah), Iswady Pratama (penyair dan pekerja teater), dan lainnya. Hasil inventaris yang dilakukan Iswady Pratama dalam esai Sketsa Penyair Lampung (Pikiran Rakyat 20/5/2006) menunjukkan sebanyak 30 nama penyair dan juga cerpenis yang pernah menetap di Lampung.

Lampung mencatat nama-nama yang bergerak dalam wilayah sastra dalam arti luas: mulai dari Isbedy Stiawan Z.S., Iwan Nurdaya Djafar, Sugandhi Putra, Achmad Rich (alm), Dadang Ruhiyat, Hendra Z, Juhardi Basri, Ahmad Yulden Erwin, Panji Utama, Muhtar Ali, Pondi Al-Kindy, Eva Lismiarni, Budi P. Hutasuhut (P. Hatees), Dahta Gautama, Iswadi Pratama, Oyos Saroso H.N, Rivian A. Chepy, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Fitriyani, Budi Lpg, Lex Robert, Kuswinarto (cerpenis), Dyah Indra Mertawirana (cerpenis yang hanya sebentar menginjakkan kaki di Lampung namun ikut mengharumkan nama Lampung), M.Arman A.Z. (cerpenis), Moses (cerpenis), Dina Oktaviani, Nersalya Renatha, Imas Sobariah, Robby Akbar, Hendri Rosevelt, Udo Z. Karzi, Y. Wibowo, Fitriyani, S.W. Teofani, Muhammad Amin (cerpenis).

Memang, bila dibandingkan dengan Riau, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dan Bali, jumlah sastrawan Lampung masih di bawah empat propinsi itu. Dalam buku Peta Sastra Daerah Riau (Sebuah Bunga Rampai) karya Hasan Junus dan Ediruslan Pe Amanriz, di abad ke19 dan abad ke-20, Riau pernah punya 40 sastrawan. Angka ini sebagian besar adalah sastrawan pada abad ke-20, yakni 28 orang, sedangkan pada abad ke-19 adalah 12 orang. Bermula dari Ahmad, sastrawan abad ke-20 yang sudah meninggal dunia tiga orang, sedangkan yang masih aktif (terus menulis karya sastra) tidak lebih dari 16 orang (Tommy F Awuy, Wajah Ironi ‘Negara Kata-Kata’, Kompas 4/8/2000).

Pengarang EU Krazt dalam buku HB Yassin 70 tahun (Gramedia, 1987), menyebutkan: dari 653 data pengarang yang diolahnya, pengarang yang berasal dari Jawa Tengah berjumlah 114 pengarang, Jawa Timur 86 pengarang, dan Jawa Barat 82 pengarang. Mungkin, bila urutan jumlah pengarang penting dikemukakan, Lampung berada pada urutan kelima setelah empat propinsi itu.

Dari tiga puluh nama penyair Lampung yang disebutkan Iswady Pratama dalam Sketsa Penyair Lampung, saya pun bertanya: apakah yang Lampung dari tiga puluh sastrawan atau seniman (di) Lampung itu? Tentu susah sekali menentukan jawaban dari pertanyaan ini. Tapi yang jelas, seperti kata Sutardji Calzoum Bachri pernah bilang tentang penyair Bali, demikian pula penyair Lampung: mereka bukanlah katak dalam tempurung. Karena, meski mereka tinggal di Lampung, mereka mengembara baik secara fisik maupun hati dan pikiran.

Sejak 1980-an, Lampung banyak melahirkan penyair yang dikenal dalam pergaulan nasional. Booming-nya penyair Lampung mulai terlihat sejak reformasi 1998 hingga tahun 2000-an. Beberapa penyair yang muncul tahun 1980-an kini sudah banyak yang berhenti menulis puisi, kecuali Isbedy Stiawan ZS dan Saiful Irba Tanpaka.

Tapi membicarakan kebudayaan lokal Lampung kini mirip upaya coba-coba memasuki suatu domain asing. Itulah kesan subjektif yang saya tangkap dari sejumlah diskusi selama ini di kalangan sastrawan mainstream di Lampung. Sementara di tempat-tempat lain terus muncul keluhan dan ratapan tentang nasib tradisi dan seni lokal yang ada.
Apa boleh buat, kita hanya pandai berkeluh-kesah. Keluhan yang sayangnya hanya memperpanjang impotensi saja. Tak nada penelitian. Tak ada kajian yang serius. Sebab sastrawan Lampung memang tak mencipta dengan tradisi lokal, seni lokal. Bagaimana kita hendak mencari suara, atau cara menyuarakan keprihatinan, ketakutan, hasrat, aspirasi, kebutuhan dan persoalan lokalitas Lampung, tak pernah jadi bahan kajian.
Kebudayaan lokal Lampung jauh lebih asing dari kebudayaan apa pun juga bagi sastrawan Lampung. Apa yang Lampung dalam karya sastra Lampung selama ini? Apa yang mewakili Lampung dari karya sastrawan Lampung selama ini?

Senyap. Bisu. Sementara pertanyaan sejenis terus membayangi setiap kali kita bicara soal karya sastra di Lampung. Kita tak lagi mudah melacak sebab tidak tampilnya beragam subkultur lisan masyarakat Lampung dalam karya sastra yang telah menasional (mungkin sebentar lagi mendunia, insyaallah, mudah-mudahan). Apa yang Lampung dalam karya sastra(wan) Lampung pun tak jelas juntrungannya. Kalau Sutardji Calzoum Bachri pernah merasa gamang meyakini apa yang Riau dan Bali dari puisi penyair Riau dan Bali, lebih gamang kita di sini. Karena para sastrawan Bali sebagian besar suku Bali yang fasih berbahasa Bali, Riau pacak berbahasa dan berdialek Riau, dan masih bisa di lacak apa yang Bali dan Riau dari karya mereka, sementara di Lampung?

Maka, ketimbang terlalu berharap kepada sastrawan Lampung untuk mengangkat tradisi dan nilai-nilai budaya lokal Lampung, mendingan saja kita kubur sekarang harapan itu. Para penyair Lampung yang sangat banyak itu tak mungkin jadi inspirator penggiat sastra daerah, apalagi menjadi motor penggerak lahirnya karya sastra modern berbahasa daerah.

Dulu kita memang bisa berharap banyak, terutama tidak sebatas hanya dengan berusaha mengangkat seni tari dan seni panggung secara lisan, yang agak mirip kerja-kerja Dinas Pariwisata dan Taman Budaya, tapi kini harapan itu kian tipis. Sebab sastra daerah di mata sastrawan Lampung tak bakalan membuat citra-diri jadi tersohor dalam pergaulan sastra(wan) nasional, apalagi dunia. Lagi pula kehidupan masyarakat Lampung di desa-desa sendiri sudah tidak lagi dilandasi oleh nilai-nilai lokal dan berbagai subkultur yang menjadi ciri mereka dulu dalam setiap pengambil kebijakan. Globalisasi sedang berlangsung intensif di desa, sehingga untuk menamkan yang lokal saja sudah payah. Bajunya bisa lokal, tapi jiwanya sangat ”maju”. Jiwa pemuda di pekon saya mungkin masih tradisional, tapi celananya bermerk Levi’s 501 & 505.

Sebab lain masih terlalu banyak. Tidak banyak sastrawan dan budayan (di) Lampung tertarik dan mengerti atau bisa berbahasa daerah, dan mereka merasa kembali ke belakang jika menulis bahasa daerah dan tentu kebanyakan mereka tak mengenal dan mengerti bahasa sastra lisan yang bertebaran di masyarakat. Ketimbang berusaha belajar bahasa daerah hanya untuk mengetahui sastra lokal yang ada, mendingan kursus bahasa Inggris atau kursus bahasa Prancis, yang jauh lebih menjanjikan imbalan secara sosbudhankam.

Yang masih berusaha melap-lap kebudayaan Lampung, mendingan melap kebudayaan nasional saja, atau mendingan rame-rame jadi Malin Kundang saja, karena hal ini lebih menjamin lahirnya gairah dan konflik batin yang lebih intens dan bergemuruh. Bukankah ini modal utama seorang sastrawan untuk menghasilkan karya sastra kelas dunia?


Imajinasi Sufistik dalam Puisi Penyair Lampung

Yang juga menonjol dari sejumlah penyair Lampung era 1980-an adalah sajak-sajak sufi. Di Lampung pernah ada penyair dengan pengucapan sufistik yang mantap, seperti terlihat dalam sajak-sajak Iwan Nurdaya Djafar, Sugandhi Putra, dan beberapa puisi lama Isbedy Stiawan ZS. Selain ketiga penyair ini, ada beberapa penyair lain yang sesekali menghasilkan puisi sufistik-religius yang unik, seperti Dadang Ruhiyat, Achmad Rich, Asaroedin Malik, Hendra Z, Zen E. Antura, Christian Heru Cahyo, Syaiful Irba Tanpaka, Ahmad Yulden Erwin dan Iswadi Pratama (dua nama yang belakang lebih kental warna filsafat ketimbang sufi, walau keduanya sulit sekali dibedakan). Belum lagi penyair yang hanya menulis satu-dua sajak religius-sufistik yang jernih dan liris, seperti Oyos Saroso, Panji Utama, Dina Oktaviani, Ari Pahala, Inggit, Jimmy, Lupita Lukman, dan yang lainnya.

Saya sangat rindu dengan puisi-puisi awal Isbedy yang begitu liris, hening dan puitis, dibandingkan dengan puisi-puisi terbarunya yang terlampau membahana. Dulu ada penyair Iwan Nurdaya dan Sugandhi Putra yang cukup intens menghayati dunia sufi hingga lahir puisi-puisi mistik dari kedua penyair yang sudah pension ini. Kalau puisi sufi Isbedy masih bermain pada pencitraan yang kurang intim, metafor dan personifikasi yang kurang tergarap, Iwan justru sebaliknya. Iwan-lah yang harus disebut sebagai penyair sufi Lampung yang jenius—sama seperti Ahmad Geboh (Erwin) di lapangan filsafat dan kritik sosial.

Sangat disayangkan bahwa Iwan dan Erwin terlampau dini berhenti menulis puisi. Padahal kedua penyair ini pernah bikin iri karena wawasan estetik dan pergaulan dengan dunia filsafat-mistik amat kaya dan beragam. Hal itu terlihat dan terasa dalam sajak-sajak yang mereka hasilkan. Sajak-sajak Iwan tak kalah serius dan jernihnya dengan sajak-sajak Abdul Hadi dan Afrizal. Sementara sajak-sajak Erwin pantas dibandingkan dengan sajak-sajak filsafat Arif Bagus Prasetyo.

Generasi yang lebih muda, yang agak kesufi-sufian, adalah Ari Pahala Hutabarat. Ari kerapkali melontarkan tema-tema sufistik dalam diskusi maupun dalam pembacaan puisi. Bahkan penampilan dirinya mirip tampilan kaum sufi. Bahkan ada yang menyebut penampilan Ari sebagai “Rumi-nya Lampung”. Namun sangat disayangkan, puisi-puisi yang dihasilkan Ari sendiri justru tak menunjukkan penghayatan yang intim dan intens mengenai dunia sufi. Iswadi Pratama juga tak banyak menghasilkan sajak dengan pengucapan tasawuf, kecuali hanya beberapa saja dalam kumpulan Gema Secuil Batu.

Iwan Nurdaya, Sugandhi Putra, dan Isbedy, pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta tahun 1980-an untuk membacakan puisi-puisi yang sebagian bertema sufi. Sementara Iswadi dan Erwin diundang tahun 1990-an dan sejak itu keduanya mulai dikenal sebagai penyair lirik Lampung yang telah memiliki pengucapan yang mantap.

Geliat Buku-buku Puisi dari Lampung
Tidak semua penyair Lampung telah menghasilkan buku puisi tunggal. Ahmad Yulden Erwin, Ari Pahala Hutabarat, belum pernah menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal mereka. Oleh karena itu agak sulit bagi saya untuk membicarakan capaian sajak-sajak mereka yang belum punya buku. Dengan sangat terpaksa saya hanya akan membicarakan beberapa buku puisi saja, mengingat tidak semua buku puisi penyair Lampung saya punya. Saya hanya akan menyinggung puisi-puisi Iwan Nurdaya dan Sugandhi dalam buku antologi berdua, dan satu buku puisi Isbedy Stiawan ZS dari puluhan buku puisinya yang pernah terbit. Inggit Putria Marga dan Firiyani baru saja meluncurkan buku kumpulan puisi tunggalnya.

Iwan Nurdaya Djafar dan Sugandhi Putra

Iwan Nurdaya Djafar dan Sugandhi Putra pernah menghasilkan buku antologi sajak berdua berjudul Seratus Sajak (Fajar Agung, Jakarta, 1988). Kedua penyair yang kini tak lagi menulis puisi, sama-sama terpesona pada bahasa sufi Persia. Simak misalnya puisi Iwan berjudul Seruling Yang Kepingin (digemai ‘Lagu Seruling’ Rumi), di mana dunia para sufi dihayati begitu dalam hingga terasa hening dan khidmat. “Mendengarkan merdu suaraku, duhai manusia/ingatlah selalu akan asalku: Batang Bambu;/sebagaimana selalu kuhibur engkau/dalam pagar indah asalmu: Tuhan yang Mahamenjadikan./ Tenggelamlah dalam buaian merdu suaraku, manusia/sebagaimana aku tenggelam menakjubi engkau/yang bagai batang bambu membububungi ziarah/dengan terus mengacung tanda dzikir/ kepada Allah”.

Sajak Iwan cukup dekat dengan pencitraan sufistik apopatik. Pemahamannya atas tasawuf tidak diragukan lagi. Pencitraan-pencitraan sajak di atas jelas dibayang-bayangi oleh sosok Rumi dan Attar yang karyanya ia geluti, bahkan ia terjemahkan dengan baik. Tanpa bekal itu, sajak sufi akan jatuh menjadi artifisial, dangkal dan gagal.

Sebuah fragmen sajak Syahadat Iwan mengingatkan kita pada istilah sajak zikir: “la ilah…/’ill-Allah/la-ilah…/’ill-Allah/sembahanku bukan tuhan melainkan Allah/sembahanku dulu tuhan. Kini Allah/Allah!”. Inilah sajak dzikir mengingat dan mengagungkan Kekasih sejati dalam bahasa penuh dosa. Sementara kebanyakan puisi sufi Iwan bermain pada bahasa sunyi kesyuhadaan.

Sajak Doa Kepenyairan juga mempesona karena tutur-katanya yang mengingatkan kita pada puisi sufi Sutardji yang muncul belakangan, di mana rasa berdosa yang diikuti rasa penyerahan diri total sangat memukau. Iwan begitu histeris dalam mengungkapkan perasaan: “Seribu telunjukmu menuding matapenaku, ya allah/Begitu terbaca episode penyudah surat as-syu’ara/Biarlah menyurut lautan tinta bila ternyata/Aku ngembara di lembah lembah/Menjurangi syair dan salahtingkah”.

Bandingkan juga dengan sajak Bertemu 1 yang merindukan Rumah Tuhan: “Kaki yang kupakai menjejaki/peta hidup ini barangkali tak kan sampai/ke tanah mekkah. Maka ka’bah/yang saban jatuh bedug kutunjuk dalam mikrajku itu/baru kunikmati lewat gambar…dalam pengembaraan kalifah/ke alam dzikrullah sungguh telah kunikmati Ia/yang ternyata kelewat besar bagi sebuah ka’bah/yang ternyata kelewat akbar bagi lautan jemaah”.

Mikraj akbar dan perjalanan menuju pohon lotus pada batas terjauh, telah mengantarkan Iwan untuk bercumbu dengan yang dirindu. Kekosongan telah ia lakukan, zikir telah ia jalankan, khalwat telah ia tempuh, kemudian ia sampai. Kata “telah kunikmati Ia” mencitrakan kalau perjalanan panjang yang ditempuh berakhir dengan pertemuan di puncak penghabisan.

Sementara Sugandhi Putra—penyair kelahiran Kotabumi dan pernah bekerja di Dinas Kesehatan Propinsi Lampung—terasa mantap. Larik-lariknya begitu diperhitungkan, pilihan kata cukup ketat sehingga tetap terasa khidmat dan nikmat. Ambil contoh sajak Pada Album, Sangkar Emas Burung Ababil, dan Kitab Penyelam, yang memilih jalan khalwat yang identik dengan jalan sufi. Dengan berkhalwat, manusia mengakui dirinya hina di hadapan yang Kuasa, dan dalam perjalanan ia telah membersihkan diri untuk bertemu sang Kekasih yang dirindukan. Khalwat digunakan sebagai jalan penyucian untuk sampai kepada yang Mahasuci. Tak heran jika sajak-sajak Sugandhi ditandai oleh cukup banyak khalwat dan pendakian diri.

Menjadi sufi adalah hiyon, sepi, kosong, hampa. Sajak Nol Iwan sangat bagus melukiskan soal ini: “Sebermula adalah nol/lalu gunung dapat puncak/lalu laut dapat palung/lalu tangga dapat daki/lalu jarak dapat jauh/ hingga tak terhingga.// Pada akhirnya adalah nol/apa kaudapat?”

Tentu saja yang didapat adalah nihil. Ibarat cangkang telur, itulah yang dirasakan Iwan dalam pencarian. “Kekosongan tanpa batas terantuk dinding gua”, kata Sugandhi pula. Di mana “bahasa tersekap dalam pesona gua/membuhul dalam lukaku yang berdarah sehabis nadi/di muara kening sejarah aku tumpah”.




Isbedy

Isbedy mungkin satu-satunya penyair yang sangat produktif. Bahkan bila dibandingkan dengan semua penyair Indonesia, mungkin hanya Isbedy yang paling banyak menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal. Kadang-kadang, tidak sampai lima puluh puisi telah diterbitkan menjadi buku. Tahun 2003 terbit buku Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gema Media), yang hemat saya inilah buku kumpulan puisi Isbedy yang menampilkan puisi-puisi paling kuat. Tahun 2005 ada seratus buah puisinya yang ditulis dalam rentang tiga dekade 1980-an sampai 2000-an, yang diterbitkan oleh Grasindo dengan judul Kota Cahaya. Dalam buku ini tampak sekali perubahan-perubahan puisi Isbedy. Puisi yang ditulis era 1980-an menampilkan puisi-puisi religius.

Beberapa waktu lalu terbit kembali buku himpunan puisi Isbedy dengan judul Setiap Baris Hujan (BukuPop, Jakarta (2008) dan Anjing Dini Hari (2010). Dalam dua buku terakhir terdapat sajak-sajak protes yang kering. Kalau dalam buku Aku Tandai Tahi Lalatmu muncul sajak-sajak sosial yang tidak verbal, yang menggugah dan memantik, maka sajak-sajak sosial dalam buku Setiap Baris Hujan mulai abai pada pengucapan yang jernih dan jatuh pada pengucapan yang terang-benderang.

Simaklah bait puisi pertama dalam kumpulan Setiap Baris Hujan: ”Presiden, kirim bantuan; makanan dan obat-obatan. Kami kelaparan, kami sudah sekarat. AH, presiden belum juga melayat, para menteri dangdutan, anggota dewan Cuma rapat”. Sajak Ketika Kota Jadi Laut dan Kami Berakit mungkin sajak paling jelek yang pernah ditulis Isbedy.

Entah mengapa saya merindukan bait seperti dalam sajak Tubuh Tanpa Ruh (1984) yang jernih: ”tubuh itu/tanpa ruh./nyebarkan duka/melayat bunga dari seluruh kampung” atau: ”tubuh itu/tanpa ruh/bekukan hujan di awan/sepanjang hari”. Atau sajak Di Tepi Laut (1985): ”kita pernah bermain layang-layang di sini/rambutmu yang tersibak angin adalah benangnya/aku ulur kau biar terbang menyilang cakrawala/tapi kendali tak sudi kulepaskan./Tak sudi”, atau ”pada akhirnya aku kembali sendiri juga./aroma pupur dari kamar sebelah, dari kota-kota yang tak pernah sunyi/mendadar kengerian jiwaku./o, adakah yang lebih sepi selain diurbaniskan seperti begini?” Atau sajak-sajak tahi lalat yang jernih, seperti Aku Tandai: ”aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak/yang tak akan pernah terhapus bilangan/sampai hapal benar/aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal/tubuhku sendiri”. Atau ”kukirimkan surat dalam lembaran kertas berwarna hijau muda, saat hujan menganyam kesedihan di seluruh alam.lalu kuingin kau mau membacanya dengan hati yang mawar pula.di gelombang awan yang masih menghitam, aku tandai dengan tahi lalatku yang kusilet dari tubuhku yang putih” (Surat: Hujan). Atau ”di antara tahi lalatmu yang telah kuhapal aku pernah mencatat percakapan-percakapan kita: tentang biru laut, bening kolam, dan bau belerang yang membuat perhiasanmu karat (Rendezvous).

Menyimak sajak-sajak Isbedy dalam analekta Setiap Baris Hujan, memang tak semuanya jelek. Beberapa sajak yang tak membawa pesan moral eksplisit justru menggoda perhatian saya. Isbedy tampaknya sangat teruit pada kata-kata, walau pun kadang-kadang ia tak berdaya oleh kehadiran kata-kata, histeria dirajam oleh kata-kata. Sejak halaman muka buku barunya ini, kita disuguhkan pada kata sebagai personifikasi dari berbagai peristiwa hujan dengan menempatkan kata sebagai kuda pedati yang mengusung makna. Sebuah arsenal di mana terjadi dialektika peritiwa dan makna, karena dalam sajaknya makna tidak hapus, malah padat dan kental. Apa saja ingin jadi kata dan menyusun kalimat yang pekat. Rintik-rintik hujan jadi kalimat. Laut dan alam raya seakan menjadi sekolahnya.

Tengok saja larik puisi sunyi yang bergemericik, yang jadi judul buku analekta puisi Setiap Baris Hujan, yang melukiskan hujan dengan jernih namun datar: ”pada setiap baris hujan yang jatuh, mengetuk-ketuk detak sepiku, senyummu pula menulis baris itu jadi kalimat:--cuaca khianat—”. Bandingkan puisi Hujan Meluruhkan Bunga-Bunga dalam kumpulan ”Aku Tandai Tahi Lalatmu” ini: ”masih kau dengarkah suara hujan yang mengetuk/ jagamu/sore ini? Kaca berkabut dan selembar daun bergantung di bingkai jendela, memanggil-manggil alamat nan jauh./Seperti/cambuk langit yang mengalir ke balik tanah/basah”.

Barangkali Isbedy bisa mati kedinginan karena selalu diguyur hujan. Sajak-sajak hujannya berjatuhan yang mengingatkan kita pada sajak-sajak hujan Sapardi. Mungkin Isbedy ingin berbagi pada hujan, pada sepi, pada gerimis yang puitis. ”baru saja gerimis reda, ketika iringan panjang itu melewati jalan ini.mungkin kau tak pernah rasakan pedihnya kehilangan cinta dan segala yang dicinta” (Requem). Atau ”biarkan hujan turun: dengan keyakinan yang penuh/kita tembus pisau-pisaunya.dari hotel yang gelap,/maka kegairahan seekor kuda akan menari/o,langit makin gigil di antara daun-daun/jendela dan ketukan pintu yang menagih/janji bahwa hari ini adalah akhir percakapan” (Biarkan Hujan Turun).

Mungkin ia ditenung kata-kata, atau dibuai kata-kata, hingga ia harus melirik pantai dan menceburkan diri dalam gulungan ombak laut. Setelah hujan, Isbedy banyak melukiskan pantai dan laut dalam konteks sunyi dan bunyi, sepi dan bahana, amuk dan diam. Hal itu mungkin karena dalam sajak-sajak Isbedy, kata tak ubahnya gelombang yang bagaikan benang-benang intuitif yang memintal kandungan maksud dengan cara membuka diri kepada pembaca. Sajak-sajaknya mengusung kemaknaan dengan maksud ingin berbagi, tidak sebagaimana sajak-sajak mahagelap yang anti-kata.

Membaca sajak-sajak Isbedy terasa bahagia jika menyelam kandungan maknanya, ketimbang bersibuk-ria mempersoalkan tipografi dan gaya karena sangat biasa. Mungkin karena pengaruh bencana yang bertubi-tubi menimpa negeri ini, maka dalam buku puisi Isbedy sejak Kota Cahaya hingga Setiap Baris Hujan akan kita temukan gempa kata dan tsunami makna. Bahkan di sana ada bahala yang menimpa berbagai negeri yang membuat orang banyak celaka, yang dihadirkan lewat kacamata ingin bermakna.

Dialektika kata dengan makna dan peritiwa tidak lain adalah suara. Kata menghadirkan dirinya, membentuk sebuah kemaknaan, dan pada kedalaman kemaknaan itu, sang penyair tidak pernah kembali pada kata-kata ini, melainkan menuju suatu benda yang dirujuk, baru kemudian kata tersebut dilepas dengan aturan main. Akan tetapi ada bedanya dengan imaji. Dalam kasus imaji, intensionalitas justru berbalik pada lukisan imaji yang menyelubungi makna secara konstan. Imaji, tidak lain seperti halnya dalam suatu kesadaran sang penyair.

Di sini jelas bahwa Isbedy tidak terpengaruh oleh postmodernisme yang menggejala sejak 1990-an di negeri ini. Ia tetap intens menghayati kata, menakik struktur kata, dan sajak-sajaknya tidak hendak berada dalam menara epistemologi eksistensial dengan menghadirkan imaji, tetapi masuk ke dalam kandungan makna melalui teruit kata-kata. Puisinya membangun rima dan bunyi hidup sebagaimana kebanyakan sajak liris. Tapi apakah cukup hanya dengan membuat kegaduhan bunyi subkultur atau bahana-bahana keras kepala agar menjadi resistensi? Sajak-sajak Isbedy tampaknya menjawab: tidak. Puisi-puisinya tak membahana oleh tekanan suara yang teratur, tapi ada suatu maksud dan ”nilai” yang sampai.

Dengan maksud yang tegas, dan tak jarang menampilkan asosiasi yang mengajak pembaca untuk mencari referen ke sana-kemari, Isbedy berhasil memunculkan renungan yang sadar diri untuk tak hendak mengejar kebaruan, meski pun ada kata-kata yang sudah khas jadi milik sang penyair. Tak ada bunyi yang tanpa makna, karena dalam puisi bunyi memang seperti gema kemaknaan itu sendiri, dan rasa yang ditimbulkannya pun muncul secara bersama dengan rimanya. Aku lirik terjun dari kekosongan pencarian menuju bumi dan sumber-sumber literer untuk menemukan bahasa biasa saja lagi.

Isbedy banyak menampilkan perumpamaan hujan sebagai kilatan ras rindu eksistensial. Hujan puisi Isbedy terasa rimis oleh kelebat awan kata-kata. Isbedy menjelma seorang pemain di lapangan hujan kata-kata, yang di awal kemunculannya dianggap sebagai penyair terdepan di Lampung, tapi kini ia harus ”bersaing” ketat dengan penyair-penyair lain yang menantang kata-kata.

Keintimannya menjadikan kata sebagai alat tak lagi menghiraukan kalau bahasa dan gramatikanya kepeleset, tergelincir, karena hal ini erat hubungannya dengan kreativitas. Sajak-sajaknya menampilkan kristalisasi dari kata, tapi belum cukup untuk melukiskan seribu tahun dalam kesunyian.

Sebagai contoh: ”di bukit ini, kami disalib!” (Tanah Lot), ”pantai tetap bercahaya, meski laut tak mengecupnya” (Bersama Penyair 1), ”dalam keheningan kata, tercipta jalan mencapi Tuhan” atau ”setiap kalimat adalah ayat-ayat” (Bersama Penyair 4), dan lain-lain. Kata-kata jauh dari tenung dari mantra, malah sangat sederhana. Ya, sederhana yang belum sampai ke keindahan kata.

Asosiasi yang dihadirkan memancing reaksi batin saya sebagai pembaca, yang ikut memengaruhi organ dalam saya secara lebih tegas dan kuat: kata-kata berlarah-larah, berdiam-diri, memusat, memberai, terjun ke dalam kepenuhan isi, menukik dalam dada, dan memberai dalam kebermaknaan. Dan sajak-sajak Isbedy seperti ingin menjadi remedi bagi mala yang merajalela di sekelilingnya, walau pun terkadang terkesan eksklusif dalam hal komunikasi dengan pembaca.

Semantik dari kata begitu dominan. Kata sebagai alat muncul bertubi-tubi, dan ini bukan sesuatu yang haram dalam sajak mutakhir. Sejak puisi lirik hadir sebagai salah satu genre puisi yang dirayakan banyak penyair di negeri ini, kehadirannya tak bisa menghindar sepenuhnya dari godaan subjek kata yang menekankan kesadaran tentang manusia dan alam raya. Dengan lirik Isbedy berusaha melukiskan dan mengungkapkan makna secara ilustratif. Pembaca dengan mudah bersua dengan renungan kemanusian.

Apa yang menggoda saya adalah: apakah Isbedy seorang humanis dan pandangannya tentang Kata menjelma sebagai daging? Bila kita tengok dalam puisi-puisinya di buku tipis ini, tak ada pendewaan manusia. Puisi-puisinya sangat sadar-diri pada keterbatasan manusia. Kadang muncul nuansa kegagahan yang berganti-ganti dengan rendah diri.

Isbedy konsisten dengan penampilan lirik dan larik yang koheren dan rapih. Sesekali muncul suasana melankolia, guratan kata yang keletihan dan pendakian puncak-puncak kata tak sampai-sampai, baik melalui peristiwa hujan, peristiwa di ladang tebu, lukisan yang tak transparan, ilustrasi yang berupa gambaran, yang agaknya begitu dekat dengan dunia keseharian yang tengah carut-marut.

Sebagian besar sajaknya dalam Setiap Baris Hujan cukup dominan mempersoalkan realitas sosial dan bencana besar kemanusian: kemiskinan yang melaju drastis, perampasan hak atas tanah ulayat warga oleh negara, pembalakan kayu (hutan) hingga tanahnya menguning karena tandus, penindasan gaya pemerintahan model raja, pembodohan kaum paria, ketidaktanggapan pemerintah, dsb. Kalau pun ada luka, luka itu adalah luka besar kemanusian.

Caranya menghadirkan kepedihan sosial tentu tak seperti yang dibayangkan banyak orang bahwa puisi-puisi realisnya adalah puisi yang memindahkan begitu saja realitas yang ada atau memindahkan yang sudah dimamah-biak media massa—walau tak juga sepenuhnya mendayakan imajinasi dengan sunyi diri.

Beberapa sajak bahkan muncul kenaifan dan kepolosan tak ubahnya imajinasi infantil, misi propetik yang banal, dengan pengucapan ah-ah dan ai-ai yang khas gebalau aku lirik. Kepekaan yang berlebihan pada kata, kesadaran yang semakin merunduk, pengucapan yang matang, pola pikir yang tak berumit-rumit namun dengan hasil pikiran yang wagu, bukanlah hal yang acak, sekonyong-konyong, melainkan masih tunduk pada aturan-aturan tentang konvensi dan struktur kata.

Sang penyair cukup intens memikirkan kata hingga menjadi plastik kata, sampai-sampai nekat ingin ”mengayak pasir-garam kata”, atau yakin ”akan kekal bersama kata”, atau ”akan hidup dalam kata”. Namun apa boleh buat: aku lirik pada akhirnya ”tak berdaya oleh kata” (sajak Bersama Penyair 3). Lalu, setelah kata, apa? Kalimat yang menyusun arti karena ”setiap kalimat adalah mukjizat” (Bersama Penyair 4) yang mampu menghadirkan dunianya sendiri.

Bersama penyair Isbedy ingin menyuling kata lagi, menjadi darah dan daging saja lagi. Untuk apa? Agar kata yang bersajak tak tersesat. Agar kata kembali menjadi doa menjadi sihir. Dan di atas segalanya: agar puisi tak mati ditikam kata. Lagi-lagi Isbedy tak hendak menampilkan sajak anti-kata, karena apa artinya jika sajak justru tak berdaya. Maka pilihan Isbedy kembali merenggut kata, menakik bahasa, justru menunjukkan kerendahan-hatinya sebagai penyair yang telah menulis begitu banyak kata.


Iswadi Pratama


Puisi-puisi Iswadi Pratama terhitung paling depan dalam capaian estetik dan kadar puitik. Pilihan kata dan kalimat yang digunakan Iswady sangat cermat dan hemat. Pengalaman membaca himpunan puisinya dalam buku Gema Secuil Batu (Akar, 2008) membawa saya ke dalam pertanyaan yang sammmpai kini belum terjawab: dengan apa Iswadi menulis puisi hingga terasa khidmat dan nikmat?

Kalau dipaksa untuk menjawab, biasanya saya akan mengatakan: dengan seluruh tubuhnya. Ototnya menarik denyut pikiran, bulu pada dagingnya mengernyitkan denyar rasa yang menukik di kedalaman, otaknya bekerja merangsang bibir, gigi, lidah menggiring darah. Darah pada jantungnya memompa mesin perasaan, para-parunya menafaskan atau menghembuskan. Maka jadilah puisi. Dan kena sentuh puisi Iswadi, maka bahasa membatu, dan selanjutnya ia tamat sebagai bahasa; ia menjelma sajak.

Tapi menurut Iswadi sendiri. Dalam pengantar penyair di buku itu, ia mengakui dengan jujur kalau ia menulis puisi ”seperti melempar secuil batu ke dalam kolam, menangkap sesuatu yang sebentar dan sementara: pendar di permukaan air yang mungkin hendak mengabarkan kedalaman”. Bagaima ia tahu apa yang terjadi dalam kolam itu? ”Aku sendiri tak begitu pasti memahami apa yang tersembunyi di lubuk kolam itu. Sejauh ini hanya menduga-duga. Bersandar pada bahasa untuk mengerti atau mengucapkan sesuatu kepadamu, tetapi bahasa tak pernah terasa lengkap sebagaimana pengetahuan yang bekerja pada diriku”.

Sebelum saya masuk ke dalam tubuh puisi-puisi Iswadi, izinkan saya masuk ke dalam bentuk sajak yang tidak asing bagi khazanah perpuisian kita. Lalu saya akan melihat ke dalam bentuk sajak yang mana puisi-puisi Iswadi hadir menyapa pembaca.

Pertama, bentuk liris, yaitu bentuk di mana si penyair menampilkan gambaran dalam hubungan langsung dengan dirinya sendiri. Aku lirik adalah pusat gravitasi, yang menghasilkan sajak yang sering bersifat pribadi. Kedua, bentuk epik, yaitu bentuk di mana ia menyajikan gambarannya dalam hubungan tak langsung dengan dirinya sendiri dan orang lain. Ketiga, bentuk dramatis, bentuk di mana ia menyajikan gambarannya sendiri dalam hubungan tak langsung dengan orang lain.

James Joyce suatu kali pernah mengatakan. ”Bantuk liris sebenarnya adalah busana paling sempurna dari sebuah emosi sesaat”, tulisnya. Sajak lirik bahkan ”sebuah jeritan ritmis, semacam yang berabad-abad yang lalu membuat gembira orang-orang yang menarik dayung atau menarik batu ke puncak bukit”. Sama sekali tak mengherankan jika di Indonesia bentuk liris paling dominan. Bahkan hampir semua penyair di Lampung memilih pengucapan lirik, dan hanya beberapa yang mencoba menyandingkannya dengan bentuk dramatik dan epik.

Penyair lirik berusaha mengungkapkan perasaaannya lebih sadar mengenai emosi sesaat, ketimbang dirinya sendiri saat merasakan denyut gravitasi emosi yang sedang menarik-ingin. Denyut itulah yang menjadi penghubung beragam unsur dan anasir dalam sebuah sajak dan diolah ke dalam matahari besar untuk kemudian ditransformasi—atau ditransmutasi ke dalam bentuk sajak.

Puisi epik adalah bentuk tengah dari dialektika sajak lirik dan mite. Tak ada epik tanpa kehadiran mite. Jika selama ini sajak epik sudah jarang kita dapatkan, itu tak berarti bahwa bentuk epik sudah tak menarik lagi. Sejumlah penyair bahkan masih memelihara bentuk epik yang menyerupai drama. Selama ini, pudarnya genre epik—atau metamorfosa epik menjadi novel—lantaran karena kemunduran-relatif mite di Barat. Mite-mite telah mengalami perubahan bentuk sedemikian rupa, dan sekarang ini lalu disebut utopia (utopia politik, utopia erotik, dan sebagainya). Mite-mite inilah kini yang jadi gravitasi dan substansi novel dan drama mulai dari Jon Duan, Fauts, Rastignas, Swan, Kyo, Nadja, hingga Tim Finnegan.

Bentuk epik yang paling gampang dicerna akan terlihat dalam sastra liris ketika si penyairnya memperpanjang, juga menumbuhkan dirinya, sebagai pusat gravitasi emosi dalam epik. Kekuatan, atau progresivitas sajak epik, bisa menjelma sebagai orbit yang sumbunya adalah sang tokoh. Narasi dalam puisi—jika memang ada—tak lagi bersifat murni personal, bahkan kepribadian sang penyair terlepas ke dalam narasi itu sendiri, hingga kemudian ”mengalir berputar-berkelok” menemu orang-orang dan tindakan-tindakan yang dituju, seperti sebuah lautan yang tak pernah berhenti mendeburkan ombak dan bergejolak. Maka, dalam sajak epik, ada sebuah cerita yang dimulai dengan orang pertama dan berakhir dengan orang ketiga, seperti pada balada Rendra, balada Garcia Lorca, atau balada tua Turpin Hero Inggris.

Bentuk dramatis sebuah sajak dicapai ketika vitalitas yang telah mengalir dan membentuk pusaran di sekitar tokoh-tokoh, lalu mengisi setiap tokoh itu dengan tenaga vital yang dia anggap sebagai sebuah kehidupan estetik yang sesuai dan tak bisa diraba. Kepribadian sang penyair pada mulanya adalah sebuah jeritan, irama atau gairah jiwa dan berproses menjadi narasi yang mengalir dan memancar, hingga akhirnya menguatkan dirinya sendiri melalui eksistensinya.

Gambaran estetis dalam bentuk sajak dramatis adalah kehidupan yang tersucikan, atau yang terpancarkan dari rahim imajinasi. Rahasia kehidupan estetis—seperti penciptaan materi—bisa diraih, dan sang penyair seperti Pencipta— atau ciptaan—yang berada di dalam atau di belakang, di luar atau di atas karyanya. Bentuknya kadangkala tampak samar, tak terlihat, namun terasah oleh eksistensinya—atau mencoba mengasah dirinya sendiri melalui eksistensinya—sambil bersantai makan kacang dan minum kopi.

Karena hampir semua ritme sajak terbentuk oleh kerja menghela nafas dan menghembuskannya, seperti pendirian klasik Whitmen, dan juga diakui Octavio Paz, maka hampir tak ada kata yang tepat untuk melukiskan makna sebuah sajak. Tapi izinkan aku mengutip sebuah frase dari kalif keempat kita: kerja menghela nafas dan mengeluarkannya, bisa menghasilkan embusan-embusan spiritual, atau ahwal. Ibn Arabi punya istilah yang juga kena tentang hubungan kata sebagai kefasihan berbahasa: ”Melalui kata yang terus mencari dan mendaki”, katanya, ”maka akan melahirkan ungkapan yang dengannya Tuhan bercumbu denganmu”.

Kefasihan Iswadi mengungkapkan kehendak yang sederhana, remeh, yang kadang jelas kadang gelap, dengan lentik-lentik lirik yang menimbulkan epik, agaknya perlu mendapat perhatian sedikit di sini. Zaman epik yang dianggap telah berlalu ternyata masih hidup, dan mungkin tidak akan pernah berakhir. Walau perkembangan puisi kini nyaris sampai pada titik akhir sebagai alat menulis drama dan novel, epik tetap berada dalam pesona. Bisa jadi “warna” epik merupakan transmutasi atau patahan dari konvensi dramaturgi yang melahirkan sesuatu yang baru tapi bukan baru, bukan baru tapi juga baru.

Andaikan biografi kreativitas Iswadi kita sertakan di sini, tidak mustahil bahwa konvensi dramaturgi yang selama ini ia geluti juga bagian dari upaya menguatkan kematangan aku lirik dan epik. Tak kurang dari tiga buah puisi setengah lirik setengah epik: Fragmen Pertempuran, Fragmen Tanjungkarang, Dongeng Pepohonan. Ketiga sajak panjang ini terasa membangkitkan kembali semesta gema di kejauhan dan analogi yang tak mati-mati.

Iswadi bekerja lewat proses transmutasi menjadi transformasi: antara sajak liris dan mitos yang menghasilkan gaya epik. “Sudah mafhum jika puisi epik bersandar pada dinding mitos—atau sesuatu yang di-mitos-kan atau seolah-olah mitos—sebagai bahan mentahnya”, tulis Octavio Paz suatu kali. Metamorfosa epik menjadi novel selama ini terjadi karena kemunduran relatif mitos ditangan sejumlah penyair modern di Barat. Sementara di Timur, sejumlah mitos terdesak pula oleh utopi politik sekaligus utopi erotik.

Dalam Gema Secuil Batu, ekuivalensi antara puisi lirik dan mitos menghasilkan epik pra-novel, yang tak mudah dibentang-pisahkan sebagaimana membentangkan waktu kronometris dan episode dalam epik yang telah jadi novel sekarang. Proses yang unik ini dapat ditelusuri dari kelahiran tradisi epik sebagai bentuk-tengah atau bentuk-antara: sejarahnya adalah tersingkapnya ruang antara sajak liris dan mitos, yang melahirkan sajak epik.

Namun, pemaparan epik dalam puisi Iswadi tak terlampau ketat. Alurnya buntung, tidak lengkap, tidak ada tahap-tahap atau episode-episode dan penokohan yang spektakuler. Namun ada beberapa bentuk cerita dengan adegan-adegan yang seru nan syahdu, nenes dan cengeng, dialog-dialog batin dalam ragam bentuk, deskripsi-ilustrasi dan musikalisasi, amanat, dan sublimitas yang sederhana, cukup kena dan menggugah saya.

Semua ciri epik sebelum jadi novel dan drama begitu tipis jaraknya dengan lirik sehingga sulit sekali membedakan keduanya dengan tegas, sebagaimana halnya membedakan antara kata dan imaji dalam puisi Iswadi. Sublimitas “peristiwa” sering (hanya) dikonstruksi dengan sederhana, kadang dengan memasukkan tema sepele dan jauh dari tragedi dan kemabukan. Kata hampir semuanya sunyi, bisu. Sikap kepenyairan yang jelas-jelas“fanatisme pada puisi” terungkap lewat frase “betapa nikmat hati yang tak bisa pasti” sebagai lawan dari ilmu pasti.

Ada beberapa sajak yang membahana, hendak bermantra, namun tekanan bahana akhirnya jadi gema di ujung, dan terus masuk dalam bisik lirih, kadang seperti asap yang senyap, bukan awan yang bergelombang. Ketika komunikasi lewat kata diperalat sedemikian rupa, maka “gramatika secuil batu” menjadi media yang tangkas untuk berkomunikasi dalam puisi.

Dalam puisi Iswadi terdapat relasi intim antara bunyi dan sunyi, bahana dan diam, namun yang dominan justru bukan bahana, bukan bunyi, tapi sunyi dan diam. Kalau pun masih terdengar gemerincing bunyi, maka seturut dengan Iswadi, itulah bunyi suci (wingit) yang bertemu dengan rumah sunyi. Aliran pertemuan dua arus kata-kata tampak membentuk komposisi gerak-diam. Secuil batu diam.

Kata-kata bahkan menjadi bagian dari laku kediamdirian. Kata-kata yang membatu. Sebab dengan batu, membatu, maka makna dan arti pun seperti udang di balik batu. Kadang bukan arti dan makna yang terasa, apalagi makna konotatif, melainkan ketidak-berartian arti. Metafora muncul secara bugil-mungil dan mengandung isyarat pekat-kental. Fungsi puisi kadang ingin melarikan diri ke dalam kompleksitas, entah menuju ambiguitas, atau tak menuju ke mana-mana. Kompleksitas itu dicirikan dari berbagai hal, tema, gerak, alur, dll., yang semuanya ingin bersemuka, ingin dapat tempat dalam Gema Secuil Batu.

Eksperimen ke dalam epik mengingatkan dengan beberapa sajak Sitor Situmorang (penyair Indonesia yang paling saya kagumi sampai kini). Oleh karena itu, membaca analekta puisi Gema Seuil Batu seperti membaca sesuatu yang pernah saya baca dalam himpunan puisi Bunga di Atas Batu. Nama inisial SS pada puisi yang jadi judul analekta puisi Iswadi ini, walau mungkin ada yang menyebutnya Sitok Srengenge, Saut Situmorang, saya justru condong pada Sitor Situmorang.

Senyampang dengan kedekatan pada Sitor itulah, maka banyak puisi Iswadi masuk ke dalam kesunyian diri. Hal ini cukup beralasan, mengingat “kita berasal dari sunyi, dan kepada sunyi kita kembali”, kata Octavio Paz suatu kali.

Karena itu, pengalaman membaca Gema Secuil Batu adalah pengalaman membaca karakter sensitif yang hidup dalam resah dan gelisah. Sangat klise memang! Namun pada yang klise rangkap banyak sekali pun, sering kita measakan gairah ritme dan komposisi yang menakjubkan. Aku lirik meyakinkan kita untuk ikut menghayati kembali sesuatu yang remeh dan sederhana: daun yang digoyang angin, gerimis, perdu, sulur, pohon, daun, sayap kupu-kupu, hujan, batu, parit dan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir mengikis tebing, biru laut yang lirik yang membentangkan layar yang bebas, ganggang, umang-umang, bunga karang, remah kerang, dll.

Sebuah khayal yang jauh, yang nyaris melumat dan mengikis-habis individu yang coba berpaling. Seorang yang luka, atau menulis tentang pengalaman akan luka yang membentuk delta sungai mutiara dari endapan lumpur yang bertahun terabaikan. Amis darah yang meresap masuk bersama kenyataan bahwa: aku lirik mungkin sang penyair yang tak puas dengan hanya menulis yang diketahui. Sebab dunianya adalah yang tak terketahui. Bahkan apa yang tak terpahamkan itulah yang memuaskan. Karena itu, jangan berharap sajak-sajaknya seperti novel yang bertanggungjawab, karena puisi lirik sifatnya “hanya sebuah kemungkinan dari kenyataan yang belum seluruhnya terjadi”, tulis Iswadi.

Pribadi sunyi Iswadi terasa hendak membaurkan lirik dengan tradisi epik yang tidak dipenting-pentingkan. Sebab puisi pada dasarnya cuma gema secuil batu, atau bunyi yang lain dari lirik Sitor dan Goenawan yang posesif. Tapi di dalamnya kita disuguhkan sebuah keterpesonaan. Bukan sekadar dalam pesona sesungguhnya, tapi terhubungnya pengalaman penyair dan pengalaman pembaca.

Beberapa sajak muncul suasana hening menuju kebening-beningan, namun belum terbening. Saya katakan belum terbening karena Iswadi banyak menampilkan kata-kata sebagai elemen kediam-dirian. Beberapa sajak bahkan memiliki relasi estetik dengan Octavio Paz, khususnya tentang tradisi menulis dalam diam sebagai elemen-elemen bawah-sadar dari kebisuan, atau elemen-elemen yang tak terpikirkan; seperti memikirkan diri sendiri. Iswadi mungkin suka jika aku memaknai kembali kata-kata Octavio Paz ini: “kau berasal dari sunyi”, Iswadi, “dan kepada sunyi kau kembali”.

Kata dan kalimat terasa menyamun asap dan kabut bahasa dengan kekayaan metafora, atau kata yang menjelma semacam doa-diam yang meragukan realitas hampir tanpa batas dalam melakukan monolog batin. Sebuah akal kelajuan lain yang membentang suram di ufuk dini hari, kadang dengan permainan tegangan, sulawan, dan gejolak yang menembus-tembus dinding keharusan. Karena itu, tak mudah bagi saya menangkap gema dari sajak yang berayun antara lirik dan epik, sonata dan balada, fuga dan drama.

Memang, dari sekian elemen itu, betapa diam ingin jadi maqam menuju pendakian ke puncak pohon lotus terjauh. Dan seorang aktor ternama pernah mengatakan: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening, maka aku akan menikmatinya, bahkan luluh dalam pesona”. Kata-kata ini saya petik dari Stanislavski dalam Persiapan Seorang Aktor terjemahan sangat baik oleh Asrul Sani, terutama ketika menyinggung sifat silent soliloquy. Tentu saja percakapan dengan diri sendiri lebih mudah dilakukan dalam puisi, ketimbang di atas panggung. Tapi monolog batin inilah yang juga sedang dicari bentuknya dalam tiap kali pementasan Teater Satu yang naskahnya ditulis dan pertunjukannya disutradarai Iswadi sendiri. Bahkan dalam lomba teater monolog beberapa bulan lalu di Lampung, Iswadi Pratama dan Ari Pahala mengeluh dengan sulitnya mencari teater monolog yang memenuhi kriteria.

Iswadi cukup intim dalam mengungkai semesta batin di tengah cuaca yang bergayut mendung, suram, yang saya bayangkan si aku lirik dalam sajaknya sedang berpegangan pada sebatang jerami kering, atau pada apa yang oleh Ivan illich dan Goenawan Mohamad dinamakan: bergayut pada “seutas tali kebisuan; dimana bunyi bahasa dalam puisinya hanyalah simpul-simpulnya”. Inilah bentuk komunukasi dalam diam, dan menulis pun tampak “menulis dalam diam” (Carlos Fuentes). Tapi kediam-dirian inilah yang tak disangka-sangka akan melahirkan “sebuah kefasihan dari diam”—the eloquency of silence—kata Illich.

Monolog batin, kembali ke rumah sunyi, kefasihan dari diam, adalah kembali ke kewajaran, ketakbiasaan, yang disebabkan oleh pembesaran kata tunggal aku yang selama ini terdengar bertalu-talu. Kekuasaan aku lirik adalah gerak terakhir dari kebimbangan Iswadi. Bayang-bayang dari elegi Rilke, balada Garcia Lorca hingga simponi Bethoven, pencinta yang muram, penurunan dalam gravitasi Einstein sampai yang terendah, pendakian ke puncak menara keterasingan, berbaur-maur bersama gerak-komposisi puisi Sitor dan Goenawan.

Tidak harus dibaca sebagai pengaruh-mempengaruhi, tapi sebagai kelumrahan jika ada kemiripan dan kedekatan antara satu sajak dan sajak lain dari penyair berbeda walau tak pernah jumpa dan saling terpaut. Tanpa harus mengamini semangat pasca-modernis tentang alusi, parodi, komidi, rekonstruksi, apropriasi, transformasi, intertektualitas, dll. Dan marilah kita beralih ke sesuatu yang lain, yang mungkin masih tersembunyi oleh hutan rimbun imaji.

Apa yang Iswadi cari dengan puisi, tampaknya bukan sesuatu yang khas negeri ini. Iswadi mencari bukan ke-Lampung-an! Bahkan si penyair menulis elegi bukan zaman ini, menghadirkan puisi ironi dan parodi pada kelampauan yang jauh sekali. Logat puisinya sendiri justru kental dengan Jawa ketimbang Lampung. Nama kota kelahiran bukan lokalitas, hanya sekedar kesan untuk ikut bagian yang menyenangkan hati mereka yang berkarya dari tradisi. Sajaknya “telah lama” sekali (mencuri judul puisi Sitor) bermain dalam wilayah lawa, antara ada dan tiada, atau expatriate kata Goenawan, dan mari kita mulai permainan sunyi ini, ujar Tardji. Ya, Iswadi masih menulis buah khuldi, sesuatu yang fitri dalam hidup ini, barangkali, yang sedang ia susuri di pantai-pantai pengharapan tempat balada-balada orang tercintanya Rendra dinyanyikan, atau pertempuran dan salju penghabisan di Paris-nya Sitor berlangsung.

Sesekali muncul kilatan kata-kata sunyi yang mendekati gairah dengan ritme dan komposisi “arus yang menyisir batu, batu yang menahanmu”—dalam sajak Pastoral dengan komposisi musik untuk dua soprano dan kuartet gesekl Barangkali itulah gema yang sebentar, atau pendar di kejauhan, untuk kemudian lenyap, dan diam adalah suatu maqam menuju Tuhan. Dan barangsiapa mengikuti pendirian kepenyairan Iswadi, akan tahu bahwa para sufi adalah bisu. Diam adalah cara kekasih Tuhan, karena Ia menyukai diam. Diam adalah gaya hidup para pujangga dan kebiasaan orang-orang tercinta. Diam adalah bagian intim dari hikmah kebijaksanaan. Dan diam adalah menggemaskan. Dan diam adalah: tersapih paling jauh dari komunikasi orang-ke-orang.

Namun, ada yang gemas dan ganjil dalam sajak-sajak gebalau nonsens Iswadi, yakni watak pelarian dari “hidup yang jadi komoditas” (untuk meminjam istilah Goenawan Mohamad dalam konteks lain) dan karena itu sering bikin kita gemas. “Kini aku takjub pada bangkai kupu, sengat batu pada tuba, jelaga, atau serpih duri yang merumpun di halaman itu”, tulis Iswadi dalam sajak Fragmen-fragmen di Beranda. Daun kaktus, pohon camar, hujan dan debu yang beradu, sunyi yang ratusan kali persiran di halaman buku, adalah sebuah percakapan yang sah untuk puisi, seperti hidup dan mati.

Iswadi tak henti-hentinya merasa bersalah, dan meyakinkan kita pentingnya menulis tentang burung dan angin, rumput dan perdu. Iswadi ingin menerima apa saja yang wajar di dekat ambangnya. Karena, seperti kata Goenawan suatu kali: selama ini banyak yang lupa dan tak pernah terkesima akan hal yang sesungguhnya dahsyat tapi tersisih; warna bulu burung yang menakjubkan itu, sepasang mati yang seperti merjan jernih itu, sayap-sayap yang serba-sanggup itu. Ternyata selama ini kita tak punya waktu buat tetek-bengek itu. Kita hanya menyimak dan memakai hal-hal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Ada yang salah, agaknya.



Jimmy Maruli Alfian


Satu lagi penyair Lampung yang sajak-sajak kerapkali muncul di berbagai koran nasional. Sebagai penyair, namanya sudah dikenal sejak tahun 2000-an. Penyair muda ini konon gemar sekali pada labirin sekaligus pada yang feminin. Karena puisi-puisi labirin dan femininnya mencoba menyuarakan dunia perempuan, sementara ia sendiri sang tuan, maka dengarkan bisikan jernih Jimmy Maruli Alfian ini: ”Puan, aku tumbuh di tengah retakan/berulang kali kehilangan akar/sebatang kara antara ladang cinta/dan belantara kata-kata”.

Fragmen sajak Tamsil Damar Batu itu adalah bicara dengan dirinya sendiri, sebuah monolog batin yang hening namun nenes, kenes dan cengeng. Tapi sajak sejenis ini yang paling menggoda saya. Saya terpesona dengan sajak-sajak Jimmy yang dramatik, atau sesuatu yang dekat dengan dunia drama. Alkisah, Hamlet menemui Ophelia dalam sebuah majelis pumpun, dan berkata lirih: ”Ophelia, suatu saat kau merupa sarang laba-laba, memintal benang-benang kabut, lalu mengharamkan tubuhku larut, dalam perangkap tangan-tanganmu yang lembut”. Ophelia menjawab: ”Kekasihku Hamlet, seharusnya kau tidak lupa mematikan lampu saat hendak tidur, agar birahiku tak terlihat, yang membenamkanmu ke dalam jerat”.

Apa cuma Ophelia yang punya birahi? Apa dalam kalimat-kalimat itu terjadi dialog atau monolog? Tak mudah menjawabnya. Aktor dan produser ternama Rusia, Stanislavski, sempat juga kewalahan menjelaskan secarik kalimat yang menyerupai puisi dalam naskah Shakespere saat bicara tentang sifat soliloqui di atas panggung. Kalimat ”dipegangnya pergelangan tanganku dengan erat/Lalu undur sejauh jarak lengannya/Dan dengan tangan yang lain di keningnya....”, bagi Stanislavski menghadirkan pertanyaan: ”apa dalam kalimat-kalimat ini dapat kalian rasakan hubungan tanpa kata-kata antara Hamlet dan Ophelia? Apakah dalam keadaan seperti itu pernah kalian alami sesuatu yang mengalir dari diri kalian, suatu arus yang datang dari mata, dari ujung jari atau yang keluar melewati pori-pori?”

Jika aku mengaitkan Shakespere dan Stanislavski agak panjang di sini, itu karena dalam sajak-sajak Jimmy ada gerak lakon yang diilhami oleh kedua dramawan ternama itu. Sajak Jimmy berjudul Rencana Seorang Aktor tentu bisa ditafsirkan memiliki hubungan dengan buku Persiapan Seorang Aktor, tapi bisa juga tidak. Hamlet dan Ophelia dalam sajak Jimmy memiliki persenyawaan dengan Hamlet dan Ophelia dalam drama, bisa juga tidak.

Dialog dan monolog memiliki banyak ruang dalam sajak-sajak Jimmy. Ketika acara peluncuran bukunya di UKMBS Unila beberapa waktu lalu, saya sempat mengajukan pengamatan tentang sajak-sajak Jimmy yang sebagian menyerupai dialog-dialog tak ubahnya dalam naskah teater. Jimmy bilang: itu wajar mengingat dia sendiri seorang yang terlibat dalam dunia teater, khususnya di Komunitas Berkat Yakin.

Pengalaman Jimmy bergelut di jagad teater ternyata ikut memperkaya pengucapan sajak-sajaknya. Misalnya, kisah tentang seorang aktor sedang berjalan pelan mengitari panggung pertunjukan outdoor, menuju ufuk lembut. Katanya, di sana tampak sekali matahari, memberat pada kedua matamu, seolah kau ingin melata, dari satu ufuk ke ufuk lain tubuhku (sajak Saat Sakit). Tapi matahari tak akan pernah lagi menitipkan cahaya hingga renyai yang setiap senja menghampiri kita (Rencana Seorang Aktor).

Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali kini. Makin lama kata-katanya tampak bersayap kupu-kupu yang hanya bisa betah di cuaca. Kalimat-kalimatnya yang lembayung, yang tangkas bermain dalam dua aras tematis, gelap dan gumun, cerita dan drama, dialog dan monolog, bagaikan kisah jukung tanpa arah tujuan karena telah kehilangan ufuk.

Pertemuan ufuk yang gelap dan gumun, prosa dan pantun, dengan nada dasar yang kadang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian. Ada nada jazz, juga sonata yang berdebar serta gemetar yang hanya sebentar, lalu berseling kelakar, beragam perbalahan, disertai debam lengang, seperti menyembul dari pengalaman luka yang belum sampai histeria. Kata-katanya seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok dan berbentuk—bagaikan sebuah adegan-gerak. Tak urung, Jimmy mengingatkan saya pada satu kalimat Nietzsche: ”Penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari”.

Ritme dan komposisi sajaknya tampak tertata dengan rapi. Ada warna yang berkilau embun, seni rupa kurva dan musik lirih. Aku lirik seorang yang muram, luka, duka, dan maut, dengan kalimat yang memberat oleh cerita. Jimmy memang penyair yang gemar bercerita, kadang secara gamblang, kadang dengan mendadak mengejutkan oleh karena kehadiran bahana yang tiba-tiba. Dengan gaya bercerita, dengan bentuk yang menyerupai drama, sajak-sajak Jimmy hendak memenuhi tantangan lama, bahwa kisah-kisah, drama-drama, bisa menjelma masyarakat yang hidup tanpa ikatan kenyataan. Sebab, seperti pernah dituturkan Afrizal Malna, dunia kisah-kisah adalah sebuah kriminalitas dalam ingatan seorang penyair masa lampau. Maka kesusastraan kisah-kisah adalah sebuah dunia berbahaya karena ia bisa beroposisi terhadap realitas, dengan mengubahnya jadi cerita-cerita.

Untuk menegaskan bahwa puisi sebagai kisah-kisah, Jimmy memasukkan kalimat-kalimat berkisah, bahkan muncul kata syahdan sebanyak dua kali dalam buku ini (sajak Lomba Domba dan Dayang Rindu). Sebagai cerita-cerita, puisi Jimmy menjadikan yang purba bukan sebagai masa lampau, tapi justru yang menyekarang. Jika kita menengok sejumlah kitab suci, di sana berjibun puisi kisah-kisah.

Sebuah kisah, sebuah tuturan, (di)hadir(kan) bukan karena disebabkan abskuritas penyairnya, melainkan karena mengaburnya posisi aku lirik dalam sajak-sajaknya. Beberapa sajak Jimmy tampak menyisakan pengucapan puisi emosi, puisi ide atau puisi suasana, dengan gaya romantik banal. Ada pertemuan lirik dan mitos, yang menghasilkan gaya penokohan, seperti munculnya tokoh Maria, Fatima, Sulaiman, dll., yang mengingatkan pada Patima atau Maria Zaitun dalam balada-balada Rendra.

Jimmy berusaha menggapai puncak pengalaman kreatif lewat puisi dan dramaturgi. Saya tak terlampau akrab dengan sajak-sajak Jimmy, namun ketika membaca 49 sajak dalam Puan Kecubung—judul unik yang tidak diambil dari salah satu sajak sebagaimana umumnya buku kumpulan sajak—saya baru sadar bahwa Jimmy penyair yang menyimpan bakat. Dalam sajak-sajaknya terdapat suasana melankolia dengan guratan kata-kata cinta, kisah-kisah mistis di perkampungan misterius yang dihuni para puan yang bergelut dengan perih. Bahkan ada ajakan untuk bercinta dengan puitis: “Mari, cium ranum keningku/sebelum kau alum dirajam waktu”.

Saya suka pada kejernihan bahasa yang digunakan, terutama ketika melukiskan kisah tablo dalam lima babak yang beberapa baitnya menyerupai gurindam: ”sudah tiga ratus pagi habis/ia belum juga ceguk dan menangis....di dalam, seorang lelaki telanjang/terus memasak dengan gasang”. Ada banyak kosakata yang asing—dalam arti yang masih jarang digunakan. Saya kira inilah salah satu kelebihan Jimmy dari penyair Lampung yang lain.

Penyair kelahiran 1980 ini adalah sisi lain dari para penyair lirik yang mukim di Lampung. Bisa jadi Jimmy adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi dramatik. Puisi liriknya ternyata sebuah migrasi dari dunia konvensi ke sumber-sumber realitas terdalam, dengan bahasa yang kadang terasa sugestif dan pasif.

Saya teringat ucapan Nietzsche dalam terjemahan H.B. Jassin: “Jika mimpi memberi daya khayal, asosiasi serta puisi, maka mabuk memberi dendang kekuatan yang cenderung akan kebesaran, keangkuhan”. Namun, apa yang mabuk bukanlah cercau dan dendang yang bahana, seperti dibayangkan Nietzsche. Octavio Paz justru melihat para pemabuk dan seni yang mabuk adalah kontemplatif dan pasif. Sebagaimana juga Jimmy memaknai ketakdatangan bukan berarti ketidakhadiran, tapi justru “ketakdatangan semakin menegaskan makna kehadiran” (In Absentia).

Tak berlebihan jika Jimmy sempat menyinggung sajak lama dan dongeng Zarahustra, dalam sajak Mencari Alamat, dengan bahasa yang tenang-jernih: “sudah bergantikah warna cat rumahmu?/musim hujan sudah lama tiba/aku belum sempat menyimpan payung dan mantel/cuma ada potret kekasih, sajak-sajak lama/dan dongeng Zarahustra”. Mencari rumah ziarah ternyata tak mudah, kadang dengan via dolorosa (jalan penuh duka): “bagaimana jalan menuju rumahmu sekarang? Seperti lintas Sumatera atau jalan Dolorosa?” (sajak Tonil Kadi & Kala).

Dari segi stilistika, tak ada yang mengejutkan dalam sajak-sajak Jimmy. Tak ada kamuflase atau suspens, atau yang baru, karena sebagian besar sajaknya berangkat dari metafora yang menggelorakan imaji melalui pertemuan pantun dan mantra, drama purba dan lirik tua. Sebagaimana Jimmy mengutip Gao Xingjian dalam kata pembuka bukunya, maka saya ingin menegaskan juga: dalam sajak-sajakmu ”tak ada keajaiban”.

Membaca sajak-sajak Jimmy membawa saya tamasya ke dalam rumpun rimbun kehidupan. Kadang kala saya diajak untuk ikut menghayati peristiwa masa lampau yang jauh: kisah tentang Sulaiman, bukit Fatima, kejatuhan Eva, Dayang Rindu, Habil dan Kabil, Ophelia dan Hamlet, hingga Inggit Putria Marga atau Ari Pahala.

Dalam sajak-sajak Jimmy terdapat enigma, tapi pilihan kata, pilihan tema, dan logat daerah (Lampung) dihadirkan dengan jujur di dalam penciptaan sajak-sajaknya. Seandainya hukum diksi puisi memang ada, dan berlaku pula dalam telisik ini, maka Jimmy patut disebut penyair muda yang memiliki talenta dalam jurisdiksi penciptaan. Puisi Jimmy, dengan demikian, mampu mengekspresikan dunia jurisdiksi estetiknya sendiri, tanpa mendurhaka pada kata dan makna.



Inggit Putria Marga



Terbitnya buku puisi Inggit Putria Marga, Penyeret Babi (2010), kian meyakinkan saya kalau di Lampung telah muncul generasi penyair yang berbeda dari generasi penyair Isbedy Stiawan ZS. Sebetulnya, sejak Dina Oktaviani masih menetap di Lampung saya sudah melihat ada perbedaan wawasan antara penyair generasi Isbedy yang sebagian besar sudah tak lagi berkarya, dengan generasi Iswadi, Ari, Inggit, Jimmy yang masih terus berkarya.

Keempat penyair itu terhitung paling depan menampilkan sajak-sajak yang jernih dan makin jauh dari hiruk-pikuk sosial dan politik. Dari empat nama itu, hanya Ari Pahala yang belum punya buku kumpulan puisi tunggal, namun cukup mudah untuk melacak puisi-puisinya yang bertebaran di berbagai media dan antologi bersama.

Inggit seakan menggantikan posisi Dina yang telah meninggalkan Lampung. Kreativitasnya tampak tak jauh beda dengan Dina, kendati pilihan tema sajak sangat berbeda. Dina sampai sekarang masih terus menulis puisi kehilangan, kecemasan dan luka yang begitu pribadi. Sementara Inggit tampaknya tak terlampau tertarik mengkhususkan diri menulis soal kepedihan kaum perempuan.

Puisi-puisi Inggit menarik ditelaah karena selama ini puisi-puisinya cukup sering jadi pembicaraan secara lisan di kalangan para pemerhati sastra. Beberapa kali saya mendengar orang menyinggung sajak-sajak Inggit, tak hanya di Lampung, tapi di Jakarta, Yogyakarta dan Banten. Sebagian orang mengatakan kalau sajak-sajak Inggit sangat Goenawan Mohamad sekali. Dan saya menolak tudingan macam ini. Inggit mungkin hanya mengambil filosofi kepenyairan dari Goenawan, tapi tidak sajaknya. Malah kalau harus dicari kedekatannya, sajak-sajak Inggit lebih dekat dengan sajak Nirwan.

Inggit menonjol bukan karena ia perempuan, tapi sajak-sajaknya memang sebagian besar menarik dan unik. Setiap kali sajaknya muncul tampak bahwa dirinya berusaha mengadu siasat dengan kata-kata. Sebagian besar puisi bersinggungan dengan masalah teknis berinovasi, bernikmat-nikmat dengan dirinya, dan karena itu sajak-sajaknya bersifat pribadi.

Buku Penyeret Babi menampilkan puisi dengan keragaman tema dan isi. Terdapat sejumlah sajak pendek yang cantik, di samping sajak-sajak yang mengulur panjang, bahkan ada yang kelewat panjang. Di dalamnya terdapat kekayaan bentuk puisi: gurindam, pantun, haiku. Di samping itu, semua gaya puisi digunakan: lirik, dramatik, dan epik (dulu didaktik dimasukkan sebagai salah satu genre tapi kini dianggap cukup untuk menyebut tiga itu saja).

Namun, bentuk lirik paling dominan hingga patut kalau Inggit disebut penyair lirik. Inggit lebih tertarik pada lirik tak langsung, di mana aku lirik menyembunyikan diri di belakang lambang atau metafora. Si penyair berusaha menampilkan gambaran dalam hubungan langsung dengan dirinya sendiri. Jika sajak diibaratkan daya tarik bumi, maka aku lirik adalah pusat gravitasi, di mana si lirikus menghasilkan sajak yang bersifat pribadi. Ia mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca.

Pilihan Inggit pada lirik cukup tepat, sebab seperti pernah diilustrasikan oleh James Joyce dalam The Portrait of the Artist as a Young Man (yang saya kutip versi terjemahan Wawan Yulianto), ”bantuk lirik sebenarnya adalah busana paling sempurna dari sebuah emosi sesaat”. Sajak lirik bahkan ”sebuah jeritan ritmis, semacam yang berabad-abad yang lalu membuat gembira orang-orang yang menarik dayung atau menarik batu ke puncak bukit”, tulis Joyce.

Demikian kita rasakan juga pada sajak-sajak Inggit tentang buih dan laut. Pengucapan lirik paling cantik terdapat dalam sajak-sajak pendek. Sajak Langit Begitu Sendiri, Firman dan Penakluk, misalnya, sangat liris, hemat dan bening, dan pantas dibandingkan dengan sajak Pohon Mapel, Angsa Liar, Sepeda Nirwan Dewanto. Sajak-sajak pendek ini mengambil semangat Matsuo Basho yang minim kata tapi begitu puitis.

Puisi Langit Begitu Sendiri, misalnya, menampilkan sehemat mungkin kata hingga sangat menawan. Saya kutip dengan mengubah tipografinya: “Ada embun sisa hujan/di ranting patah/di daun yang basah/ada embun/sisa hujan”. Atau puisi Firman: “Ada yang menitik,/sembunyi pada celah batu/ada yang mengalir/ada yang beku”.

Puisi Inggit muncul sebagai cetusan perasaan sekaligus pertaruhan atau ujian untuk menghadirkan kebebasan pengucapan. Ia tak lagi peduli kalau yang ia tulis adalah puisi dalam bentuk bahasa prosa karena perbedaan keduanya telah lebur. Setiap sajak muncul dari kedalaman kata-kata tanpa luput mengungkai makna. Si penyajak cukup cerdik mengelabui pembaca dengan melebur penutur-penafsir hingga muncul gelora dan gejolak yang khas. Kata-kata diusahakan seindah dan se-otentik mungkin. Susunan kata atau lariknya sangat rapih. Setiap tanda baca berusaha diperhitungkan kehadirannya, kendati tak begitu fungsional.

Membaca sajak Inggit adalah membaca mainstream kata-kata. Pembaca diajak memikirkan kembali hakikat kata. Kita dapat saja berkilah bahwa puisi tak melulu tergantung pada kata. Tapi pembaca memperlakukan sebuah puisi terutama karena kata-kata yang digunakan si penyair. Kemudian tema, gaya, isi, bentuk dan lain sebagainya. Kalau kata yang digunakan tak memikat perhatian, maka puisi tersebut memang tak menarik.

Cukup banyak tema yang mengemuka, baik soal alam, binatang dan manusia . Dari segi isi memang unik, tapi dari segi gaya biasa-biasa saja. Sebagai penyair sekaligus penafsir, Inggit menyadari kalau hal-hal besar bisa membuat sajak keberatan memanggul beban dan amanah. Maka, seperti penyair Lampung yang lain, Inggit berusaha menyuguhkan hal-hal yang jarang diperhitungkan. Hal-hal kecil menjadi filosofi kepenyairan Inggit, yang juga terlihat menonjol pada sajak Iswadi, Ari, dan Jimmy.

Bagi penyair Lampung, tak terkecuali Inggit, apa pun bisa diangkat ke dalam puisi dengan segudang alasan pembenaran. Tak cuma manusia, tapi perdu, sulur, pakis, babi, rumput, anjing, mesti dicatat dan dapat tempat. Kalau Inggit memilih babi sebagai judul bukunya, yang seringkali luput dari perhatian penyair, Isbedy justru lebih tertarik pada lolongan anjing dini hari yang memecah kesunyian.

Tapi babi dalam puisi Inggit kurang politis kalau dibandingkan babi dalam prosa George Orwell. Dan Inggit memang enggan menghadirkan yang politis-politis, tapi lebih tertarik dengan yang puitis-puitis. Bukankah yang puitis juga bisa sangat politis? Daya gugah dan daya sarannya kadang lebih ampuh dari slogan.

Pohon, hewan, batu, awan, dan manusia serta segala yang diciptakan, semuanya merupakan lambang-lambang yang menuntut untuk dibaca dan ditafsirkan. Hubungan-hubungan di antara semuanya menjadi sumber pertanyaan yang tak berkesudahan. Si penyair berusaha mencoba berbagai cara untuk mengungkapkan sumber pertanyaan itu. Dan setiap sajak yang ditulisnya terlihat sebagai percobaan dengan kata.

Kalau ia gagal dalam percobaan itu, maka tamatlah riwayatnya. Maka Inggit tak main-main. Ia pertaruhkan imajinasinya agar kata-kata puisinya tak sekadar bunyi, tapi mengandung sesuatu daya yang tak mudah mati atau lenyap ditimpa berbagai bencana sosial. Ratusan sajak dihasilkan dengan kadar pengucapan yang terasa mulai mantap. Ada usaha untuk menghadirkan rasa-kata, mencecap dan menghayati kata seintim dan seintens mungkin.

Inggit juga sebagai penerjemah kata dengan baik. Juru tafsir tentang flora dan fauna bahasa, pemberi makna tentang seks dan asmara yang berani. Bagi Inggit, yang erotik tidak selalu dramatik ketika dihadirkan secara wajar, tidak liar. Ia menerima berahi sebagai bagian dari diri yang punya enigmanya sendiri.

Di tangan si penyajak, kata bisa mengeluarkan kicau yang merdu, terkadang lirih dan bergumam atau mendesah. Membaca 112 sajak yang disusun dalam dua bagian di buku puisinya ini, bagaikan membaca sebuah misteri kata-kata yang senantiasa meminta disimak dan dibuka, tapi pada saat yang sama terasa sia-sia untuk sekadar menemu makna.

Tentu saja Inggit tak bermaksud menyembunyikan makna atau sengaja menggelapkan sajaknya melalui kehadiran kata-kata yang tak punya cahaya. Makna seperti terkurung dan begitu sulit direngkuh atau dijamah. Makna muncul kemudian lewat dan tersembunyi oleh hutan rimbun imaji, irama, tegangan dan sulawan.

Pada bagian pertama yang diberi judul Mantra Petani, kata-kata bukan hanya sebagai esensi dari puisi. Si penyair melakukan percobaan dengan menerjemahkan kata-kata untuk menangkap kehadiran sejumlah tanda dan tinanda. Di sini Inggit kadang berhasil menyiasati kependekan kata dan bahasa.

Ada anggapan bahwa menulis sajak pendek jauh lebih sulit dari menulis sajak panjang. Sebab kependekan bukan karena sedikitnya kata saja, tapi—seperti yang pernah disinyalir Sutardji—sajak pendek bagaikan sebuah pigura. Ibarat pelukis yang tidak melukis tapi menciptakan pigura. Contoh: Bulan di atas kuburan (Sitor) Baju bulan (Pinurbo), pun (Sutardji), gugur semboja (Medy Loekito), dan banyak lagi. Sajak panjang sering banjir kata-kata hingga jadi keruh. Maka sudah sewajarnya jika penyair menampilkan seminim mungkin kata agar tak mubajir.

Sajak-sajak pendek Inggit berkilau atau bening, tapi belum terbening. Kalau diumpamakan sebagai sebuah ledakan, sajak-sajak pendek itu belum sampai menghadirkan dentuman ke dalam atau implosif, tapi masih nyaring terdengar dentuman keluar (eksplosif). Meditasinya tak terlampau khusuk, dan masih jauh dari keheningan Budha di hutan Urwella.



Y. Wibowo


Y. Wibowo adalah salah satu penyair Lampung yang puisi-puisinya berusaha menghadirkan narasi-narasi lokal yang diabaikan oleh penyair yang lain. Dalam buku himpunan puisi Opera Kebun Lada (Mata Kata, BandarLampung, Desember 2005), tampak terlihat usaha si penyair untuk menulis puisi yang berpijak di bumi Lampung sendiri. Ia cenderung menampilkan pencitraan aku lirik yang begitu pekat merindukan kampung halamannya di desa.

Puisi-puisi Y. Wibowo gemar memotret lansekap melalui pergulatan menghadirkan suasana pedesaan atau ‘pedalaman’ yang pernah dijumpainya atau tidak pernah dijumpainya. Puisi-puisinya dalam antologi ini dapat di kelompokkan ke dalam dua narasi yang, untuk sementara terpaksa saya gunakan di sini; pertama, tentang perjalanan si aku lirik untuk pulang ke kampung halaman setelah merantau di kota; kedua, tentang puisi yang menampilkan pergulatan eksistensialis saat si aku telah berada dan menetap di kampung halamannya di desa.

Narasi pertama diwakili puisi berjudul “Kutempuh Jalan Pulang, Kenangan Mencipta Lambang-lambang”. Narasi kedua terasa sekali aroma desanya dalam puisi “Sajak Kampung Halaman” dan “narasi dari pesisir”. Narasi kedua ini mewakili hampir sebagian besar puisi Y. Wibowo yang banyak menggunakan judul tentang geografi dalam puisi atau atau nama-nama kampung yang secara administratif berada di pelosok desa di propinsi Lampung.

Membaca puisi “Kutempuh Jalan Pulang, Kenangan Mencipta Lambang-lambang”, tak ayal membuat kita ikut merasakan kerinduan si aku lirik untuk segera pulang ke kampung halaman setelah sempat menetap di negeri orang. Hasrat untuk pulang kampung tak tertahan lagi lantaran semakin lama meninggalkan tanah kelahirannya, semakin kuat aroma kopi memanggilnya. Di sini Y. Wibowo banyak menggunakan majas tentang batang jelatang—yang banyak tumbuh di desa di Lampung—sebagai petanda dari rasa “gatalnya” untuk segera pulang kampung bertemu mak-bapak, adik-kakak, minan-mamak, tamong-kajong, dan sebagainya.

Si penyair kemudian hengkang dari kota rantau karena yang ia saksikan setiap hari adalah pemandangan yang sering membosankan; papan reklame di sudut-sudut jalan, silau kaca plaza, geduang-gedung tinggi yang bisu, suara-suara bising kendaraan di jalan raya, yang membuatnya bimbang, dan memutuskan untuk pulang. Ketika si penyair sudah kerasukan untuk pulang, maka pilihan pulang tak lain adalah yang paling beralasan baginya. Terlepas apakah si aku menyadari atau tidak atas sikap yang dipilihnya itu tampak terasa begitu cengeng, nostalgis, atau romantis.

Membaca puisi-puisi Y. Wibowo tampak sekali hasrat si penyair untuk menghadirkan bentuk pengucapan dari sebuah kegelisahan dan pergulatan hidup tokoh-tokoh yang berada di antara dua dunia yang saling tarik-menarik. Secara ekstrim si aku mencoba melukiskan situasi dunia rantau sebagai apa yang disebutnya “pembuangan paling tersembunyi” atau “pengasingan dari petilasan kerabat”. Ungkapan-ungkapan semacam ini menampilkan suara eksistensialis yang dalam, yang tak tertahankan, tak tertangguhkan, yang bisa melahirkan kehendak pemberontakan.

Kenapa si penyair lebih memilih pulang kampung ketimbang tetap menjadi seorang rantau? Bagaimana kalau si penyair yang sudah pulang ke kampung halamannya tetapi yang ia temukan hanya “kelainan yang jauh” atau “noktah yang membosankan?” Atau, seperti yang pernah ditegaskan Dina Oktaviani dalam bait puisi Agoni-nya, bagaimana jika “engkau bukanlah ‘pulang’ itu?”

Telah banyak contoh penyair yang kembali ke kampung halaman, namun setibanya di kampung ia merasakan hidup terasa lebih terasing dibanding dengan dunia rantau, dan pada akhirnya ia memutuskan untuk kembali lagi ke kota, seperti terbaca dalam sajak-sajak Sitor Situmorang, Asrul Sani, Ajip Rosidi, sekadar menyebut beberapa nama. Puisi-puisi yang melukiskan pergulatan penyair untuk pulang ke kampung halaman seringkali terjebak ke dalam kenenesan atau kecengengan. Padahal, sebagaimana pernah disinggung sepintas lalu oleh Hasif Amini (2002), sebuah puisi bukanlah sekadar kenenesan atau kecengengan di sebuah dunia yang sering mengecewakan, yang mengerikan sekaligus menyedihkan ini.

Demikian pula ketika membaca puisi Y. Wibowo, saya pun merasakan beberapa puisinya terlilit oleh sikap mendua tersebut, bahkan puisi-puisinya cenderung merayakan sikap sentimentalisme si anak desa. Namun karena si aku merasa tidak lengkap jika tidak mengenang dan mencicipi kembali udara di desa di Lampung, kendati hatinya sudah mulai terpaut di kota, maka puisi-puisinya tetap terasa sebagai ajakan untuk tak menjadi seorang pendurhaka terhadap bahasa ibu dan kampung halaman.

Puisi semacam ini oleh para kritikus sering digolongkan sebagai puisi traveling atau pelancong, di mana si aku lirik tak lelah-lelahnya mengarungi dua dunia secara bersamaan hingga akhirnya ia “sampai berpendaran ke pelosok desa dan riuh-gaduh sudut kota”. Si penyair masih berusaha untuk memperhadap-hadapkan desa dan kota, bandar dan pedalaman, untuk melukiskan sebuah pergulatan yang paling pribadi di antara dunia perbatasan dan ruang antara.

Secara biografis, Y. Wibowo memang pernah hijrah ke kota Yogyakarta dalam rangka studi dan mencari pengalaman, atau mungkin juga demi sebuah alasan untuk berjarak sejenak tentang kampung halamannya di Lampung (kalau bukan malah demi alasan untuk menanjak), dengan harapan ketika pulang kampung kembali ia sudah membawa sekoper penuh ide. Pada momen ketika si penyair telah sampai ke kampung halamannya kembali, tampak koper ide dan pengalaman yang dibawanya dari dunia rantau memang tidak sia-sia. Ia menggoreskan rasa getir, resah, gelisah, sepi sunyi, melalui sentuhan beragam lansekap pedesaan yang sejuk, riak gelombang laut yang tenang, dengan menjadikan pergulatan manusia urban sebagai seting atau latar belakang kehidupan. Si aku di sini tampak seperti “si anak hilang” dalam puisi Sitor Situmorang, yang terus-menerus merasakan kesepian serta rasa bersalah yang mengharu-biru dalam kesadaran eksistensialis.

Menyimak puisi berjudul “Orang-orang Teluk Semangka”, “Labuhan Maringgai, Arus Masih Menderas”, “Membaca Senja di Kalianda”, misalnya, bagi Y. Wibowo, judul-judul demikian tampak sangat menarik baginya sebagai tematik penciptaan. Nama-nama tempat atau desa itu tidak lain adalah nama-nama daerah yang berada dalam wilayah geografi Lampung. Namun geografi dalam puisi-puisi Y. Wibowo bukan lagi melulu sebagai fakta yang dengan mudah bisa memberi kita peta perjalanan yang mudah, melainkan sebuah imaji atau imajinasi yang tak jarang menjelma ilusi.

Puisi yang melukiskan arus sungai di Labuhan Maringgai, Lampung Timur, secara geografi memang bisa dicari jejaknya dalam sebuah peta, namun tidak demikian sesungguhnya kondisi arus sungai dalam arti faktual, sebab sungai yang berada di pekon Labuhan Maringgai tak memiliki arus yang deras dan lebar, melainkan hanya sungai kecil yang telah dibuat kolam-kolam pemandian yang mengalir dengan tenang. Ketajaman intuisi Y. Wibowo dalam memilih sungai di Maringgai memberikan pada kita bagaimana warna lokal mesti dihadirkan. Y. Wibowo bukan tidak tahu bahwa di Labuhan Maringgai terdapat tradisi dan kesenian Malinting yang menurut orang-orang yang keranjingan pada tema local genius dianggap sebagai warisan penting dari seni/tradisi subkultur, tetapi ia lebih memilih sungai sebagai kerinduan masa kanak-kanak yang tak mungkin terlupakan.

Nama-nama tempat seperti Teluk Semangka (dalam puisi “Orang-orang Teluk Semangka”), Way Nipah, Terbaya, Batu Tegi, Negeri Ratu, Cukuh Balak, dan Pringsewu (yang semua itu berada di kabupaten Tanggamus propinsi Lampung), selama ini memang jarang dijamah oleh penyair lain. Iswadi Pratama seingat saya pernah menulis sebuah puisi berjudul Ngaras (lisan: Ngakhas), yang menunjukkan sebuah desa atau pekon yang dalam cerita lisan masyarakat Kota Agung, pekon tersebut penuh dengan mitos dan magi. Di sini Iswadi mencoba menggali motif mitos sebagai strategi menghidupkan lirik dari hantaman modernitas.

Sementara Y. Wibowo mengingatkan saya pada beberapa puisi dan gagasan Afrizal Malna yang secara lebih ekstream ingin membalik kota ke dalam latar belakang penciptaan seraya mencoba menempatkan kembali desa sebagai latar depan. Afrizal pernah menegaskan bahwa kebanyakan penyair Indonesia telah meletakkan “desa sebagai latar belakang” bagi proses kreatif. Oleh karena itu, apa yang dinamakan puisi Indonesia adalah puisi urban, puisi yang lahir dari pembunuhan terhadap etno di desa lewat bahasa Indonesia.

Atas dasar itu, Afrizal membangkitkan kembali ajakan para penyair sebelumnya untuk kembali ke kampung halaman di desa, menjadikan desa sebagai latar depan bagi proses penciptaan, yang sudah dirintisnya dalam prosa realis berjudul Lubang Dari Separuh Langit: sebuah prosa realis yang mengangkat tradisi ngaben di sebuah desa di Bali dan rekaman terhadap orang-orang terpinggirkan di pinggiran kota Jakarta dan Surabaya (sebuah pengalaman yang didapatnya selama bekerja di UPC Jakarta).

Nama-nama tempat yang banyak dijadikan judul puisi Y. Wibowo, seperti Pugung Raharjo, Cukuh Balak, Pringsewu, Teluk Semangka, Way Nipah, Terbaya, Batu Tegi, Negeri Ratu, bisa dibaca sebagai kehendak untuk mengembalikan desa sebagai latar depan ala Afrizal. Atau, jika mengikuti seruan Kofi Awnoor—novelis Ghana—maka Y. Wibowo hendak mengajak kita: mari kembali ke dalam cenayang lumbung di desa agar puisi bisa menepati janji dan sang penyair bisa mendapatkan inspirasi.

Beberapa puisi Y. Wibowo dalam antologi ini berhasil menyuguhkan bentuk puisi sebagai pencitraan ruang arsitektur. Pembaitan dan margin yang digunakan mengingatkan kita pada bentuk dari sebuah bangunan arsitektur yang berbentuk kotak-kotak dan sering terlihat tumpangsusun. Ruang dan sensibilitas puisi tampil dengan sangat kuat dan mengingatkan saya pada gagasan seorang filsuf Perancis, Gaston Bachelard, yang pernah menulis buku The Poetisc of Space (1964). Puisi ruang dalam puisi-puisi Y. Wibowo menampilkan suatu kualitas dengan nilai imajinatif atau figuratif yang dapat kita rasakan atau kita beri arti, baik secara konotatif maupun denotatif.

Jika ada kritik yang mesti dialamatkan pada puisi-puisi Y. Wibowo, saya kira terletak pada nama-nama desa yang ditampilkannya, yang terasa masih jauh dari kesetaraan secara ekspilisit antara judul dengan isi, atau bentuk dan isi. Puisinya sering terasa lebih mentereng dari segi judul dan bentuk, namun agak kedodoran dalam menghadirkan isi.

Saya kira, inilah hasil nyata dari puisi seorang penyair yang gemar mengungkai pepatah lama tentang “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik di negeri sendiri”. Dengan kata lain, puisi-puisi yang dimuat dalam Opera Kebun Lada belum terasa mantap sebagai puisi. Puisi-puisinya merupakan hasil olahan nyata dari seorang penyair yang—meminjam istilah Y. Wibowo sendiri—“keranjingan untuk pulang”.

Dina Oktaviani


Puisi-puisi Dina muncul sejak ia masih duduk di bangku SLTA—bahkan mungkin sejak SLTP. Ada yang khas dalam sajak-sajak Dina, terutama pengucapan lirik yang puitis. Bahkan ada aroma yang tampaknya kita kenal—atau pernah kita kenal dari penyair lain—namun kita seperti kehilangan jejak.

Dina banyak menampilkan dunia perempuan. Hampir semua puisinya menghadirkan aku lirik yang mengalami luka eksistensial. Bagi Dina, puisi tak cuma untaian kata dan kalimat, tapi suara kemanusian yang bisa disampaikan dengan bahana atau diam. Buku puisi Biografi Kehilangan (2006)—kumpulan puisi pertamanya—banyak menyuguhkan sejumlah ketegangan dan kontras yang menyangkut tema eksistensi, tapi bukan ajaran tentang filsafat.

Kenyataan ini mengingatkan kita pada kecenderungan puisi-puisi Forough Farrokhzad—perempuan penyair kelahiran Teheran yang meninggal dunia di usia 33 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di tahun 1967, yang sejak usia dua puluh tahun ia telah berhasil menuliskan perasaan lirihnya terhadap ihwal yang dirasakannya.

Forough Farrokhzad pernah menulis puisi liris yang menggelorakan perasaan, yang diterjemahkan dengan indah oleh Hasif Amini: “Dalam malamku, betapa singkat, sayang/ Angin segera akan bertemu dedaunan/ Malamku betapa singkat betapa sarat kepedihan/ Wahai!/Kau dengarkah bisikan bayang-bayang?/ Di sana, di tengah malam, sesuatu terjadi/ Bulan cemas dan merah/ Dan, bergayut pada langit-langit ini/ Yang mungkin runtuh sewaktu-waktu…”

Dengan gaya dan rima yang berdekatan, Dina Oktaviani mengungkai puisinya dengan baik: “Tuhan pergi, sayang/ ia balikkan punggungnya/ dan kita harus bicarakan ini dengan hati/ aku kini harus selalu menahan duri/ semuanya menawarku sebagai mawar/ dan menusukkan diam-diam/ Tusuklah baik-baik, sayang/ niscaya kujadikan engkau korban yang tenang/ pada hari jumat maupun sabbath/ pada penebusan atau pengkhianatan/ langit tak jauh/ seperti matahari setiap saat dapat tersentuh….”

Membaca kedua puisi itu kita membutuhkan sebuah penghayatan yang mendalam, sebab di dalamnya kita seringkali menangkap sebuah gelora yang begitu intens tentang seorang anak manusia yang merasa kehilangan dan keterasingan. Gramatika yang dibangun dan komunikasi yang berlangsung tampak tidak melantangkan suara, melainkan kediam-dirian yang hening—ibarat seutas tali kebisuan, dimana bunyi bahasa kedua puisi itu hanyalah simpul-simpulnya.

Kita tahu, komunikasi dalam puisi—bahkan dalam keseharian—tidak selamanya terjadi hanya dengan bersuara. Saya ingin mengutip Ivan Illich—kritikus pedagogi kritis yang mungkin tidak pada konteksnya di sini—berdasarkan penafsiran Goenawan Mohamad tentang kata the eloquency of silence: kefasihan dari diam.

Kalau kita percaya bahwa kata-kata adalah bagian dari keberdiam-dirian, begitu kata Illich, maka yang terdengar enak bukan melulu bunyi atau suara, tapi keheningan akan proses batin si pembuat kata itu. Berkomunikasi dengan diam bagaimana pun menawarkan sebuah refleksi—bukan sebuah pengertian—yang terasa lebih intens ketimbang dengan bersuara.

Bila kita tengok dalam puisi-puisi Dina Oktaviani, maka ia tak berusaha untuk membangun gagasan, pengertian, atau mengaktifkan pikiran, melainkan mengutamakan perasaan, imaji, suasana, intuisi, dan pengalaman hidup si aku yang murung. Suasana, lukisan, pemandangan, ilustrasi, gambar, memang begitu dekat dengan dunia sehari-hari atau dunia penghayatan (juga dunia pengkhianatan), yang begitu tipis jaraknya dengan lirik—cara pengucapan pribadi yang jernih yang menawarkan penghayatan dan kepekaan perasaan.

Puisi lirik modern sejak generasi Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, hingga Iswadi Pratama—sekadar menyebut beberapa nama—tampak tidak terlalu tertarik pada pengertian eksplisit karena memang ia milik si lirikus-nya. Puisi mereka mengandalkan keheningan, kesepian, kehilangan, keterasingan, dan bahkan sinisme, karena semua itu merupakan sebuah penghayatan pribadi sifatnya.

Namun lirik Dina lebih jauh menunjukkan ekspresi bahasanya yang menepis pelbagai kata sambung seperti “yang”, “dimana”, “yang mana”, “sebab”, dan kata-kata formulatif seperti “adalah” dan “ialah”, kata-kata pengandaian seperti “bagai”, “laksana”, dan “seperti”, yang sangat jarang kita jumpai pada puisi lirik penyair lain, dan kebanyakan penyair naratif atau puisi dengan gaya bercerita masa kini akan kesulitan menempatkan kata-kata sambung tersebut.

Kendati kata bertele-tele itu banyak muncul dalam puisinya, bahkan kata “sebab” dan “seperti” seringkali muncul di awal kalimat, tapi kata-kata itu sudah mengalami proses pengendapan terlebih dahulu yang tak lagi sekadar pantas, atau sekadar pemenuh garis kalimat. Kata-kata itu—berikut tanda baca dan huruf kecil di awal kalimat—tidak lagi mubajir karena ia telah menjadi satu kesatuan organis. Tanpa membubuhkannya, maka puisinya tak akan bunyi, atau ada sesuatu yang terasa hilang dari keutuhan sebuah sajak.

Kesungguhan Dina dalam menulis puisi juga terbaca dalam upayanya melakukan refleksi dan self-refleksi yang menghasilkan gambaran yang jernih tentang keresahan dirinya. Ia melakukan orientasi dan re-orientasi terhadap apa yang lama terpendam dan nyaris lapuk dalam laci kenangan, kemudian diproyeksikan kembali ke dalam kata puisi. Ia telah memperlihatkan kematangan dalam puisi-puisianya, yang terutama yang kita rasakan dalam keresahan dan pengekangan diri, pengkhianatan, baik pada bentuk ucapan maupun pada sikap hidup aku-lirik.

Kematangan itu terlihat pada pilihan kata dan ungkapan perbandingan yang pekat dengan kehidupan yang secara matang dipertimbangkan. Si aku bahkan tak segan-segan mencemooh dirinya dengan cara menerima ironi, absurditas, ambiguitas, dan paradoks dalam hidup sebagai sesuatu yang “wajar”.

Beberapa sajak Dina dekat dengan sajak Sapardi. Oleh karena itu, tanggapan saya pun terhadap sajak Dina banyak dipengaruhi oleh uraian Sapardi tentang sajak lirik. Kita tahu, Sapardi adalah penyair yang gemar menulis tentang peristiwa hujan sebagai media mengungkapkan pergulatan hidup yang penuh rahasia dan juga keresahan si aku dalam mengungkapkan maknanya atau pencarian yang tak kunjung dapat ia temukan. Metafor hujan merupakan sebuah pertanyaan yang bisa menjadi jembatan penghubung dalam proses pencarian yang membosankan yang berakhir pada krisis kepercayaan si penyair pada hujan itu sendiri (seperti tersirat dalam puisi “Sebuah Natal, Hujan, Penghancuran” dan “Memo Sebuah Kelahiran”).

Dina begitu setia dengan tema kehilangan. Bahkan dalam puisi terbarunya, “Hati yang Patah Berjalan”, “Nyanyian Pemabuk” dan “Aku dan Dunia” yang terbit di harian Kompas (23/7/2006) lalu, begitu intens melukiskan biografi kehilangan dengan kalimat-kalimat pembuka yang terasa menyayat.

Namun, yang cukup mengganggu dalam puisi Dina ketika ia menampilkan kiasan. Di sini ia tak sepenuhnya berhasil membangun jembatan kata yang menghubungkan keseluruhan tema puisinya. Bahkan tak jarang Dina menggunakan kiasan yang terlalu klise dan mengulang-ulang, seperti “hujan”, senja”, “matahari”, “bulan” , “mawar berduri”, yang tampak memenuhi sebagian besar puisinya dalam kumpulan ini.

Usahanya membangun metafora pun terkesan absurd, seperti “lampu-lampu kota menjemputku pulang”, dan “membawa dada dalam kresek”. Namun puisi dengan metafora yang absurd ini justru berhasil melahirkan gaya naratif yang mampu menghidupkan aku-lirik penyairnya.

Saya lebih tertarik puisi Dina Oktaviani yang mampu menyuguhkan semacam umpan-balik pembaca. Dan itu saya temukan dalam puisi “Agoni”, “Jalan Pulang”, “Dongeng tentang Kesetian”, dan “Kado Buat Masa Kecil”. Keempat puisi ini selalu menggoda saya untuk menuliskannya kembali dan mengirimkannya ke teman-teman dekat atau pacar baru. Bahkan puisi itu bisa memenuhi dahaga orang-orang yang sedang jatuh cinta—sesuatu yang mungkin tak disadari oleh si penyairnya sendiri

NAMA DAN MAKNA

Kolom-kolom tentang Tokoh

Oleh: Asarpin





kauajarkan nama-nama benda kepada manusia
lalu mereka saling bunuh memperebutkan makna

kauajarkan makna-makna kepada manusia
mereka pun saling bunuh memperebutkan benda

(Ajib Rosidi, sajak Nama dan Makna)




Daftar isi

Pengantar
I. Bagian I: Nama dan Makna
1. Multatuli
2. Kartini
3. Rohana Kudus
4. Pram
5. PK Ojong
6. Hamka
7. Natsir
8. Amir Hamzah
9. Bung Hatta
10. Bung Karno
11. Sutan Sjahrir
12. Sutan Takdir
13. Soedjamoko
14. Abdurrahman Wahid
15. Nurcholish
16. Kayam
17. Semsar Siahaan
18. Kuntowijoyo
19. Sitor
20. Goenawan (1)
21. Goenawan (2)
22. Sapardi
23. Sitok
24. Afrizal
25. Zen Hae
26. Isbedy (1)
27. Isbedy (2)
28. Iswadi
29. Jimmy
30. Inggit Putria
31. Dina Oktaviani
32. Mahbub
33. Rushdie
34. Adonis
35. Berlin
36. Wiesel
37. Orwell
38. Russel
39. Hawking
40. Dostoyevski
41. Huong
42. Lahiri

II. Bagian II: Kata dan Makna
43. Teater Satu dan Teater Garasi
44. Seni dan Uang
45. Sastra, Waktu, Sejarah
46. Tragedi, Komidi
47. Cinta Iblis
48. Jaringan
49. Matahari
50. Islam dan Jahiliah
51. Sastra dan Psikologi tentang Kematian
52. Anak dan Cermin
53. Bahala Gunung Putri
54. Mengapa Takut Para Pendahulu?
55. Kemerdekaan tanpa cap Berdosa
56. Air
57. Tulus
58. Bangsa jadi Bangsat!
59. Indonesianisasi Istilah
60. Epilog: Segalanya Seolah Tertidur







Bagian I
Nama dan Makna






Multatuli


Sehebat-hebat orang masih saja ada yang kurang. Sebagus-bagus sebuah karangan tetap saja ada yang merasa kecewa sehabis membacanya. Demikian juga dengan Multatuli dan mahakaryanya, Max Havelaar, yang disebut-sebut sebagai roman besar tentang kemanusiaan yang nyaris tak tergugat.

Sejujurnya, aku iri dengan pengarang satu ini. Sebab dia menulis seperti belati, menyayat-nyayat sepi sampai ke ulu hati hingga menimbulkan bunyi-bunyi perih di jantung sendiri. Penanya setajam samurai yang digunakan oleh para prajurit Jepang untuk bunuh diri ketika kalah perang. Atau mirip seperti keris Mpu Gandring yang bertuah dan menimbulkan kutuk.

Kartini—yang menulis surat-surat sangat bagus—tentu saja tahu siapa Multatuli. Dia bukan politikus yang hanya pandai membuat slogan. Tapi dia jelmaan dari spiritualitas pembebasan. Pembawa risalah protes sosial yang dengan lantang menyerukan diberhentikannya kekerasan yang dilakukan oleh mesin kekuasaan.

Saya kira tak cuma saya yang terpesona oleh gugatan bermutu roman Max Havelaar. Di abad ke-19, belum ada pribumi yang bisa menulis prosa sehebat buah pena Multatuli. Bukan mau merendahkan atau merasa inferior dihadapan kebesaran kolonial. Tapi Max Havelaar betul-betul novel yang menimbulkan gempar sekaligus menjadi spirit bagi lahirnya novel-novel realis Indonesia di kemudian hari. Novel-novel realis Pram sedikit banyak dipengaruhi oleh ketajaman intuisi Multatuli. Dan Pram memang sangat terpesona dengan Multatuli sebagaimana ia terpikat dengan kehebatan Kartini.

Para petinggi Belanda konon kebakaran jenggot saat membaca Max Havelaar. Tapi sebagus-bagus sebuah karya, tetap saja akan ada kelemahannya. Studi yang dilakukan Rob Nieuwenhuys tentang Multatuli, yang kemudian diterjemahkan oleh Sitor Situmorang menjadi Hikayat Lebak dan diterbitkan Pustaka Jaya, menampik data-data yang disajaikan Multatuli di buku Max Havelaar. Ia ragu kalau Multatuli memperjuangkan masyarakat pribumi, terutama masyarakat Lebak. Rob menyebut sejumlah mitos yang dilekatkan pada Multatuli ketimbang sejarah atau realitas yang sesungguhnya.

Sementara itu, tak kurang banyak kritikus yang menempatkan Multatuli sebagai ”penyambung lidah rakyat pribumi” dalam memperjuangkan hak dan kemerdekaan dari cengkraman kaum penjajah. Walau tak sampai dipuja, ia sosok yang humanis dan sangat dikagumi Romo Mangunwijaya.

Multatuli dianggap berjasa menyuarakan harga diri orang Indonesia di hadapan kolonial Belanda, bangsanya sendiri. Bahkan ia dianggap telah berjasa mengajarkan orang pribumi untuk berani dan menulis dengan tanpa basa-basi. Kartini, Bung Karno, Pram, Romo Mangun, adalah sedikit orang dari begitu banyak yang terpesona oleh buah penanya.

***

Roman Max Havelaar ditulis oleh orang yang dihantui kritik sosial, yang menghunjam di kedalaman renungan yang tragik sekaligus komik, riang dan murung, pasif dan aktif. Ditulis hanya dalam waktu sebulan, Max Havelaar: Atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda—versi terjemahan dengan baik oleh H.B.Jassin—adalah roman berlatar kemiskinan dan penghisapan petani Banten oleh kolonial Belanda.

Banyak orang menyangka Multatuli adalah orang Indonesia lantaran penguasaannya atas permasalahan yang terjadi begitu dekat dan intim. Siapa sangka bahwa pengarang ini orang Amsterdam dan dibesarkan dalam keluarga Protestan, yang bangsanya harus bertanggungjawab atas penindasan tiga abad lebih di ”bumi manusia”. Karena itu, ketika besar ia sungguh ingin mewujudkan hidupnya sebagai tukang protes. Karya tulisnya dikenal sebagai karya yang bikin panas telinga penguasa kolonial.

Mahakarya Max Havelaar menunjukkan jati diri seorang pejuang nurani yang berpikiran luas, dengan capaian literer yang pahit namun mengagumkan, ambisi melakukan revolusi seorang diri yang agak dilebih-lebihkan, dan begitu yakin kalau kelak ”aku bakal dibaca”.

Tak cuma dibaca, tapi dijadikan senjata bagi massa. Buku ini nyaris menjelma buku Capital versi Indonesia, panduan bagi perjuangan untuk melawan kelaliman penguasa kolonial. Saya termasuk orang yang menyukai gaya cerita Multatuli yang satir dan intens, berani dan berterus-terang. Buah penanya bagaikan ikan mengukir di dasar air, begitu tandas dan menukik.

Orang yang pernah jadi pengawas perkebunan di Sumatera ini, banyak mengetahui apa yang sedang menimpa para petani dengan kebun kopinya. Berhari-hari, bulan berganti tahun, harga kopi anjlok di bawah komoditas lain. Sementara para petani Jawa dan Sumatera nyaris terhuyung di jurang kelaparan akibat kebijakan negara kolonial.

Tapi Multatuli tak cuma dikenal karena Max Havelaar. Penyair mantan Asiten Residen Lebak bernama lengkap Eduard Douwes Dekker (1820-1887) dan meninggal 123 tahun silam ini, juga menghasilkan karya puncak yang cantik: Voledige Werken, yang sudah di-Indonesiakan oleh Asrul Sani dengan sangat menawan berjudul Buah Renungan. Sebut saja ini karya sastra yang mengandung kedalaman renungan, yang merupakan analekta prosa naratif dengan sejumlah tamsil dan alusi Kitab Suci yang ditulis selama 17 tahun (1860-1877).

Buah pena Multatuli adalah prosa debutan yang mengungkai citra manusia di tengah suasana dianiyaya. Karyanya menghadirkan aforisme cantik dengan sangat hemat kata, melalui patahan-patahan kisah realis yang bertemu dengan alegori mistis, satire pahit dan humor segar, sedikit bugar. Di sana-sini muncul tegangan, sulawan dan kenaifan khas fantasi anak-anak. Sosok protagonis dan antagonis yang timbul-tenggelam, baik tentang cerita tragedi dan pengadilan Sulaiman, kisah meluapnya air bah kemanusiaan yang begitu dramatik yang berlangsung di Jawa, orang-orang yang dilenyapkan dari sejarah, surat-surat cinta seorang bahagia dan tak bahagia, pertanyaan menggelitik tentang kebisuan umat Kristen dan sindiran jenaka tentang takdir dalam Islam, dan yang paling menggetarkan adalah pertanyaan: “Apakah seorang wanita manusia atau bukan manusia?”

Selama ini aku mengira hanya feminis Simone de Beauvoir di tahun 1945 yang karena jengkel oleh hukum di Prancis pasca-revolusi yang pernah menghadirkan frase semacam itu. Namun di Jawa abad ke-19, jauh sebelum pasangan Jean Paul Sartre itu lahir, Multatuli telah menggugat dengan maksud menyuarakan apa yang kini jadi perhatian luas di kalangan gerakan feminisme. Dan seorang perempuan pengagumnya, yang juga dari kalangan pembesar istana di Jawa pada paruh pertama abad ke-20, Kartini, pernah juga menulis hal senada.

Multatuli seorang stilis yang telah menghasilkan prosa dengan tebaran mega aforisme-apotegma, yang kadang membuat kita tersentak olehnya lantaran si penyair yang pernah menjabat kontrolir di Sumatera Barat ini begitu piawai mengungkai gaya repetitif lewat susunan kata antara bernyanyi dan lirih-bening dengan tidak membosankan. Ketika emosi sedang meluap, kata-kata seperti bermain bola, bercepat dan sungsang ke sana kemari namun tidak marah, yang diikuti oleh nadanya yang tiba-tiba berganti tenang, lirih, kadang tampak diam dengan isi yang jauh dari tetek bengek kehidupan politik.

Bagaimana membayangkan seorang Multatuli yang sering disebut pengarang protes lewat kata-kata yang tenang-lirih ini: “Tuhan membuat sebutir pasir, dengan beberapa ekor binatang di atasnya, lebih besar sedikit dari melata yang lekat pada debu yang kita jentikkan dari sepatu. Pernah suatu masa tidak ada apa-apa. ‘Tidak ada apa-apa’ jadi berarti: ada sesuatu yang kosong. Tapi bukan hewan-hewan yang telah membuat buku tebal itu, butir-butir pasir lainnya, yang menyenangkan butir kecil, dan yang mereka lakukan berputar-putar sekitar butir kecil itu: Kau kenal seekor tikus, Fancy, yang diam di sebuah keju Edam?”

Analogi dan parodi yang digunakan Multatuli jauh dari kesan mengakar pada kebanyakan rakyat, dan bagaimana analogi hewan dan keju Edam itu akhirnya terkuak dalam teka-teki tentang binatang berkaki dua yang berawal huruf m yang berasal dari India. Dan itulah manusia, kata Multatuli. “Prosa hewan-hewan” itu adalah kias yang cerdas tentang kerakusan manusia akan kekuasaan.

Sungguh tak gambang menerkanya, mungkin karena gelap dan gumunnya, maka buah renungan Multatuli menghadirkan lautan makna yang tak kering walau berjuta pembaca telah menimbanya. Karena dalam sebuah surat-menyurat antara Max, Fancy dan Tine (tiga nama yang nyata sekaligus khayal), kita disuguhkan alunan nada gelak tersembunyi dan tragedi yang menghunjam kedalaman makna, dengan gaya bahana dan diam berganti-ganti, atau perihal kegetiran orang-orang Jawa dianiyaya dengan ceruk-ceruk psikologi tragedi perang Troya, tragedi Voltaire, promosi karya Doa Seorang yang Tak Tahu yang disebut oleh sang narator “karya Multatuli yang gila dan penyair edan”.

Dengarkan pula untaian pena paling pribadi ini: “Belilah, pembaca, belilah karyaku ini! Anda yang membiarkan Nabi-nabi hidup lebih lama, supaya bisa disiksa”. Atau: “Pembaca, anda yang mengatakan bahwa anda siap untuk menyalib Kristus seperti dilakukan orang Yahudi”. Atau, “Belilah, aku sudah cukup menderita untuk dapat bicara dengan nada yang riang. Dan sekiranya anda tidak puas dengan nada tinggi pikiranku, anda sepakkan dari dadaku. Katakanlah seperti kemarin, kemarin dulu, seperti dulu: Bagus sekali tulisan orang itu, Kawan. Kuberikan sekian untuk kulitnya, sekian untuk lagunya! Bernyanyilah sedikit lagi! Tulislah sedikitlah! Bicaralah sedikit lagi! Pembaca, aku benci sekali pada anda”.

Atau yang ini: “Belilah, aku punya kekuasaan untuk mengusap dan menggelitik, hingga anda jadi begitu gila dan lupa harga kopi anda, hai orang Belanda—yang kolot dan yang modern—belilah, pesan, bayar, sebarkan uang untuk sedikit lagu-lagu cinta dan jiwa yang bernyanyi-hidup”. Atau uraian berlagak “teori sejarah” mengenai napak tilas kekuasaan dari satu sampai sembilan, ucapan sang istri yang cerdas-jenaka kepada suaminya yang nyaris putus asa bekerja tak dapat apa-apa, dengan ironi sejarah yang khas dan menggelitik.

“Kenapa kau murung? Bukankah kau sudah memperhubungkan bakat yang kauletakkan dalam pangkuanku? Kenapa kau? Kita kaya, dalam kecintaan, kaya dalam kemuliaan. Kenapa kau? Kemiskinan? Dusta? Kita kaya, Max, kaya sekali! Lihat pepohonan itu, alangkah hijaunya. Lihat bentang alam yang manis, yang kerja secara sukarela tanpa susunan kebudayaan sedikitpun...Oh, aku tahu, aku akan membuat kau tersenyum, Max”.

Dan yang tak kalah tragiknya adalah kisah tentang banjir besar kemanusiaan. Jika anda pernah membaca sajak dramatik Goenawan Mohamad berjudul Nuh, yang mengungkai kedalaman peristiwa kekerasan yang tragik dan murung lewat imaji bandang kemanusiaan itu, maka bandingkan tragedi banjir darah manusia dengan imaji Multatuli yang berkisah “air bah pegunungan yang raksasa-berkuasa, yang menghanyutkan segala di jalanan, yang membengkokkan pepohonan dan laik dedaunan dan yang meratakan hutan-hutan rimbun”. Ada atau tiada peristiwa bandang itu, tidaklah penting amat dipikirkan.

Dalam tragedi yang dilukiskan Multatuli sedahsyat tsunami Aceh itu, tak disangka-sangka menyembul kearifan tersembunyi yang bisa jadi soko guru bagi bangsa yang sedang karam di segala bidang. “Oh, alangkah eloknya jika semua bangsa punya kenangan tentang air bah yang terjadi pada permulaan sejarah mereka, air bah yang memberi kekuatan maha kuasa dan kelemahan manusia”, yang “desau lembab dari semua meminta perhatian dengan pendengaran hati para penyair, yang mendengar seruan histeria meminta—seruan yang telah diterjemahkan oleh bangsa-bangsa yang masih bersahaja: ’Dengarkan bagaimana Tuhan telah bicara...! Para penyair telah mengira-ngira dan para pendeta memanfaat ketakutan.”

Tak heran jika Multatuli begitu penting bagi sebagian pengarang Indonesia. Apa yang dicatatnya dapat tempat di lubuk orang Indonesia. Apalagi ketika sedang mengekspresikan nujuman zaman edan kedua, dan tampaknya hanya dialah yang pantas jadi pewaris Ronggowarsito yang karyanya berdepan-depan dengan zaman, atau—mengutip kata-kata Multatuli sendiri dalam Max Havelaar—itulah “tanda-tanda zaman”.

Di tengah kekalutan bangsa pribumi menghadapi cakar-cakar kolonial, datang sebuah bencana yang separuh manusia terkesima. Bumi menggelegar, udara diperas menyatu-luruh-larut, orang-orang tersengal-menggantung sekarat, telinga mendesing seolah-olah kiamat.

Kaudengar bunyi penuh nada mengerikan
Memenuhi lembah dirasuk ketakutan?
Inilah suara garang air bah
Yang di lekuk gunung sedang memecah.
Awan, yang ia peroleh untuk tempat tetirah
Membebaskan diri dari kandungannya kini
Lalu mengirimkan sesajen pada arus yang mandiri
Tiada terbendung dalam kecepatan berlipat
Ia datang laik kuda maju mengimbangi topan
Berlomba menuruni tanah tanah terban!
Ia datang, air terjun yang kelam,
Yang kuasa menghancurkan karang,
Merenggutkan pepohonan dari mahianya
Lalu dengan bahasa terompet perang
Yang menggema ke mana-mana,
Mencipta danau di lembah gemetaran.

Kartini


“Perempuan sundal!” hardik salah seorang peserta diskusi tentang Kartini beberapa tahun lalu. “Perempuan jalang, perek, najis, yang kerjanya mengajak perempuan untuk selalu melawan laki-laki….yang sama sekali tak pantas dinobatkan sebagai pahlawan”.

Demikian. Di tengah dunia yang baru saja meninggalkan gelap dan baru memasuki alam yang sedikit benderang, masih saja ada orang yang mencaci-maki dengan keji tokoh perempuan yang dianggap berani menyuarakan harga diri dan berjasa memberi roh dan nyawa bagi gerakan feminis pribumi ini.

Caci maki dan hujatan terhadap Kartini sudah ada sejak lama. Tapi menurut saya, kritik semacam itu terlalu berlebihan, sebab tokoh ini berusaha keras untuk mengajak kaumnya agar hidup dengan merdeka dan selalu berusaha memperjuangkan kemerdekaan perempuan dari perbudakan.

Saya ragu apakah orang yang masih berpikiran picik macam itu pernah membaca dengan baik surat-surat Kartini. Anggaplah mereka membaca surat-surat yang bergaya itu, tapi karena memang mereka berangkat untuk menolak segala yang diucapkan tokoh kita ini, mereka pun tak menemukan pencerahan apa-apa kecuali perasaan marah yang kian menggumpal.

Surat-surat Kartini memang bukan buku yang sistematis, tapi lebih tepat disebut kumpulan surat upaya atau esai yang sangat pribadi sifatnya. Surat-surat itu telah dikumpulkan menjadi sebuah buku berbahasa Belanda, dan kemudian diterjemahkan ke Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane (1957).

Surat pertama Kartini tercatat tanggal 18 Agustus 1899 yang mempersoalkan kemerdekaan dan kebebasan: inilah sebuah tema penting, baik dalam filsafat maupun kesusastraan. Sementara surat terakhir bertanggal 10 Agustus 1904 yang lebih terasa sebagai surat pengakuan tentang keresahan jiwa seorang perempuan pribumi.

Semangat zaman yang melatari surat-menyuratnya tak bisa dilepaskan dengan persoalan feodalisme dan kolonialisme yang sedang bercokol di bumi pribumi. Kartini hidup ketika secara telak tanah Jawa telah dikuasai oleh Belanda. Kekalahan pangeran Diponegoro dalam perang lima tahun (1825-1830) melawan Belanda, merupakan titik kegelapan dan pukulan terberat bagi bangsa Indonesia.

Kartini hidup ketika Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1820-1887) telah menjadi tokoh sentral dalam dunia pemikiran dan pergerakan Indonesia sejak terbitnya Max Havelar. Kartini meninggal 17 September 1904, ketika Bung Karno baru berumur tiga tahun, dan Bung Hatta baru berusia dua tahun, di mana Belanda baru saja mengalami pendinginan arah invasi teritorial setelah menghadapi perjuangan sengit rakyat Aceh yang baru berakhir tahun 1904.

Dalam skala global, awal abad 20 itu ditandai dengan kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang 1905 yang kemudian ditandai dengan kebangkitan Asia atas dominasi bangsa-bangsa kulit putih. Cina menghapus Dinasti Manchu dan gerakan kebangsaan mulai tercetus di Indonesia. Boedi Oetomo lahir di Sekolah Kedokteran STOVIA (1908), sementara di Bukittinggi rakyat sedang menghadapi Perang Kemang dengan Belanda. Syarikat Islam menyusul dipelopori kaum pedagang (1912) dan pada tahun yang sama berdiri organisasi keagamaan Muhammadiyah. Indische Partij lahir di kalangan menengah atas, disusul dengan gelombang kebangkitan pemuda dalam Jong Java (1915) dan Jong Sumatranen Bond (1917).

Begitulah semangat zaman melatari awal abad ke-20 yang baru saja menampakkan sinarnya, di mana Kartini telah memberi andil, sumbangan, terutama bagi perdebatan mencari identitas kebangsaan dan keindonesian di bawah panji-panji politik kolonial.

Emansipasi Pendidikan

Sebagai kumpulan surat, buku Kartini mengandung beragam tema. Salah satu tema paling dominan adalah pendidikan. Dalam suratnya tanggal 21 Januari 1901, tokoh ini telah lama memikirkan dan merenungkan persoalan pendidikan bagi rakyat bumiputera. Untuk mencapai cita-citanya, ia membekali dirinya dengan cara terus mengamati dan membandingkan pendidikan yang diterapkan untuk rakyat Indonesia dengan sistem pendidikan Belanda. Ia memang sempat terpukau terhadap sistem pendidikan Belanda yang modern, hingga membuatnya menggebu-gebu untuk bisa melanjutkan pendidikan ke Eropa. Namun kemudian dari surat-menyuratnya dengan Abandenon atau Stella, ia melihat bagaimana pendidikan Belanda ternyata memiliki kekurangan. Wataknya begitu guyah, doyong dan tidak seimbang. Pendidikan Belanda lebih banyak mengedepankan akal pikiran seraya mencampakkan dimensi batin.

Kartini terus bertanya, menggugat, dan menyelam ke dalam kesadaran batinnya sendiri, hingga ia sampai pada ketegasn pendirian: “Pendidikan itu ialah mendidik budi dan jiwa”. Tujuan pendidikan baginya adalah bagaimana menumbuhkan sikap kasih dan adil pada manusia. Sistem pendidikan yang diterapkan Belanda untuk rakyat bumiputera hanya memunculkan ketidaksetaraan dan ironi yang begitu mencolok. Baik ketidaksetaraan tentang karir, gaji, maupun ketidaksetaraan dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan.

Tanggungjawab seorang pendidik atau guru, bagi Kartini, bukan hanya bertanggungjawab mencerdaskan pikiran. Baginya, orang yang cerdas pikirannya, mengetahui seluk-beluk ilmu pengetahuan, tidaklah merupakan jaminan bahwa orang tersebut bermoral. Pendidikan yang hanya mengedepankan akal pikiran tak ubahnya seperti lagu Ginonjing (berasal dari kata gonjing, yang artinya, guyah, tidakseimbang). Pendidikan jiwa atau kerohanian itu ia dapatkan dari kecintaannya akan seni dan sastra, terutama ketika ia mendengarkan dan menghayati alunan Ginonjing—gending yang diiringi gamelan yang selalu didengarnya.

Dalam suratnya yang lain Kartini bertanya: siapakah yang mampu mewujudkan sistem pendidikan budi pekerti dan jiwa manusia? Ia menjawab: perempuan, ibu, karena pada ibu itulah manusia mendapatkan pendidikan pertama kalinya. Perempuan adalah “soko guru peradaban”.

Agama sebagai Pembebasan

Agama, sebagai harapan satu-satunya untuk membebaskan kaum perempuan bumiputera dari keterbelengguan, ternyata justru hadir dengan wajah yang menindas. Sistem perkawinan, sitem perceraian, sistem pembagian harta waris dan zakat yang rigid dan diskriminatif, lebih banyak merepresentasikan keinginan kolonial dan laki-laki ketimbang harapan kaum bumiputera dan kaum perempuan.

Bila kini kita membuka kembali surat-menyurat Kartini, maka sangat terasa gugatan terhadap agama yang kian kehilangan semangat emansipasinya. Kartini telah menunjukkan kepada kita betapa sistem patriarki yang bertamorfosis dengan sistem feodalisme dan kolonialisme, ternyata tidak hanya telah merendahkan derajat kaum perempuan bumipuetara, namun juga telah menempatkan perempuan sebagai abdi kaum penjajah.

Dalam surat-menyuratnya tampak tergurat di situ nada sastrawi yang satire dalam memandang hidup. Ia begitu gamang dan gelisah dalam menempatkan buah pikirannya di tengah arus besar perubahan sejarah negeri pascakolonial, mulai dari persoalan filsafat, agama, sastra, budaya, sejarah, hingga ke persoalan (kuasa) bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda.

Barangkali tak berlebihan jika kita menempatkan Kartini muda sebagai seorang feminis yang mampu mengedepankan olah rasa dan jiwa dalam memandang agama dan sastra. Ia begitu terluka, dan luka itu disebabkan di antaranya oleh agama. Dalam salah satu suratnya bertanggal 6 Nopember 1899 yang ditujukan kepada nona Zeehandelaar, secara bertubi-tubi Kartini menggugat persoalan agama dan Tuhan. Kartini menulis:

“Ja Tuhanku, ada kalanja aku berharap, alangkah baiknja djika tidak ada agama itu, karena agama itu, jang sebenarnja harus mempersatukan semua hamba Allah, sedjak dari dahulu-dahulu menjadi pangkal perselisihan dan perpertjahan, djadi sebab pekelahian berbunuh-bunuhan jang sangat ngeri dan bengisnja”.

Setelah hampir satu abad sesudah tulisan Kartini itu, kini kita menyaksikan juga gugatan senada terhadap agama dari seorang feminis India, Taslima Nasrin, dalam novelnya yang fenomenal, Lajja (1993): “Biarlah tak ada kuil, masjid, gereja, dan pagoda. Dan setelah semuanya dihancurkan akan dibangun di atas reruntuhan itu taman-taman penuh bunga indah dan sekolah untuk anak-anak”, tulis Nasrin.

Baik Kartini maupun Nasrin, keduanya melihat penyelewengan dan kemerosotan agama bukan dari sebuah pembacaan tanpa realitas, tapi keduanya menyaksikan dari dekat bagaimana agama telah dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. “Benarkah agama itu restu bagi manusia”? tanya Kartini dalam suratnya yang sama. Ia ragu, bukan karena ia tak percaya bahwa di dalam agama masih terkandung kebaikan dan rahmat bagi manusia dan alam, tapi ia terlanjur menyaksikan “betapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu”, tulisnya.

Dalam suratnya bertanggal 15 Agustus 1902, ia kembali menggugat agama, dan kali ini gugatannya ditujukan pada orang-orang yang gemar membaca Qur’an tapi tak tahu artinya, dan Kartini berkata “Aku tiada hendak lagi beladjar membatja Qur’an”. Tuhan pun kembali disebut-sebutnya, dan dengan tegas ia berkata: “Tuhan kami ialah hati sanubari kami, neraka dan surga kami ialah sanubari kami. Bila kami berbuat salah, sanubari kami menghukum kami, bila kami berbuat baik, maka sanubari kami memberkati kami”.

Tak berhenti di situ, Kartini pun tak tanggung-tanggung mengarahkan penanya kepada kaum muslim, dan ia juga mengatakan dirinya turunan muslim, akan tetapi “Tuhan Allah hanyalah kata seruan, sepatah kata, bunyi yang tiada arti dan rasanya”, tulisnya.

Dengan demikian, ungkapan-ungkapan yang bernada dekonstruksi terhadap agama itu telah menempatkan Kartini dalam barisan tokoh kritis dalam memandang agama yang tentu tidak semua kaum muslim sepakat. Kendati agama dan Tuhan bertubi-tubi digugatanya, namun pada akhirnya Kartini menemukan semacam “kebenaran” dari proses pencariannya, terutama lewat pengakuannya yang jujur bahwa “kami telah menemukan Dia; karena kini ini kami tahu—kami rasa, bahwa senantiasa ada Tuhan dekat kami, dan mendjagai kami. Tuhan itu akan mendjadi penolong, pembudjuk hati, tempat kami berlindung didalam kehidupan kami jang akan datang; sudah terasa oleh kami” (Surat bertanggal 15 Agustus 1902).

Kartini menolak agama yang dijadikan legitimasi oleh sebagian orang untuk berperang atas nama Islam dan Kristen. Taslima Nasrin menyaksikan dari dekat bagaimana Islam, Kristen, dan Hindu saling membenarkan perang dan menghancurkan kemanusiaan di India dan Bangladesh. Kedua feminis ini begitu terluka menyaksikan kalangan agamawan yang masih terus-menerus menjadikan agama yang terorganisir sebagai sandaran teologis dalam perang dan mengukuhkan sistem patriarki warisan feodalisme Jawa dan kasta di India.

Dalam suratnya tertanggal 13 Agustus 1900, yang ditujukan kepada Abendanon, Kartini mengkritik Islam yang melegitimasi poligami dan pembodohan terhadap perempuan. Demikian pula dalam suratnya bertanggal 23 Agustus 1900 yang ditujukan pada Zeehandelaar, gugatannya terhadap sistem perkawinan, serta gambaran betapa sulitnya seorang istri yang meminta cerai kepada suaminya, kendati harus mengemis berkali-kali, merupakan contoh gugatan Kartini terhadap agama, yang belakangan begitu semarak diproduksi oleh kaum feminis.

Sudahkah semua kegelapan agama itu melahirkan cahaya terang di antara kita? Jawabnya tentu sangat pesimis. Sistem perkawinan dan perceraian dalam Islam yang dikritik Kartini satu abad lampau masih belum berubah. Kaum perempuan masih tetap mengalami kesulitan yang besar ketika harus meminta cerai kepada suaminya. Poligami masih terus diproduksi atas nama Tuhan dan teladan nabi. Sentimen dan perang atas nama agama masih terus berlangsung di berbagai daerah dan dunia.

Agaknya, bagi Kartini keprihatinan abad ke-20 merupakan turunan langsung dari zaman pencerahan Eropa dan modernisme yang telah melanda Asia. Kartini hidup di penghujung abad ke-19 dan awal abad 20 yang ditandai dengan merebaknya paham feminisme dan modernisme, yang ikut melahirkan berbagai macam pemberontakan di bidang agama dan sastra, kritisisme, penarikan diri terhadap konsensus.


Kartini dan Simone de Beauvoir

Saya sampai pada perbandingan tentang emansipasi Kartini dengan pemikiran Simone de Beauvoir (1908-1986)—feminis sekaligus filsuf perempuan terkemuka di Prancis abad ke-20. Membandingkan Kartini dengan Beauvoir sepintas terkesan berlebihan dan mengada-ada.

Beauvoir dianggap sebagai feminis berhaluan radikal karena gugatannya terhadap laki-laki dan sistem patriarki terasa menghunjam ke jantung persoalan. Buku Beauvoir yang terkenal, The Second Sex, telah diterjemahkan ke Indonesia tahun 2003 dan mendapat sambutan cukup antusias di kalangan aktivis perempuan Indonesia.

Bila disimak lebih intim, emansipasi Kartini punya kesamaan dengan emansipasi Beauvoir. Dan kita tahu: Beauvoir dikenal luas sebagai perempuan yang “berbahaya” karena menulis dengan sangat bagus dan kritis. Buku The Second Sex terbit pertama kali di Prancis tahun 1949 dan sejak itu nama Beauvoir kerap kali jadi buah bibir di kalangan penulis Eropa. Beauvoir memandang seorang perempuan tidak ditakdirkan untuk menikah dan punya keturunan. Perempuan selibat di mata Beauvoir justru menjadi penting sebagai pembebasan kaum perempuan dari hegemoni laki-laki.

Kartini, kita tahu, dalam surat-menyuratnya dengan sahabatnya di Eropa, begitu keras mengkritik sistem perkawinan dalam Islam dan awalnya menolak pernikahan. “”Saya terkurung dalam kamar rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia sekeliling; saya tak boleh keluar rumah bila tidak bersama suami, seorang laki-laki agung yang asing bagi kami, yang dipilih orang tua kami untuk kami; dikawinkan dengan kami dengan tiada sepengetahuan kami”, tulis Kartini kepada Estella Zeehandelaar pada 25 Mei 1899. Kartini mengucap rasa syukur berulang-ulang bahwa “saya sudah tinggalkan terunggu dan belenggu itu, dan tak ada suami yang dipaksakan kepada saya”.

Namun, entah mengapa, dalam suratnya sejak tahun 1903, Kartini tiba-tiba berubah dan mengambil keputusan untuk menikah dengan lelaki yang justru pernah punya 4 istri dan tak lagi mempertimbangkan pertanyaan Estella Zeehandelaar—seorang feminis sosialis yang pertama kali membuka perbincangan dengan Kartini. Seorang feminis pendiri yayasan Karyanamitra menduga bahwa Kartini dipaksa orang tuanya untuk menikah.

Saya melihatnya tak hanya itu, tapi ketaatan masyarakat pribumi yang begitu kuat kepada bapa dan Bapa itu, bahwa seorang ayah mesti dihormati dan dituruni apa maunya, telah ikut memengaruhi jalan pikiran Kartini. Seiring dengan politik etis dan politik balas jasa yang diterapkan kolonialisme, juga ikut mengubah pandangan Kartini tentang perkawinan yang semula sebagai hal yang mungkin tidak diakuinya, menjadi hal yang mungkin ya diikutinya.

“Saya berkehendak bebas, supaya mandiri, supaya tidak tergantung pada orang lain, supaya tidak…supaya tidak sekali-kali dipaksa kawin…tetapi, kawin, kami mesti kawin, mesti, mesti!” gugat Kartini. “Ke mana pun perempuan melangkah, garis akhir selalu berwujud pernikahan”, kata Beauvoir seakan mengiyakan, padahal: “pernikahan sama artinya dengan mempertahankan dominasi laki-laki, karena pernikahan memang ingin dipertahankan kaum jantan”, lanjutnya. Beauvoir menaruh perhatian pada individu yang justru tidak digambarkan sebagai sosok yang bahagia, tapi pribadi yang merdeka.

Kartini mengenal kata emansipasi jauh sebelum nama itu dikenal di pulau Jawa atau Nusantara, dan sepatah kata itu terus mengeram dan beranak pinak di benaknya hingga ia pun mengucapkan: “hidup dalam hati saya suatu keinginan, yang makin lama makin menggumpal; keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri”, tulisnya dalam surat bertanggal 6 November 1899 ketika usianya baru 20 tahun. Kepada Stella—nama panggilan yang akrab dipakai Kartini untuk Estella Zeehandelaar—dalam surat yang sama, Kartini menegaskan: “mengertilah engkau, apa sebabnya sekarang aku sangat benci perkawinan”. Di Prancis Beauvoir dalam usia belum genap 40 tahun menggemparkan Eropa dengan frasenya yang terkenal: “Seseorang tidak dilahirkan melainkan jadi perempuan”.

Juga tak disangka-sangka meluncur pula sebuah frase dari pena Kartini: “Dan kawin di sini, aduh, dinamakan azab sengsara masih terlalu halus! Betapa pernikahan tidak disebut melebihi azab sengsara, kalau hak seluruhnya berada pada laki-laki dan tak sedikit pun untuk perempuan”. Beauvoir menyebut perempuan bukan suratan biologis, bukan psikologis atau ekonomis, yang menentukan sosok manusia perempuan mengada dalam masyarakat, tapi peradaban sebagai suatu kesatuanlah yang melahirkan makhluk bernama perempuan. Kartini bilang bahwa peradaban bangsa Jawa tidak akan berubah selama kaum perempuan dijauhkan dari partisipasi membangun bangsa; pekerjaan membangun peradaban harus melibatkan perempuan karena perempuan adalah “soko guru peradaban”.

“Jika perempuan menyerah kawin, ia budak; jika ia menolak kawin, ia merana kesepian…gadis yang tidak menikah adalah aib bagi masyarakat dan kelahiran bayi di luar pernikahan adalah noda bagi si anak”, tegas Beauvoir yang melampiaskan kejengahannya terhadap sistem perkawinan yang berlaku di Prancis. “Tiada bersuami adalah dosa besar yang mungkin diperbuat perempuan Islam; dosa mahabesar yang mungkin tercoreng di muka seorang anak gadis Bumiputra dan keluarganya” tulis Kartini. “Perkawinan adalah takdir tradisional yang dititahkan pada perempuan oleh masyarakat” kata Beauvoir. “Kerja yang serendah-rendahnya lebih baik dan senang hati, asalkan aku tidak menikah dan aku bebas”, tulis Kartini yang seakan menegaskan bahwa kerja di luar rumah bagi perempuan adalah pembebasan.

Kebanyakan perempuan lajang atau selibat dikatakan frustrasi dan pemberontak, kata Beauvoir. Tetapi kerja juga, khususnya di Prancis tahun 1940-an, bagi Beauvoir dalam The Second Sex bagian kedua; bukan lagi sebagai pembebasan bagi perempuan: “Bekerja, sekarang, bukanlah pembebasan. Hanya dalam dunia sosialis perempuan akan mendapatkan emansipasi dan karir sekaligus. Mayoritas kaum pekerja kini dieksploitasi”.

Baik Beauvoir maupun Kartini, melihat adanya dua alasan mengapa pernikahan sering jadi kewajiban negara dan agama dan sering dipaksakan pada perempuan: pertama, perempuan dianggap harus memberi keturunan dalam masyarakat—bahkan dalam masyarakat yang tak mengenal peran umum paternal pun mengharuskan perempuan untuk bersuami. Kedua, pernikahan menjadi kewajiban karena alasan fungsi perempuan untuk memuaskan kebutuhan seks pasangannya, sekaligus mengurusi tetek bengek kebutuhan suaminya. Periode di mana keduanya hidup—dari sudut pandang femenisme—merupakan “periode transisi” (Beauvoir), “masa perubahan; masa kuno beralih menjadi masa baru!” (Kartini).

Bagi Beauvoir, hanya sebagian populasi perempuan yang termasuk dalam masyarakat yang masih kuno dan mempertahankan sesuatu yang antik yang dapat bertahan hidup; dan pernikahan modern dapat dipahami hanya jika dipandang dari masa lalu yang cenderung berlangsung sebagian itu. Perempuan jarang bisa membangun hubungan yang bebas dan setara dengan pasangannya; perempuan selama ini biasa membangun ikatan yang karena laki-laki tak punya keinginan/kehendak untuk mengangkatnya. “Perempuan menunjukkan pada laki-laki sikap cinta, perempuan yang jatuh cinta”, tulis Beauvoir.

“Cinta, apakah yang kami ketahui tentang perkara cinta?” tanya Kartini sambil melanjutkan: “Bagaimana mungkin kami akan sayang pada suami dan suami sayang kepada kami, jika sebelumnya tak pernah kami kenal, apalagi bercinta”. Di mata Kartini, laki-laki pribumi tak ubahnya candu dan bahkan sebagai penyakit sampar yang menghuni Nusantara. “Aku sama sekali tak bisa menaruh cinta, karena cinta harus menaruh rasa hormat, dan aku tak dapat menghormati lelaki muda Jawa”, tandasnya.

Sambil mengutip definisi cinta dari Nietzsche, Beauvoir beralasan mengapa menolak cinta, karena kata cinta memiliki arti yang sama sekali berbeda bagi kedua jenis kelamin, dan ini menyebabkan kesalahpahaman serius yang memisahkan mereka…apa yang perempuan pahami dari cinta adalah cinta tidak hanya soal kesetian, tapi penyerahan total akan tubuh dan jiwa, tanpa pamrih, tanpa harapan mendapatkan imbalan apa pun.

Dalam kacamata Beauvoir, abad ke-20 bukanlah jaman laki-laki dan perempuan yang sering dimanipulasi sebagai simetris itu, tapi jaman kehadiran “malaikat”—yang seakan menegaskan tesis Walter Benjamin yang membuat para petualang dan flaneur (pelancong) berhamburan dari kota Paris ketika "malaikat sejarah" gentayangan.

Kita tak dapat membayangkan seandainya Kartini dan Beauvoir benar-benar tidak menikah. Dan sejarah gerakan feminis mungkin akan bermakna lain. Namun apa hendak dikata; sejarah ternyata justru menyaksikan kedua feminis ini masih dalam pelukan sang suami tercinta. Beauvoir memang tidak menikah secara legal-formal, tapi ia tidur serumah selama bertahun-tahun dengan Jean-Paul Sartre.

Gambaran umum perempuan yang disebut Beauvoir sebagai mitos kejantanan yang menggiurkan jalan pemberontakan dan petualangan perempuan itu, seketika menjadi teka-teki dan tanda tanya besar ketika ia menikah dengan Jean Paul Sartre.

Kartini seakan menelan kembali tinta yang telah tumpah dalam suratnya di tahun 1899 ketika ia menyanjung-nyanjung suaminya yang telah beristri 4 itu sebagai lelaki berbudi dan mulia. Dan Beauvoir tak mampu keluar dari tatapan Jean Paul Sartre dan memutuskan untuk hidup seranjang bersama filsuf radikal ini selama separuh abad.

Beauvoir yang paling lantang menggugat filsuf laki-laki itu justru masih sering menyandarkan gagasan pada tesis kaum laki-laki; tak hanya Nietzsche yang jadi sandaran dalam The Second Sex, tapi pada bagian akhir ia merujuk Karl Marx tentang teori kesetaraan laki-laki dan perempuan secara alami, kendati diberi anotasi kritis oleh Beauvoir, namun dengan tumbangnya komunisme dunia terbukti bahwa teori emansipasi dan kelamiahan dari sosialisme tidaklah terbukti.

Pandangan renaissance Eropa dan Revolusi Prancis yang membentuk sikap pemberontakan Kartini yang radikal, seperti dikatakan Pram dalam Panggil Aku Kartini Saja, rupanya tak cukup membuatnya teryakinkan karena karena di Prancis sendiri sebelum tahun 1942, seperti kata Beauvoir, hukum justru mengharuskan istri patuh pada suami dan orang tua. “Hukum dan tali peranti Prancis sebelum 1942 masih memberi lelaki kekuasaan besar”.

Akhirnya, esai tentang perempuan yang ditulis laki-laki ini semoga jauh dari manuver yang pernah digambarkan Balzac dalam suatu konseling yang justru memperlakukan perempuan sebagai pundita ratu untuk menindasnya. Apa yang telah saya uraikan di muka bukanlah sebuah kilah untuk meyakinkan diri saya sendiri dengan berpura-pura bahwa perempuan betul-betul diistimewakan. Apa yang ditulis oleh laki-laki mengenai perempuan selama ini memang penting untuk terus kita cermati, karena laki-laki bagaimana pun memiliki andil besar sebagai kadi sekaligus penuntut umum dalam perkara perempuan.


















Rohana Kudus


Surat kabar Sunting Melayu di Kota Gedang, Sumatera, pada edisi 23 Mei 1913 menurunkan sebuah tulisan seorang perempuan yang menggugah dan menggugat, dengan judul Setia Gerakan Perempuan zaman ini. Saya kutipkan di sini:

“Apabila diperhatikan bagaimana gerakan bangsa waktu ini, dan diperbandingkan dengan gerakan Hindia dan difikirkan bagaimana gerakan Sumatera waktu ini, maka tahulah kita bahwa masih jauh jalan yang kita tempuh ke padang yang bernama kemajuan. Akan tetapi hal ini janganlah disia-siakan, terutama bagi orang-orang yang berperasaan cinta, kasih dan sayang kepada bangsa dan tanah airnya.
Hingga waktu sekarang telah kelihatan benar bagaimana pergerakan bumiputera hendak meniru gerakan bangsa Eropa yang telah maju.
Sepakat mendirikan perkumpulan dan lain-lain mengenai pelajaran. Di alam Minangkabau kita ini sudah pula membunga dengan mendirikan beberapa perserikatan.
Biarpun banyaknya perserikatan terutama buat laki-laki, akan tetapi marilah bangsa perempuan berani minta terima kasih kepada ahli-ahli supaya kita dihelanya dari lembah kegelapan ke jalan yang terang. Beberapa tempat telah bertambah juga murid-murid perempuan dan belajar dengan rajinnya. Kita harapkan mudah-mudahan sekalian bangsaku Melayu yang ingin akan kemajuan dan keselamatan negeri dan bangsa serta tanah airnya, akan memperhatikan hal ini”.

Kata-kata itu keluar dari nurani perempuan, yang dalam sejarah pernah memimpin surat kabar Sunting Melayu, tempat tulisan itu dimuat. Dia bukan Kartini, walau nada bicaranya ada kemiripan. Dia perempuan Minang, masih bersaudara dengan mantan Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, juga masih ada hubungan kerabat dari nenek dengan H. Agus Salim.

Namanya Rohana Kudus. Tokoh yang satu ini terhitung istimewa karena penanya sangat tajam dan pilihannya menjadi wartawan sungguh mengagumkan. Ia seorang jurnalis yang bersungguh-sungguh mencintai dan menghayati profesinya. Ia menjadi penting, selain karena ia jurnalis perempuan pertama di Sumatera, bahkan di Indonesia, juga sebagai pendidik atau guru yang kreatif dan inovatif.

Kebesaran Rohana Kudus di Sumatera hanya bisa dibandingkan dengan kehebatan Kartini di tanah Jawa. Kedua perempuan ini begitu peduli bagi kemajuan kaum dan bangsanya. Keduanya sama-sama tokoh emansipasi perempuan Indonesia dengan peruntungan yang berbeda. Nama Kartini lebih menonjol dan jauh lebih tersohor. Kartini jauh lebih beruntung karena dia diakui sebagai pahlawan nasional pejuang emansipasi perempuan. Bahkan Kartini pantas bersyukur karena tanggal 21 April sebagai tanggal kelahirannya diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini. Sementara kita tidak pernah mengenal ada hari Soekarno, Hari Hatta, Hari Sjahrir, atau Hari Soeharto. Hanya Kartini yang tanggal lahirnya diperingati sebagai Hari Kartini, bukan Hari Perempuan.

Yang terjadi dengan Rohana Kudus nyaris sebaliknya dengan Kartini. Namanya tenggelam dan hampir tidak tercatat sebagai seorang jurnalis pertama yang memimpin koran Sunting Melayu yang sangat berpengaruh di Sumatera pada awal abad ke-20. Untung saja ada beberapa penulis akhir-akhir ini yang berusaha mengangkat kiprah tokoh kita ini dalam bidang jurnalistik dan upayanya dalam memajukan pendidikan bagi kaum perempuan Sumatera.

Ada satu nama yang berjasa mengenalkan Rohana Kudus. Nama ini perlu dicatat karena dia senantiasa melakukan “advokasi” agar Rohana Kudus diberi tempat yang sesuai dengan jasa dan perjuangannya. Dia adalah Tamar Djaja, pengarang buku berjudul Rohana Kudus: Srikandi Indonesia, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, yang diterbitkan oleh penerbit Mutiara, Jakarta (1980).

Dalam buku itu cukup banyak gugatan yang dilontarkan Tamar Djaja. Ia menuding telah terjadi ketidakadilan sejarah dalam menempatkan siapa tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Selama ini perlakukan pemerintah hanya terpusat kepada Kartini. Padahal menurut buku ini, jasa dan kiprah serta perjuangan Rohana Kudus jauh lebih lama dan lebih besar dibandingkan dengan Kartini. Tapi mengapa nama Rohana Kudus tak pernah dicatat dan tak dapat tempat dalam buku-buku sejarah dan di hati rakyat Indonesia?

Sebelum menjawab, izinkan saya mengutip pernyataan langsung Tamar Djaja: “Begitu besar kaliber Rohana dalam perjuangan yang ditempuhnya, namun ia dilupkan saja oleh sejarah kita. Orang hanya menyebut Kartini dan sama sekali tidak menggubris Rohana. Rohana tak ada dalam cacatan sejarah kita. Alangkah zalimnya dunia ini?”

Mengapa nama Rohana Kudus sampai lupa dan luput dalam teks-teks sejarah dan dalam perbincangan-perbincangan para pengarang kita? Padahal, menurut penulis buku ini, “Rohana seorang pelopor pergerakan kaum wanita mendahului Kartini, pelopor kewartawanan yang belum ada tandingannya sampai sekarang, seorang guru yang bijaksana dan pandai, yah pelopor kebangkitan kaum wanita Indonesia”.

Kalau sejarah sampai tak mempedulikannya sama sekali, mungkin karena tak banyak catatan atau buku yang mencoba mengenalkan siapa Rohana Kudus dan apa yang pernah dilakukannya hingga ia mesti dicatat dan dapat tempat sejajar—bahkan lebih—dengan Kartini. Maka, dengan adanya buku Tamar Djaja ini, sebagaimana yang ia harapkan, semoga nama Rohana Kudus berikut karyanya, akan jadi bahan perbincangan.

Tapi rupanya tak mudah. Nama Rohana Kudus tetap tenggelam dan tak banyak diketahui generasi muda, khususnya. Beberapa kali surat kabar juga mengangkat sosok dan kiprahnya, tapi rupanya nama Kartini terlampau besar untuk bisa tergeserkan. Jangankan tergeser dari kedudukannya, untuk bisa mensejajarkan saja atau menyamai kebesarannya, hampir tak mungkin bisa berhasil.

Rohana Kudus lahir pada tahun yang sama dengan kelahiran Dewi Sartika, yaitu 20 Desember 1884. Memang, dilihat dari tahun kelahiran, Kartini lebih tua lima tahun dari Rohana. Sebuah usia yang tak begitu jauh terpaut. Masa hidup Kartini terhitung pendek, hanya 25 tahun. Kartini lahir 21 April 1879 dan meninggal 17 September 1904. Sementara Rohana wafat dalam usia 88 tahun pada 17 Agustus 1972.

Rohana menjadi pemimpin koran mingguan Sunting Melayu (koran yang dikelola oleh kaum perempuan Sumatera yang berdiri 10 Juli 1912 di Padang, dan pada tahun 1921 Sunting Melayu berhenti terbit).

Rohana Kudus juga pernah tercatat sebagai anggota redaksi Saudara Hindia, surat kabar umum untuk semua lapisan, laki-laki dan perempuan. Suaminya, Abdul Kudus adalah tokoh politik yang dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial.

Rohana adalah pendiri sekolah Amai Setia sekaligus jadi guru di sana. Kemudian mendirikan sekolah Rohana School dan juga ikut mengajar. Menjadi redaksi untuk surat kabar Perempuan Bergerak di Medan yang kemudian memimpinnya bersama Encik Satiaman Parada Harahap. Kemudian menjadi radaksi surat kabar Radio yang diterbitkan Cina Melayu di Padang.

Sebagai pemimpin surat kabar Sunting Melayu, nama Rohana telah dikenal luas di seantero Sumatera. Mengabaikan Rohana sebagai seorang jurnalis perempuan yang tangguh sama saja mengabaikan harkat dan martabat perempuan itu sendiri. Saya sangat sependapat dan sangat setuju kalau Rohana Kudus diberi gelar Pahlawan Nasional sekaligus sebagai ibu jurnalis Indonesia.

Pada awal abad ke-20, tak mudah untuk mendirikan sebuah koran yang independen, dalam arti tidak didanai oleh kolonial Belanda. Apalagi bagi kaum perempuan. Baik di Jawa maupun di Sumatera atau di mana pun di bumi Indonesia pada awal abad ke-20, adat-istiadat masih sangat kuat dan hampir tak ada alasan bagi perempuan untuk bisa bekerja sebagai wartawan. Feodalisme sedang kuat-kuatnya bersekongkol dengan kolonialisme. Dan faktor ini juga salah satu penyebab lamanya Belanda menjajah Indonesia.

Rohana Kudus berani membuktikan bahwa perempuan bisa berkarir sebagai jurnalis yang hebat dan tangguh, tak kalah dengan laki-laki. Ia merekrut dan memobilisasi para perempuan untuk menulis di Sunting Melayu hingga koran ini dikenal sebagai satu-satunya koran sepanjang sejarah jurnalisme di Indonesia yang semua penulisnya adalah perempuan. Tokoh pentolannya adalah kakak-adik, yaitu Rohana Kudus dan adiknya Ratna Juita. Tulisan-tulisan Rohana menghiasi surat kabar tersebut secara rutin, termasuk tulisan yang berupa puisi atau syair.

Belum terbayang oleh rakyat Indonesia jika di tahun 1912 sudah ada wartawan perempuan bernama Rohana Kudus yang menulis artikel si Sunting Melayu dengan judul yang sangat menarik, seperti “Setia Gerakan Perempuan zaman ini”, “Perhiasan Pakaian”, “Perempuan”. Mencari Isteri”, “Giliran Zaman”. Padahal tokoh ini tak pernah mengenyam pendidikan formal. Ia belajar dengan ayahnya, kemudian belajar sendiri dengan membaca sebanyak-banyaknya surat kabar langganan ayahnya.

Kendati demikian, kualitas literer dan gaya tulisan Rohana Kudus masih di bawah kualitas surat-surat Kartini. Puisi dan prosa Rohana juga tak terlampau bergelora dan menggigit dibandingkan dengan renungan Kartini. Kita ambil contoh puisi Rohana Kudus di Sunting Melayu nomor 4 tahun 1 yang terbit tanggal 27 Juli 1912:

Pelbagai benih buah pikiran
Percaturan politik yang bertaburan
Perempuan dan laki-laki berhamburan
Peri kemajuan dan kemanusiaan

Perempuan harus menggerakkan diri
Patutlah pula mengeluarkan peri
Penarah nan kesat nak hilang duri
Penghentian gunjing sehari-hari


Dari segi isi, puisi itu cukup menggugah. Tapi begitu tipis bedanya dengan pantun. Gayanya juga tak terlampau mantap dan iramanya terkesan masih dipaksakan. Terlepas dari itu, Rohana Kudus tetap seorang besar di lapangan jurnalistik. Dan buah pena serta namanya mesti terus dicatat dan dapat tempat agar Indonesia betul-betul tidak dianggap sebagai bangsa yang mengalami amnesia dan menjadi bangsa pelupa sampai akhir masa.










Pram


Pram disebut oleh A Teeuw hanya sekali bicara tentang Tuhan, yaitu dalam cerpen tragis, Kemelut. Tapi apakah pengamatan A Teeuw yang dituangkan dalam buku klasik Modern Indonesia Literature (1967) itu memang benar?

Setahuku, beberapa novel Pram amat religius. Tuhan memang sesekali saja disebut. Tapi bahkan tidak menyebut nama Tuhan sekalipun, terdapat bukti kalau beberapa novel Pram menampilkan tokoh-tokoh religius.

Tapi Pram lebih sering disebut sebagai pengarang atheis. Bahkan cukup sering dituduh atheis. Tidak beragama. Tidak bertuhan. Benci pada Islam dan sering anti pada kebudayaan Jawa. Bahkan ketika bicara tentang Islam secara khusus, Pram memang cukup kritis. Kritik-kritiknya terhadap kefanatikan kaum muslim terasa pedas dan menohok.

Tapi anggapan-anggapan miring terhadap Pram itu, kini sulit untuk dipercaya. Bahkan sebaliknya: kendati tak pernah menulis novel berlatar agama, kecuali Arus Balik yang mengisahkan masuknya Islam di tanah Jawa, beberapa karyanya sangat religius, termasuk Keluarga Gerilya dan Bukan Pasar Malam. Demikian pula membaca novel Pulau Burunya, terutama Bumi Manusia, di sana bertebaran kalimat-kalimat religius sejenis prosa doa yang hening dan takzim.

Pram tak pernah membunuh Tuhan. Ia masih percaya dengan kekuatan Adikodrati yang melebihi kekuatan adimanusia. Salah satu esainya yang sampai kini saya anggap sebagai esai terbaik tentang sastra dan agama, adalah Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan (1953). Esai ini menampilkan kritik yang menekankan semangat religiusitas tanpa kefanatikan dan kemunafikan.

Pram meninggal tahun 2004, dan waktu itu saya masih di Jakarta. Saya melihat prosesi pemakamannya secara Islam lewat media, dan tampak biasa-biasa saja. Seolah yang meninggal dan sedang diiring itu bukan orang besar untuk ukuran Indonesia.

Seorang kawan, ketika melihat jenazah Pram disembahyangkan secara Islam, tiba-tiba nyeletuk: ”wah, Pram itu tidak lagi Islam, mengapa dimakamkan secara Islam? Pram kan seorang atheis?”

Aku hanya diam. Tak berniat menjawab. Mungkin kawan itu terlampau terpengaruh kampanye negatif rekan-rekannya. Dulu, salah satu esai Pram yang bertajuk ketuhanan, telah dinilai oleh beberapa sastrawan yang tergabung dalam Minifes Kebudayaan dan orang-orang HMI dengan mengaitkan Pram sebagai seorang yang tidak percaya pada Tuhan. Tapi anehnya, orang-orang yang pernah bilang bahwa Pram atheis, tak sekali pun menulis karya yang religius. Malah, karena terlampau pasti dalam beragama dan meyakini Tuhan, tak jarang orang salah sangka dan buta.

Pandangan Pram tentang agama pernah diungkapkannya ketika menjawab wawancara dengan Suara Independen No. 03/01 Agustus 1995. Si pewawancara bertanya kepada Pram bahwa ia sering dituduh anti agama. Pram menjawab: “yang menuduh itu adalah orang-orang paranoid, yang ingin melindungi periuk nasinya saja. Memojok-mojokkan orang. Saya ini memang tidak religius, cuma saya ini sebelum tidur berkontemplasi mengoreksi diri, diiringi dengan atur pernafasan. Itu dalam suasana, dalam semangat penyerahan diri. Kalau itu dianggap anti religi, silakan saja, jangan haruskan saya begini begitu. Saya saja tidak mengharuskan orang begini begitu”.

Ketika si pewawancara kembali bertanya pada Pram apakah ia tertarik dengan agama, Pram menjawab: “Saya ini mengambil materi-materi agama dari banyak tempat, ada yang dari Islam, Katolik, Budha, Hindu, ya pokoknya yang membuat diri ini kuat. Tapi ini bukan soal agamanya, agama ini sebagai suatu keseluruhan. Kalau soal hidup itu sendiri, saya percaya adanya Tuhan, dan Tuhan itu maha kuasa. Ribuan tahun sebelum Masehi sekalipun, kemahatahuanNya itu sudah tahu bahwa saya akan seperti ini”.

Dalam esainya bertajuk Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan, Pram memperlihatkan pandangan yang religius. Menurutnya, permasalahan tentang Tuhan tidak akan habis-habisnya dibicarakan dalam sastra. Namun, sampai tahun 1953 Pram tampak melihat sebagian besar pengarang Indonesia dalam mendekati Tuhan terlebih dahulu harus menyiapkan seperangkat keyakinan sebagai konsesi. Sungguh aneh baginya, karena hakikat dari kepercayaan itu sendiri begitu luas, yang tanpa kejujuran akal-pikiran maka ia bisa berubah kefanatikan. Dan sepanjang sejarah, kata Pram, orang-orang fanatik inilah yang seringkali dijadikan umpan di tiap medan pertempuran. Dan karena kefanatikan itu pula, membuat mereka jadi buta akal, yang cuma melihat satu sinar saja. Dan itu pula yang ditujunya, hendak direguknya habis-habis.

Kematian yang romantis selalu datang dan pergi sepanjang zaman, juga dalam buku-buku dalam tiap zaman. Bagi mereka yang membaca buku-buku sastra dan filsafat yang sering termaktub kalimat-kalimat yang seakan-akan meniadakan, mengejek atau mengingkari Tuhan, perkataan janggal adalah terlamapu lunak untuk itu. Sebaliknya, perkataan itu diganti dengan marah. Dan ini adalah soal yang gampang dimaklumi di negeri ini.

Dalam kesusastraan, konflik pemahaman tentang Tuhan tidaklah merupakan kejadian setempat, tetapi suatu pemberontakan seorang pengarang terhadap anggapan-anggapan biadab tentang Tuhan. Pujangga seperti Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar, kata Pram, adalah sosok dari pengarang yang memahami Tuhan bukan dalam keyakinan buta. Hamzah Fansuri dan Siti Jenar terpaksa memberikan jiwanya karena pemahaman Tuhan di luar kebiasaan.

Bagi Pram, bila ada satu golongan yang mencemooh Tuhan, kita harus hati-hati untuk menganggapnya sebagai durhaka, sebab bukanlah yang dimaksudkan dengan Tuhan itu sendiri, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penyelesaian yang memungkinkan ia berpuas hati. Cemoohan semacam itu dilemparkan oleh sekelompok golongan kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama itu oleh sang Kebiasaan. Seperti halnya kebiasaan para diktator yang turun-temurun, yang memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam segala ketertiban masyarakat, maka hal ini pun ada pemberontak-pemberontak yang menentang kediktatoran Kebiasaan (keyakinan resmi).

Pemikiran Pram telah melahirkan pandangan yang religius dan humanis. Pram nyaris tak pernah berhenti mencari makna di balik semua perkataan manusia tentang Tuhan. Apa yang pernah dipahamainya tentang Tuhan, direfleksikan, dibongkar dan direfleksikan kembali. Esai Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan ini pernah ditampik beberapa penulis yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan dan secara simplistis disimpulkan bahwa Pram atheis (Lihat buku Prahara Budaya, terutama bagian lampiran). Padahal, pemahaman tentang Tuhan bagi Pram adalah sebuah proses yang tidak sekali jadi lalu dianggap selesai, dan perdebatan pun berhenti sampai di situ. Apa yang diyakini dan dipahami manusia tentang Tuhan diungkapkannya kembali sampai ia menemukan sifat hakiki yang unik, yang cerdas dan—mungkin juga—subversif.

Pram memahami Tuhan sangat kritis, bahkan mengambil jarak dan wasapada: ia-sekaligus-tak (minjam ungkapan Sindhunata). Dalam tulisan-tulisan awalnya, Pram banyak bersentuhan dengan ide tentang Tuhan dalam kesusastraan. Menurutnya, pengertian manusia tentang Tuhan dengan sendirinya akan jauh berlainan sifatnya daripada pengertian usang atau yang telah diusangkan yang diberikan oleh kebiasaan (mainstream). Refleksi terhadap Tuhan menghasilkan sebuah pandangan yang nyaris menyimpan aura mistik dan magis sendiri, yang jika dibaca dalam terang etika keagamaan resmi, mungkin bisa disebut a-religius.

Pram melihat bahwa diskusi tentang masalah ketuhanan seakan-akan Tuhan mendapat tempat dua macam dalam jiwa manusia. Tuhan di satu tempat adalah Tuhan yang dikehendaki agar dipercaya, dianut, dipatuhi. Tuhan di tempat lain lagi adalah Tuhan sebagai obyek, sebagai sesuatu yang dikehendaki agar diurai, dipahami. Dengan demikian, ada Tuhan yang harus dipercai dan Tuhan yang harus dipahami. Yang pertama, adalah akibat—atau hendaknya sebagai akibat—dari yang kedua.

Bila yang ada pada seseorang hanya yang pertama belaka, ini tidaklah mengherankan. Ia adalah suatu soal tukang sulap yang mana seluruh jawaban sudah sedia. Yang kedua adalah, soal pencarian, pengertian, perjuangan jiwa—tak ubahnya dengan seseorang yang dengan tekunnya mencari unsur-unsur baru yang belum pernah dikenal orang, atau mendapat obat baru yang belum pernah didapatkan orang, untuk kelangsungan sejarah kemanusian. Kebimbangan dan kesaksian yang sehat adalah lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.

Mereka yang memandang Tuhan sebagai titik mati yang tak boleh disinggung-singgung, sesungguhnya tidak perlu benar mengutuk demokrasi yang mengakui hak asasi manusia, yang mana dengan hak-hak ini pula Socrates (dalam demokrasi antiknya) mengejek demokrasi yang memberinya hak untuk mengejeknya, tapi yang juga telah mempergunakan hak-haknya untuk meruntuhkan kekuasaan sophisme, dan jadi perintis baru dalam lapangan filsafat, sebagai konsekwensi dari keberandalannya itu, ia harus kehilangan nyawanya sendiri. Tanpa ada gebrarakan semacam ini dalam lingkungan masalah ketuhanan, maka pemikiran hanya terbatas pada selingkungan kata-kata belaka, dan kemudian pengertian akan tersepak kian kemari. Orang akan terjerat dalam kekuasaan dogma-dogma melulu. Dan sesungguhnya, kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Dan kemampusan ini selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad.

Tiap istilah, tiap pengertian, dan tafsir tentang Tuhan menurutnya, akan senantiasa berubah. Maka, kesusastraan sebagai cermin kehidupan manusia tentu saja mau tak mau membawa-bawa masalah Tuhan di dalamnya. Namun sayangnya, kebanyakan para sastrawan Indonesia masih terjebak dalam melukiskan Tuhan sebatas sebagai Tuhan yang dipercaya suntuk memecahkan segala masalah. Sementara Tuhan yang dipahami sangat jarang ditemukan dalam novel-novel kesusastraan Indonesia. Karena itu, Tuhan dalam pengertian inilah yang menjadi garapan para sastrawan. Tuhan yang dipuja selamanya akan memberikan kesan bahwa ada sesuatu penindasan rohani yang sebenarnya tidak perlu diperkuat dalam suatu ketertiban umum.

Bagi Pram, keberanian mengkaji azas-azas pemikiran bisa jadi jalan untuk mengerti, memahami, dan memaknai. Tanpa keberanian, jalan ke arah penindasan hak asasi manusia akan semakin terbuka lebar. Keberanian untuk menafsirkan Tuhan dengan pikiran dan kalbu yang dinamis akan menghilangkan keragu-raguan tentang Tuhan itu sendiri. Pemberontakan terhadap pakem dan tafsir resmi atas Tuhan harus dilakukan, dan tugas seorang sastrawan untuk menciptakan makna baru tentang Tuhan yang tidak pemarah dan tukang memangsa, tapi Tuhan yang indah dan berani. Pengertian Tuhan semacam ini akan membawa karya sastra sebagai cermin masyarakat dan cermin kepribadian pengarangnya. Sastra dengan kadar religiusitas semacam inilah yang akan melahirkan karya sastra yang subversif.







































PK Ojong


“PK Ojong itu siapa?” tanyaku pada seorang teman yang berkali-kali menyebut nama itu dalam sebuah diskusi tentang politik. Teman itu rupanya kesulitan untuk menjawab. Maka ia bertanya kembali kepada saya.
“Anda pernah membaca buku Kompasiana?”
“Tidak”, jawabku
“Aku punya”, katanya.
“Aku pinjam”.
Ia berdiri mengambil buku yang dimaksud. Ketika disodorkannya padaku, ternyata buku itu tebal sekali. Lalu kulihat sampul depannya, ternyata buku ini adalah himpunan kolom PK Ojong di rubrik “Kompasiana” harian Kompas.

Semalaman aku bercumbu dengan buku PK Ojong itu, dan kebetulan aku sedang jatuh cinta pada tulisan dalam bentuk esai atau kolom. Tapi dari sekian banyak buku esai atau kolom yang pernah saya baca, esai PK Ojong agaknya terlampau bersemangat sehingga terasa kurang bergaya dan tidak mementingkan keindahan. Ini sangat berbeda dengan kolom-kolom M.A.W Brouwer atau Mahbub Djunaidi.

Nadanya agak datar, kendati kata dan kalimatnya berbobot. Data dan informasinya sangat baik dan aktual. Tapi sebagai esai atau kolom, tampaknya belum terlalu unik. Berbeda misalnya dengan kolom Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib dan Abdurrahman Wahid, yang liris, jernih dan humoris. Tapi kekuatan kolom PK Ojong rupanya bukan pada persoalan bahasanya. Melainkan pada ide atau gagasan di dalamnya.

Yang menarik dari kolom-kolom pendek PK Ojong adalah kritiknya lewat perbandingan-perbandingan yang dilakukannya dalam melihat situasi dan kondisi yang ada di negeri kita dengan situsi dan kondisi yang ada di negeri orang yang pernah dikunjunginya. Dan dalam soal ini, PK Ojong tampaknya kolumnis yang tangguh.

Tapi tetap saja tak mudah menjawab siapa PK Ojong ini. Pantas saja kalau teman saya itu enggan menjawab siapa Ojong. Bagaimana bobot kolom dan esainya? Bagaimana kiprahnya memajukan jurnalisme di Indonesia? Bagaimana sikap politik dan budayanya? Bagaimana pengaruh pemikirannya?

PK Ojong—nama lengkapnya adalah Petrus Kanisius Ojong—adalah wartawan penganut jurnalisme hati nurani, sama seperti rekannya, Jacob Oetama. Wawasannya luas. Dan ini terlihat dari banyaknya tema yang digelutinya. Seleranya pada persoalan politik sama besarnya dengan seleranya pada kebudayaan. Keingintahuannya dengan jurnalisme sama kuatnya dengan keingintahuannya pada persoalan kemasyarakatan.


Untuk tahu siapa orang ini, dalam arti bukan biografis, dan bagaimana bobot tulisannya, tentu saja dengan membaca semua kolomnya di buku Kompasiana (Gramedia, 1981). Tapi tidak adil juga kalau ”menghakimi” PK Ojong hanya dengan mengikuti ide-idenya dalam buku Kompasiana saja.

Buku setebal 800-an halaman itu termasuk karya monumental PK Ojong. Tak mudah memang untuk menangkap ide-idenya dalam buku yang dikelompokkan menjadi sepuluh bab itu. Butuh waktu tiga hari untuk merampungkan bunga rampai ini, dan itu tak mudah menjawab siapa PK Ojong sebenarnya.

Setelah selesai membaca buku itu, tahulah saya kalau kolumnis ini bukan orang sembarangan. Minimal dari segi pandangannya tentang jurnalisme, humaniora, tentang kritiknya terhadap persoalan-persoalan yang menghimpit kota Jakarta, tentang ekologi kota dan kebudayaan, dan hal-hal yang remeh yang luput ditulis orang tapi diangkatnya dengan cerdas .

Mengenai sikap politiknya, tampak tak jauh beda dengan Taufiq Ismail. Mohammad Roem atau orang-orang Masjumi. PK Ojong begitu bersemangat menghantam pemerintahan Orde Lama, simpati berat pada keberanian Muchtar Lubis, pemikiran Sjahrir dan Hatta, dan menunjukkan ketidaksukaan kepada Bung Karno yang agak berlebihan.

Di mana-mana dalam kolom-kolomnya muncul tudingan yang diarahkan kepada Bung Karno, dengan bahasa yang kadang terus-terang. PKI pun dituding sebagai biang keladi kemerosotan bangsa dan membengkaknya rakyat jelata. Bahkan Omar Dhani ”dihakimi” tanpa tedeng aling-aling, D.N. Aidit dihabisi sampai kepada istri yang diungkit punya KTP palsu, dan sekitar hal-hal itu. Sepertinya ia tak ingin menampilkan sisi yang baik untuk bisa kita timba tentang seputar politik Orde Lama yang menganut semboyan Politik sebagai Panglima itu.

Sikap politiknya mirip dengan sikap politik kebanyakan orang muslim Indonesia pada waktu peristiwa penghancuran PKI. Malah, kesan saya, pikiran-pikiran PK Ojong seputar politik Orde Lama mirip dengan para aktivis Manifes Kebudayaan, dan tak terlalu jauh dari sikap tokoh-tokoh KAMI. Dalam sebuah kolomnya PK Ojong sampai bilang begini: ”Syukur kepada Tuhan yang tak mengijinkan Gestapu/PKI mencapai maksudnya”.

Sikap itu tentu masih bisa dianggap wajar. Bukankah harian Kompas sendiri tampak beroposisi dengan Soekarno dan anti dengan PKI. Bahkan sebelumnya, ketika PK Ojong masih memimpin mingguan Star Weekly yang dibredel Bung Karno, tampak bahwa dari sini nada kemarahan PK Ojong pada Bung Karno memuncak.

Jakob Oetama mencoba membela sikap sumbejktif dan emosionl PK Ojong tersebut, namun tampaknya tetap tak mampu menyembunyikan kesan berimbang tentang pengamatannya terhadap Bung Karno. Kritik-kritik PK Ojong pada Bung Karno terlampau emosional dan jelas tidak seluruhnya benar.

PK Ojong mendukung sepenuhnya kabinet Ampera dan berdirinya Orde Baru. Jadi, kalau ada tudingan bahwa ia ikut memuluskan jalannya Orde Baru, tudingan itu cukup beralasan. Bahkan, kalau ada anggapan bahwa PK Ojong terlampau kejam ”menghukum” PKI dan Bung Karno, dan itu dapat dimaklumi, kendati tidak sepenuhnya bisa didiamkan. Dan tak heran jika kemudian Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru luput menyebut PK Ojong.

Dalam sebuah kolomnya di rubrik Kompasiana Kompas, tanggal 31 Juli 1967, PK Ojong menyampaikan sebuah perbincangan dengan temannya tentang Orde Lama dan Orde Baru:

”Apa perbedaan antara Orde Lama dan Orde Baru sekarang?”
”Ada perubahan, ada kemajuan, tapi tidak banyak”.
”Tidak banyak?”
”Tidak. Dahulu pemerintah berbuat, entah benar entah tidak, tapi rakyat setuju saja. Sekarang pemerintah berbuat sesuatu. Rakyat tidak setuju—tapi pemerintah jalan terus”.

Demikianlah pandangan PK Ojong tentang kedua orde itu. Tentu saja terlampau gegabah untuk membandingkan Orde Lama yang sudah puluhan tahun berkiprah dengan Orde Baru yang baru saja lahir.














Hamka


Kalau ada pengarang yang cuma mengenyam pendidikan formal sebatas kelas dua SD tapi menulis lebih dari seratus judul dan di antaranya adalah roman, dan pernah menjadi dosen di dua perguruan tinggi terkemuka dan bahkan pernah menjabat rektor, wartawan dan juru dakwah serta menulis buku serial tafsir Al Azhar justru ketika sedang di penjara, maka dia bukan Haji Agus Salim, bukan Rohana Kudus atau Sjahrir. Dia adalah Hamka. Sang otodidak ulung. Sang Hermes sekaligus guru agama yang pacak mengarang sastra.

Hamka memang seorang ulama yang langka. Bahkan ”sang pemikir bebas”, kata Julizar Kasiri suatu kali. Bahkan kolumnis tangguh seperti Mahbub Djunaidi begitu mengagumi buah pena Hamka. Begitu pula Yunan Yusuf, yang tak bisa menyembunyikan keterpesonaannya kepada Hamka ketika menulis buku Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (1989). Demikian pula Deliar Noer yang membandingkan semangat nasionalisme Hamka dengan Muhammad Yamin, dan tampak melihat Hamka lebih berwibawa.

Sepanjang hidupnya, tak kurang dari 84 buku pernah ditulisnya. Sebagian besar buku agama, di samping sastra. Hamka hidup pada masa ketika bangsa Indonesia sedang dijajah, kemudian memasuki perang kemerdekaan, hingga lahirnya Orde Lama dan Orde Baru. Di samping suka berceramah, Hamka banyak menuangkan gagasan lewat sastra, terutama roman. Dua romannya yang sangat terkenal dan sekaligus ikut mengharumkan namanya, adalah: Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Namun karya puncak Hamka adalah Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck (Balai Pustaka, 1938). Sebab bahasanya cukup berhasil, hirau terhadap pilihan kata dan kalimatnya hemat sekaligus menyentuh.

Saya kutip paragraf pembukanya:

”Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya. Dengan amat perlahan, menurutkan perintah dari alam gaib, ia berangsur turun, turun ke dasar lautan yang tidak kelihatan ranah tanah tepinya. Cahaya merah telah mulai terbentang di ufuk Barat, dan bayangannya tampak mengindahkan wajah lautan yang tenang tak berombak. Di sana-sini kelihatan layar perahu-perahu telah berkembang, putih dan sabar. Ke pantai kedengaran suara nyanyian Iloho gading atau Sio sayang, yang dinyanyikan oleh anak-anak perahu orang Mandar itu, ditingkah oleh suara geseran rebab dan kecapi”.

Pada suatu hari, ketika bicara tentang dunia karang-mengarang, Hamka menuturkan betapa tak mudah menjadi pengarang pada zamannya. Ada kiat-kiat untuk menjadi pengarang yang baik. Dalam salah satu bab Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck, Zainuddin menuturkan perihal usia sastra di Indonesia. ”Di tanah Indonesia ini, umur kesusastraan belum lagi tinggi. Perhatian orang untuk memperindah bahasa negerinya masih baru. Sebab itu amat sulit jalan yang ditempuh oleh pengarang. Belum banyak orang yang kenal kepada buah penanya”.

Novel Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck menggugat tradisi perkawinan dalam adat Minang dengan banjir air mata. Cinta Zainuddin pada Hayati kandas karena Hayati menikah dengan Aziz yang kaya. Remuk-hancur jiwa Zainuddin mendengar kabar Hayati telah menikah.

Pada bagian akhir, Hamka menampilkan kisah menguras air mata antara Zainuddin dan Hayati, yang tampak mengingatkan kita pada kisah Romeo dan Juliet karangan dramawan terkenal, Shakespeare. Setelah ditinggal Azizi, Hayati tinggal di rumah Zainuddin bersama seorang pembantu. Cinta Hayati pada Zainuddin bersemi lagi, tapi Zainuddin tampak masih belum menghilangkan rasa kecewanya. Akhirnya Hayati meninggalkan Zainuddin dan pulang ke Surabaya dengan menumpang Kapal VanDer Wijck.

Surat Hayati untuk Zainuddin yang ditipkan kepada Muluk adalah surat penghabisan yang mengharukan. Tragik. Memaksa emosi pembaca untuk terlibat. Dan kata-kata terakhir Hayati yang menggetarkan perlu saya kutip:

Dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau.

Tentu saja Zainuddin menangis setelah selesai membaca surat perpisahan Hayati.
Zainuddin, yang gagal mempersunting Hayati karena perbedaan suku dan strata sosial pada awalnya, tampak menjelma sosok pengarang yang menyuarakan pembaruan. Zainuddin, yang berdarah campuran Minang-Bugis, dianggap tak pantas mengawini Hayati, orang Minang asli keturunan pemuka suku di Batipuh, Padangpanjang, di negeri Minangkabau. Padahal hati keduanya sudah saling terpaut. Zainuddin berusaha mendobrak adat feodal saat itu, yang tampak selaras dengan Buaya Hamka sendiri.

Nasib Hayati dan Zainuddin dieksplorasi sampai ke detail paling dalam. Hayati meninggal, setelah diselamatkan dalam keadaan luka parah oleh penangkap ikan saat Kapal VanDer Wijck tenggelam bersamanya di Tanjung Pakis. Beberapa bulan kemudian Zainuddin ditemukan tidak lagi bernyawa. Sejak ditinggalkan Hayati, tubuhnya makin hari makin terlihat lemah dan akhirnya menyusul Hayati.

Dalam roman puncak Hamka ini, sang narator juga mengisahkan keterbukaan kultural dalam menerima “yang Lain” melalui pemaknaan dibalik nama Bukit Nagari (Kampung Kita). “Maklumlah, orang Kita—orang Batipuh Padang Panjang—begitu masyhur dalam menerima orang baru”, tulisnya.

Frase “masyhur dalam menerima orang baru” dalam kenangan Hamka seakan menohok mereka yang selama ini justru menganggap masyarakat Minang sulit menerima kehadiran orang lain lantaran takut lokasi dagangnya dikapling. Almarhum Iwan Simatupang—sastrawan Melayu dari Sumatera Utara—adalah sastrawan yang juga peka menggunakan tokoh yang hanya bernama “Tokoh Kita”. Ungkapan “kita” menjadi kata yang geneologis dalam masyarakat Melayu dan di mata Hamka kata itu tidaklah dibentuk sekonyong-konyong tanpa dilandasi tradisi dan kearifan lokal yang telah lama berakar.

Kata “Kita” mewakili suara genius yang turun-temurun yang berjarak berabad-abad dengan gagasan “kita” yang kini diproduksi oleh gerakan postmodernisme yang melanda budayawan dan sastrawan kita. Agama kita, tentu terasa lebih akrab ketimbang agamu, agamaku, agama kami. Saya teringat penjelasan Goenawan Mohamad dalam salah satu catatan pinggirnya tentang kata ”kita” lebih inklusif ketimbang kata ”kami”. Bila pengertian ”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan liyan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. Dengan kata lain, merindukan agar ”kita” ada. Sejarah, kata Goenawan, menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan berubah-ubah, sebab ”kita” adalah pertautan ”aku/kami” dengan ”engkau” dalam multiplisitas yang tak terhingga. ”Aku/kami” dan ”engkau” masing-masing hanya seakan-akan tunggal pada waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai dimaknai. ”Kita” tak bisa sepenuhnya terwakili dalam organisasi dan identitas apa pun.

Sementara itu, konsep nagari adalah konsep negara-desa khas Minang yang menampilkan kekitaan yang luwes. Nagari lebih merepresentasikan “kampungkecil” ketimbang “kota besar”. Sebuah keluarga di dekat Danau Maninjau melukiskan tanah nagarinya dengan melantunkan “kesedihan dan rintihan yang diderita oleh segolongan manusia di atas dunia ini,” tulis Hamka dalam persembahan buku kumpulan cerpennya berjudul Di dalam Lembah Kehidupan yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka 1940 lalu dicetak ulang oleh penerbit NV Nusantara (Bukittinggi-Jakarta) 1967.

Sejak 1930-an, Hamka telah menulis cerpen. Salah satu cerpen pertamanya adalah Dijemput Mamaknya, yang menampilkan konflik penokohan pada laki-laki yang lemah. Hamka adalah seorang cerpenis jauh sebelum tradisi penulisan cerita pendek berkembang di tanah air.

Genre cerpen dikenal berasal dari Amerika—dan Ernest Hamingway dianggap sebagai bapak cerpen. Belum banyak—untuk mengatakan tidak ada—keterangan secara eksplisit yang membedakan genre cerpen dengan roman pada zaman ketika Hamka menulis tiga belas cerpen dalam kumpulan Di dalam Lembah Kehidupan.

Kritikus A. Teeuw di tahun 1980 memang cukup menohok ketika mengatakan Hamka bukanlah pengarang besar dengan kriteria apa pun karena secara psikologis ceritanya lemah dan terlampau moralis (bukankah justru ini adalah gerakan moralitas baru dalam ranah budaya yang justru paling ditakuti kolonialis Belanda?). Dalam kajian Islam, Gus Dur membandingkan religiusitas novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis yang tidak kurang religiusnya dengan Dibawah Lindungan Kaabah karya Hamka. Bahkan Gus Dur kurang respek dengan pandangan sastra Hamka dengan lebih apresiatif dengan A.A. Navis ketika bicara soal budaya dan agama. Hamka, kata Gus Dur, bukan orang besar!

Kriteria yang digunakan A. Teeuw dalam penilaian jelas berdasarkan kriteria waktu kini, bukan waktu ketika Hamka menulis cerpen yang namanya masih asing di bumi Nusantara. Eko Endarmoko—walau tidak eksplisit—membela Hamka dari kriteria penilaian yang digunakan A. Teeuw dengan mengatakan: “Tak perlu dilupakan, bahwa pada saat Hamka menyelesaikan karyanya ini, tradisi penulisan cerpen belum memperoleh pijakan yang kokoh” (Horison, No. 7, 1984).

Eko Endarmoko mencoba menjelaskan posisi cerpen Hamka yang terbit bersamaan waktu dengan cerpen-cerpen M. Kasim dalam kumpulan Teman Duduk yang oleh Ajib Rosidi di tahun 1964 disebut sebagai ”pembuka jalan dalam penulisan cerpen di Indonesia”. Pada masa Hamka cerpen belumlah bisa jadi ukuran untuk mengukur kualitas literer dan capaian estetik seseorang karena cerpen sendiri masih belum dikenal luas seperti hari ini.

Mungkin sudah menjadi karakter tersendiri bila kebanyakan sastrawan sebelum perang terlampau memburu ide-ide besar. Sutan Sjahrir, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lainnya, sangat dekat dengan ide-ide besar. Hamka cukup banyak menampilkan ide besar dengan semangat meninggalkan kemapanan dan mendayung bersama perubahan/pembaruan.

Barangkali di sinilah kita menempatkan ucapan Asrul Sani puluhan tahun lampau di Prisma (No. 6, 1985) tentang apa yang disebutnya sebagai “Penggada Besar” terjemahan Melayu dari kata gleichschaltung. Artinya, sang pengarang mencoba merangkum aspek-aspek kehidupan atau masalah yang beragam dengan satu penyelesai yang umum sifatnya; yakni dengan tema besar, ide besar, penggada besar, narasi besar, dan pelbagai besar lainnya.

Tapi dalam cerpen “Pasar Malam”, selain menampilkan tema besar tentang agama dan percintaan dua sejoli yang beda agama, Hamka juga mengangkat tema lokal yang sederhana, yang remeh-temeh yang tak banyak dipikirkan orang saat berkunjung ke pasar malam.

Walau tak seperkasa Nyai Ontosoroh, tokoh perempuan Hamka punya karakter yang kuat dan menempatkan perempuan sebagai ibu nagari yang mandiri. Konsep matrilineal yang hanya dimiliki oleh geneologis Minang ini, mendapat pemaknaan yang penting dalam cerpen Hamka. Gaya cerpen Hamka sangat dekat dengan semangat pencerahan. Tali peranti yang mengikat kemajuan dikritik habis dalam cerpennya. Dalam cerpen Anak Tinggal, Bunda Kandung, Inyik Putih, Hamka menggugat sitem perkawinan cara adat dan perjodohan anak perempuan dengan anak lelaki mamaknya.

Perkawinan satu suku dan beda suku pun tak luput dikritiknya lewat narasi cerpen dalam kumpulan ini. Dalam cerpen Dijemput Mamaknya, Hamka menampilkan watak Musa yang begitu lemah jiwa dan perangainya, yang berkebalikan dengan tokoh-tokoh perempuan seperti Isah, Mala, Marjam, Ida, Basanai, Inyit-inyit (nenek-nenek).

Dalam bertutur Hamka tidak lagi menggunakan penutur pertama atau menuturkan suatu kisah pada seseorang secara langsung, sebagaimana dogeng sebelum tidur, melainkan bertutur tidak langsung dengan meminjam mulut orang lain. Cara penuturan semacam ini sempat jadi mode dan masih sering kita temukan sampai hari ini. Cara penuturan semacam ini dapatlah disebut sebuah keunikan tersendiri bahkan saya banyak mengharapkan pengarang-pengarang sekarang bisa bertutur model tidak langsung secara intens dan penuh penghayatan.

Apa pun tanggapan orang, Hamka telah menorehkan tinta emasnya di lapangan prosa jauh sebelum istilah prosa dan cerpen dikenal di negeri ini. Dan saya kira, mengenalkan Hamka kepada pembaca lewat jalur sastra bisa memberikan kekayaan makna tersendiri yang tak kalah uniknya dengan sosok Hamka sebagai tokoh agama.


















Natsir


”Butuhkah Indonesia seorang Mohammad Natsir?” tanya seorang aktivis yang sok ke-kiri-kiri-an dalam sebuah diskusi di Jakarta. Pertanyaan yang provokatif dan sedikit sinis itu mengejutkan sebagian hadirin. Bahkan ada beberapa peserta yang merasa tersinggung.

”Butuhkah Indonesia seorang Mohammad Natsir?” memang pertanyaan yang mengundang jawaban yang pasti: Ya atau Tidak. Tapi si penanya tampak mengharapkan hadirin menjawab Tidak, sebab melihat latar belakangnya sebagai aktivis sebuah partai kecil yang oposan, radikal, anarkis (terutama di awal berdirinya), tentu sangat berseberangan dengan ideologi yang dianut pak Natsir.

Tapi jangan salah sangka: pak Natsir sendiri pernah menantang kekuasaan yang jauh lebih berani dibandingkan dengan teman-teman PRD. Natsir menjadi aktivis PRRI terkemuka dalam menyerukan berdirinya negara Islam Indonesia dan melakukan gerilya sampai akhirnya ia dipenjara bersama aktivis Masjumi lainnya.

Kalau mau jujur: Natsir memang sudah terlampau kolot untuk ukuran zaman sekarang. Tapi sulit mencari elite politik dan tokoh agama yang mumpuni bicara tentang sastra sebagaimana Natsir dulu bicara dengan sangat baik tentang buku-buku roman dan prosa dunia. Mungkin hanya Gus Dur yang bisa mengungguli kefasihan Natsir dalam bidang sastra. Perhatiannya terhadap sastra sama besarnya dengan perhatiannya terhadap filsafat.

Natsir adalah tokoh puritan, kata majalah Tempo saat mengenang 100 tahun tokoh ini. Tapi Tempo juga memuji Natsir karena melihat “ada keteladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan bersahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantangan. Hari-hari belakangan ini kita merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh. Sebuah alasan yang pantas untuk menuliskan tokoh santun itu ke dalam banyak halaman laporan panjang edisi ini”.

M. Natsir sudah membaca perdebatan sengit tentang seni untuk seni, membaca Goethe, Emile Zola, Cyrano de Bergerac (1619-1655), roman-roman realis Belanda dan Prancis, Multatuli, dan tentunya: roman karangan pujangga kita sendiri, seperti Bebasari karangan Roestam Effendi. Natsir mempertanyakan semboyan seni untuk seni dengan cermat dan kritis: “Bagaimanakah kita akan terus berpendirian I’art pour I’art, seni untuk kesenian, dalam tingkat perjalanan kecerdasan bangsa yang masih rendah?”

Bagi Natsir, sejarah sastra selalu berjalan beberapa puluh tahun terlebih dahulu dari sejarah politik. Natsir mengambil contoh Revolusi Prancis yang bermula dari buah renungan orang-orang seperti Voltaire dan Rousseau. Dalam beberapa tempat Natsir menulis tentang kebudayaan baru yang bergelora, dalam arti luas, termasuk ke mana mata mesti diarahkan untuk mempelajari kebudayaan, sebagaimana pernah bergemuruh dalam Polemik Kebudayaan 1930-an antara Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya.

Bagi Natsir, kebudayaan itu tidak monopoli suatu bangsa, dan tidak mungkin dipagar rapat supaya jangan keluar dari suatu kaum. Sikapnya terhadap Barat dan Timur tak jauh beda dengan sikap Sanusi Pane. Barat boleh mengambil dari Timur, Timur boleh mengambil dari Barat. Tetapi yang mesti diingat, baik di Timur maupun Barat, tidak semuanya meneteskan air yang jernih. ”Kita tak usah anti Barat. Kita orang Islam perlu menerima dorongan-dorongan dari Barat, asalkan disiapkan filter untuk menyaring airnya sehingga tidak keruh”.

Membaca Capita Selecta Natsir adalah membaca tabung literer. Di dalamnya dibahas secara mendalam persoalan-persoalan filsafat, kebudayaan, sastra, agama, dan politik. Buku ini pantas disebut ensiklopedi mengingat ragam bahasan di dalamnya. Luasnya cakupan pemikiran Natsir serta argumen-argumennya dalam membantah pendapat yang tidak sepahaman dengannya, menunjukkan bahwa Natsir sudah terbebebas dari budaya kelisanan.

Tulisan-tulisan Natsir tentang filsafat dan sastra dalam Capita Selecta—kumpulan tulisan Natsir sejak 1930-an—masih tetap segar terasa kendati beberapa esai dan artikel telah berusia lebih dari setengah abad. Dan ini menunjukkan bagaimana kemampuan Natsir meracik permenungan dan pemikiran secara tangguh-berbobot.

Orang yang memiliki cakrawala berpikir yang luas, tentu saja ditopang oleh bacaan yang luas. Bacaan yang luas tentu saja karena si pembaca menguasai banyak bahasa. Natsir sendiri, sebagaimana kebanyakan intelektual pada zamannya, menguasai bahasa Prancis, Belanda, Jerman, dan tentu bahasa Arab.

Pandangan Natsir tentang bahasa sangat unik. Dalam artikel Bahasa Asing Sebagai Alat Pencerdasan (1940), Natsir menulis: bahasa ibu adalah dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa. Bahasa bersangkut-paut dan tak mungkin diceraikan dari aliran berpikir. Bahasa dari salah satu bangsa, adalah tulang punggung dari kebudayaan bangsa itu. Kultur suatu bangsa akan berdiri kokoh atau jatuh bergelimpang, tergantung dari bahasa bangsa itu sendiri.

Natsir mencontohkan Noto Suroto sebagai seniman yang tetap ahli seni bangsanya sekali pun ia menulis dalam bahasa asing. Ditilik dari pandangan Natsir terhadap bahasa, ada yang relevan diungkit kembali di sini: Natsir mengusulkan agar memperjuangkan bahasa Angkatan Baru Indonesia sebagai bahasa pergaulan dan perhubungan, di luar dan di dalam dewan-dewan pemerintahan sebagai “bahasa kesusastraan pemangku kesenian dan perpustakaan Indonesia” karena hal itu adalah sebagian dari perjuangan mempertahankan dan memupuk kebudayaan Indonesia.

Dengan itu tidak berarti bahwa bahasa sendiri sudah memadai. “Kemajuan berpikir, bergantung sangat kepada keluasan medan yang mungkin dikuasai oleh bahasa yang dipakai”, tulis Natsir. Karena itu, kebudayaan yang hidup tidak cukup hanya tegak: ia perlu tumbuh, bertambah, berubah, bergerak dinamis. Dan untuk itu perlu adanya pertukaran udara, perlu adanya pertambahan pupuk, perlu penambahan air, yang semuanya menjadi syarat penawar hidup.

“Tidak ada satu kebudayaan yang tumbuh baik, jika ia dukurung dan diikat menurut tradisi berbilang abad”, kata Natsir. Inilah yang disebut oleh Natsir sebagai akulturasi sebagai pra-syarat jika sebuah kebudayaan ingin tetap hidup-tegak bagaikan pohon beringin.

Jauh dari kesan kebanyakan orang, Natsir ternyata sangat menjunjung keberadaan akal. Baginya akal mesti dipotensikan karena tanpa mengasah akal-pikiran, takkan ada kebudayaan. Sebagai muslim modernis, Natsir siap dengan puluhan kutipan ayat dan hadis tentang kemerdekaan berpikir untuk menyongsong kemajuan bangsa. Islam, bagi Natsir, selain agama hati, juga agama akal.

Gagasan-gagasan Natsir tentang pembaruan Islam dan filsafat memang sempat tersambung dalam gagasan-gagasan Nurcholish Madjid. Tak heran jika Cak Nur pernah disebut oleh media sebagai Natsir muda.


















Amir Hamzah


Masuk akal atau tak masuk akal, kenyataannya ada seorang penyair liris yang banyak menulis soal sunyi, sepi, anggur dan religi, tapi diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Namanya Amir Hamzah. Penyair Pujangga Baru yang banyak menghasilkan puisi lirik dengan pengucapan orgia mistik.

Nama Amir Hamzah menjadi abadi, kendati separuh hidupnya berada di bawah bayangan tragedi. Sajak-sajaknya dianggap sebagai pembaru dengan kekuatan lirik yang sampai kini masih memiliki pengikut. Bahkan, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, sajak-sajak Amir Hamzah lebih berhasil dan matang ketimbang sajak-sajak Chairil Anwar. Amir Hamzah adalah penyair terdepan Pujangga Baru.

Tentu saja Takdir agak berlebihan. Tapi begitulah tokoh pendiri Pujangga Baru itu dalam melontarkan pendapat. Puisi-puisi Chairil dia sebut sebagai rujak, bisa mendatangkan keringat tapi bisa berbahaya bagi perut, padahal dibandingkan dengan sajak-sajak Amir Hamzah, sajak-sajak Chairil cukup banyak bicara soal perjuangan tanggungjawab dan protes sosial.

Amir Hamzah adalah penyair dengan pengucapan sufistik yang kaya dengan simbol yang gelap, terutama sajak-sajaknya dalam Nyanyi Sunyi. Mereka yang pernah bersentuhan sekali-dua kali dengan puisi dan prosa Raja Penyair Pujangga Baru ini—demikian H.B. Jassin menyebutnya—niscaya akan ketagihan dan penasaran.

Salah satu sajaknya yang paling mempesona, dan karena itu kerapkali dikutip, adalah sajak Padamu Jua. Tapi tak cuma karena puisi Amir Hamzah mempesona pembaca seperti saya. Bahkan dalam prosanya terasa mencengkram imaji-diam dan mengajak kita untuk menyelam lautan kemanusian dan ketuhanan.

Seperti dalam prosa Nyoman, Amir mengutarakan perasaan yang jujur dan intim dengan kalimat yang dekat dengan Bhagawad-Gita (Nyanyian Tuhan): ”Hatiku yang terus hendak mengembara membawa daku ke tempat yang dikutuk segala kitab-suci dunia, tetapi engkau hatiku berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain...”

Demikian pula dalam prosa Kekasihku, yang dimuat dalam buku Esai dan Prosa, rindu menggebu Amir untuk berjumpa Kekasih Suci itu tampak berlarah-larah dan penuh sangsi. Dengan intim ia melukiskan kerinduan hamba yang hina-dina untuk sampai Tuhan melalui bahasa puisi Kitab Suci. Tapi bukan dari Quran Amir menimba kekayaan bahasanya, melainkan Bhagawad Gita—kitab yang memang pernah ditejemahkannya dengan sangat indah.

Dengan gaya bergumam-gumam lirih dari sebuah prosa kefanaan, Amir berseru dalam prosa Kekasihku: ”Kekasihku, tiada engkau tentukan kita berjumpa. Bila masa itu mulai sampai, dapatkah aku melihat wajahMu? Bolehkah aku mengangkat mukaku akan memandang diKau? Akan tahankah aku ditimpa cahayaMu?”.

Tak menyerah sampai di situ, Amir pun merajuk: “atau Kau nyahkanlah daku dari hadapanMU? Beriring-iringlah aku dengan mereka menuju tempat yang Kau kutuk dan sumpah, jatuh telungkuplah aku ke atas bumi yang rekah-belah benapas-panas. Akan menyerulah aku padamu ya Kekasihku, adakah Engkau sahuti? Dalam kelamMu Engkau berjanji memberi mereka makanan duri yang maha lancip, wah Kekasihku, rusaklah kerongkonganku, termbuslah dadaku, binasalah badanku, dan Engkau jualah yang menempa diriku ini, Engkau juga yang mematut dia. Aduh, Engkau rusakkan sendiri pigura-arcaMu yang maha-mulia, bisai-permai, mahkota-kerja....”

Betapa perasa jiwanya. Betapa menusuk kita dengarkan madahnya kepada Kekasih, sampai-sampai ia sangsi: ”ya Kekasihku, adakah Engkau sahuti?” Betapa dalam luka dirasakan jika ternyata Tuhan tak menyahut permintaan dan keluh-kesahnya. Betapa dalam kebahagian andaikan Tuhan mendengarkan ratapan dan permintaan Amir yang rindu pada Kekasih itu.

Betapa kuat bayangan Bhagawad-Gita meresap ke dalam puisi-prosa Amir. Padahal Amir adalah seorang muslim, tapi rupanya pengaruh Bhagawad-Gita lebih dominan ketimbang al-Quran.

Bukti pengaruh itu bisa dilihat pada kata-kata ”menuju tempat yang Kau kutuk dan sumpah”, atau ”tempat yang dikutuk seluruh-kitab suci dunia”. Kata-kata semacam ini mengingatkan kita pada pertanyaan Arjuna—putra Kunthi—dan jawaban Krishna—si tukang pedati. Dalam percakapan ketujuh belas tentang sattwam (hal yang ringan), rayas (bagian yang datang terapung) dan tamas (bagian yang kencang bagai anak panah), Arjuna bertanya: ”Mereka yang mengembangkan perintah kitab, tetapi memuja dengan kepercayaan, bagaimanakah keadaannya, ya Krishna: dalam sattwam, rayas atau tamas?”

Krishna pun menjawab: ”Mereka yang menjalankan tapa maha hebat tiada diatur oleh kitab, dihinggapi pura-pura dan ahamkara, penuh pula dengan keinginan, berahi dan kegarangan”. Atau: ”Memuja tiada dengan kepercayan, begitu jua menderma, disampaikan dan dilakukan dengan tapa”. Ketiga ihwal itu datangnya dari Aku, atau merekalah dalamKu. Kitab Taurat, Jabur, Injil, Quran, Weda, dan sebagianya, cuma petunjuk saja, dan jika seorang tapa telah mendapat petunjuk dan bimbingan-Nya yang sungguh-sungguh, bergaul dengan-Nya, bahkan bersatu pada-Nya, apalah arti jalan dan kitab itu. Inilah laku-hidup para pertapa, kaum mistik, kaum kebatinan, kaum sufi atau Sanyasi (orang yang membebaskan diri dari bebat dunia) untuk mencapai Parinirwana—untuk memakai istilah kaum Budha.

Bait akhir berbunyi ”mahkota-kerja” dalam sajak di atas, juga mengingatkan kita pada Bhagawad-Gita tentang sebuah filsafat kerja yang rumit: ”kerja itu bukan-kerja dan bukan-kerja itu kerja”. Amir Hamzah sendiri pernah mengatakan inti-sari seloka lama Nyanyian Tuhan yang ia terjemahkan itu, dengan sebuah pernyataan begini: ”Simpulan ajaran Bhagawad-Gita ini ialah: ’Siapkanlah kerjamu yang engkau kerjakan, sambil tiada engkau mengindahkan buahnya; dunia ini terikat oleh kerja, melainkan bilamana ia ini disudahkan sebagai korban, dari sebab itu lupakanlah akan upah kerja itu’”.

Filsafat-kerja tak lain adalah Nyanyi Sunyi, Buah Rindu, Nyanyian Tuhan. Sebuah falsafah yang mengarah pada inti ajaran para Yogi di mana ”daun teratai itu tiada dicemar oleh air”. Demikian kata Krishna dalam Bhagawad-Gita bagian tentang percakapan kelima, yaitu kerja yang ditujukan kepada Dewata dan kesanggupan seseorang melepas segala duri dan loba dalam mata-batinnya, sunyi daripada kehendak, berpaling dari arakhat dunia, maka ia akan mencapai Yoga.

Bila kita perhatikan sajak Padamu Jua, masih tampak nuansa Nyanyian Tuhan dengan pengucapan berupa nyanyian sukma yang sunyi. Sajak stilis Amir Hamzah ini menampilkan imaji tentang Waktu, Kala. ”Waktu ialah Aku, dan Aku jualah Kala abadi”, kata Krishna. ”Seperti api menunu kayu menjadi abu, begitu pulalah api dharma dan hikmat kebijaksanaan membakar segala kerja menjadi debu”.

Menghayati sajak Amir yang kaya perumpamaan, terasa hunjaman kedalaman makna seorang pujangga pengembara yang terus mendendangkan nyanyi sunyi mencari buah rindu. Bahasanya syarat renungan, terkadang agak mencekam dan menghunjam di kedalaman mistik. Tuhan di mata Amir Hamzah adalah ”Satu Kasihku” (sajak Padamu Jua) sebab ”Hanya Satu kutunggu hasrat” (sajak Hanya Satu).

Sang pujangga Sumatera yang syuhada ini membayangkan tubuhnya ”habis-kikis” dan ”segala cintaku hilang” dan akhirnya ”pulang kembali aku padamu seperti dahulu” dalam Padamu Jua, sebagai isyarat kematian atau penyerahan diri-total kepada-Nya karena apa yang dicarinya tak kunjung dapat ia temukan. Ungkapan yang ganas seperti ”bertukar tangkap dengan lepas” dan ”bertikai bangkai”, tentu tak lazim pada masanya. Dan itu bukanlah ungkapan yang lahir sekonyong-konyong, apalagi ingin gagah-gagahan. Sebab gaung waktu dari ”gelombang dua berimbang dan akulah buih dicampakkan tepuk”—untuk memakai kata-kata Amir Hamzah sendiri—dalam puisinya, dapat kita lacak lebih jauh ke dalam pengucapan sinkretis puisi-puisi Chairil dan idiosinkrasi puisi-puisi Sutardji.

Amir Hamzah hidup dalam keterfanaan dan kerinduan yang ”merenangi lautan prosa dan puisi” yang di dadanya senantiasa ”bertepuk gelombang barat dan timur” yang ”berpucuk dan berlembah” serta ”gelisah dan sentosa”—untuk menggunakan kata-kata Amir Hamzah sendiri lagi dalam sebuah esainya. Sebagai penyair mistik terbesar di Indonesia, ia senantiasa merasa rindu yang menggebu ingin bersatu dengan Kekasih itu, bukan dengan jalan biasa, melainkan dengan jalan kerohanian yang tinggi.





































Bung Hatta


Hatta seorang perenung yang ulung. Hasil renungannya selalu ia tuliskan dengan sangat tajam-menghantam. Aktivis politiknya tak sebegitu cemerlang dengan kegiatan tulis-menulis, walau pun Hatta pernah duduk sebagai Perdana Menteri dan wakil presiden mendampingi Bung Karno.

Karena ketajaman penanya, Hatta mesti diwaspadai dan dianggap sebagai penulis berbahaya. Tulisan-tulisannya lahir dari pena yang paling sunyi tapi paling bunyi. Akibat tulisannya dan aktivitasnya di dunia politik, ia pernah disekap selama lima setengah bulan di Den Haag. Tapi tiga advokat Belanda membelanya. Waktu itu Hatta menulis pleidoi berisi harapan untuk Indonesia merdeka tapi tak sempat dibacakannya sendiri. Di tanah air, pleidoi itu mendapat gaung yang hebat di kalangan pergerakan.

Waktu itu usia Bung Hatta baru 26 tahun. Naskah pidato pembelaannya yang berisi pernyataan yang tegas: ”Tujuan bersama, kemerdekaan Indonesia, menuntut terwujudnya suatu aksi massa nasionalis yang sadar dan berdiri di atas kekuatan sendiri,” tulis Hatta.

Selain Tan Malaka, belum ada tokoh pergerakan menyerukan kemerdekaan Indonesia sebelum Sumpah Pemuda 1928 dengan sebuah tulisan yang terang. Pidato Bung Hatta berjudul ”Indonesie Vrij” atau Indonesia Merdeka menjadi bahan diskusi yang hangat di kalangan pergerakan. Dalam teks Sumpah Pemuda 192saja tak menyebut Indonesia merdeka, tapi harapan untuk punya nusa, bangsa dan bahasa sendiri.

Menyerukan Indonesia merdeka pada tahun 1928 terhitung langkah yang berani. Bung Karno saja masih asyik tentang ide persatuan. Tapi yang agak aneh adalah mengapa Hatta kemudian bersama Sjahrir menjadi penganjur utama penyelesaian lewat perundingan dengan pihak Belanda.

Hatta bersama Sjahrir dapat persetutujuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk mewujudkan suatu sistem pemerintahan parlementer dan suatu sistem multipartai yang disetujui oleh Bung Karno. Sepuluh tahun kemudian Bung Karno berubah haluan dan mengecam dua sistem usulan Hatta dan Sjahrir itu.

Hubungan Bung Karno dan Bung Hatta mulai renggang. Dwitunggal tak bisa bertahan. Pada masa Demokrasi Terpimpin sedang berada di puncak, Hatta menulis risalah yang tampaknya sengaja untuk mengajak Bung Karno berpolemik. Tapi saya tak tahu apakah Bung Karno memang menyahut Demokrasi Kita—artikel panjang yang ditulis Bung Hatta yang kemudian dibukukan. Buku ini mula-mula diterbitkan secara terbatas, baru setelah kekuasaan Bung Karno berada dalam senjakala, buku ini beredar luas. Telah dicetak beberapa kali, terakhir tahun 2004 dicetak lagi dengan judul: Demokrasi Kita, Idealisme dan Realitas serta Unsur yang Memperkuatnya (Balai Pustaka, Jakarta, 2004).

Buku itu semula artikel yang ditulis Hatta saat beliau menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama. Begitu menariknya buku ini untuk direfleksikan kembali, maka dalam terbitan baru ini diberi pengantar oleh enam tokoh yang berpengalaman di dunia politik, seperti Akbar Tandjung, Buya Hamka, Nurcholish Madjid, Sri Edi Swasono, Syafi’i Maarif dan Taufik Ismail.

Pengantar keenam tokoh itu bisa membantu untuk membentangkan peta pemikiran Bung Hatta, khususnya tentang demokrasi. Dalam buku setebal 78 halaman ini, dan ditambah 50 halaman kata pengantar, menjadikan buku ini mudah untuk dicerna. Informasi-informasi penting namun agak kurang jelas bagi generasi sekarang ini, bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan pengantarnya.

Tulisan Bung Hatta tentang yang kemudian dikenal dengan Demokrasi Kita itu, diterbitkan pertamakali tahun 1960, sekitar empat puluh lima tahun silam. Satu-satunya yang berani memuat tulisannya waktu itu hanya Majalah Panji Masyarakat, majalah yang di asuh oleh Buya Hamka, agamawan dan sastrawan yang sering berbeda pendapat dengan Bung Karno. Pada masa itu, setiap tulisan yang mengkritik kebijakan ‘Bung Besar’ itu, akan disensor dan dibredel.

Namun demikian, seperti dikisahkan Hamka sendiri dalam pengantar bukunya, sejak tulisan itu muncul ke publik, ia mendapat perhatian penuh dari peminat-peminat politik, baik di dalam maupun di luar negeri. Bung Hatta mengatakan: “Demokrasi dapat ditertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia
mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan.

Berlainan dengan beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat-akar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya. Apa yang terjadi sekarang ini ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki, lambat-laun akan digantikan oleh diktatur”.

Membaca kritik Bung Hatta atas Demokrasi Terpimpin yang dianjurkan Bung Karno, tampak bahwa Hatta menolak tegas anggapan sebagian besar intelektual dan politikus di negeri ini yang menuduh demokrasi sudah berakhir. Demokrasi bisa jadi sedang mengalami krisis yang gawat, namun tidak ada tanda-tanda bahwa demokrasi sudah berakhir. Pendapat bahwa demokrasi sudah lenyap menurut Bung Hatta, adalah pendapat yang melihat demokrasi hanya sepintas lalu, tidak utuh dan sangat parsial.

Dengan brilian Bung Hatta mengkritik sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapkan oleh Presiden Soekarno yang kian hari kian jauh menyimpang dari amanat konstitusi. Agaknya, dari sinilah awal mula retaknya hubungan “Dwitunggal” dalam sejarah politik Indonesia. Kekecewaan Bung Hatta terhadap kebijakan-kebijakan politik Bung Karno yang kian mengarah ke otoriterisme, dikritik dengan tajam dalam sembilan bab buku ini.

Meski posisi Bung Hatta waktu itu sebagai Wakil Presiden RI, namun ia tak segan-segan menohok gagasan Bung Karno yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Presiden, yang menurut Undang-Undang Dasar 1950 adalah Presiden konstitusional, yang tidak dapat diganggu gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatir kabinet. Dengan itu ia melakukan suatu tindakan yang bertanggungjawab dengan tiada memikul tanggungjawab”.

Dalam buku setebal 78 halaman ini, dan ditambah 50 halaman kata pengantar, menjadikan buku ini mudah untuk dicerna. Informasi-informasi penting namun agak kurang jelas bagi generasi sekarang ini, bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan pengantarnya. Namun demikian, kita bisa membaca langsung gagasan-gagasan Bung Harto di sini karena bahasa tidak terlalu sulit. Di samping persoalan politik dan ekonomi (koperasi) yang dikemukakan oleh Bung Hatta di buku ini, yang paling jelas dan komprehensif adalah ulsannya tentang sumber-sumber kekuatan demokrasi. Menurutnya, ada tiga sumber kekuatan yang mampu menghidupkan cita-cita demokrasi sosial Indonesia .

Pertama, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar perikemanusian yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara antara manusia sebagai makhluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah yang Pengasih dan Penyayang. Ketiga, penegetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisime. Demokrasi politik saja tak mampu melaksanakan persamaan dan persaudaraan, karena itu harus pula memberlakukan demokrasi ekonomi.

Apa yang dikatakan Bung Hatta nampaknya merupakan kritik yang tidak hanya berlaku pada Demokrasi Terpimpin, seperti yang digagas Bung Karno. Tapi juga ditujukan kepada mereka yang juga meletakkan ekonomi sebagai panglima pembangunan, seperti dalam gagasan Soeharto. Dan terbukti, keduanya gagal menjalankan demokrasi karena tak mampu mempertautkan demokrasi politik dan ekonomi bersamaan. Apa yang pernah dikatakan Bung Hatta, memisahkan kedua jenis demokrasi itu menunjukkan bahwa, “manusia belum merdeka”.

Mengapa manusia belum merdeka? Sebab, cita-cita demokrasi kita ialah demokrasi sosial yang meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib semua manusia. Bukankah paduan kedua gagasan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu masih sangat relevan dalam konteks era Roformasi saat ini?

Semoga—seperti disinyalir oleh Nurcholish Madjid dalam pengantarnya--“kita tetap mengharapkan lahirnya Hatta-Hatta baru, yang akan menjadi lokomotif dalam membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik”.

Tapi, sudahkah lahir Hatta-Hatta baru sebagaimana yang diharapkan Cak Nur itu? Tampaknya hanya ada satu Hatta untuk Indonesia. Saya memang sering salah, tapi saya tetap berkeyakinan tidak akan lahir Hatta-Hatta baru di negeri ini.


































Bung Karno


Bung Karno manusia setengah dewa? Terserah saja. Apa pun gelar yang dilekatkan kepadanya, ia tetap si Bung Besar. Gemanya pun besar, malah sangat besar hingga agak tak masuk akal kalau tokoh ini dengan mudah bisa digulingkan.

Tapi sejarah berkata lain. Bung Karno tajungkang dari kursi kekuasaan oleh orang yang karir politiknya justru amat jauh dari dirinya. Karena Bung Karno orang besar, seharusnya memang tak perlu lagi menulis tentang kebesaran tokoh ini. Tapi apa boleh buat: yang namanya orang besar, cengkraman pengaruhnya pun begitu besar. Tak heran jika sampai hari ini dan hari-hari yang akan datang orang akan tetap mengingatnya.

Saya masih ingat ketika salah satu guru SD saya mengajukan siapa tokoh yang sangat saya kagumi, tiba-tiba saya menjawab Soeharto. Saya belum tahu ada nama Soekarno yang orangnya begitu berjasa. Memang saya tahu bahwa presiden RI pertama bernama Soekarno, tapi saya tak tahu kalau ternyata presiden pertama kita ini orang hebat bahkan terhebat dari semua presiden yang pernah ada.

Ketika sudah kuliah, apalagi ketika sudah ngerti satu-dua buku sastra dan politik, saya jadi malu. Untuk mengobati rasa malu itu, saya mulai mencari buku-buku Bung Karno. Mula-mula saya membaca Sarinah. Kemudian buku tentang Sumpah Pemuda. Kemudian baru berkenalan dengan buku Di Bawah Bendera Revolusi—buku yang sangat berharga dan memikat.

Bung Karno berjasa melahirkan Pancasila—falsafah negara Republik Indonesia. Semua orang tahu. Ia salah satu pendiri bangsa yang tiada duanya. Semua orang juga tahu. Ia tak bisa melihat jidad gadis yang licin langsung jatuh cinta, semua orang sudah tahu. Pakaiannya necis dan suka putih-putih, juga semua orang tahu.

Yang tak diketahui dari Bung Karno adalah: mana aku tahu. Hal-hal sekecil apa pun, dan disembunyikan serapat apa pun, tetap saja diketahui orang, terutama wartawan. Bung Karno memang selalu jadi perhatian wartawan. Dan semua orang juga tahu.

Saya ingin kutipkan satu pernyataan Bung Karno yang sudah diketahui. Waktu itu para petinggi Indonesia sedang senang-senangnya menyerukan semangat yang terbuka terhadap perbedaan agama di Indonesia. Dalam memperingati Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1954, Bung Karno mengingatkan dengan penuh gelora:

Ingat, kita ini bukan dari satu adat-istiadat.
Ingat, kita ini bukan dari satu agama!
Bhineka tunggal ika, berbeda tetapi satu,
Demikianlah tertulis di lambang negara kita
Dan tekanan kataku sekarang ini kuletakkan kepada kata bhinna,
yaitu berbeda-beda.
Ingat, kita ini bhinna, kita ini berbeda-beda...

Begitu besar perhatian terhadap perbedaan, dan bagaimana cara mengelola perbedaan menjadi kekuatan. Kata-kata itu begitu berarti kini, bahkan sangat berarti ketika konflik karena perbedaan agama dan suku masih juga terjadi di negeri multikultur ini.

di bandingkan dengan Sjahrir, Bung Karno lebih sering menulis tentang agama Islam. dalam suatu kurun ia telah memikirkan masa depan Islam dengan penuh semangat dan harapan. Di sini ia berbeda dengan Tan Malaka, Aidit, atau Nyoto. Kepedulian terhadap kemajuan Islam dengan mudah kita temukan dalam tulisan-tulisan Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi.

Tapi sampai sekarang, saya tak pernah mendengar orang menyebut Bung Karno sebagai tokoh pembaru pemikiran Islam yang pantas diperhitungkan. Padahal, Bung Karno adalah seorang mujadid besar denga tarap internasional (ini sanjungan yang sengaja agak dilebihkan).

Bung Karno adalah seorang mujadid besar yang berjasa membuka diskusi dan polemik yang hangat tentang upaya memkirkan kembali paham keislaman yang humanis dan toleran. Mungkin karena dirinya terlampau terpesona pada sekularisme Turki, maka banyak pemikir Islam akhirnya tak bersimpati pada ajakannya untuk memikirkan kembali Islam.

Memang, jika menyimak perjalanan hidupnya, tentu ada banyak wana yang terdapat di sana. Ibarat sumur yang tak pernah kering walau ditimba setiap hari, itulah dimensi pemikiran dan perjuangan Bung Karno. Di dalam negeri banyak orang yang telah memberikan perhatian pada sepak terjangnya di lapangan politik dan pemikiran. Ia tak cuma meninggalkan sesobekan riwayat rusuh dari catatan seorang presiden pertama Republik Indonesia, tapi juga mewariskan sejumlah buku dengan goresan tinta yang tak jarang paling pribadi, karena itu menghasilkan tulisan yang langka untuk Indonesia pada masanya.

Tuan dan Puan mungkin tidak percaya kalau delapan puluh lima persen gagasan pembaruan Islam yang dilontarkan Cak Nur sudah dilontarkan oleh Bung Karno. Walau bukan lulusan pesantren, Bung Karno punya bacaan luas tentang Islam sehingga suatu waktu ia sangat sedih jika sampai api Islam yang pernah berkobar-kobar harus padam. Maka, dalam tiap kesempatan ia menyerukan, mengajak, untuk menyalakan api Islam kembali seterang-terangnya.

Bicara tentang pembaruan pemikian Islam di Indonesia, setidaknya ada tiga artikel yang tidak bisa diabaikan. Pertama, artikel Bung Karno, Me-“Muda”-Kan Pengertian Islam di ”Panji Islam” tahun 1940 yang sangat serius. Kedua, artikel Nurcholish Madjid yang semula berasal dari makalah yang disampaikan di TIM 1972, Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan. Dan ketiga, artikel Ulil Abshar Abdallah di Kompas (18/11/2002): Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.

Kalau kita mau mengkaji pembaru pemikiran Islam Indonesia sejak abad ke-20 hingga kini, tentu saja tak cukup hanya dengan tiga artikel dari tiga pembaru tersebut. Banyak tulisan yang mungkin lebih radikal dan berbobot ketimbang ketiga artikel itu. Namun bukan itu yang mau saya tekankan di sini. Tulisan-tulisan Abdurahman Wahid dan Ahmad Wahib tidak saya singgung di sini, karena ada alasan lain. Pemikiran Gus Dur agak sulit dibilang sebagai pembaru. Gus Dur lebih pas kalau diletakkan dalam gagasan transformasi pemikiran Islam ketimbang pembaru. Walau pun di sana-sini gagasannya sangat radikal dan melampaui keberanian Cak Nur dalam memikirkan kembali paham keagamaan dan kebangsaan.

Sementara Ahmad Wahib mungkin lebih pas jika disebut sebagai pemantik gagasan pembaruan pemikiran Islam yang lebih berani dan kritis, namun belum menemukan formulasinya yang kuat, padu, cantik dan sistematis. Di sini saya justru melihat kesamaan gagasan pembaruan pemikiran Islam dari Bung Karno, Cak Nur dan Ulil, semata-mata karena kesamaan atau kemiripan lema pemikiran yang mereka ajukan. Bahkan judul ketiga artikel di atas mirip.

Ketiga tulisan di atas sangat radikal. Ajakan untuk memudakan pengertian Islam, penyegaran kembali pemahaman keagamaan dan menyegakan kembali pemahaman Islam di Indonesia, tentu saja sangat berani dan berisiko.

Ketiga tulisan itu bertendensi pada ajakan melakukan pembaruan pemikiran Islam dengan sungguh-sungguh. Inilah alasan saya memilih tiga artikel sebagai pendobrak pembaru pemikiran Islam di Indonesia dengan intensitas dan pengaruh yang masing-masing tentu berbeda.

Ketiga artikel itu sama-sama mendapat tanggapan dan respon dari penulis lain. Artikel Bung Karno mendapat tanggapan dari para pemikir Muhammadiyah, dan tokoh-tokoh Islam yang sangat disegani. H. Siradjudin Abbas mengkritik artikel Bung Kano tersebut dengan judul karangan Memudahkan Pengertian Islam di majalah ”Perti, Suarti”. Sementara A. Hasan menangkis dengan kepala karangan yang sinis: Membudakkan pengertian Islam di ”Al-Lisan”. M. Natsir menulis tangkisan di ”Al-Manaar” dan ”Panji Islam”, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy menulis dalam ”Lasjkar Islam”.

Tahun 1940, tahun ketika Bung Karno menulis artikel itu, adalah tahun yang belum lama berselang terjadinya Polemik Kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana yang modernis-renaisance, dengan lawan-lawannya yang tampak moderat. Ajakan Bung Karno untuk ”memodernkan Islam” atau ”me-muda-kan Islam” tentu sangat dekat dengan semangat rasionalisme Keduanya sama-sama menekankan nilai perjuangan dan tanggungjawab dengan memberi porsi pada akal dan rasionalisme dalam Islam yang amat tinggi.

Bedanya mungkin terletak pada sikap Takdir yang menjunjung kemajuan Barat yang justru di mata Bung Karno jadi masalah. Gagasan si Bung tentang pemisahan agama dan negara, sebagaimana yang terjadi di Turki, tampaknya disalah-pahami oleh lawan-lawan debatnya. Bung Karno ingin menegaskan, dan itu kita ketahui kemudian ketika ia berdebat dengan salah satu tokoh HMI, bahwa tidak ada negara Islam. Gagasan ini kelak kita temukan dalam pemikiran Amin Rais, Cak Nur dan Roem.

Cak Nur mungkin banyak membaca polemik antara Bung Karno dan Natsir tentang agama dan negara. Pembaruan pemikiran Islam yang dilontarkan Cak Nur di era-1970-an mendapat liputan media yang luas, dengan intensitas tanggapan yang menggelegak dan mengingatkan kita pada kritik-kritik yang dilakukan lawan-lawan debat Bung Karno.

Sejak itu, nama Cak Nur begitu berpengaruh dan terkenal. Tiap orang Indonesia yang bicara tentang pembaruan pemikiran Islam, akan membawa-bawa nama Cak Nur. Dari sinilah Cak Nur menjadi tokoh pembaru yang oleh majalah Tempo dikiaskan seumpama gerbong: Cak Nur adalah lokomotif yang menarik gerbong pembaruan pemikiran Islam secara lebih serius dan berani.

Belakangan, Cak Nur sendiri merasa tulisan-tulisan awalnya itu terlampau berani dan bernada negatif. Di sana hanya ada kritik tanpa alternatif. Cak Nur mulai menyadari kalau bahasa dan formulasi yang digunakannya dalam artikelnya yang disampaikan di Tim itu mesti diperhalus.

Wajar jika kemudian gagasan pembaruan pemikiran Islam yang dilontarkan Cak Nur dalam makalah-makalahnya yang disampaikan di Paramadina, dan kemudian dibukukan, terasa mandul dan kehilangan keberanian. Makin tua Cak Nur makin halus bahasa yang digunakan. Tak heran jika kemudian muncul orang-orang yang menganggap pemikiran Cak Nur sudah mandek dan sudah saatnya disegarkan dengan gagasan yang ”baru”. Di antara pemikir Islam Indonesia yang sangat berani, dan sering disebut-sebut sebagai pelanjut pemikiran Cak Nur, adalah Ulil Abshar Abdalla—koordinator Jaringan Islam Liberal di Indonesia.

Artikelnya yang terkenal, dan mendapat kritikan yang keras, bahkan ada yang menghlalkan darahnya, adalah Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Tak kurang dari mertuanya sendiri yang menanggapi artikel yang amat berani ini. Reaksi paling keras menempatkan Ulil sebagai sosok yang ”halal darahnya” untuk dibunuh. Ulil langsung mengingatkan kita pada Syekh Siti Jenar.

Ulim mempersoalkan kembali hal-hal yang kontroversial menjadi terang-benderang. Jilbab dianggapnya sebagai budaya Arab. Dengan alasan untuk meletakkan Islam sebagai organisme yang hidup, Ulil berusaha memisahkan antara ajaran Islam yang hakiki dengan kreasi budaya Arab. Inilah yang disebut Ulil sebaga budaya Arab yang tak perlu diikuti: ”soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab”.

Dalam hal Rasulullah, Ulil memahaminya sebagai tokoh historis yang mesti dikaji secara kritis, ”sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah)”, tulis Ulil.
Tentu saja kalimat semacam itu dianggap terlampau berani. Apalagi menempatkan Rasulullah sebagai tauladan dan panutan umat Islam sebagai tokoh yang juga ”banyak kekuarangannya”.

Tentang agama-agama, Ulil berpendapat bahwa semua agama adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.

Alhasil, apa yang jadi proyek pembaruan Ulil bukan hal yang baru. Sebagian proyek yang ditawarkan Ulil, setidaknya, pernah dilontarkan oleh Bung Karno dan Cak Nur, hanya saja formulasi dan pilihan kata yang digunakan Ulil lebih lantang. Bahkan bahasa Indonesia yang dipakai Ulil jauh lebih bagus dari bahasa Indonesia yang digunakan Bung Karno dan Cak Nur.

Haidar Bagir benar: kalau para pembaru pendahulu Ulil mengungkapkan gagasannya lewat buku atau makalah-makalah yang serius, Ulil tampaknya cukup puas dengan artikel pendek. Tapi untuk apa berpanjang-panjang kalau inti persoalan yang mau disampaikan bisa disampaikan dengan satu paragrap. Tulisan panjang sama sekali tidak menjamin lebih jernih dan lebih kuat dari tulisan pendek.

***

Melebihi keberanian tokoh yang lain angkatan 1928, Soekarno adalah pembaru pemikir Islam di Indonesia yang keberadaanya jarang sekali ditonjolkan. Bung Karno juga mendapat sanggahan yang keras dari tokoh-tokoh Islam, seperti Hamka, Natsir dan lainnya. Baik Cak Nur maupun Ulil, jarang mengutip pendapat Bung Karno, apalagi terang-terangan menyebut Bung Karno sebagai pembaru pemikiran Islam generasi pertama.

Tulisan Bung Karno yang telah disinggung di muka, merupakan tanggapan atas tulisan Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, K.H.Mas Mansur. Tulisan tokoh Muhammadiyah ini ditujukan kepada kaum tua Muhammadiyah yang pada waktu itu tampak sudah kaku dan kolot. Dan karena itu, Bung Karno menulis dengan sasaran utama generasi muda Islam agar lebih dinamis dan kontekstual dalam memahami pesan dasar Islam. Selama kita mau melakukan pembaru pemikiran Islam, kata Bung Karno, maka pengertian Islam yang sudah tua sudah seharusnya untuk di-muda-kan kembali.

Bagi Bung Karno berusaha untuk memikirkan kembali pengertian Islam, karena baginya tak mungkin ada pembaruan pengertian Islam kalau tidak ada upaya untuk me-muda-kan pengertian Islam itu sendiri. Bahkan menurut tinjauan sejarah yang disinggungnya, agama pada dasarnya mengalami perubahan pengertian. ”Selalu ada perubahan di dalam pengertian-pengertian tentang agama itu!”

Bung Karno mencontohkan sederet upaya pengoreksian pengertian-pengertian Islam sepanjang sejarah, seperti koreksi yang dilakukan Muhammadiyah terhadap paham talqin, paham ’usalli’, paham taqlid, paham tauhid, paham hijab, paham bunga pinjaman, paham perempuan, paham menerjemahkan Qur’an, dan seribu paham yang lain.

Muhammadiyah adalah pembaru, karena ia memperbarui pengertian-pengertian lama. Muhammadiyah adalah agama yang menekankan progres, kemajuan, bukan kekolotan. Dengan merujuk semboyan Haraklitos, Bung Karno dengan tegas mengatakan: ”segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala hal mendapat pembaruan”.

Tapi ketika bicara tentang agama dilihat dari pokok dan cabangnya, maka pokok agama itu kata Bung Karno, tidaklah berubah. Islam sejati tidak berubah, firman Allah dan Sunah Nabi tidak berubah, tetapi pengertian manusia tentang hal-hal itulah yang berubah. Pengoreksian pengertian selalu ada, dan mesti selalu ada sepanjang usia umat manusia.

Tanpa ada yang mengoreksi maka tak ada ijtihad. Hanya orang yang menganggap pintu ijtihad sudah tertutup yang tidak mau mengoreksi pengertian-pengertian Islam. Dan Bung Karno adalah orang yang pro-ijtihad dan seorang rasionalis dalam mengkaji pengertian-pengertian Islam.

Untuk menguatkan sandaran argumennya, Bung Karno mengutip Essad Bey tentang kecenderungan umat Islam menutup pintu ijtihad yang berakibat pada keruntuhan segala kehidupan akal, segala kehidupan rohani, segala kebesaran dan kemegahan, segala keadaban dan peradaban.

Dengan seruan untuk me-muda-kan kembali pengertian Islam, Bung Karno juga mengaitkan kata muda dengan kata pemuda. Hanya pemuda yang memiliki semangat yang muda, yang segar, yang ke depan, dengan hidup yang menggelora dan penuh gairah.

Bahkan bagi Bung Karno, kalau para pemuda kita ternyata makin hari justru makin jauh dari Islam, maka kita perlu memikirkan apa yang salah terhadap pengertian kita tentang Islam sehingga para pemuda itu menjauh. Jangan-jangan ada yang salah kita punya pengertian Islam! ”Marilah kita berani menanyakan: Tidakkah barangkali ’ada apa-apa’ dengan kita punya pengertian sendiri tentang agama? Saya berani membuat soal ini menjadi aprinsipiil begini, oleh karena saya melihat, bahwa di negeri Islam luaran orang juga telah agak lama mengerjakan ’rethingking of Islam’. Marilah kita berani pula ’rethink’ kita punya Islam!”

Tidak pantas menyalahkan para pemuda, karena pemuda memang hidup di hari kemudian, di depan, sementara yang tua hidup di belakang. Inilah yang membuat banyak pemuda berselisih paham dengan kaum tua, seperti yang pernah terjadi di Minangkabau.

”Rethinking of Islam!”, seru Bung Karno. Jadi, kalau Tuan dan Puan pembaca pernah membaca satu buku karya Muhammed Arkoun—pemikir Islam tersohor dari Aljajair dan kini mukim di Prancis dan menajar filsafat di Sorbonne—yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Rethingking Islam, dan kalau pilihan judul itu memang mencerminkan pemikiran Arkoun, maka ketika Arkoun masih anak-anak Bung Karno sudah melontarkan gagasan itu.

Simaklah esai Bung Karno bertajuk “Me-Muda-Kan Pengertian Islam” baik-baik. Di sana Bung Karno menyerukan Rethingking of Islam (istilah yang dikutipnya dari Frances Woodsmall), yakni memkirkan kembali maksud-maksud Islam yang sewjarnya. Ajakan Bung Karno tidak hanya ditujukan pada bangsa Indonesia, tapi juga ia mengajar bangsa Mesir, Turki, Irak, Iran, India, dan negeri-negeri Islam yang lain.

Delapan belas tahun sejak artikel memudakan pengertian Islam itu, Bung Karno Bung Karno menyerukan Rethingking of Islam lagi dalam pidatonya pada Pembukaan Fakultas Hukum Islam Perguruan Tinggi Nahdhatul Ulma, Solo 22 Oktober 1958. ”Rethingking of Islam: Pikirkan kembali, cari, gali, gali, gali secara ijtihad, api ini api Islam yang membuat padang pasir ini menjadi satu padang mesiu yang meledak. Carilah api Islam ini kataku. Ijtihad”.

Tak urung, dengan upaya memikirkan kembali Islam, gagasan pembaruan Bung Karno mengingatkan kita pada gagasan Muhammed Arkoun—pemikir Islam Prancis yang tersohor. Dalam artikelnya yang disunting Charles Kurzman, Rethinking Islam, yang dimuat dalam bunga rampai Liberal Islam: Asourcebook (1998), dan diterjemahkan Paramadina dengan judul Wacana Islam Liberal (2001), Arkoun mengawali artikelnya dengan kata-kata berikut:

Islam mempunyai makna historis bagi kita, tapi, pada saat yang sama, pemahaman kita tentang fenomena ini, sayangnya, kurang memadai. Hal ini membutuhkan dorongan dan rintisan untuk pemikiran Islam yang berani, bebas, dan produktif untuk saat ini. Apa yang disebut sebagai revivalisme Islam telah memonopoli wacana Islam; ilmuan-ilmuan sosial, lebih-lebih lagi, tidak memperhatikan apa yang saya sebut sebagai ’Islam yang diam (silent Islam).

Gagasan pembaruan pemikiran Islam yang diajukan Bung Karno punya kedekatan dengan pembaruan yang dilakukan Arkoun. Dan kita tahu, Bung Karno lebih dulu hampir setengah abad dari Arkoun. Jarak antara Bung Karno dengan Arkoun adalah 28 tahun. Dengan menyerukan pemikiran kembali Islam, dengan jalan me-muda-kan pengertian Islam, Bung Karno ingin mengajak kaum muda untuk mencintai kajian Islam. Dengan cara ini, Bung Karno berharap mendapat simpati dari kaum muda. Simpati itu tentu bertujuan bagaimana Islam dikenal sebagai agama yang hidup, bukan agama yang mati.

”Ukurlah tuan punya hari-kemudian, tuan punya pengertian agama, dengan barometer pemuda”, tulis Bung Karno. Jangan menggunakan ukuran kaum tua, sebab dunia berjalan ke depan bukan ke belakang. Islam menuju hari kemudian, bukan hari terbelakang.

Sekali lagi, sebagai penguat argumen, Bung Karno menjejerkan sejumlah tokoh yang banyak diikuti oleh para pemuda, seperti Aristoteles, Socrates, Erasmus, Nabi Isa, pergerakan Oxford, hingga Martin Luther. Para pemuda-lah yang mengerumini Luther di Wittenberg, kata Bung Karno. Para pengikut Isa adalah orang-orang muda. Bahkan pergerakan sosialis di dunia banyak digemari kaum muda. Islam di zaman Nabi banyak diikuti oleh yang muda, seperti Ali bin Abi Thalib, Chalid bin Walid, Saad bin Waqqas, Zubair, Umar bin Khattab, dan lain sebagainya.

***

Bukti keintelektualan Bung Karno, sekaligus bukti bahwa ia seorang pengarang, adalah buku Di Bawah Bendera Revolusi. Buku ini masih mempesona saya sampai hari ini, sama seperti ketika kali pertama saya membacanya. Inilah buku modern yang luar biasa! Gagasan di dalamnya penuh semangat dan tak jarang membuat saya merinding.

Dalam buku itu Bung Karno tampak seorang pembaca yang haus. Berkali-kali ia mengajak kita untuk memikirkan kembali paham keislaman. Ide-idenya menampilkan sebuah ketakjuban dan kebanggan dalam diri saya. ”Gali, gali, gali!”, kata Bung Karno. Dan kita pun diajak menggali timbunan pemikirannya agar tak cuma mendapatkan inspirasi, tapi mendapatkan api!

Bung Karno membela api Islam agar tidak padam. Bahkan ia membela eksistensi setiap insan untuk merdeka, bebas, dan bergerak dengan semangat menjebol-tembus dinding kerusan. Berubah, berubah, berubah, itulah seruan Bung Karno yang kini makin jarang kita dengar!

Si Bung seorang Muhammadiyah yang bersimpati pada pembaruan negara Turki, yang justru paling banyak dikutuk oleh para aktivis Muhammadiyah sendiri. Tokoh-tokoh pembaru Turki kerapkali dijadikan tauladan dalam gerak-pembaruan. Bung Karno juga membela keberadaan Ahmadiyah di Indonesia yang terancam, dan terus dikucilkan. Bahkan ada sejumlah rumor yang tidak beralasan, yang menyebutkan: Bung Karno berhaluan Ahmadiyah!

Si Bung memang penganjur gagasan sekuler dengan melakukan pembongkaran atas pemahaman ulama masa lalu terhadap wahyu dengan konteks kekinian. Tanpa melakukan pembongkaran terhadap sejumlah catatan, bisa jadi teks tentang Ahmadiyah akan (di) suci(kan) dan tafsir penyingkiran terhadap keberadaannya di Indonesia “tak terjamah” berabad-abad. Manusia Indonesia hanya akan terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan subjektif kelompok secara terbatas dan sempit dan melupakan kiprah perjuangan Ahmadiyah yang bersama-sama dengan yang lain berjuang mengusir penjajah.

***

Perbandingan sekilas antara proyek pembaruan pemikiran Islam yang dicetuskan Bung Karno, Cak Nur dan Ulil di atas, tampak tak jauh beda, bahkan mirip dan sama. Intensitas dan cakupan proyek yang mungkin membedakan ketiga penulis itu. Namun gagasan dasar di balik proyek pencerahan, begitu dekat. Ketiganya masih terjebak pada proyek kemajuan, progres, yang tak jarang justru menipu.

Mohammad Natsir, selain Levi-Srauss, yang menyadarkan saya betapa proyek kemajuan itu seringkali berdusta. Natsir bertanya dalam Capita Selecta jilid satu: ”progress manakah yang akan terhalang, apabila pemabokan dan kecabulan dibasmi dengan keras? Kemajuan ekonomi manakah yang akan seret, apabila lintah darat yang menghisap darah rakyat yang miskin itu tidak diberi hidup? Progress politik macam mana pulakah yang akan terhalang apabila orang-orang yang akan duduk memegang kekuasaan itu dimestikan berakhlak dan berbudi baik?”





Sutan Sjahrir



Tubuhnya pendek dan kekar. Tapi bukan pendekar dalam arti pintar silat seperti kebanyakan pendekar Minang. Senyumnya khas. Pembawaannya juga unik dan menarik. Penampilannya sederhana. Tapi pemikirannya begitu serius.

Saya tak pernah melihat langsung siapa tokoh ini mengingat dia meninggal ketika saya belum lahir. Itu kesan yang banyak disampaikan dalam berbagai kesempatan, baik oleh orang yang pernah melihat langsung maupun mereka-reka saja ketika melihat wajah dan sosoknya dalam foto hitam putih. Konon, kalau menatap wajahnya, sepintas kita sedang berhadapan dengan raksasa yang kaku. Pribadi yang enggan berbagi. Sosok yang mengundang dan mengandung kewaspadaan. Wajah yang sayu tapi tajam, sedikit agak sinis tapi intelektual. Tak salah lagi: dia adalah sang otoritas yang nyaris tak terjangkau.

Tapi tokoh kita yang satu ini juga seorang aktivis dan pemikir yang banyak membaca filsafat dan novel, perenung namun tidak murung, dan kadang kala agak menggemaskan. Setidaknya itulah kesan yang tertangkap saat membaca sejumlah foto dalam buku Renungan dan Perjuangan terjemahan H.B. Jassin dari bahasa Belanda.

Buku itu kelak menarik perhatian, bukan saja karena uraiannya lebih menantang dari buku pamfletnya, Perjuangan Kita. Namun, gayanya enak dibaca dan mudah dicerna. Di sana ada sesuatu yang penting yang sedang dibedahnya dengan pisau belati yang mematikan: peran intelektual dalam kehidupan dan pengasingan, tentang individu dan kolektivitas, bahkan tentang tempat berpijak, tanah air, nasional dan internasional, Timur dan Barat.

Suatu kali ia meledek Bung Hatta sewaktu ia berkunjung ke rumahnya tapi tidak menemukan buku-buku sastra dalam lemari perpustakan pribadinya. Padahal di Eropa, kata Sutan Sjahrir, betapa rapatnya intelektual dan aktivis dengan buku-buku seperti novel atau roman. Karena itu, pantaslah jika tulisan-tulisan Sjahrir lebih nyastra ketimbang tulisan Bung Hatta. Kendati tak banyak, tulisan Sjahrir sangat stilis dan menggugah.

Kesan itu juga yang pernah ditulis Abdurrahman Wahid ketika berkunjung ke kontrakan Cak Nur saat masih menempuh studi di Chicago. Cak Nur tetap tapi berubah, kata Gus Dur. Menurut Gus Dur, selera bacaan Cak Nur masih belum bervariasi. Belum tampak novel dari tingkat sastra dunia menghiasi lemari bukunya.


Sjahrir adalah aktivis yang kutu buku. Membaca renungan-renungannya tampak sekali kalau pemikir ini merasa kesepian di tengah hiruk-pikuk zaman. Dalam kata-katanya sendiri, manusia modern hidup dalam ”kesunyian individu di tengah-tengah massa manusia yang bertumpuk-tumpuk, di tengah hiruk-pikuk di kota-kota”. Tak heran jika ia kesepian di tengah revolusi, kedinginan di tengah api perjuangan. Jiwanya kuyup lantaran di mana-mana terdengar seruan massa, kelompok, kolektivitas, dengan dalih bahwa individu harus tunduk pada kepentingan kolektif.

Sebagai seorang individu yang bebas, di dadanya bergolak api revolusi namun tidak seperti kawah candradimuka. Surat-suratnya membuktikan pergolakan yang sengit dan getir antara ”dua dunia yang bertukar tempat” hingga kelak ia harus menentukan pilihan dan sikap yang pasti. Namun ketika hari hampir gelap, dan senja hanya terlihat di tepi ufuk Indonesia bagian timur yang lembut dan bisu, sebelum kemudian tenggelam di balut kelam, Sjahrir ternyata memperlihatkan sosoknya sebagai narsisme Barat yang panjang umur. Hal itu terlihat pada penolakannya terhadap hal-ikhwal yang berbau labirin Hindu dan pasifisme Budha.

Darinya kita mengenal apa arti kekuasaan dan bagaimana menggunakan kekuasaan sebaik-baiknya. Darinya pula kita tahu apa makna pergaulan internasional dengan komitmennya yang serba-besar itu.

Sjahrir pantas menduduki reputasi intelektual papan atas pada masanya. Kendati melintasi rentang waktu yang cukup panjang dalam pembuangan di Boven Digoel bersama Hatta, Sjahrir tetap menekankan kegiatan berpikir sebagai suatu proses pembentukan individu yang berkarakter dan berjiwa bebas. Dengan bekal semangat yang berbaur antara realis dan idealis, Sjahrir menyongsong kancah pergolakan pemikiran yang gelisah.

Ada tiga buku Sjahrir yang berpengaruh: Renungan dan Perjuangan, Perjuangan Kita, dan Sosialisme, Indonesia, Pembangunan: Kumpulan Tulisan. Membaca ketiga buku ini adalah membaca matra-matra yang bersifat kosmik, dendang yang sebentar dan kemudian cepat berganti kediam-dirian. Sifat Sjahrir sebagai intelektual yang cemas dan gelisah menghadapi masa depan politik pasca-kemerdekaan begitu tampak.

Sjahrir mengakui jika ia menentang kehadiran Jepang di Indonesia. Sjahrir menjatuhkan pilihan untuk bergerak di bawah tanah, sebagaimana Amir Sjarifuddin—tokoh yang kelak berseteru dan berseberangan dengannya. Sjahrir sendiri menuturkan panjang-lebar posisi penolakannya terhadap fasisme Jepang dalam esainya bertajuk Out of Exile—yang kemudian diterjemahkan H.B. Jassin menjadi ”Aksi” dan dimuat dalam bagian kedua buku Renungan dan Perjuangan (1990).

Ketika sebagian besar tokoh pergerakan telah memutuskan untuk bekerjasama dengan Dai Nippon, Sjahrir konon tetap bersikukuh untuk melawan Jepang. Citra permusuhan terhadap fasisme Jepang diperolehnya dari hasil studi banding dengan fasisme Jerman dan pengalaman Perang Dunia II yang gegap-gempita.

Selama perang Dunia II, Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Sjahrir tak menerima karena menurut para aktivis komunis, Sjahrir sendiri terlanjur mencintai Belanda, beristrikan orang Belanda, dan menetap di Belanda. Seandainya Sjahrir tidak ditangkap dan diasingkan di Digoel, ia sudah kembali ke negeri Belanda. Namun titik-balik kenyataan tak terbayangkan sebelumnya.

Sjahrir merupakan salah seorang dari minoritas pergerakan nasional yang menaruh curiga pada janji-janji kemerdekaan Indonesia dari fasisme Jepang. Kemahirannya dalam bahasa Jerman memungkinkan ia untuk membaca literatur fasis Eropa. Ia menangkap kesamaan-kesamaan antara fasis Jerman dan fasis Jepang dan menyatakan tidak untuk kekuasaan Jepang di Indonesia.

Sjahrir adalah tokoh langka yang telah membawa harum Indonesia di kancah perundingan internasional dengan kepercayaan diri yang terkadang tampak kontroversial. Begitu banyak yang jadi perhatian Sjahrir, di samping dunia pergerakan tentunya, adalah kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya.

Sungguh gegabah untuk memberi cap yang pasti tentang posisi intelektual Sjahrir di tengah revolusi Indonesia yang membara. Goenawan Mohamad bahkan pernah bilang, betapa mendua sikap para pemimpin pergerakan Indonesia terhadap Jepang. “Kecuali Sjahrir—satu dari sedikit pergerakan yang secara kategoris bilang ‘tidak’ kepada Dai Nippon”.

Tapi apakah benar Sjahrir seorang gerilyawan anti-Jepang? Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu meragukan anggapan itu. Sjahrir tak lebih dari pemimpin pergerakan lain yang juga tak berdaya di hadapan Dai Nippon. Sjahrir adalah ”produk kolonial yang cakrawalanya dibatasi oleh perbatasan hukum Hindia Belanda, dan kiprahnya di lapisan atas bangsanya”, tulis Pram.

Bagi Pram yang lebih condong pada PKI, tidak munculnya aktivis PSI Sjahrir di panggung politik masa pendudukan Jepang tak harus diartikan bahwa ia bergerak di bawah tanah. Bisa saja ia—sebagai terpelajar didikan Belanda—sengaja tak muncul terbuka karena alasan keamanan. Jika memang benar bahwa Sjahrir anti-Jepang, demikian tulis Pram, mengapa pula ia menerjemahkan buku Niku-Dan yang jelas-jelas propaganda militerisme Jepang?

Sementara tak jarang pengarang lain memujinya. Romo Mangun berdecak kagum pada Sjahrir dan menempatkan tokoh ini sebagai ”nakhoda perdana dalam suatu peralihan revolusioner yang gawat” dan ”negarawan yang tak pernah berambisi menduduki kursi kekuasaan politik”. Bahkan Romo Mangun membandingkan sikap Sjahrir dengan Vaclav Havel. Sutan Sjahrir, kata Romo Mangun, bukan politisi, melainkan guru dan pendidik, dan yang oleh sejarah bangsanya terangkat tanpa punya ambisi sedikit pun pada pos Perdana Menteri pertama RI.

Sungguh tak mudah menjustifikasi posisi Sjahrir dalam pergerakan Indonesia. Sejarah sendiri masih belum sepenuhnya menguak peran Sjahrir dalam percaturan dengan kolonial Belanda dan Jepang. Soedjatmoko sendiri—yang dekat dengan Sjahrir—menganggap Sjahrir sebagai intelektual paling kontroversial. Di saat sebagian besar tokoh pergerakan berjuang keras mengusir kolonial Belanda di bumi Nusantara, Sjahrir justru sekolah ke Belanda dan beristrikan orang Belanda. Sikapnya yang jelas-jelas menaruh simpati pada Belanda tak urung membuat dirinya dikucilkan.

Persis seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sutan Sjahrir mengelu-elukan Barat ketika sebagian besar orang Indonesia mengutuk Barat. Bagi Sjahrir, orang Indonesia mesti belajar ke Barat seperti dirinya, dan tidak melap-lap kebudayaan Timur yang sudah renta. Barat adalah simbol kemajuan, kebangunan. Jiwa Barat adalah jiwa Faust yang bergelora, bukan tamasya alam kejatuhan kabut mengambang di atas hutan kayu oak.

Sjahrir menyatakan itu dalam pengasingan di Boven Digoel tak lama setelah Sutan Takdir menyulut polemik tentang kebudayaan di majalah Pujangga Baru. Di tahun 1952, Sjahrir merasa belum puas dengan jiwa Barat-nya, dan kembali melontarkan semangat internasionalisme yang menjunjung rasionalisme dan positivisme. Di depan Konferensi Sosialis Asia di Rangoon—seperti pernah dicatat Aswab Mahasin—Sjahrir berpidato: ”Kita adalah kaum internasionalis dengan suatu pengertian yang tepat mengenai nasionalisme”.

Renungan Sjahrir tak cuma penting artinya bagi generasi muda, melainkan relevan bagi mereka yang kini sedang mengincar biduk kekuasaan di eksekutif dan legislatif. Sjahrir kita kenang dengan penuh kegairahan dan kecintaan, dan mudah-mudahan dengan peringatan seratus tahun Sjahrir ini bisa menjadi tonggak awal menjernihkan perjalanan cendekiawan yang semakin nampak langka dalam era pasar-bebas seni dan pemikiran ini. Apa yang justru akan selalu kita butuhkan adalah kearifannya yang tidak bertopeng kebodohan, kearifan dalam memperingatkan langkah-langkah kekuasaan yang kadang-kadang begitu mudah lupa dan ternoda.

Bung Sjahrir orang Indonesia pertama yang menjadi duta keliling yang mengangkat harga diri bangsa Indonesia yang ditindas. Karir politiknya yang paling tersohor adalah jabatan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Sikapnya terhadap kolonial Belanda membuatnya sering dicap sebagai kooperatif, penganjur negosiasi senyum dan mencoba meyakinkan lewat perundingan ketimbang konfrontasi. Orang-orang komunis menganggapnya tokoh kooperatif tulen.

Harus kita akui, Sjahrir memang seorang intelektual yang dibentuk oleh lembaga pendidikan Belanda. Perjalanan hidupnya nyaris menjadi paria secara permanen lantaran hidup dalam pengasingan. Edward W Said mungkin benar, ketika dalam salah satu esainya tentang peran kaum intelektual mengatakan: pengasingan adalah hidup di antara, tidak pernah berada pada satu keadaan (setting) atau sama sekali tak terbebani masa lalu, dengan keterlibatan serta pelepasan setengah-setengah, nostalgis dan sentimental pada satu sisi serta ahli dalam mimik atau paria rahasia di sisi lain. Keterampilan mempertahankan hidup menjadi imperatif utama, dengan bahaya terlalu nyaman dan aman, yang membuatnya senantiasa dijaga.

Ketika masih di pengasingan, surat-surat intelektual Sjahrir lahir dengan kedirian cipta yang langka pada masanya. Menyimak renungan dan pemikirannya, tampak bahwa tokoh ini tak terlalu cocok sebagai politikus, dan lebih pas sebagai pemikir independen. Surat-suratnya begitu fasih bicara tentang spektrum yang luas, yang menghasilkan karya kritik dengan kualitas literer yang pantas disejajarkan dengan esai-esai Sutan Takdir tahun 1930-an, kendati pemikiran Sjahrir sendiri tentang Timur dan Barat lebih dekat dengan Sanusi Pane. Semboyan internasionalismenya memiliki jangkauan yang luas dan tak terlupakan hingga kini.

Pada masa hidupnya, tak banyak kaum pergerakan menaruh minat atas ide-idenya. Sebagian besar aktivis pergerakan dan intelektual Indonesia waktu itu tak merasa tertarik pada pandangan hidup dan dunianya. Bahkan sebaliknya: dengan cepat Sjahrir dikaitkan dengan intelektual kebarat-baratan—sebuah cap yang waktu itu begitu menyudutkan dan seketika menempatkan seseorang menjadi terdakwa hanya dengan sekali pukul.

Di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual Indonesia, Sjahrir dengan jernih menuturkan bagaimana sikap bermusuhan kaum pergerakan terhadap dirinya. Sjahrir tak banyak mendapat simpati lantaran orang menganggap dirinya Hollandophie: kebelanda-belandaan. Sentimen ini diakuinya sendiri sebagai cambuk sekaligus tantangan bagi dirinya untuk terus menulis dan aktif dalam pergerakan politik.

Yang menarik dari Sjahrir barangkali kritiknya terhadap mereka yang menolak hidup, lalu dengan gigih memperjuangkan hidup dan menghidupkan pesona dunia. Sjahrir menuliskan pandangan dunianya dalam surat bertitel 24 November 1935 tentang ”filsafat Ketiadaan” yang dicibirnya sebagai ideal paling tinggi. Itulah ”filsafat segan hidup, takut hidup, suatu sikap jiwa yang memandang rendah kepada hidup, membelakangi hidup”, tulisnya. Di sini Sjahrir mengkritik filsafat timur sekaligus kritik atas fundamentalisme.

Ada yang paradoks dalam modernitas Sjahrir: ia menjunjung modernisme yang terbukti memusuhi hidup, namun di sisi lain ia berjuang keras untuk menghidupkan kembali pesona dunia setelah dianggap hilang oleh modernisme dan dimusuhi fundamentalisme. Sjahrir tak sependapat dengan anggapan bahwa hidup sebagai penolakan dan pelarian. Hidup justru mesti diisi dengan perjuangan, dengan kerja keras dan tanggungjawab.

Sjahrir bicara dengan intim tentang seni dan pemikiran, antara politik dan sastra, dan menunjukkan kecenderungan intelektual yang dominan di kalangan Eropa dan Barat yang individualis, materialis, rasionalis, positivistis, serta kuatnya imajinasi dan keberanian. Seni dan pemikiran adalah dua persoalan yang paling jarang dilekatkan dengan dirinya. Padahal menurutnya, seni dan pemikiran selalu berisikan ide-ide zaman, merupakan penjelmaan dari pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan manusia. Kehidupan seni akan sampai ke titik puncaknya apabila ditetapkan oleh dan bertepatan dengan titik-titik puncak dalam sejarah manusia. Karya seni yang besar adalah hasil zaman kemajuan material dan spiritual, di mana ide-ide yang agung timbul dengan suburnya di atas landasan kepercayaan pada kemanusiaan dan kemampuannya.

Ada yang unik dalam tinjauan Sjahrir tentang Timur dan Barat. Terlepas bahwa gagasannya dekat—bahkan mirip—dengan yang didendangkan Sanusi Pane, Sjahrir menampik anggapan orang Barat atas Timur sebagai tempat perenungan, wilayah yang eksotik, tenang dan damai. Pendek kata: Timur yang diciptakan, didefinisikan, bukanlah Timur yang sebenarnya.

Pada titik ini, sepintas kita melihat pemikiran Sjahrir dekat dengan pemikiran Edward W. Said yang datang tiga puluh tahun kemudian. Sjahrir mengkritik pandangan Barat terhadap Timur—kendati Sjahrir sendiri sering berdecak kagum pada Barat. Dalam catatan hariannya tak jarang kita temukan nada ”pemujaan” yang berlebihan terhadap ide tentang kemajuan, rasionalisme, individualisme, teknik, dan metode yang berasal dari Barat.”Barat bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust”, tulisnya dalam surat betanggal 31 Desember 1936, yang mengingatkan kita pada ucapan Sanusi Pane dalam polemiknya dengan Takdir Alisjahbana.

Dalam surat bertitel 12 Maret 1937, ia kembali menulis: ”Setelah aku mengenal Barat karena pendidikanku, karena kediamanku di sana, dan karena seluruh orientasiku, aku sama sekali tidak mengidealisir Barat itu. Tapi sebaliknya aku tahu pula apa sifat-sifat ketimuran yang dikagumi orang Barat itu. Aku tahu bahwa sifat-sifat itu hanya cocok dan dipelihara dalam hubungan-hubungan hierarkis dalam suatu masyarakat feodal, di mana satu golongan kecil memiliki segala kekayaan benda dan mental dan bagian lain yang terbesar hidup dalam kemiskinan dan kepasrahan, dengan agama dan falsafahnya sebagai ganti makanan yang tak cukup itu”.

Bagi Sjahrir, kebanyakan hasrat orang Barat kepada Timur hampir mirip dengan kerinduan kepada suasana dalam Abad Pertengahan yang hilang, dengan tegur sapa yang ramah dan solidaritasnya yang lebih besar. Acapkali hasrat itu sama dengan hasrat kepada masa silam. Yang demikian itu pasti suatu tanda orang sudah menjadi tua. Pada titik ini kita teringat kalimat pembuka Edward W. Said dalam Orientalism: ”Timur memang nyaris merupakan invensi Eropa, dan sejak zaman kuno ia telah menjadi tempat yang penuh romansa, makhluk-makhluk eksotik”

Tak seberapa lama Sjahrir mengingatkan: ”Seperti halnya dengan tuduhan orang bahwa kami, orang Timur, masih menganggap Eropa seperti lima puluh tahun yang lalu, demikianlah juga ada orang Barat yang menyangka dunia Timur masa kini seperti dunia Timur yang diidealisir oleh berberapa filosof, suatu Timur yang tak pernah ada. Dunia Timur seperti yang dikisahkan oleh Augusta de Wit hanya ada untuk orang-orang seperti Augusta de Wit”.

”Suatu Timur yang tak pernah ada” adalah kalimat yang tak urung mengingatkan kita pada Karl Marx dan Edward W. Said. Timur adalah sesuatu yang dikonstruksi, yang sengaja diadakan, diciptakan. Edward W. Said dalam karya yang telah disebutkan, mengutip satu pernyataan Karl Marx dalam buku The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte: ”Mereka tidak bisa tampil sendiri; mereka harus ditampilkan”.

Barat-lah yang menampilkan Timur selama ini. ”Timur adalah karir”, kata Benyamin Disraeli. Dengan kata lain, Timur ada karena ada yang sengaja mengadakan. Ia tidak bisa ada dengan sendirinya. Dalam kata-katanya Said, Timur bukanlah suatu kenyataan alam yang asli. Timur tidak ada begitu saja, seperti juga Barat tidak ada begitu saja”.

Di sini Sjahrir menunjukkan sikap yang paradok. Sjahrir kritis terhadap pandangan Barat tentang Timur tapi Sjahrir yang berpikiran dikotomistis itu tak bisa menyembunyikan keterpesonaannya terhadap Barat. Sjahrir menampik semboyan seni untuk seni dan menggeser kolektivitas menjadi individualitas, ketergantungan pada masa lalu menjadi masa baru. Dalam garis kesusastraan baru yang dinamis inilah Sjahrir berada dalam satu tarikan napas yang sama dengan Bung Karno, Sutan Takdir, yang berusaha untuk menjadikan revolusi kebudayaan dengan menumbangkan kebudayaan lama sampai ke akar-akarnya dan memunculkan kebudayaan yang benar-benar baru.

Sjahrir tampak sedang menjalankan suatu revolusi dalam cangkir kopi. Barat adalah kiblat bagi perjuangan keras untuk mengembangkan kebudayaan yang maju dan baru, dan ajakan untuk memetik hikmah serba-dari Barat ternyata mendapat gaung yang keras. Bagi Sjahrir, Barat-lah tempat segalanya bercokol. ”Kita hanya bisa menyelami makna ilmu pengetahuan Barat dalam hubungannya dengan masyarakat yang telah melahirkan dan menumbuhkannya”, tulisnya dalam Renungan dan Perjuangan.

Lebih jauh Sjahrir mengingatkan: ”Kita akan belajar melihat rasionalisme serta cara berpikir dengan disiplin ketat itu, sebagai sesuatu yang penting untuk dapat mengurai-uraikan, menganalisis dan mempertahankan suatu masyarakat yang lebih kaya akan keragaman itu”. Sebagaimana alasan Takdir saat membela Barat yang didebat oleh Sanusi Pane, Adinegoro, Dr. M. Amir, Sutomo, dll, Sjahrir menganggap ”belum ada orang intelektual yang menulis dalam arti yang sebenarnya di negeri kita ini” karena itu orang Indonesia harus belajar ke Barat. Di negeri ini tidak ada kesusastraan Indonesia yang bermutu. Tak ada kesusastraan roman, padahal kata Sjahrir, roman banyak mengungkapkan pandangan hidup dan vitalitas”.

Jika Sanusi Pane pernah menyinggung sifat Faust yang pasti berlawanan dengan Arjuna, demikian pula sikap Sjahrir. Simak bunyi suratnya bertanggal 31 Desember 1936: ”Barat bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis; itulah Faust, sifat yang kusukai, dan aku yakin bahwa hanya Barat—yaitu dalam pengertian dinamis ini—yang bisa melepaskan Timur dari perbudakannya”.

Sjahrir kian jauh dari mistisisme Timur dan dekat dengan perjuangan ilmuwan menantang alam, bahkan ”perjuangan melawan alam itulah sebenarnya perjuangan manusia: menaklukkan dan menguasai alam dengan kemauannya”.

Pernyataan semacam itu, entah mengapa, membuat saya merinding. Sungguh, aku ngeri membayangkan bagaimana hutan-hutan digunduli, sawah dan ladang dilumuri berbagai zat adiktif demi menyongsong abad industri dan teknologi dengan alasan kemajuan.

”Aku sekarang merasa tertarik pada studi tentang positivisme”, tulis Sjahrir. ”Perasaan adalah sesuatu yang positif, dan kepuasaan yang timbul karenanya adalah sebuah keseimbangan. Musik harmoni akan tercapai jika tuntutan-tuntutan intelek diberdayakan secara objektif. Aku tahu benar intelek mempunyai tuntutan-tuntutan terhadap kehidupan alam dan bisa mempengaruhinya, bahkan sedikit banyak bisa menguasainya”.

”Apa boleh buat”, tulis Sjahrir di surat yang sama,”bahkan kapitalisme pun terpaksa kuterima bersama-sama dengan itu, sebagai sesuatu yang lebih baik daripada ’kearifan dan religi ketimuran’ yang dipuji-puji itu”. Jika seorang yang sebelumnya dikenal kritis terhadap kapitalisme namun akhirnya harus mengatakan bahwa ”kapitalisme pun terpaksa kuterima” ini bertanda bahwa Sjahrir tidak main-main dengan sikapnya terhadap ilmu pengetahuan Barat.

Tentu saja Sjahrir menyadari apa yang akan dikatakan orang dengan sikapnya terhadap Barat itu. Bung Karno—walau tidak secara eksplisit menyindir Sjahrir—menyebut intelektual seperti Sjahrir ”terlampau kenyang tjekokan kolonial”. Karena itu, pada bagian suratnya yang selanjutnya, Sjahrir mulai bergeser dan tak lagi memuja secara buta apa saja yang berasal dari Barat. ”Sama sekali bukan berarti bahwa aku mengidealisir Barat seperti keadaannya sekarang ini. Aku pun tahu segala kerapuhan dan kebusukannya sebagai dunia dan peradaban kapitalis. Tapi biarpun begitu aku kira aku masih sanggup menghargai semuanya itu, dibandingkan dengan apa yang biasanya disebut orang ’ketimuran’. Menghargainya karena tenaga lentingnya, militansinya, rasionalitasnya. Hanya rasionalitas yang sanggup menguasai dunia ini”.

Apakah Sjahrir akhirnya tetap sebagai pembeo Barat dan durhaka terhadap Timur? Agaknya saya perlu mengutip pertanyaan bernada gugatan yang diajukan Sjahrir sendiri, yang sudah sering dikutip itu, untuk melihat lebih jernih bagaimana ia menafsirkan perdebatan tentang Timur dan Barat kemudian: ”Mengapa kita mesti memilih antara Barat yang kapitalis dan Timur yang menghamba? Kita tidak perlu menginginkan yang satu atau yang lain: kita bisa menolak kedua-duanya, sebab kedua-duanya sesungguhnya harus dan sedang menjadi masa silam”.

Kata-kata itu seakan mengakhiri debat antara Timur dan Barat yang selama ini tampaknya sengaja dipenting-pentingkan. Kini kita hidup dalam abad komunikasi di mana jarak antardunia menyempit. Dan bisa jadi pernyataan Mark Sommer dalam bukunya tentang musim semi kedua kota Praha ini benar:

Jika masih ada tempat untuk harapan yang masuk akal bahwa kita harus menyesuaikan kehidupan kita ke dalam perubahan kebenaran, maka itu tak mungkin terwujud dari dekrit bangsa-bangsa atau produk dari perserikatan, melainkan dari insiatif individu-individu untuk menciptkan suatu alternatif kenyataan di dalam kehidupan umum dan kehidupan pribadi. Soal Timur dan Barat kini telah kembali menjadi satu. Dinding-dinding tidak lagi memisahkan kita. Secara bersama-sama kini kita mendiami dunia kecil yang sama...
















Sutan Takdir


”Barat! barat! barat!” kata seorang kondektur. Di Indonesia, kata ”Barat” nyaris identik dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Bahkan sulit sekali menjauhkan tokoh ini dari kesan ke-barat-barat-an mengingat sejak awal kita mengenalnya sebagai penganjur barat yang paling gigih.

Sekarang, kalau orang bicara tentang Takdir, selain kesan tentang barat yang muncul, terdengar juga pujian yang menempatkan tokoh ini sebagai aikon perjalanan kebudayaan modern Indonesia. Dalam dirinya terdapat gabungan tiga sosok yang unik: sebagai seorang pemikir kebudayaan, ahli filsafat, dan sastrawan yang meletakkan sastra sebagai perjuangan yang menuntut tanggungjawab—yang ilhamnya berasal dari Barat.

Puisi dan pemikiran tokoh ini tampak berlawanan dengan kecenderungan dan harapan sebagian besar sastrawan dan budayawan kita. Sejak masih mengasuh majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru, ia kerapkali mencetuskan ide-ide besar dan segar dalam lapangan pemikiran dan kreativitas. Tak ada cendekiawan Indonesia yang sebegitu intens memperjuangkan kebudayaan baru Indonesia nyaris tanpa interupsi, melalui filsafat kebudayaan, esai-esai sastra, puisi dan prosa yang memanggul beban-berat ide, kecuali Takdir.

Bahkan setelah setengah abad Polemik Kebudayaan yang dimotorinya di era 1930-an, tokoh ini masih menghadapi sosl-soal kebudayaan bukan dari jurusan antropologi akademik, tetapi ”dari praktek perjuangan kebudayaan yang menghdapkan bangsa Indonesia dengan bermacam-macam soal kebudayaan yang menjadi sebab kedudukannya sebagai bangsa yang terjajhg, bangsa yang miskin, bangsa yang terbelakang di tengah-tengah dunia yang jauh lebih maju dan makmur”, tulisnya dalam tanggapan atas makalah Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam acara ”Seminar Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan” yang diselenggarakan LIPI pada 13-15 September 1982.

Pertanyaan yang konkret yang menggugah Takdir bertindak sebagai pejuang kebudayaan, sebagimana dinyatakannya sendiri, yang juga mengingatkan kita pada kecemasan Pramoedya Ananta Toer, adalah: mengapa bangsa Indonesia dijajah bangsa Belanda yang kecil dan bukan sebaliknya? Mengapa bangsa dan keturunan Cina yang kecil jumlahnya dapat hidup lebih makmur dan menguasai dewasa ini 70 % dari ekonomi Indonesia? Bagaimana mengadakan pendidikan supaya mentalitas bangsa Indonesia berubah, dan dapat bersaing dalam dunia modern? Bagaimana mengembangkan bahasa Indonesia, seni Indonesia, dan lain-lainnya supaya menjadi faktor-faktor modernisasi yang ampuh? Kebudayaan yang bagaimanakah yang akan tumbuh dalam pembauran bangsa-bangsa dan kebudayaan-kebudayaan di seluruh dunia sekarang?

Pertanyaan-pertanyaan itu, kata Takdir, penting dan relevan untuk terus diajukan, tapi anehnya masih jarang dipikirkan oleh antropologi akademik. Maka Takdir menyebut proyek antropologinya sebagai ”antropologi baru”—sebagaimana bunyi salah satu judul bukunya, karena antropologi akademik tak cocok buat seleranya yang ingin cepat maju.

Meskipun ilmu dan filsafat sangat menarik hatinya, tetapi kalau mau jujur, katanya, maka menulis sastra lebih memberikan kepadanya perasaan kebahagian. Apa yang ditulisnya sejak usia 15 tahun hingga sebelum tutup usia dalam umur 86 tahun, memang seperti rajutan kultural dari apa yang disebut—mengutip kata-katanya sendiri—sebagai “benang yang tak putus-putusnya di rajut kembali di zaman kita” atau “tuntutan perasaan tanggung jawab yang terus-menerus tentang masyarakat dan kebudayaan”. Menulis adalah panggilan takdir manusia yang menjadikan dirinya sebagai manusia.

Nama Takdir telah menjulang sejak usia 27 tahun ketika tulisan-tulisannya sering muncul di Panji Pustaka dan Pujangga Baru. Di majalah terakhir ini Takdir menjadi bengawan dan tulisan-tulisannya telah menyulut polemik yang melibatkan tokoh-tokoh terkemuka yang jauh lebih senior dari dirinya. Takdir ingin memutus mata rantai kesinambungan pre-Indonesia dan Indonesia, tradisi yang lama dan kebangkitan yang baru, antara Timur dan Barat yang dipenting-pentingkan.

Optimismenya menyala-nyala, jiwanya ikut bernyanyi, yang mirip gelombang menjebol masa silam, atau pra-Indonesia itu. Perkembangan pemikirannya tak jarang mengarah pada anak panah psikologi sains yang pongah, sering dengan alasan yang— jika dibaca di hari ini—sungguh menggelikan.

Salah satu ambisi Takdir adalah melakukan penerjemahan besar-besaran ke dalam bahasa Indonesia buku-buku ilmu pengetahuan. Bahkan Takdir pernah mengancam untuk meninggalkan bahasa Indonesia kalau sampai pemerintah tak mau atau tak sanggup membiayai penerjemahan buku-buku perguruan tinggi ke dalam bahasa Indonesia. Takdir menuntut kepada Bappenas dan Kementerian P dan K supaya soal penerjemahan buku-buku perguruan tinggi diberi prioritas karena kita telah membuang waktu 20 tahun tidak melakukan pekerjaan mahapenting ini. “Kalau kita tak mau atau sanggup melakukannya”, kata Takdir, “taklah lain usul saya supaya kita lepaskan bahasa Indonesia, sebagai bahasa pengantar kita pada Sekolah Lanjutan dan Perguruan Tinggi, sebab kita hanya menipu mahasiswa dan masyarakat kita. Meskipun saya adalah orang yang lebih empat puluh tahun memperjuangkan bahasa Indonesia, saya rela melepaskannya, sebab akhir-akhirnya bagi saya bahasa bukan sesuatu yang hanya untuk dibangga-banggakan, tetapi adalah alat untuk berpikir dan mencapai kemajuan karena ilmu dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya”.

Kendati harapan Takdir tak sepenuhnya bisa terwujud, namun upaya penerjemahan pernah dikerjakan oleh beberapa penerbit, sebut misalnya Dian Rakyat, Penerbit Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Pustaka Jaya, Gramedia, dan lain-lain.

Perkembangan bahasa Indonesia, walau tak semaju yang diharapkan Takdir, telah menunjukkan hasil yang gemilang. Kamus Besar Bahasa Indonesia kini telah memasuki edisi keempat yang memuat entri jauh lebih banyak: dari 78 ribu dalam edisi ketiga (2001) menjadi 90 ribu dalam edisi keempat. Edisi kesatu (1988) baru memuat 62 ribu dan edisi kedua (1991) 68 ribu lema.

Bahasa Indonesia tak cuma sebagai bahasa perhubungan dan kemajuan. Sejumlah karya sastra telah menggeluti bahasa dengan ekspresi yang indah dan cantik: novel Saman dan Larung Ayu Utami, novel Cala Ibi dan kumpulan cerpen Laluba Nukila Amal, puisi dan pemikiran Goenawan Mohamad dalam esai-esainya, dan lain-lain.

Takdir lebih pas dimasukkan ke dalam kotak sastrawan komunis, yang senantiasa menuntut tanggungjawab dan keterlibatan sastrawan terhadap kemajuan dan kebangunan bangsa. Takdir menganjurkan perlunya revolusi kesusastraan seiring dengan bergemanya semangat revolusi di lapangan politik. Dalam salah satu esainya di Pujangga Baru tentang puisi baru, Bahasa Baru, akdir menampik pantun dan pepatah seraya menakankan ”Revolusi kesusastraan yang maha terlangsung oleh tiada tertahan-tahannya perasaan Indonesia Muda datang mendesak dan mendorong”. Dengan itu maka ia percaya bahwa: ”Segala pepatah dan petitih, kiasan dan bandingan, buah mulut dan pemeo terbongkar dengan akar dan umbinya. Generasi baru mencabut-membabut membalikkan tanah, agar semangat baru yang masak di rongga dadanya dapat tersemai tumbuh sesempurna-sempurnanya”.

Begitulah Takdir memaknai sepenggal perjalanan kreatifnya. Sebagai seorang yang menjunjung kreativitas, ia berhasil memperkaya jiwanya dengan sastra, kebudayaan, dan filsafat dengan ukuran internasional.

Barat adalah kebudayaan dan peradaban yang dijunjungnya begitu tinggi. Barat baginya adalah tempat ilmu pengetahuan bercokol, sekaligus tempat orang Timur belajar menuntut ilmu. Sebagai ”bangsa yang berpal-pal jauh tertinggal”, meminjam istilah Takdir sendiri, bangsa Indonesia sudah seharusnya belajar ke Barat.

Takdir sangat lekat dengan kontroversi dan polemik. Mula-mula ia menyulut polemik yang kelak dikenal sebagai Polemik Kebudayaan, yang walau bukan polemik yang pertama di Nusantara, namun inilah polemik sastra-budaya yang terbaik dalam sejarah Nusantara.

Takdir pernah melontarkan perumpamaan sastra dan pohon beringin yang subur di majalah Pemandangan tahun 1943. Ketika pihak Jepang sedang asyik menyusun pusat kebudayaan dan banyak menarik seniman Indonesia di tahun itu, ia menegaskan bahwa kaum seniman yang telah memperkaya dirinya dengan ukuran internasional hendaklah kembali ke sekitarnya; “kembali ke akar, ke masyarakat dan kebudayaan Indonesia; bukan sekadar untuk mencari bahan mentah dan melap-lap kebudayaan lama, tapi supaya jiwanya dapat tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya”.

Dengan kembalinya sang seniman ke bumi manusianya sendiri, ia sempat meramalkan akan datangnya suatu masa yang subur dan rimbun bagi kebudayaan Indonesia, “seperti pohon beringin yang beribu akarnya menyelami bumi dan di bawah lindungannya bangsa Indonesia hidup jaya dan berbahagia”.

Takdir begitu sering mengkritik kebudayaan Nusantara—termasuk mengkritik agama Timur—yang dianggapnya bukan sebagai cermin semangat pembebasan melainkan belenggu dan penyamun bagi bangsa muda bernama Indonesia. Selagi masih bergabung di PSI, Takdir berdebat dengan Mohammad Natsir dari Masyumi yang sempit dalam menempatkan Islam. Takdir menawarkan ide sosialisme demokrat yang sekuler dan menawarkan kebebasan manusia untuk beragama dan memeluk keyakinan sesuai pilihannya sendiri.

Tafsir lama tentang Islam sudah saatnya ditinggalkan karena tidak akan membuat Indonesia maju, melainkan beku. Kebudayaan lama selayaknya disimpan dalam laci kenangan dan kebudayaan baru yang melayani pertemuan manusia sebagai individu dengan sesuatu yang merupakan dirinya sendiri dalam kekiniannya sudah semestinya lahir. “Melanggar pagar gramatika sedikit tidaklah mengapa dalam menulis sastra, karena terlampau takut membuat salah itulah maka karya sastra kita menjadi seperti kuda yang telah tua, yang setiap hari berjalan melalui jalan yang satu dan sepanjang zaman tiada berubah-ubah hingga ajal tiba menjemputnya”, tulisnya dalam sebuah esai.

Takdir Alisjahbana dikenal sebagai pemikir tersohor yang hidup berpindah-pindah. Ia pernah tinggal bertahun-tahun di hulu Teluk Semangka—Bengkulu, yang dalam peta hilir teluk ini terletak di daerah perbatasan antara kabupaten Tanggamus dengan Lampung Barat. Saat itu ia mengikuti ayahnya sebagai guru SD di desa Semangka dan melanjutkan Sekolah HIS Bengkulu. Dalam usia 15 tahun ia telah menulis untuk majalah Jong Sumatera dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu sewaktu masih jadi murid Sekolah Guru di Muara Enim. Lalu Takdir menjadi guru HKS di Palembang bertepatan dengan proklamir Sumpah Pemuda (1928-1929).

Dalam usia 18 tahun Takdir telah menulis bab yang pertama untuk roman Tak Putus Dirundung Malam yang kelak diterbitkan tahun menjadi buku tahun 1929. Sejak itu karyanya dengan deras menyapa pembaca Indonesia: Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (ditulis 1932 terbit 1941). Bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru yang sangat berpengaruh dalam perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Sajak-sajaknya terbit di majalah ini yang kemudian dikumpulkan dalam Tebaran Mega (1936) lalu terbit ulang oleh Dian Rakyat dalam Sajak-Sajak dan Renungan dan Lagu Pemacu Ombak (1978) dan Perempuan di Persimpangan Zaman (1985).

Setelah perang Takdir mendirikan majalah Pembina Bahasa Indonesia yang kemudian menghasilkan buku Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957) dan dua jilid Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dan Kamus Istilah. Beberapa buku romannya yang lain masih berjejer di toko buku: Grotta Azzurra, Kisah Cinta dan Cita, Kalah dan Menang. Tahun 1966 terbit bukunya sebagai perkembangan dari polemik kebudayaan 1930 dalam bahasa Inggris: Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture (1966). Esai-esainya di majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru terbit menjadi buku bertajuk Perjuangan Tanggung Jawab Dalam Kesusastraan (1977) dan Kebangkitan Puisi Baru Indonesia.

Antara 1979-1994 sebelum tutup usia, Takdir menjabat pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya di Bali sekaligus menjadi direktur sanggar Toyabungkah. Buku karya non fiksinya tak kalah banyaknya dengan roman. Banyak gelar dan penghargaan yang telah diterimanya mulai dari Satyalencana Kebudayaan, doctor honoris causa dari UI dan Universitas Sains-Penang-Malaysia hingga Bintang Tanda Jasa Harta Suci dari Kaisar Jepang. Takdir sendiri bahkan pernah aktif di Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan menjadi anggota parlemen , anggota Komite Nasional, anggota Konstituante mewakili PSI Sumatera Selatan. Sampai akhirnya hayatnya ia telah menjabat Rektor Universitas Nasional Jakarta.

Tak heran jika di Jakarta dan Sumatera Utara baru-baru ini dilangsungkan peringatan 100 Tahun STA. Media nasional bahkan mengabarkan bahwa para penulis akan menggelar diskusi khusus tentang STA dalam acara Ubud Writer’s Festival tahun ini. Penerbit Balai Pustaka—tempat ia pernah bekerja di tahun 1930 untuk kemudian mendirikan majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru—akan menggelar seminar “Memoar STA dalam Perjuangan Bangsa Indonesia”. Lembaga IKAPI bahkan akan menganugerahkan Sutan Takdir Award pada Hari Buku Nasional bulan April 2008.

Takdir memang pantas dikenang lewat kerja-kerja intelektual dan kreativitas. Mudah-mudahan dengan berbagai acara pagelaran tersebut akan menjadi benang merah dari harapan STA sendiri agar kaum cerdik cendikia Indonesia tak hanya sekadar pandai mengekor di belakang para penulis mancanegara, tapi berada di baris depan menentukan arah dan tujuan perkembangan sastra-budaya sebagai bagian dari perkembangan dan tanggung jawab kepada masyarakat.

Sebagai filsuf kebudayaan yang paling energik yang hidup dalam paruh pertama hingga dekade terakhir abad ke-20 ini, penyair dan pemikir ini telah menyumbang sederet tesis kebudayaan yang gemilang di bumi Nusantara. Beragam pemikirannya memberikan kepada kita arti-penting pengetahuan filsafat dan kebudayaan yang terdokumentasi dalam beragam karyanya. Sepanjang hidupnya ia sangat lekat dengan ide-ide yang kontroversi dan bernuansa polemis.

Berkat buah pikirannya kita mengenal Polemik Kebudayaan yang paling bermutu, yang hingga kini masih bisa kita baca dan kita timba. Takdir kerap kali jadi sasaran kritik seniman yang tergabung dalam Lekra. Bahkan Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah esainya menyebut Takdir sebagai antek Barat dan tidak memandang ide-ide kesusastraannya sebagai bertendens kerakyatan. Namun Takdir sendiri begitu memuji roman Keluarga Gerilaya karangan Pram dengan menyebutnya sebagai “pembebasan dalam kesusastraan Indonesia modern”.

Para pujangga yang tergabung dalam LKN bersama Sitor Situmorang bahkan sering bersimpangan pendapat dengan Takdir. Sitor menolak pandangan “kebarat-baratan” dalam pemikiran Takdir. Namun ketika Sitor keluar dari penjara tahun 1974 ia berharap ingin ke Bali dan siapa lagi yang membiayai dan menyediakan baginya tempat di Toya Bungkah kalau bukan Takdir.

Sebagai seniman traveling, Takdir memang banyak bersentuhan dengan pemikiran internasional mulai dari Jepang, Belanda, Jerman, Prancis. Pandangan filsafatnya banyak diwarnai dari hasil pertemuan dengan para filsuf Yunani dan Barat (Amerika-Jerman-Prancis). Takdir memang layak disebut sebagai anak spiritual pencerahan Eropa abad ke-19, hasil langsung dari Revolusi Prancis di bumi Nusantara, sebagaimana halnya dengan Kartini dan Pram.

Begitu banyak pribadi yang melekat pada namanya. Dalam hidupnya ia pernah disebut sebagai pujangga, seniman, sastrawan, pemikir, filsuf, budayawan, ahli bahasa Melayu/Indonesia, hingga seorang manajemen kampus dan sang pencinta tanaman. Jika ada orang Indonesia yang mesti mendapat giliran sebagai seorang yang pantas diberi gelar filsuf, maka ia adalah orang yang paling pantas menerima giliran pertama sebagai filsuf Nusantara. Dosen-dosen filsafat saya di IAIN tak akan keberatan karena semasa kuliah namanya kerap kali disebut-sebut sebagai filsuf Nusantara yang telah menghasilkan lebih dari selusin karya terkemuka.

Dalam esai Pengalaman Sekitar Menulis Karangan Sastra, ia mengaku bahwa ilmu dan filsafat sangat menarik hatinya dan telah banyak waktu yang telah digunakan untuk menulis kedua bidang yang sangat luas itu. Tapi pada sastra dan kebudayaan ia merasa menemukan perasaan kebahagian yang tak terpermanai.

Sejak memimpin Panji Pustaka tahun 1930-an Takdir telah memberi perhatian yang gemilang terhadap kesusastraan dengan membuka rubrik Memajukan Kesusastraan di majalah tersebut: sebuah lembar sastra yang disebutnya sendiri sebagai “jalan pembaruan sastra Indonesia”. Dan Takdir menjadi mualim dan kelasi dalam dua majalah sekaligus: Panji Pustaka dan Pujangga Baru--dua majalah terkemuka yang disebutnya sebagai “kesempatan meluskan pikiran dan pengetahuan yang bukan hanya tentang sastra, tetapi juga tentang soal-soal masyarakat dan kebudayaan”.

Pandangan filsafatnya begitu genial dan memiliki kekhasan dan keluwesan dibandingkan para pemikir Indonesia lain yang setelah kemerdekaan “rame-rame jadi eksistensialis”—minjam istilah almarhum Iwan Simatupang. Chairil Anwar ditempatkan Arief Budiman sebagai seniman-filsuf yang dekat dengan pemikiran eksistensialis Prancis. Sitor Situmorang dititahkan sebagai pujangga-pemikir oleh Subagio Sastrowardoyo lantaran banyak menampilkan ide eksistensialisme. Bersama dengan kemunculan Iwan Simatupang, maka genaplah pasangan seniman-filsuf tanah air untuk tidak sekadar jadi inspirasi bagi para penulis berikutnya.

Kini telah muncul banyak seniman yang berwibawa di bumi Indonesia dan tiga di antaranya berasal dari Sumatera Utara: Chairil Anwar, Sitor Situmorang, dan Iwan Simatupang. Ketiga “seniman gila” ini begitu besar pengaruhnya dalam pemikiran kebudayaan dan kesusastraan di tanah air yang gaungnya menggelegar sampai ke mancanegara. Dari pemikiran dan kreativitas ketiga seniman yang telah tiada itu, telah muncul pemikir-pemikir di lapangan kebudayaan dan kesusastraan yang baru. Bahkan telah muncul pemikir muda yang terang-terangan melanjutkan seruan Takdir untuk menggali ilmu pengetahuan Barat.
















Soedjatmoko


Koko—panggilan akrab Soedjatmoko—bukan tipe intelektual yang harus berganti kelamin, atau mengebiri kelaminnya sendiri agar terdengar romantis. Tapi dia model intelektual yang kutu buku, sedikit otodidak, sedikit ragu-ragu, agak gamang dan kadang bimbang. Koko seorang moralis besar sekaligus jenius di lapangan filsafat etika.

Saya tak pernah berjumpa dengan Koko. Ia meninggal ketika usia saya baru empat belas tahun dan masih jauh dari mengerti persoalan-persoalan yang jadi perhatian sepanjang hidupnya. Baru ketika saya kuliah di fakultas Ushuluddin mengenal satu per-satu visi intelektual manusia Indonesia yang berhaluan luas ini. Konon ketika ia meninggal dalam usia 67 tahun, rakyat jelata nyaris tak mengenalnya, apalagi mau berdiri di sepanjang jalan sebagaimana ketika Bung Karno dan Harto meninggal. Tapi banyak penulis yang merasa kehilangan, dan ini wajar mengingat kiprahnya di dunia gagasan.

Separuh hidupnya dicurahkan untuk mengabdikan diri dalam pembangunan bangsa. Berbagai dunia pemikiran telah dirambahnya, mulai dari filsafat dengan beragam aliran, ekonomi-politik, agama, sains, sejarah, sosial, lingkungan, sains, teknologi, dan berbagai persoalan dunia ketiga seperti masalah kemiskinan, kelaparan dan pengangguran.

Esai-esainya yang bertebaran di berbagai jurnal terkemuka di dunia begitu serius dan nyaris tak mengandung secuil humor pun di dalamnya. Pergulatan Koko dalam semua hal begitu intim dan intens. Ada tiga bukunya yang tak bisa diabaikan ketika kita hendak mengetahui pemikirannya: Dimensi Manusia dalam Pembangunan (LP3ES, 1983), Etika Pembebasan (LP3ES, 1984) dan Menjelajah Cakrawala, Kumpulan Karya Visioner Sodjatmoko (Gramedia, 1994). Tiga buku ini dapat dikatakan sebagai kumpulan pemikiran Koko yang paling brilian dan otentik. Di dalamnya begitu banyak hal yang menarik dan jadi perhatian yang serius bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, tidak hanya pada soal politik, tapi juga budaya, agama, etika, sastra, pendidikan, tentang konflik dan peran cendekiawan di dunia sedang berkembang.

Koko punya gaya dan karakter yang unik dan disegani karena kemampuannya di berbagai bidang tidak diragukan lagi. Padahal Koko tidak tamat S1. Ketika kekuasaan Jepang mencokolkan samurainya di negeri ini, ia angkat suara hingga ia harus keluar dari universitas dan belajar sendiri. Kebetulan, ketika ia pulang ke Solo, ada pasar yang menjual buku-buku langka yang selama itu jadi rujukan banyak orang.

Berbekal membaca buku yang diperolehnya dari pasar loak itu, Koko merasa tidak tertinggal dengan rekan-rekannya yang masih terus kuliah. Bahkan apa yang dibacanya tidak pernah dibaca oleh kawan-kawannya yang masih kuliah.

Tentu saja, selian banyak membaca, pengalaman juga membentuk karakter intelektual Indonesia yang langka ini. Semasa masih di Jakarta, ia dekat sekali dengan Sutan Sjahrir. Bahkan pernah bersama Sjahrir dalam rangka melakukan perundingan di Amerika Serikt.

Bagi Koko, kuliah itu cuma sarana, bukan tujuan. Tujuan sesungguhnya pendidikan adalah memperoleh pengetahuan seluas-luasnya. Dan dibangku universitas tidak mungkin memperoleh pengetahuan yang mendalam. Pemikiran Koko terbentuk justru ketika ia sudah mengucapkan selamat tinggal universitas. Ia menjelajah berbagai bidang liputan dengan keragaman tema yang langka: mulai dari sastra sampai ilmu sosial, dari sains sampai kebudayaan, dari ekonomi sampai teknologi, dari agama sampai filsafat dan etika sosial, dari soal dunia universitas sampai ke persoalan politik.

Dulu memang tak ada fak-fak pengetahuan. Sistem fakultas hanya akan membuat pikiran mahasiswa terkurung dan terbelenggu. Semua intelektual lintas-batas. Dan sebagian besar intelektual dan aktivis politik pada waktu itu membaca buku-buku sastra, di samping buku-buku filsafat, pendidikan dan pergerakan.

Salah satu keprihatinan Koko adalah dunia pendidikan. Sekalipun lebih banyak bicara tentang pembangunan, namun Koko menganggap pembangunan sebagai proses belajar, bukan suatu proses yang mekanis. Koko menaruh kepedulian besar terhadap pengetahuan. Baginya, pengetahuan mesti dikejar dengan melintasi perbatasan.

Kepeduliannya terhadap universitas dan pendidikan tinggi sungguh tak kecil, terutama bagi pendidikan di dunia ketiga. Tapi masalah-masalah besar dalam pendidikan tinggi pada umumnya diabaikan oleh para peneliti pendidikan. Tanggungjawab universitas dan mereka yang bekerja di dalamnya adalah untuk dalam pencarian terhadap berbagai sintesis baru agar dapat berfungsi sebagai basis bagi upaya kerja sama dalam menangani persoalan-persoalan global saat ini maupun yang akan muncul.

Cukup banyak esai Koko yang memfokuskan bahasan pada soal pendidikan tinggi, terutama universitas. Beberapa pengamatannya terhadap dunia akademik cukup memperihatinkan, dan dengan tanggap Koko mengajukan pilihan-pilihan yang mesti diambil. Kebebasan akademis merupakan sesuatu yang mutlak perlu. Perguruan tinggi yang tidak bebas, yang tidak independen, hanya akan melahirkan kesenjangan dan ketidakadilan. Sistem pendidikan semacam apa yang dapat merangsang berkembangnya ciri-ciri dan kemampuan manusia Indonesia melakukan perubahan ke arah yang lebih sejahtera dan lebih baik, serta bagaimana transformasi pendidikan mampu memberikan jawaban terhadap krisis di bidang jiwanya pendidikan?

Pertanyaan itu diajukan Koko dalam esai Manusia Indonesia Menjelang Abad ke-21 dan Persiapannya, yang merupakan karya terakhir Soedjatmoko sebelum kemudian ia meninggalkan kita untuk selamanya. Esai itu pernah disampaikan dalam kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan dikumpulkan dalam buku Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa Depan (1991).

Perubahan dalam pendidikan, menurut Koko, mesti menembus sampai ke jantung pendidikan, yaitu kekuasaan yang bermain dan memainkan sistem pendidikan. Perkembangan suatu bangsa, katanya, terletak pada pendidikan. Omong kosong mengharapkan suatu bangsa yang memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sementara kemampuan di bidang humaniora, ilmu-ilmu sosial dan pengalaman berorganisasi sosial tidak dikembangkan. Tidak mungkin mengharpkan suatu pemecahan masalah-masalah pendidikan yang mengalami jalan buntu, sementara para pendidik sendiri tidak cukup tahu.

Kita memang prihatin terhadap rendahnya gaji yang diterima guru dan dosen selama Orde Baru. Masuk akal bahwa guru bukan pahlawan tanpa tanda jasa. Guru bagaimana pun sangat mengharapkan jasa. Dan setiap jasa harus mendapat imbalan yang pantas, tetapi sistem-sistem seleksi penerimaan guru dan dosen yang tidak baik sering hanya menjadikan sistem balas jasa, sebagai salah satu alat pelanggengan kelompok elite.

Perubahan pendidikan yang harus diutamakan, kata Koko di tahun 1989, bukan soal alih-pengetahuan, melainkan peningkatan kemampuan belajar bangsa dan belajar seumur hidup tanpa hentinya. Dalam hal ini yang harus ditinggalkan oleh peserta didik adalah sistem hapalan, secara memorisasi pada semua tingkat sistem pendidikan. Pada tingkat universitas perlu penekanan utama supaya kuliah-kuliah di kelas dialihkan ke bekerja di perpustakaan dan di laboraorium. Kuliah-kuliah di kelas itu hanya sarana pembantu, atau sarana pemandu. Sama sekali tidak akan mencerdaskan mahasiswa kalau mereka tidak bergaul dengan buku-buku dan melakukan pengamatan.

Di tempat lain Koko mengkritik mitos tentang humaniora tidak memiliki relevansi terhadap pembangunan. Dengan argumen-argumen yang cerdas, Koko menampik anggapan itu, dan membalik semua anggapan tersebut. Koko melihat adanya pilih kasih terhadap perhatian pemerintah dan kalangan kampus pada bidang ilmu. Selama ini pemerintah hanya melihat ilmu pasti sebagai penopang pembangunan. Sementara sejarah, filsafat, sastra dan bahasa sering ditempatkan dalam satu kategori kemewahan: menyenangkan untuk dimiliki tetapi tidak benar-benar sentral bagi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.

Koko tampak menjelma advokat di bidang humaniora. Nadanya sedikit agak ”marah” dan argumen-argumennya tampak berbobot dan kuat. Emosi ternyata tak membuat gagasan Koko kehilangan keseimbangan, tapi malah kian memperlihatkan bobotnya yang kuat.

Sebagai pencinta sastra dan filsafat kita akan mendapatkan pembelaan dari Koko. ”Fiksi dan puisi yang mendapat kehomatan untuk dipanggil sebagai sastra merupakan karya yang mampu membuat kita merasakan empati terhadap tokoh-tokoh yang diciptakan, yang membuat kita memahami perjuangan, kejayaan dan kelemahan-kelemahan tragis mereka”, tulis Koko dalam esai Humaniora dan Pembangunan.

Selanjutnya, humaniora, bersama dengan seni, merupakan tempat bernaung bagi aspek-aspek kehidupan manusia yang paling manusiawi. ”Humaniora adalah jendela menuju kedalaman hati manusia”, tulis Koko.

Salah satu kritik Koko terhadap universitas yang berkembang di Indonesia adalah, masih meremehkan humaniora dan mengunggulkan ilmu pasti dan ilmu empirik. Selain itu, universitas kita dalam pengamatan Koko masih sangat lemah dalam hal riset, dan miskinnya penelitian yang berbobot. Kalau pun ada penelitian, maka itulah penelitian pesanan dari penguasa. Tak ada kebebasan melakukan riset berdasarkan kehendak bebas. Semua universitas melakukan riset yang basa-basi, yang kesimpulannya sudah dipatok sebelum melakukan riset. Universitas tiak independen lagi dan sudah menjadi alat legitimasi bagi proyek-proyek pembangunan.

Riset yang bebas sangat diperlukan. Tapi bagaimana mau melakukan riset yang bukan pesanan kalau membaca buku saja belum jadi kebutuhan. Sampai tebal pantat dosen duduk di bangku universitas tapi buku yang dibacanya tak sampai seratus buah. Sementara intelektual di berbagai negara justru menjadikan buku sebagai kebutuhan hidup sama dengan makan.

Kendati sangat respek terhadap seni dan puisi, tapi Koko tidak terlampau suka pada seni atau puisi yang tidak bertanggungjawab. Seperti Sjahrir, Takdir dan Pram, Koko memandang pendidikan sastra di sekolah-sekolah mesti dikembangkan ke arah tanggungjawab ke arah perjuangan bangsa, bukan asyik dengan fantasi sendiri.

Seorang pendidik, kata Koko, harus serba-tahu, well informated. Dia harus menyadari bahwa proses belajar tidak pernah selesai. Koko mengusulkan agar manusia Indonesia mampu memasuki era life-long learning. Dengan bekal ini, maka ia akan mampu memegang dua atau tiga karir berturut semasa hidupnya.

Sementara di kalangan mahasiswa Koko sangat kecewa melihat orientasi mereka dalam menempuh pendidikan tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada, katanya, dipenuhi oleh begitu banyak mahasiswa yang tujuan utamanya adalah pencarian gelar daripada pengetahuan.

Di samping itu, seorang pendidikan wajib mencerna informasi yang sebanyak-banyaknya, dan mampu mencernanya secara tuntas. Hal ini memerlukan, selain kemampuan analisa yang kritis dan tajam, juga kemampuan besar untuk berpikir secara integratif dan konseptual. Hal ini juga akan memungkinkan dia untuk bereaksi cepat dengan pondasi yang kuat. Kemantapan karakter dan watak seorang pendidik, sering bukan karena ia mampu menalar secara rasional, tapi bersumber dari iman dan kepercayaan yang teguh.

Selanjutnya, yang penting bagi Koko adalah: seorang pendidik dan peserta didik mesti memiliki kemampuan untuk bersikap kreatif terhadap tantangan baru, bersama dengan kemampuan melakukan inovasi. Konformitas adalah bahaya besar bagi perkembangan kreativitas, karena itu mesti dihindari oleh seorang guru atau dosen. Kreativitas saja tidak pernah cukup tanpa disertai keberanian bertanggung jawab. Dan di atas semua itu, sistem pendidikan sudah seharusnya melahirkan manusia-manusia yang peka terhadap penindasan dengan menekankan solidaritas sosial lewat upaya membangun organisasi bersama.































Abdurrahman Wahid
--Sepuluh tesis tentang Gus Dur


Ada banyak cerita tentang cucu pendiri NU ini. Ada banyak kesan tentang sosok dan pemikiran si “Petruk dadi Duru” yang sering bikin heboh ini. Saya ingin merangkum kesan itu ke dalam sepuluh tesis yang bukan dalam arti sekolahan, tapi tesis tentang pemikiran seorang Gus Dur bagi Indonesia yang warna-warni ini.

Saya menempatkan Gus Dur dalam tesis pertama sebagai manusia Indonesia yang pikiran-pikirannya membingungkan, tapi sepak-terjangnya begitu garang, dan dikenal sebagai pembela kaum paria. Baginya, manusia yang hidup dalam belenggu kemiskinan dan derita berkepanjangan, termasuk kaum minoritas yang tertindas dan orang-orang cacat, mesti dibela habis-habisan.

Kedua, Gus Dur seorang muslim yang paradoks, kontradiktif, penyulut polemik, dan tak mudah diikuti. Tampilannya sama sekali tak memperlihatkan sosoknya sebagai muslim yang taat secara ritual, mungkin karena jarang sekali kita dengar ia mengutip Qur’an atau Hadits. Tiap kali memulai dan mengakhiri pidatonya, ia tak menggunakan kata assalamu’alaikum. Tapi selamat pagi, siang, sore, atau malam. Kita tahu, Gus Dur adalah penganjur Pribumisasi Islam yang begitu menaruh perhatian pada nilai-nilai lokal. Beda misalnya dengan tulisan Cak Nur dan Amien Rais yang kadang terlampau banyak kutipan sehingga terkesan memaksakan ayat-ayat untuk sesuai dengan pokok yang sedang dibicarakan.

Ketiga, Gus Dur seorang kolumnis yang kolom-kolomnya sama cemerlang dan gurihnya dengan kolom-kolom KH. Mahbub Djunaidi dan KH. Emha Ainun Nadjib. Ketiganya adalah kolumnis tangguh yang pernah dimiliki negeri ini. Kolom-kolom Gus Dur di Tempo dan Kompas sangat segar dan enak dibaca, dan tentu juga perlu.

Keempat, Gus Dur adalah seorang muslim yang menaruh perhatian besar pada gerakan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Tak ada yang membedakan laki-laki dan perempuan kecuali taqwanya. Perempuan bukan hanya boleh jadi pemimpin, bahkan layak memimpin karena banyak kelebihan yang dimiliki perempuan yang tidak dimiliki laki-laki. Gus Dur anti-poligami. Ia menolak poligami dan menghidupkan semangat monogami. Banyak aktivis perempuan mendukung gagasannya karena tokoh ini menganggap poligami sebagai masa lalu yang tidak harus diwariskan.

Kelima, Gus Dur seorang pluralis yang humanis. Gagasannya tentang pluralisme dan multikulturalisme mengacu pada kenyataan sosial-historis bangsa Indonesia yang memang plural. Aset bangsa yang paling penting kata Gus Dur adalah keragaman dan perbedaan. Gus Dur mewujudkan komitmennya di bidang ini dengan menampilkan cara berpikir beda, cara menafsirkan yang beda, sampai-sampai memahami agama pun harus beda dengan kebanyakan kaum muslim.

Keenam, Gus Dur adalah pembela hal-hal yang polemis dan kontroversial melalui jalur ”teori konflik”. Konflik tidak dihindarinya, tapi dihadapinya dengan lapang dada, jujur dan tawakal. Ketika banyak orang menolak Catatan Harian Ahmad Wahib, Gus Dur membelanya. Ketika orang mengharamkan ajinomoto karena ada isu mengandung otak babi, Gus Dur bilang tidak haram. Ketika orang mengutuk Inul Daratista karena goyang ngebornya, Gus Dur membelanya. Ketika orang mau menikah beda agama ditolak oleh KUA, Gus Dur mengajak nikah di rumahnya dan dia siap menikahkan. Ketika orang ribut dan mengharamkan untuk mengucapkan salam dalam perayaan hari besar agama lain, Gus Dur justru duduk mesra dengan para tokoh agama lain sambil mengucapkan selamat yang tulus. Ketika persyaratan mencalonkan presiden harus sehat, Gus Dur justru menuding KPU diskriminatif karena orang cacat dianggap tidak layak ambil bagian dalam dunia politik.

Ketujuh, Gus Dur manusia super rilek. Menghadapi hal-hal yang mengerikan, Gus Dur begitu santai. Karena begitu santai, maka seringkali Gus Dur lupa untuk mengatasi masalah secara konkret. Gus Dur seringkali hanya mengatasi masalah dengan melempar permasalahan baru. Ketika orang bertanya tentang kerusahan, pembantaian, ia tak mencari cara mengatasi, tapi menjawab dengan melontarkan hal-hal yang santai dan tampak tak berhubungan. Misalnya, bagaimana ia menanggapi kerusahan setelah reformasi dengan menyebut dalangnya adalah Gerakan Naga Hijau. Ketika kasus Banyuwangi, Gus Dur melontarkan tudingan ke kabinet. Ketika orang heboh tentang kedatangan Nyi Roro Kidul, Gus Dur menjawab: Nyi Roro Kidul marah karena mau dipakaikan jilbab. Ketika orang bertanya mengapa ia pakai dekrit segala, ia menjawab: karena dekrit presiden sudah lama tak ada.

Kedelapan, humoris. Senjata perlawanan Gus Dur yang paling ampuh adalah lelucon. Bahkan salah satu buku kumpulan kolomnya di majalah Tempo diberi judul Melawan dengan Lelucon. Musuh Gus Dur adalah orang yang terlampau kaku dan serius. Sentilan-sentilannya kerapkali membuat merah muka mereka yang tidak terbiasa menghadapi humor khas Gus Dur. Ketika masih jadi presiden, ia mengundang kelompok Srimulat dan mengatakan ia lebih humoris ketimbang kelompok kocak itu. Ketika dalam konferensi para kepala negara di Bali, Gus Dur berpidato dengan mengolok-olok dirinya sendiri dan wakilnya. Ketika bertandang ke Timur Tengah, banyak para kepala negara terpingkal-pingkal mendengar lelucon Gus Dur.

Kesembilan, Gus Dur adalah Gus Dur. Upaya memahami orang ini seringkali berakhir dengan jalan buntu. Tak mudah menebak siapa dirinya, bagaimana tipologi dan karakter pemikirannya, dan apa maksud jig-jag politiknya.

Kesepuluh, kalau Gus Dur manusia biasa yang tak perlu diberi gelar pahlawan. Gus Dur tak pernah mengharapkan perjuangannya untuk kelak memperoleh gelar pahlawan, sekalipun sangat pantas dan tidak berlebihan jika ia meraih predikat itu.

***
Sepuluh hal itu tak cukup memetakan Gus Dur, dan tulisan ini memang bukan untuk memetakan. Sepuluh hal itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa Gus Dur Bapak Demokrasi di Indonesia. Kiprahnya dalam proses demokratisasi pernah berkibar saat ia dan rekan-rekannya bergabung dalam lembaga Forum Demokrasi di Jakarta. Ia meraih hadiah Ramon Magsaysay tak terlepas dari kiprahnya di Forum Demokrasi.

Sepuluh pandangan Gus Dur itu merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Dan saya kira, kesepuluh hal itu layak dikaji lebih jauh kalau kita ingin memahami Gus Dur dengan baik, tidak dengan fitnah dan emosional seperti yang dilakukan oleh para penulis buku terbitan Pustaka Al-Kautsar selama ini.

Memang, tidak ada jaminan bahwa dengan mengkaji sepuluh pemikiran Gus Dur itu dengan suntuk kita akan paham siapa sesungguhnya Gus Dur. Tapi puja-puji terhadap pemikiran Gus Dur di ranah politik, agama dan kebudayaan selama ini, sama sekali tidak mendidik kita untuk berpikir merdeka. Kita menjadi orang yang mudah melupakan persoalan yang baru kemarin kita ributkan. Gus Dur tidak perlu dibela, dan memang tidak mengharapkan pembelaan!

Menempatkan Gus Dur sebagai manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa jauh lebih berharga bagi perkembangan wacana pemikiran dan pergerakan di bumi ini, ketimbang terlampau mensakralkan, apalagi mengkeramatkan buah pikiran dan laku-hidupnya.

Menempatkan Gus Dur sebagai pembela kaum miskin tanpa membubuhkan pertanyaan, sama saja dengan orang yang buta warna tapi berambisi menulis tentang aneka warna. Dalam setiap pemikiran yang tertuang dalam kolom-kolomnya, Gus Dur sering kali enggan memberi jawaban terhadap permasalahan. Malah sering kali membuat masalah kian runyam karena tudingan dan sentilannya yang ”nakal”.

Sikap semacam itu memang khas bawaan seorang kolumnis. Gus Dur adalah kolumnis yang hebat, dan kolom-kolomnya sering tak memberi jawaban melainkan pertanyaan. Sudah watak kolom dan esai jika enggan mengatasi permasalahan dan membuat permasalahan baru dengan cara menggugat lewat pertanyaan.

Gus Dur banyak melakukan kesalahan tapi mudah sekali dimaafkan. Jadi seorang Gus Dur memang enak, karena, sekontroversial apa pun pemikiran yang dilontarkannya, orang tak mungkin memperlakukannya seperti perlakuan orang terhadap Nurcholish Madjid atau Ulil Abshar-Abdalla.

Gus Dur telah melewati cara berpikir liberal dalam masuk ke dalam cara berpikir transformatif. Karena itu, tak heran jika Gus Dur sering kali menggampangkan persoalan karena sudah merasa dirinya telah melakukan transformasi gagasan dengan baik. Padahal ciri seorang berwawasan transformatif adalah responnya yang kuat dalam tindakan, bukan hanya lontaran kata-kata.

Gus Dur orang Jawa yang tak mau melihat klenikisme, sinkretisme, kebatinanisme, lenyap. Maka Gus Dur termasuk orang paling depan dalam memelihara kebudayaan lokal, termasuk kebudayaan perdukunan dan ziarah kubur. Masuknya kebudayaan pasca-modernisme membawa berkah bagi Gus Dur yang mengharuskan penerjemahan Islam ke dalam konteks lokal.

Terakhir, Gus Dur tampak sangat kritis terhadap budaya Arab. Ia mengusulkan untuk memisahkan budaya Arab dengan nilai-nilai dasar Islam. Tapi Gus Dur sendiri tampak tidak kritis terhadap budaya lokal Nusantara. Ia menampik budaya Arab tapi terjerambab dalam budaya Jawa. “Bagusan mana budaya Arab dari budaya Nusantara?” tanya seorang teman.

Tentu saja tergantung keperluan kita apa untuk menjawabnya.
























Nurcholish


Orang HMI tak kenal Nurcholish Madjid, sungguh edan. Orang PRD saja banyak yang kenal dekat dengan tokoh modernis yang satu ini. Walau tak menunjukkan sebagai sosok intelektual radikal dan suka demonstrasi, tapi ia merupakan tokoh yang disegani orang-orang kampus, terutama di IAIN. Mungkin karena kesantunan dan kejernihannya dalam memandang persoalan. Mungkin juga karena ia bukan politikus seperti rekannya Akbar Tanjung.

Cak Nur atau Nurcholish adalah salah satu dari tujuh “orang gila” dari Jombang, kata Gus Dur suatu kali. Kalau Andurrahman Wahid sendiri bisa membuat orang gila tertawa, maka Nurcholish tergila-gila dengan pluralisme. Hampir tak ada hari tanpa menyibukkan diri mengkaji masalah keragaman dan perbedaan.

Ketika masih kuliah di fakultas Ushuluddin, saya merasakan bagaimana diskusi tentang gagasan Cak Nur begitu semarak. Berlomba-lomba kawan-kawan saya untuk menulis skripsi seputar pemikiran Cak Nur. Di HMI, Cak Nur nyaris dimitoskan lantaran gagasan-gagasannya terasa begitu segar dan sejuk. Yang pantas mendapat gelar Bapak Pluralisme sebetulnya adalah Cak Nur, bukan Gus Dur. Gus Dur lebih pas disebut Bapak Demokrasi Indonesia karena kiprahnya mewujudkan proses demokratisasi tak bisa diabaikan.

Setiap kali saya membuka buku karangan Cak Nur, setiap kali pula kepercayaan saya terasa dihidupkan kembali. Bagi Cak Nur, iman bukanlah benda mati, ia mesti dihadirkan di tengah-tengah umat dengan sikap yang lapang, yang mampu menerima keislaman dalam nikmat perbedaan.

Maka, ketika mendengar sang lokomotif pembaharu pemikiran Islam ini telah tiada, saya merasa ada sesuatu yang hilang dalam budaya Indonesia; keyakinan bahwa hidup berdampingan dalam bingkai SARA benar-benar membutuhkan sikap yang tangguh dari seorang yang tidak hanya menguasai sekian banyak disiplin keislaman dan keindonesiaan, tapi juga sikap yang siap menerima resiko dan segala konsekuensi di atas keyakinan politiknya.

Sikap yang lapang dada menerima pluralitas keyakinan itulah yang terformulasi dalam pandangan Cak Nur tentang al-islam dan kalimatun sawa. Cak Nur tidak hanya dianggap sebagai “pengusung” benih-benih paham pluralisme agama, tapi juga sebagai penarik gerbong bagi pembaharuan pemikiran Islam hingga tutup usia.

Dari pergulatannya terhadap filsafat dan pemikiran Islam, lahir sederet tesis Islam yang kontroversi hingga hari ini: Islam Yes! Partai Islam No! dan paham sekulerisasi Islam adalah dua persoalan yang sempat menjadikan Cak Nur sebagai pemikir yang dicap liberal dan menyimpang.

Padahal, banyak orang telah mampu mengaktualisasikan nilai-nilai agamanya dengan sikap yang dewasa berkat topangan pemikiran Cak Nur. Pada Cak Nur saya belajar menyikapi ide yang kontroversial; mulai dari khitan perempuan hingga kepercayaan terhadap agama lain. Padanya relasi pergaulan tampak memberikan efek yang tidak hanya bisa dinikmati oleh pergaulan antar agama, antar etnik dan antar budaya – bahkan antar sesama muslim itu sendiri.

Apalagi di hari-hari ini kita mengalami begitu banyak pemerosotan nilai-nilai dasar, terutama ketika perbedaan perspektif ditengarai sebagai yang haram. Dan pandangan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan kekuasaan dianggap sebagai jalan menegakkan panji-panji keislaman. Kunci utama agar tetap bertahan (survive) di tengah masyarakat pluralis bagi Cak Nur adalah pada cara kita belajar mengelola keragaman dan konflik itu. Sebab kemampuan mengelola keragaman akan menjadikan kita beragama sebagai rahmat.

Belajar dari kegagalan politik yang mengedepankan kekuasaan dalam mengelola kemajemukan Indonesia bagi Cak Nur, terletak pada paradigma al-islam. Paradigma ini pada gilirannya ikut andil dalam menciptakan sumbu penerang dalam memasuki pintu-pintu menuju Tuhan. Islam inklusif sebagai sebentuk perspektif teologis-etis tentang penghargaan terhadap keragaman dan "sang lain" (the other) merupakan gagasan yang kini bisa kita temukan dalam paham postmodernisme. Sementara gagasan Islam Peradaban dan Islam Agama Kemanusian Cak Nur merupakan wujud dari suatu assessment teologis dan tiket memasuki pergaulan lintas iman yang tulus, sabar dan tawakal.

Sikap pluralis terhadap “yang lain” merupakan basis berpikirnya. Ia sadar betul kalau “sang Lain” mesti tetap menjadi “yang lain” tanpa dilebur dalam keseragaman dan kesamaan. Ia tahu kalau beda itu tak bisa dilebur jadi sama, maka ia terus menghadirkan berbagai persoalan yang beda. Sebab ia merupakan—dalam bahasanya Cak Nur—sunnatullah: realitas mengada yang secara teologis-etis diperkenankan atau bahkan sebuah keniscayaan. Inilah perspektif teologis Cak Nur yang mampu berkomunikasi melampaui bahasa agama dan tradisi partikular Islam.

Siapa pun sulit memungkiri, bahwa sosok yang elitis ini telah memberikan sumbangan yang teramat besar bagi penyegaran (kembali) pemikiran keislaman dan demokrasi di Indonesia. Meski kita tahu hingga akhir hayatnya ia tetap hidup senyap di bawah menara gading dan pinggiran kekuasaan politik. Ia tak pernah menuntut lebih dari apa yang pernah diberikannya kepada Indonesia. Juga apa yang telah disumbangkannya bagi kultur keindonesiaan dan keislaman. Sikap “mengambi jarak”—terlepas apakah kita setuju atau tidak—yang menjadi prinsip dasar Cak Nur dalam berpolitik layak untuk diteladani; sikap yang menunjukkkan ketangguhan seorang tokoh yang mampu menahan sahwat kekuasaan.

Wawasan politik Cak Nur tidak hanya menyangkut persoalan praktis atau tidak praktis--meski kita tahu ia lebih memilih non-partisan—tapi juga masalah visi, misi, perspektif, nilai, platform, dan strategi yang jitu. Sebagian orang beranggapan bahwa sangat lumrah jika Nurcholish terlibat dalam pencalonan presiden dalam pemilu. Bahwa antara calon presiden dan sang intelektual menurut mereka cukup terbina hubungan yang saling menguntungkan dan bukan saling menegasikan. Dalam bahasa biologi, hubungan itu bersifat simbiose mutualistis.

Pemikiran sosiologisnya tampak dalam gagasan inklusivitas yang mencoba keluar dari corak berpikir “masyarakat pedalaman”. Dan karena itu ia sangat yakin bahwa pada “masyarakat pesisir” nilai-nilai pluralitas dan inklusivitas lebih menjanjikan. Sebab pada masyarakat inilah akomodasi timbal balik bisa berjalan bergandengan. Namun pemilahan dualitas masyarakat semacam itu bukan tanpa resiko; dengan segera Cak Nur dianggap sebagai pemikir yang melanggengkan oposisi biner; dimana dualitas pemikiran itu dengan sendirinya sulit dipertahankan hingga hari ini.

Akan tetapi, kehadiran Cak Nur di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang tengah mencari-menjadi ini, mampu memperluas pilihan dan mempertajam strategi kebangsaan kita; bahwa hidup berbangsa dan bernegara dalam konteks gagasan Cak Nur tak melulu harus “masuk” lewat satu pintu yang sempit dan kolot, melainkan pintu-pintu yang beragam yang mampu membuka wawasan kebangsaan pula.

Umat Islam Indonesia bagi Cak Nur, sebagai masyarakat mayoritas, memegang saham terbesar bagi terciptanya pluraitas agama. Tanpa seorang “penjaga gawang” yang tulus dan barisan pertahanan yang tiada pamrih dari mayoritas umat Islam di negeri ini, boleh jadi gawang keyakinan tersebut bakal kebobolan oleh pemain-pemain (lama/baru) yang ingin merusak suasana transisi menuju rasionalitas politik dan kepemimpinan.

Di sisi lain, sebagai bagian dari masyarakat terbuka yang lebih dipengaruhi secara eksternal oleh tatanan-tatanan globalisasi, Cak Nur telah menunjukkan andil yang besar. Saya yakin itu, pak Nurcholish, sebab hidup hanya sekali, seperti kata Chairil Anwar; itu pun hanya sekadar menunda kekalahan untuk pada akhirnya kita semua akan kembali.







Kayam


Di tengah revolusi, ada orang yang kesepian. Hal itu sudah sering terjadi. Sejarah telah lama mencatat orang-orang yang kesepian justru ketika sedang berada di medan laga yang membahana. Pekik perjuangan menggema hampir di seluruh kota di Indonesia, tapi sebagian cendekiawan Indonesia justru merasakan kesendirian yang sunyi.

Kesendirian, atau kesepian—atau kegamangan—itulah yang pernah terekam dengan indah lewat beberapa karya sastra, sebut misalnya puisi Sitor Situmorang, Si Anak Hilang, esai biografis Goenawan Muhamad, Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang, atau esai Soebagio Sastrowardoyo, Manusia Modern Sebagai Manusia Perbatasan.

Umar Kayam adalah budayawan terkemuka yang tak luput dirajam kesepian, namun ia senantiasa membuka dialog pada pembaca. Kayam adalah orang Jawa yang mengenyam pendidikan Barat (Amerika). Cerpen-cerpen Amerikanya mendapat sambutan yang luar biasa di Indonesia. Membaca sejumlah telaahnya atas beragam persoalan budaya, saya merasakan pergulatan seorang modernis yang dirundung ketidakpastian dan kegamangan. Perasaan kesendirian di tengah orang ramai yang berkumandang teriakan di jalan-jalan raya, tak jarang membuat jiwa muda Kayam merana.

Saya tak tahu apa alasan penerbit Metafor memilih judul Dialog untuk buku kumpulan kolom pak Kayam. Mungkin saja dimaksudkan untuk melihat kembali usaha seorang Kayam dalam merekam geliat zaman. Selesai membaca buku analekta ini, kita akan menemukan kekokohan seorang pengarang yang mengalami begitu banyak hal: pergolakan Revolusi 1945, nasionalisme kemerdekaan, pertentangan ideologi, hingga lahirnya reformasi yang dimotori oleh mahasiswa.

Meski tak terlalu produktif dibandingkan para pengarang segenerasinya, Kayam terus mengukir ingatan melalui berbagai tulisan fiksi-non fiksi di koran dan majalah hingga usia menjelang 70 tahun. Sastra dan sosiologi adalah disiplin yang paling banyak digelutinya. Ia mampu menyandingkan dengan kreatif ke-formal-an ilmu sosial dengan ke-cairan-ilmu sastra. Maka lahirlah beberapa karya prosanya yang bertendensi sosial: Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972), Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Para Priyayi (1992), Jalan Menikung (1999), dan yang lain.

Buku Dialog merekam tulisan Umar Kayam dalam rentang waktu tiga puluh tahun (1969-1999) proses kreatifnya. Di buku ini ia mengajak kita untuk sedikit meluangkan waktu berdialog: baik dialog melalui kesenian, kebudayaan, sastra, agama, sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan kata lain, Kayam mengajak kita untuk senantiasa melakukan dialog kehidupan , walau pun di tengah bangsa yang sedang berduka, meski di tengah segala kekecewaan, mesti harus—meminjam ungkapan Umar Kayam sendiri—“memilih peran sebagai seorang penjaga yang nyaris kesepian di tengah keramaian masyarakat”.

Kayam telah menjalankan peran seorang penjaga budaya dan sastra yang kesepian. Kayam adalah seorang pengelana yang menembus batas “Timur dan Barat” sehingga esai-esainya tampak memberikan jalan tengah. Dilahirkan di ujung dusun propinsi Jawa Timur, bertahun-tahun menempuh pendidikan Barat hingga meraih doktor sosiologi dari Cornell University, A.S. Hidupnya dihabiskan untuk bolak-balik menyusuri kebudayaan lokal dan global. Ciri yang menonjol pada karya-karyanya adalah: Kayam tetap sebagai seorang budayawan Jawa yang bangga. Hal itu setidaknya dapat dilihat dari idiom dan ungkapan-ungkapan dalam tulisannya yang begitu piawai menggunakan pelesetan sebagai strategi untuk menyiasati hidup yang kaku akibat slogan-slogan politik kitsch di hampir semua lini kehidupan: di rumah kita, di sekolah/kampus kita, di dalam lemari anak-anak kita, di antara buku-buku dan majalah, juga di radio dan televisi kita.

Dalam lawatannya bersama Taufiq Ismail ke negeri Rusia, yang terekam dengan indah dalam “Dialog dengan Rusia” di buku ini, ia sempat terpukau oleh keindahan peradaban negeri itu, tetapi ia tak kuasa menyembunyikan kekagumannya atas kemegahan candi Borobudur, kesenian ludruk, ketoprak, dan wayang. Yang juga menarik dalam tulisan Umar Kayam adalah: Ia mampu melihat secara kritis pemikiran tokoh sekaliber Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Chairil Anwar, Rusli, Affandi, Nashar, Soodjono, Goenawan, Rendra, dengan tokoh-tokoh dunia seperti J.D. Salinger, Hemingway, Boris Pasternak, C.P. Snow, Weber, dan lainnya.

Kayam mampu membahasakan sesuatu yang berat dengan gaya yang nikmat dan mudah dicerna. Gaya tulisannya yang ringan, refortasenya yang tajam dan mengagumkan, tak kalah menantangnya dengan hasil refaortase Goenawan Muhamad dan Pramoedya Ananta Toer. Wajar jika tulisan-tulisannya mendapat apresiasi yang luas di kalangan pembaca Indonesia. Kelebihan lain dalam kolom-kolom Kayam adalah: selera humornya yang khas Dagadu. Namun ini tidak berarti bahwa humor adalah sebuah cacat dalam sebuah tulisan (fiksi maupun non fiksi): sebab humor—seperti disinggung Umar Kayam dalam “Kita dan Humor” di buku ini—merupakan bagian dari stretegi perjuangan melawan kekuasaan yang bebal. Humor dalam tulisan Kayam justru menjelma sebagai kritik sosial.

Kolom tentang pendidikan termasuk tulisan Kayam yang kritis dan agaknya masih tetap relevan hingga kini. Sementara pandangannya tentang yang modern dan yang tradisional, atau budaya agraris dan budaya industri, sudah terlalu tua untuk diikuti.

Kayam punya gaya bertutur yang mengalir-lancar dan enak didengar. Sindiran-sindirannya terhadap kekuasaan tak membuat mutu tulisannya anjlok jadi sampah, tapi justru kian bermutu dan kuat. Dan gaya bertutur yang mengalir lancar itu tentu bisa disebut sebagai salah satu kelebihan Kayam yang tak dimiliki penulis-penulis lain.

Kayam adalah seorang kolumnis yang tangguh, dan dapat disejajarkan dengan Mahbub Djunaidi. Kelebihan kolom-kolom Kayam ada pada lenturnya ia mengolah khazanah Jawa. Buku Dialog adalah satu contoh kolom-kolom Kayam yang inspiratif dan menggugah.

Akhirnya, usaha penerbitan kembali tulisan-tulisan almarhum Kayam yang berserakan di media massa menjadi sebuah buku, layak disambut sambil tetap perlu dikaji secara kritis. Penyunting buku ini tampak berusaha keras untuk mengajak kita untuk terus berdialog dengan budayawan Jawa yang pernah memerankan Bung Karno dalam film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI itu.





























Semsar Siahaan


Coretan di dinding Taman Ismail Marzuki adalah buah tangan tokoh kita yang satu ini. Kata-katanya sempat menggugah khalayak. Siapa lagi yang punya gawe iseng tapi serius kalau bukan Semsar Siahan: perupa yang dengan setia melukis realitas kehidupan yang bonyok dan carut-marut.

Sebagai pelukis dan pematung, Semsar sering menampilkan lukisan-lukisan yang dramatik tentang wajah-wajah kaum miskin dan buruh di belahan Dunia Ketiga. Meski berkali-kali ia melukis dalam keadaan bahaya, namun satu persatu lukisannya hadir menyapa kita.

Puluhan karya lukisnya pernah dipamerkan di Galeri Nasional Agustus 2004 dengan respon publik yang cukup menggembirakan. Kebetulan saya hadir dalam pameran itu. Dan saya terkagum-kagum dengan semangat Semsar yang tiada lelah-lelahnya melakukan kritik lewat media seni rupa.

Semsar adalah seniman yang dengan teguh meyakini karyanya sebagai seni yang terlibat. Karyanya, The Shade of Northern Lights (Galeri Nasional, 2004) merupakan buku kumpulan lukisan terbarunya sebelum kemudian ia pergi untuk selama-lamanya. Dari judul-judul lukisannya dengan sangat tegas ia menolak semboyan seni untuk seni dan mengagumi seni kontekstual. Lukisan “G-8”--dengan rangkaian ”lingkaran segi enam” yang memperlihatkan bentuk pizza raksasa-- menampilkan wajah seni yang prontal. Dengan potongan gambar-gambar simbolik, tentang teknologi, globalisme dan kapitalisme, Semsar hendak menegaskan pentingnya seni sebagai alat perjuangan.

Dalam dunia kesenian--juga dunia aktivis sosial--Semsar telah menjadi ikon penting tidak hanya di negeri ini. Mungkin dialah seniman yang berada pada garis terdepan perjuangan melawan globalisme, kapitalisme, imperialisme atau juga pelanggaran hak asasi manusia lewat karya seni. Dalam lukisan berjudul “Genoa Tragedy 1”, ”Genoa Tragedy 2” dan ”Genoa Tragedy 3” (2001), ia menampilkan sosok manusia dalam lukisan serigrafi dengan tampilan otot-otot binatang yang ditusuk-tusuk atau disangkut-pautkan dengan gancu dan tongkat besi pengait. Di sini ia hendak menghadirkan sosok manusia yang terkurung dalam lingkaran globalisme lewat gambaran realitas masyarakat Dunia Ketiga.

Dalam karya ”In Memoriam Santa Cruzs” (2001) ia menghadirkan peristiwa naas di kota Santa Cruzs yang selama ini hanya hadir lewat berita-berita yang dilansir media. Dalam karya "The Man Who Knows All” (2002) ia melukis tubuh George Bush yang sedang memakai gaun yang ”terlampau besar untuk dirinya”. Bush terlihat sedang bersandar pada pemasang perangkap lalat ”pertanda kematian”, dengan senjata yang dia pegang--sementara sepatu ”kesayangannya” menginjak surat perjanjian antinuklir.

Dalam lukisan hitam-putih berjudul The Death of on Ancestor (ukuran 56x76 cm), Semsar menampilkan sebuah drama kematian yang penuh simbolik dan kontras antara harapan yang bebas dengan realitas yang terpasung. Orang bebas memiliki harapan. Namun, bagaimana manusia bisa bebas bila selalu--bahkan saat tidur--dirongrong kematian? Konon, kematian akan membawa kebebasan yang utuh. Namun, siapa yang dengan suka hati menyongsong kematian? Hanya segelintir orang yang mau menyambut kematian dengan tenang tanpa harap dan cemas.

Semsar termasuk segelintir orang yang siap menerima kematian dengan penuh takzim. Bahkan ia juga dengan berani menatap kematian dengan jarak dekat. Dengan penuh ketakziman ia merekam baris-baris kematian lewat lukisan warna-warni—juga hitam-putih—yang menambah suasana kian mencekam. Semsar dengan giat mendokumentasikan tubuh-tubuh yang membiru, bergelimpangan, berpeluh-berkesah di atas kanvas putih yang berubah menjadi wana kemerah-merahan. Tapi goresan warna kematian itu tetap terasa hidup secara biologis.

Dalam lukisan " Measing Beauty" (2002), dan “Tragedi Geno” ia menampilkan gambaran tubuh seorang aktivis anti globalisasi di Italia, Julian, saat dieksekusi mati oleh tentara Italia beberapa tahun lalu. Semsar tak pernah “terganggu” dengan tuduhan sebagai seniman realis yang pandai memindahkan realitas nyata ke dalam karya seninya.

Lukisan Semsar pada umumnya hampir sama. Ia tak hanya melukis wajah-wajah manusia yang merintih-meradang-menerjang, sebagaimana lukisan realisme umumnya, tapi ia juga melukis benda-benda simbolik yang memintanya untuk bicara sendiri. Empat belas karya hitam putihnya dalam buku The Shade of Northern Lights sama sekali tak memperlihatkan wajah-wajah manusia yang terkulai lemah seperti lukisan warnanya. Karya itu nampak sangat kuat memainkan imaji dan metafor lewat benda-benda dan tiulang-tulang binatang yang menggeliat-memberontak.

Semsar memang menghadirkan realisme berkabung dan kepedihan yang berlarut-larut yang menimpa negeri pascakolonial. Permainan metafor dan simbol-simbol dalam lukisan hitam-putihnya menjelma sebuah dialektika kehidupan nyata dan alam imajinal. Semsar juga menghadirkan permainan terang-gelap, dekat-jauh: sesuatu yang konvensional tapi sungguh menggetarkan. Permainan seni abstaraksi juga tak jarang menjelma sebuah proses yang mengalir lancar dalam suatu fusion yang saling membentuk gugusan makna. Benda-benda dalam lukisan hitam-putih itu mempertontonkan wajah-wajah serius dan murung dalam bentuk yang terang benderang.

Mengapa Semsar memilih lukisan dan bukannya puisi? Bukankah puisi juga tak kalah kuatnya menghadirkan suasana kabung lewat kata-kata seorang penyair? Bagi Semsar, kelebihan lukisan realisme terletak pada kehendaknya untuk memberi arti atau makna. Sementara puisi—walau tidak semua—sering gamang menghadapi realitas carut-marut dan hanya melahirkan kata-kata verbal dan tak mampu menyusuguhkan empati dan daya magis. Kata-kata sebagai sarana ekspresi bagi Semsar sudah jauh ditinggalkan, tapi anehnya, di tangan para penyair di Indonesia masih dianggap mantra.

Semsar bahkan pernah dengan jujur mengaku, “Semangat berkarya seniku masih selalu menjauh dan mengambil jarak dari ke-Indah-an yang manja, serta eksotisme tradisional yang meminta belas kasihan” (It is the spirit of my art, which stillstory away, even goes away, from the spoilt beuty, the traditional exotism that begs for mercy).

Karya seni rupa Semsar berada dalam penggambaran citra-citra yang penuh rasa iba. Tapi karya seninya bukan sebuah kenenesan apalagi kecengengan. Ia memang berduka tapi tidak bersenandung liris yang di bawa oleh arus mimpi-mimpi yang membuai-menghanyutkan. “Rakyat” dalam lukisan Semsar tetap memberi citra dan bentuk yang serius. Ini pertanda dari sebuah wujud dari sebuah tekad yang kembali tumbuh dengan sehat hingga ia mampu bertahan menghadapi berbagai tantangan alam dan keserakahan manusia.

Realisme Semsar Sihaan tetap mengandung kesan simbolik. Ia tak sekedar menghadirkan tematik penciptaan realisme sosial dan kemanusiaan, tapi juga subjektivitas dirinya yang berdialog dengan alam, seperti dalam lukisan The Springs Full Moon 1 (2004) dan The Springs Full Moon 2 (2004). Karya-karyanya memang menampilkan garis-garis--bahkan objek yang dibuat itu—mengutip Sihar Ramses Simatupang—kerap menjelma semacam ”abstrak berfigur”: sebuah lukisan yang tak verbal dalam perwujudan objeknya namun tetap memperlihatkan tema sosial atau sebaliknya, tema sosial yang memperlihatkan nuansa verbal.

Sketsa lukisan Semsar tampak begitu lugas menampilkan kenyataan sehari-hari yang timpang. Meski begitu, Semsar tetap menampilkan warna tersendiri dalam dunia seni rupa. Warna-warna muram yang berbentuk garis-garis hitam-putih tak sekedar menampilkan warna hitam. Karya lukis Third Millenium Totem 1, Third Millenium Totem 2 (Mother and Child) dan Third Millenium Totem 3 atau The Poet who Dissapeared (2000), menunjukkan kecenderungan ke arah itu.

Di sinilah letak kekuatan—mungkin juga kelemahan—Semsar. Seni rupa yang bergumul dalam realitas “buruk rupa” memang tak mampu mengelak dari semangat belas-kasihan. Tapi keindahan seni kontekstualnya mampu melahirkan “estetika yang dipenuhi tata krama berkarat dan basi yang tak akan pernah menjadi tantangan bagi dunia penghayatan dan nalar”.

Kuntowijoyo


”Bangsa kita sedang mengalami krisis, yaitu krisis keteladanan. Tanpa pamrih digantikan pamrih, altruisme digantikan oleh individualisme. Orang kehilangan teladan, karena yang dulu pahlawan, sekarang dapat berubah jadi pengkhianat: sebaliknya, yang dulu pengkhianat bisa jadi pahlawan. Yang dulu pejuang tetap tidak punya apa-apa: tidak kekuasaan, tidak kekayaan, tidak juga kehormatan”.

Saya terenyuh ketika kali pertama membaca kata-kata Kuntowijoyo di Jawa Pos (30/8/1995: 4) itu. Apa yang ditulisnya itu kelak jadi tontonan paling gamblang setelah negeri ini mencampakkan Orde Baru. Kemunafikan kian parah. Pengkhianat dianggap pahlawan dan harus dimakamkan di Taman Makam Pahlawan pula.

Moral bangsa sedang dirongrong. Di mana-mana orang berteriak krisis moral, namun menginjak-injak moral dan hampir tanpa solusi. Seorang sastrawan, budayawan, sejarawan, dan pemikir Islam local genious ini justru banyak memberikan alternatif yang terserah kita untuk menerima atau menolaknya. Sepanjang hayatnya, Kunto banyak melahirkan karya sastra, sejarah dan pembaharuan pemikiran Islam yang begitu cemerlang hingga hari ini. Dalam menghadapi virus ganas yang menyerang otaknya, karya-karyanya terus lahir menyapa kita.

Satu persatu kita kehilangan orang-orang yang selama ini tak pernah meminta lebih dari apa yang kita berikan, juga tak pernah mengharap lebih dari apa yang semestinya. Mochtar Lubis, YB Mangunwijaya, Subagio Sastrowardoyo, Sutan Takdir Alisjahbana, Linus Suryadi Ag, Arifin C Noer, Teguh Karya, HB Jassin, Satyagraha Hoerip, Motinggo Busye, Mahbub Djunaedi, Dick Hartoko, AA Navis, Umar Kayam, Saini KM, Hamid Jabbar dan Kuntowijoyo, dan entah siapa lagi yang akan menyul berikutnya.

Di tengah duka yang bertubi-tubi menimpa negeri ini, kita tersentak mendengar kabar meninggalnya guru besar ilmu budaya di Universitas Gadjah Mada ini. Sementara kita yang masih tinggal di sini, berharap-harap cemas, meratapi kesedihan yang kian berlarut-larut. Pancangan kenangan yang telah almarhum berikan kepada kita seakan telah menebus seribu satu kesalahan yang telah kita perbuat selama ini. Ia tak henti-hentinya menyapa kita lewat kolom-kolom agama, novel dan cerita pendek hingga tulisan-tulisan sejarah yang begitu cemerlang memaparkan kekerdilan dan kebodohan kita.

Buku-buku yang ditinggalkan Kunto cukup beragam: Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Ibadah dan Fenomena Kepribadian Muslim (1985), Paradigma Islam, Interpretasi dan Aksi (1991), Identitas Politik Umat Islam (1997), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (2002). Semua karya itu banyak dijadikan rujukan di perguruan tinggi. Pengalaman Kunto sebagai pendidik dan penulis kolom tentang Islam mampu melahirkan pembaharuan pemikiran keagamaan dalam konteks sejarah gerakan keislaman dan keindonesian.

Masih ada lagi buku Kunto di luar fiksi, seperti buku Metodologi Sejarah (1994). Buku ini dianggap sebagai ilmu dasar sejarah (ontologi), di dalamnya menampilkan relasi imu sejarah dengan ilmu-ilmu etik, dan menawarkan cara menulis sejarah yang estetik.

Kunto adalah pengarang produktif dan berkarya yang nyaris tanpa interupsi. Ia senantiasa membayang-bayangi kita lewat cerita-cerita sederhana namun mengandung metafor yang begitu dahsyat menyadarkan kita manusia Indonesia akan bahaya lupa. Ia juga tak kalah uniknya dalam membangun konflik-konflik tokoh ceritanya. Bahkan beberapa cerita pendeknya, seperti memberi isyarat maut bahwa suatu waktu ia akan pergi meninggalkan kita selama-lamanya.

Dalam cerpen Anjing, Kunto memperingatkan akan bahaya kefanatikan yang dipeluk teguh oleh umat beragama. Berkali-kali—bahkan sering—ia menampilkan rasa tidak puas diri ketika melihat banyaknya orang-orang yang beragama tapi hanya berhenti pada realitas artifisial yang dangkal. Metafor anjing sungguh sangat tepat menunjukkan bagaimana sikap orang -orang yang beragama yang menganggap yang lain (anjing) sebagai sesuatu yang najis dan harus dijauhkan dari lingkungan keluarga.

Tokoh istri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang istri yang berpendidikan dan begitu taat mengikuti suaminya, tapi kadar religiusitasnya begitu dangkal. Realitas kehidupan beragama semacam ini kita temukan juga dalam cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon dan cerpen Sepotong Kayu untuk Tuhan. Dalam “kesadaran sastra transendental”, mengutip istilah Kunto sendiri, kerapkali ia melontarkan kritik terhadap agama (Islam) dan tokoh-tokoh agama yang munafik, yang tak jarang menganggap dirinya paling suci di dunia ini.

Sejak novel Khotbah di Atas Bukit (1976), kecenderungan Kunto menampilkan setting keberagamaan yang profetis—keberagamaan yang mendekati tauladan dan sifat kenabian-- sudah begitu menonjol. Dalam cerpen Kembali Mencintai Bunga-bunga, Kunto kembali menghangatkan apa yang waktu itu (tahun 1960-an) disebut sebagai dualisme kehidupan beragama: tradisional vs modern. Alam tradisional yang diwakili oleh kehidupan orang-orang desa masih menempatkan agama sebagai laku moral yang harus ditegakkan, dimana pun dan dalam realitas apa pun. Sementara alam modern secara gamblang ditampilkan lewat kehidupan orang-orang kota yang secara angkuh menolak nilai-nilai “spiritualitas transenden”.

Tapi sungguh satu hal yang paling simbolik dalam cerpen-cerpen Kunto adalah ketika berkali-kali ia menulis cerpen tentang masalah kuburan. Agaknya cerpen-cerpen semacam ini menjadi semacam isyarat puitik dan pesan-pesan terakhirnya sebelum kemudian ia meninggalkan realitas duniawi dan masuk ke alam kubur dalam arti yang sebenarnya. Dalam cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan—sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas 1997—Kunto memainkan sebuah realitas kehidupan modern lewat metafor anjing. Ia menampilkan kisah-kisah sederhana (baik bentuk maupun gaya) untuk mengungkap kehidupan manusia yang kian serakah, yang saling memangsa satu sama lain.

Kehidupan keluarga miskin yang berhari-hari kelaparan dan tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya terpaksa harus mencuri makanan. Namun ketika makanan sudah didapat, sekonyong-konyon anjing datang mengambilnya. Kisah ini seakan memberikan gambaran kepada kita bagaimana penindasan dilakukan atas nama kemiskinan.

Dalam cerpen Jangan Dikubur Sebagai Pahlawan—juga dimuat dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 1997 dan diterbitkan dalam karyanya berjudul Hampir Sebuah Subversi (1999)—Kunto kembali memainkan jurus-jurus sejarah dan sosiologis lewat orang-orang yang serakah atawa penjahat, tapi dikuburkan sebagai pahlawan. Cerpen ini mengingatkan kita pada roman karya Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, dimana orang-orang dungu yang tak pernah berjuang menegakkan kemerdekaan diberi predikat oleh negera sebagai pahlawan: “dan di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”, demikian Pramoedya melukiskan.

Sementara Kunto merasa kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan mereka yang seharusnya pantas diberi predikat pahlawan lewat kesaksian-kesaksian orang pertama dan kedua di cerpen ini. Baik cerpen Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan maupun novel Bukan Pasar Malam, keduanya sama-sama menggunakan tokoh ayah. Dan kedua-duanya juga sama-sama mengambil setting cerita pada masa Revolusi 1945. Bedanya, Pramoedya bertutur lewat orang ketiga, sementara Kunto bertutur lewat orang pertama dan kedua.

Dalam cerpen ini Kunto begitu piawai membangun konflik pada tokoh-tokohnya. Ia juga menampilkan sosok tokoh yang protagonis bernama Sangadi. Di masa Revolusi 1945, Sangadi dikenal sebagai orang yang pemurah hati dan tak segan-segan meminjamkan uangnya kepada orang-orang yang dianggap membutuhkan. Tapi di sisi lain, ia sering memperkosa perempuan dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Sang narator mengalami kebimbangan ketika hendak menentukan apakah Sangadi pantas dikuburkan di makam pahlawan atau tetap dibiarkan berada di kuburan di desanya, seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini:

“Waktu itu tahun 1947, Zaman Revolusi. Ayah saya betugas di Dinas Penjualan Garam dan Candu. Tidak ada garam, jadi praktis yang dijual candu”....”Sangadi bersahabat baik dengan ayahku. Barangkali persahabatan yang aneh. Sangadi adalah bajingan paling ditakuti ayahku termasuk orang yang dihormati”. “Kemudian Sangadi meninggal. Mereka bertemu orang-orang menggotongnya keluar dari kampung kita, lalu dikuburkan di makam umum desa. Setelah aman, makam itu dibongkar dan dipindahkan ke tempat yang baru, yang kita kenal sebagai Makam Pahlawan”.

Meski pengarang mencoba menghindar dari posisi “menghukum” tokohnya, namun secara terang jawabannya terungkap lewat judul cerpen ini, “Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan”. Jasa baik Sangadi telah luntur lantaran perbuatannya yang begitu sering melakukan pencabulan dan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan tak bersalah.

Karena kisah yang ditampilkan dalam cerpen ini hampir sama dengan dengan roman karya Pramoedya di atas, maka (maaf) saya sedikit mencoba untuk membandingkan kedua karya ini. Dalam roman Bukan Pasar Malam, Pramoedya secara tajam mengkritik orang-orang yang selama ini tak pernah berjuang di medan perang menegakkan kemerdekaan tapi diberi predikat pahlawan: “dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”, demikian Pramoedya mengungkapkan. Selanjutnya, dengan kembali menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pramoedya tak henti-hentinya mengingatkan kita akan bahaya dari sejarah buatan rezim resmi.

Kesaksian tokoh-tokoh dalam roman biografis itu menunjukkan bagaimana sejarah kita telah disalah artikan oleh mereka yang sama sekali tak mengerti apa makna sejarah tersebut. Demokrasi yang menjunjungtinggi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” hanyalah mimpi yang penuh ilusi. Sejak Demokrasi Terpimpin hingga Demokrasi Pancasila-nya Soeharto, mimpi keadilan sosial hanya melahirkan ketidakadilan. Bagaimana mimpi besar Bung Karno untuk mewujudkan masyarakat proletar yang berdaya, ternyata melahirkan diskriminasi rasial yang menakutkan. Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 10/1959 (atau P.P. 10) adalah contoh kebijakan yang sangat tegas ditolak oleh Pramoedya. Meski sesudahnya, ia harus mendekam dalam penjara. Tak sepenuhnya benar anggapan bahwa Pramoedya adalah “anak spiritualitas” dan pendukung gagasan demokrasi Bung Karno.

Dengan menyindir para aktor demokrasi, Pramoedya kembali melontarkan kritiknya terhadap sistem ini. Di alam demokrasi, kata Pram, “setiap orang boleh jadi presiden. Setiap orang boleh memilih pekerjaan yang disukai. Setiap orang mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh –ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi katanya, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Di sinilah metafor Bukan Pasarmalam secara apik dilukiskan oleh Pramoedya. Bagaimana ia menyebut ‘uang’ sebagai ciri dari sistem demokrasi elitis, sementara yang melarat, demokrasi hampir tak memiliki makna apa-apa. Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menguntungkan segelintir kaum elit penguasa dan mencampakkan kaum miskin yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan. Saya kira, di sini letak relevansi kritik Pramoedya terhadap demokrasi, yang akhir-akhir ini masih terus diperdebatkan. Refleksinya atas demokrasi menghasilkan pandangan yang getir dan tajam tentang sejarah masa depan sebuah negeri pascakolonial. Dalam buku ini, Pramoedya menulis: “Dan di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”.

Pramoedya kembali kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan sang ayah, yang dalam kesaksian-kesaksian orang ketiga di buku ini, sangat pantas mendapatkan predikat pahlawan. Ayah yang sehari-harinya bekerja sebagai guru dan pejuang kemerdekaan, tidak pernah disinggung dan dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional tak lebih sebagai buatan rezim resmi yang menipu. Pramoedya kembali mengatakan: “Dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”.

Selanjutnya, dengan menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pramoedya kembali mengingatkan kita tentang posisi ayahnya: “Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi”.

Kisah-kisah di atas akan selalu mengingatkan kita pada pentingnya memperjuangkan politik ingatan untuk melawan amnesia. Jika kemudian Milan Kundera pernah memformulasikan bagaimana perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa, jauh-jauh hari Pramoedya sudah mengingatkan hal itu. Lewat buku Bukan Pasar Malam, Pramoedya telah memberikan pelajaran berharga, bagaimana pentingnya melakukan perlawanan atas kekuasaan dengan menjaga dan menuliskan ingatan melalui karya-karya sejarah pula. Sebab, seperti yang selalu diingatkan dalam perjuangan Pramoedya, sejarah kita ditulis bukan oleh mereka yang dikalahkan, tetapi oleh para jenderal yang menang--history is written by the winning general.

Dengan demikian, baik Kunto maupun Pram, keduanya memang pengarang yang piawai memainkan kilas-balik sejarah masa lalu yang tetap menemukan pijakan pada masa kini dan bahkan di masa mendatang. Kedua tokoh ayah dalam kisah ini tampil sangat memikat lewat ayah yang bekerja sebagai pedagang garam dan candu (Kunto) dan ayah yang bekerja sebagai guru Sekolah Rakyat (Pramoedya), yang menggugat kebijakan Dinas Pemerintahan Kolonial. Dan sebagaimana diketahui, kedua tokoh ayah ini hampir tidak pernah disinggung-disinggung apalagi dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional di negeri ini di susun untuk melupakan sejarah yang sebenarnya.

Gugatan yang bertubi-tubi dihadirkan Kunto lewat cerpen-cerpen yang menggugat warisan buku-buku sejarah resmi menarik untuk dikaji lebih mendalam. Bahkan beberapa cerpennya yang lain, tak kalah bernasnya mengisahkan kehidupan orang-orang kalah, seperti cerpen Orang yang Mencintai Kuburan. Cerpen ini menunjukkan secara kontras antara makam orang-orang kaya dengan makam orang-orang miskin dan realitas politik “yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan anjing” (yang besar memakan yang kecil). Begitu juga dalam cerpen Hampir Sebuah Subversi, lewat kisah sederhana ini ia mendedah sosok mahasiswa yang kritis tapi oleh dosennya dituduh sebagai anti-ideologi negara.

Sampai disini, karya-karya almarhum Kuntowijoyo menawarkan sebuah kisah dramatik sekaligus subversif. Cerpen-cerpen bertema kuburan memang sebuah isyarat puitik tentang kematian, yang setiap orang akan pergi meninggalkan yang lain. Maka dari sini, cerpen-cerpen Kunto menawarkan kesegaran dan ketegangan sebuah cerita, bukan pencabulan ata kenenesan yang membual mimpi-mimpi indah. Karena itu, sepantasnya bila almarhum diberi gelar bapak bangsa dan dikuburkan sebagai pahlawan nasional: suka atau tidak suka.












Sitor



Sejak muda Sitor banyak bicara tentang maut, tapi kematian tak juga menjemput. Ketika sudah begitu renta, akhirnya Maut itu datang juga. Usianya cukup panjang, dan dia sudah melanglang buana ke mana-mana. Para sahabatnya sesama Angkatan 1945 telah lama mendahuluinya.

Seorang penyair memang tak bisa menentukan kapan saatnya kematian datang. Perjalanannya bisa terbentang dari masa-antara dan masa menunggu, sebelum akhirnya ia mengembuskan napas penghabisan. Seperti kata oang tua kita: sepanjang-panjang usia, ia akan mati juga. Sejauh-jauh perjalanan, ia akan kandas juga.

Pencarian dan kematian dilukiskan dengan sangat baik oleh Sitor dengan menggunakan perumpamaan sebuah sungai. Dalam sajak Sungai ia bercerita tentang aku lirik yang pergi sambil menatap “mereka yang sendiri, menurun lembah, di bayang telanjang, sunyi berjaga di puncak menara: Jauh di kolong kota, kasihku bermuka-muka dengan hening maut, sampai burung-burung pulang di kening pagi tua: Ini akhir perjalanan, senja gelisah, desir daun-daun segala musim…”

Hidup penyair terentang di antara dua kemungkinan, sambil melintasi padang realitas kehidupan sehari-hari, ia bisa mengurung diri sebagai teknik tersembunyi, namun ia tetap bernapas dalam iklim puisi. Bahkan ketika sedang berada di puncak segala ilham, “detik menolak/terbanting diri pada kebuntuan”, sebagaimana dilukiskan dalam sajak Berita Perjalanan.

Sebagai penyair yang “melintasi padang realitas kehidupan” sejak zaman kolonialisme, pergolakan memperjuangkan kemerdekaaan, semangat menjunjung nasionalisme, memasuki fajar modernisme hingga senja mulai merekah oleh kehadiran diskursus pasca-modernisme, Sitor telah menorehkan tak kurang tiga ratus sajak yang dimuat dalam buku analekta bertajuk “Surat Kertas Hijau” (1954), “Dalam Sajak” (1955), “Wajah tak Bernama” (1955), “Dinding Waktu” (1976), “Bunga di Atas Batu” (1989), “Paris la Nuit” (2001), dan “Biksu tak Berjubah” (2004).

Penyair ini bisa menempatkan dirinya sebagai saksi zaman, tapi juga sebagai aksi kehidupan. Ia tak memisahkan kerja kepenyairan dengan politik. Ia menampik penyair yang mengidap semacam anglofilia dan menihilkan arti penting kebudayaan sendiri demi berkiblat ke Barat. “Kita boleh kagum pada Barat karena pribadi kita bisa diperkaya dan diperluas oleh kaki-langit intelektualnya, tapi kita sudah tegak sendiri sebagai penemu-penemu masa kini, sebagai identitas sendiri, yang mencakup khazanah tradisi sastra daerah yang terus berpacu”, tulisnya. Dan menulis puisi ialah “sebagai kerja yang maha penting, namun tak perlu harus melupakan tanggungjawab kehidupan karena banyak hal yang juga maha penting yang bisa berubah urutan prioritasnya”.

Sitor memang pernah menerima beasiswa dari Belanda untuk melanjutkan studi di Eropa (1950-1953), namun hatinya tak di situ. “Pulang?” tanyanya dalam secarik puisi, sambil tak lupa menjelaskan satu kalimat yang acapkali membuat sebagian besar penyair hidup terlunta-lunta di tikungan jalan, di ruang antara, desa dan kota, lokal dan global, sebagai “si anak hilang” yang berjalan dengan “tujuan rutin yang mulai kehilangan arti”.

Salah satu sajak Sitor yang melukiskan kerinduan untuk pulang adalah sajak “Panggilan” (dimuat dalam buku analekta Dinding Waktu, 1976): “Rinduku/Pulang/dalam Rumah dalam Seni/Angin manis meniup pasir benua Afrika/--Di Eropa kutahu masih salju/Sampai ke padang-padang Siberia/Aku harus ke Moskow, tapi/Memenuhi harapan yang kusayang/Untuk kumpul di akhir Ramadhan/Aku pulang malam terbang garuda rindu”.

Si penyair mengurai dengan cermat ketegangan dua dunia yang dijalaninya. Seorang ibu yang menunggu anaknya kembali, dan berusaha untuk menyapa dengan tujuan agar ia menemukan arah dan jalan pulang yang terang. Namun apa yang didapatnya justru kegelapan, kesunyian, yang berarti ketidakbetahan.

Kerinduan Sitor pada Harianboho, kampung asalnya di tepi Danau Toba, juga terekam dalam ”Sajak Pulau Samosir” dan ”Jalan Batu ke Danau” (dimuat dalam antologi Dalam Sajak, 1955 dan dimuat kembali dalam kumpulan Bunga di Atas Batu). Sajak yang ditulis untuk dipersembahkan pada ibu dan bapaknya, melukiskan rasa percaya diri yang tinggi untuk menemukan arah pulang kendati badan sedang berada di negeri orang.

Pulang ke rumah asal telah menjadi kata yang akrab dikalangan penyair kita. Namun sangat disayangkan, penyair mutakhir kebanyakan mengeksplorasi arus mudik ketimbang arus balik, padahal inti kedalaman sebuah puisi justru ketika ia mampu memaknai hidup pasca-mudik. Desa atau pedalaman seakan lebih luhur dan memberinya alasan terus untuk kembali. Sementara di kota tak jelas tujuan, tapi tak juga kunjung dilupakan.







Goenawan (1)



Penyair ini tampak bandel. Sudah setiap minggu menulis di rubrik kesayangan Catatan Pinggir majalah Tempo, masih juga nulis di ruang dan di tempat yang lain. Setiap tulisannya tak ada yang jelek. Tak heran kalau ada orang yang memiliki koleksi esai-esainya secara ganda. Walau esai-esainya sudah berkali-kali dibaca tetap saja mau dibeli kalau tulisan-tulisannya dibukukan.

Harga 40 ribu untuk buku lakon tentang Tan Malaka—aktivis legendaris yang banyak menghasilkan karya dalam bidang pergerakan itu—tidak terlalu mahal. Sebab saya tahu siapa yang menulis naskah lakon puitis yang sangat beda tipis dengan puisi ini.

Goenawan tak sedang menulis tentang tokoh kiri bernama Tan Malaka. Buku Tan Malaka dan dua Lakon Lainnya adalah buku Goenawan terbaru dan pertama tentang teater. Lebih tepatnya: naskah teater. Buku ini bukan sembarang naskah teater, karena di dalamnya ada puisi, musik dan tarian kata-kata puitis yang mempesona. Lewat buku ini, Goenawan menampilkan sosok Tan Malaka yang lain sama sekali dari yang pernah kita ketahui. Tan Malaka yang satu ini agak puitis, sedikit melankolis, dan tentu juga liris.

Cukup merogoh kocek senilai Rp. 40 ribu buku ini bisa dinikmati dengan santai sambil minum kopi Aceh. Tak terlalu mahal untuk tiga naskah teater, karena kalau dipentaskan untungnya jauh lebih besar, apalagi di jaman yang miskin naskah teater seperti sekarang ini. Bagi seorang tukang resensi, tentu saja 40 ribu masih terjangkau karena honor resensi untuk Koran nasional setengah jutan-an.

Kalau ada sosok tokoh yang ditulis oleh Goenawan tapi jelek, itu mungkin sosok Tan Malaka. Cara menampilkan si tokoh beda jauh dengan kecenderungan Catatan Pinggir yang begitu kokoh dan brilian.

Dengan mengandalkan bahasa yang puitis, Goenawan merakit-rakit bahasa untuk menghubungkan Tan Malaka dengan tak lupa berusaha menggabungkan keayalan Hamlet dan kebimbangan Pasternak. Terkadang ia berusaha menampik detail dan merayakan detotalitas, tapi di lain tempat ia suka juga dengan kebuncahan sekaligus keterbelahan. Di sana tersirat keinginan untuk memakzulkan bentuk yang statis sama sekali tidak terpisah dari kandungannya yang dinamis (ah, intelektual sekali kedengarannya).

Saya ingin serius membidik tokoh yang satu ini. Saya suka karena tokoh ini tak hendak jadi hero. Juga enggan terhadap sesuatu yang bahana dan histeria. Tan Malaka ditampilkan lewat keinginan seorang penyair dalam memikirkan kontingensi bahasa dalam momen apa saja dan dalam karya apa pun, hingga membuat Goenawan masuk terlalu jauh ke dalam puisi puitis, teater puitis dan prosa puitis. Bahkan sebuah musik yang puitis.

Dalam tiap-tiap kata-kata yang puitis itu, muncul dialog yang intim, sementara pertanyaan sering dibiarkan berlorong tak jarang menjadi perangkap yang ampuh dalam membuai dan menghanyutkan pembaca yang mudah tersentuh seperti saya.

Tekanan pada keindahan bahasa menghasilkan refleksi tentang estetika sebagai yang tak bisa sudah, karena yang sudah ternyata tak menyapa keberbagaian. Dengan kata lain, Goenawan seakan mengkontraskan selesai dengan tak selesai, berhenti dan proses, ekspresi dan diam, dialog dan monolog, keabadian dan waktu.

Keren bukan? Apalagi jika berjumpa dengan pergolakan-pergolakan diam tokoh-tokoh dalam tiga naskah teater yang sudah dan belum pernah di pentaskan in. Di dalamnya berkali-kali muncul karakter Goenawan sebagai penyair lirik dengan sifat akhir-terbuka (open-ended), eksotopi, dan hal-hal yang tak selesai itu. Tentu saja hal ini akan mengingatkan kita pada semangat Bakhtin. Dan pengaruh Bakhtin cukup dominan membentuk rajutan puisi dan pemikiran Goenawan, selain juga para pemikir pasca-strukturalis macam Derrida.

Jika Bakhtin berjerih memikirkan novel, Goenawan terus mendiskusikan puisi sambil berusaha membelanya. Mengapa puisi mesti dibela? Karena puisi, kata Goenawan, hampir analog dengan hidup, yang bukan seutas garis dalam peta atau ruang, sebagaimana kita persepsi selama ini, melainkan setuas waktu. Bahkan seutas tali kebisuan.

Puisi dibela dan Tuhan tidak perlu dibela. Ehm, cocok. Seperti Gus Dur yang tahu menempatkan kemahakuasaan Tuhan hingga ia tak lagi ragu kalau Tuhan memang tak perlu dibela.

Yang dibela Goenawan tentu saja tidak sembarang puisi. Tapi puisi lirik. Kenapa dengan puisi lirik? Puisi lirik pada dasarnya mirip dengan “dewa waktu yang membisu”, kata Goenawan suatu kali. Seperti kata yang keluar dari hati yang tak teraba gerak-geriknya. Begitu tenang, hening, sunyi, gagu, dan kehidupan tampak mengalir-bebas di situ. Hanya saja, kita sering tak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Sementara Goenawan begitu hirau. Apa-apa yang kita anggap tak menarik justru dihadirkannya dengan gemilang dan tak kehilangan peluang sebagai karya yang baik.

Agaknya memang sudah sifat Goenawan kalau selalu menggugat, juga menggugah. Berbagai persoalan yang selama ini kita anggap sudah selesai, dipertanyakan kembali, terus-menerus tanpa akhir. Segala kepercayaan yang sebelumnya kita teguhkan di dada, kita kunci rapat-rapat dalam laci keimanan, dengan sangat cerdik dipertanyakan. Dan pertanyaan adalah senjata Goenawan paling ampuh untuk membuat orang berpikir-ulang tentang hal-ihwal.

Bagi Goenawan, apa yang kini kita harapkan tampil ke publik bukanlah iman yang total, pasti dan selesai. Tapi ”iman dalam praksis eksotopi”, kata Bakhtin yang dikutip Goenawan: yaitu iman dalam proses. Iman dalam pencarian terus-menerus; iman yang tak meletakkan ”kepastian subyek” melainkan ”subyek dalam proses” kata Julia Kristeva yang dikutip Goenawan pula.

Mengapa dengan iman dalam proses? Sebab dunia yang kita diami hari ini ”bak sebuah bazar, di mana bukan satu, melainkan berbagai eksperimen iman, aneka agama, dan masing-masing tampak bagaikan ’satu intan dua cahaya’”. Bukan satu tapi nol. Dan nol adalah kosong, yang membuka ruang untuk diisi. Disinlah peran tafsir bermain: mengisi yang kosong dengan kepelbagaian sambil mempertanyakan kepastian satu.

Kini tak berlaku lagi cara berpikir mutlak-mutalakan. Kita hidup di hari ini dengan beragam kemungkinan. Agama, sebagai turunan praksis dari keimanan yang kita junjung, kini mengalami beragam tantangan. Setelah sempat diramalkan akan punah seiring dengan bunyi kokok ayam positivisme dan desing-bising mesin teknologi, kini ”agama” malah tampil dengan garang di ruang-ruang publik. Apa yang dulu disebut candu oleh kaum Marxis dan harus disingkirkan lantaran meninabobokkan massa, kini tampil menggairahkan, meluap-luap hingga yang terdengar bukan lagi suara kasih dan kedamaian, tapi letupan kemarahan yang mengerikan.


Mengapa Tuhan masih penting kita persoalkan di hari ini? Bukankah tak ada gunanya terus-menerus mendiskusikan Tuhan karena Tuhan adalah Tuhan? Bisa jadi, tapi Tuhan kembali disebut sebagai ungkapan rasa syukur. Bukan Tuhan sebagai ini dan itu, melainkan—kalau boleh meminjam salah satu judul esai Iwan Simatupang—Tuhan yang hanya bisa dipahami melalui makna dan. Dengan dan kita mencari serba-kemungkinan, keragaman pandangan dan tafsiran tentang Tuhan sambil menolak rumusan-rumusan yang terlanjur dibakukan. Dengan dan, kita menari dengan senang hati tanpa memikirkan keakhiran.

Sebagian pemikir menolak keberadaan Tuhan, karena menurut mereka, pengertian kita tentang ada terlalu terbatas untuk ditetapkan pada Tuhan. Ada juga yang bergerak lebih jauh dengan menganggap Tuhan tiada, atau kalau ada, maka ”Tuhan telah mati” (Nietzsche). Dulu al-Hallaj menyerukan ”Akulah Kebenaran” (al-Hallaj), karena keberadaan Tuhan bukan sejenis dengan realitas seperti yang biasa kita alami. Pascal pernah mengatakan: “Tuhan ada atau tidak ada, tak ada pilihan tengah bagi manusia. Sebab nalar manusia tak berdaya memandunya untuk memilih. Seperti permainan melempar sekeping koin dari matauang yang sama dengan akibat yang tak terpermanai tengah berlangsung; di mana satu sisi mesti menang. Sebagai manusia kita harus bertaruh. Tak ada pilihan lain. Tidak bertaruh bahwa Tuhan ada, berarti bertaruh bahwa Tuhan tidak ada. Mana yang akan kita pilih?”

Lain Pascal lain pula Albert Camus. Si jenius yang kata-katanya sering membuai-menghayutkan lantaran begitu stilis ini, dalam Mite Sisifus ia mencibir mereka yang masih menyibukkan diri dengan masalah Tuhan dan Ada tapi menutup mata terhadap bahaya-bahaya nyata disekitarnya dan menganggap sepi hipotesis yang mengatakan bahwa ciptaan merupakan hasil dari suatu kebetulan.

Persoalan yang sama telah dieksplorasi habis-habisan oleh Heidegger dalam Being and Time dan Hal Yang Mungkin Tidak. Heidegger tidak bicara tentang Ada sebagai semacam tuhan yang impersonal, sebagaimana dituduhkan Levinas, atau mengarahkan telunjukknya pada Ada Tuhan, Ada Transenden. Tetapi Ada dalam pengertian manusia, ada dalam dirinya sendiri, karena menurut Heidegger, Tuhan, jika Ia ada, akan menjadi ada di antara ada-ada yang lain. Kaum Heideggerian seperti Brunner, Bultmann, Tillich, Van Buren, Robinson, Bloch, memang telah menarik lebih jauh pandangan Ada eksistensial dari Heidegger ke dalam wilayah ketuhanan (teologi). Heidegger tidak sendirian ketika mengkritik tuhan menurut filsafat dan menyarankan untuk segera ditinggalkan, bahkan jauh sebelum Heidegger dan Camus, Budha telah melakukannya. Dan Budha muncul setelah suatu gerakan filosofis yang berlangsung ratusan tahun, konsep Tuhan telah hilang ketika Budhisme telah menjadi paham. Tapi kini Tuhan mulai ramai didiskusikan kembali.

Mengapa Tuhan masih disebut-sebut? Adakah ini bertanda kebangkitan kembali agama dan Tuhan? Sosok agama dan Tuhan semacam apa gerangan yang kini kita dambakan? Romo Magnis memilih untuk tidak menganggap diskusi tentang Tuhan sudah selesai. Kendati kita tahu, sejak kemunculan postmodernisme di negeri ini, filsafat ketuhanan dan metafisika telah digugat habis-habisan, Franz Magnis rupanya tak kehilangan argumen dan alasan untuk menghadirkan pemaknaan Tuhan sebagai kasih dan sayang.

Goenawan punya alasan tersendiri mengapa Tuhan sampai kini masih terus dibincangkan. Sebab kita hidup di masa ”ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberikan kekuatan, menerangi jalan, tapi juga membingungkan dan menakutkan”.






Goenawan (2)


Seni—dalam hal ini berlaku juga untuk puisi—memang tak serta-merta bisa mengubah dunia. Puisi bersifat pribadi, mungkin juga kemewahan terselubung seperti sering disinggung banyak orang beberapa tahun lalu. Sementara pemikiran seringkali mengguncang tatatan yang mapan. Refleksi tulus Ahmad Wahib atau humor Abdurrahamn Wahid, mampu menciptakan situasi jadi heboh.

Apa sebetulnya pemikiran itu hingga sebagian orang tua begitu khawatir jika anaknya terlalu banyak berpikir? Adakah memang pemikiran itu begitu berbahaya dan bisa mengancam generasi muda kita?

Stephen Hirtenstein, yang sangat mengagumi Ibn Arabi, pernah mengutip ucapan tokohnya: pemikiran sebagai "tamu dari langit yang melintasi ladang hati". Dalam hal ini, pemikiran tak cuma mengacu kepada proses otak, atau sesuatu yang dapat kita pikirkan, atau kita renungkan. Pemikiran mengindikasikan sesuatu yang muncul dari keheningan batin, setiap saat dalam diri kita, di dalam kesadaran batin kita. Apa yang umumnya dianggap sebagai pemikiran baru sebetulnya tidak ada lagi. Pemikiran baru itu tidak lain adalah realisasi dari pemikiran yang telah muncul sebelumnya.

Ketimbang terlmapau berharap agar puisi dan pemikiran bisa mengubah dunia, saya setuju dengan Hasif Amini: lebih baik "menatap dan menampung dunia sebagai kemungkinan-kemungkinan". Dan Leo Tolstoy pernah mengingatkan juga, dan agaknya kita sudah lupa bahwa "semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya".

Perubahan sesungguhnya datang dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Bukankah Tuhan sendiri "tak menciptakan dunia" melainkan "Tuhan mengucap dunia", kata seorang filsuf yang saya lupa namanya. Dan puisi lebih sering bicara tentang bagaimana mengabarkan dunia ketimbang bagaimana menciptakan dan mengubah dunia. Puisi memandang dunia sebagai kata, dan karena itu dunia tak lain adalah bahasa.

Seorang penyair dan pemikir tentu berbeda dengan para ideolog atau pengajar agama, dan sudah sewajarnya jika mereka menjelmakan dirinya sebagai "seorang yang hidup di rumah sunyi", kata Goenawan dalam Catatan Pinggir (Caping) "Perempuan". Sebab, dengan itu, ia akan menampik setiap kebenaran yang dinyatakan final dan mutlak, ia akan menjadi "gangguan" terhadap kisah-kisah yang lurus, ia akan merayakan perdebatan, menjunjung ketidakpastian, menyemangati gairah perbedaan dalam perbedaan. Hal-hal semacam ini mungkin tak menyelesaikan perkara di dalam diri dan dunianya seratus persen. Tetapi ia menjadi manusia yang berhak hidup dan menentukan pilihan-pilihan sendiri dengan merdeka.

Pada titik ini saya masih belum merasa cemas dan waswas, sebab keterbukaan sudah menjadi watak Caping Goenawan, yang senantiasa mengundang saya untuk berdialog dengan lapang dan tulus, tanpa rasa takut, tanpa cap berdosa. Entah mengapa semua itu kini kita rindukan. Fundamentalisme agaknya akan terus membayang-bayangi dan sekaligus mengintai tulisan-tulisan dan tindakan-tindakan kita yang dianggap menyimpang. Dan bersikap terbuka, tulus dan tanpa cap berdosa, bukan cuma berharga, tapi mesti selalu ada.

Saya bahkan mengagumi sikap yang meletakkan kreativitas tak hanya pada guna dan manfaatnya, melainkan sekian banyak elemen yang terpaut satu sama lain. Dengan itu kita punya bekal mengarungi pintu-pintu yang mahaluas agar mampu menangkap kenyataan. Dalam bahasanya Dick Hartoko, sifat macam ini dinamakan "senggang": sikap spiritual untuk bisa mendengarkan, semacam kemampuan jiwa untuk tanggap terhadap kenyataan dunia yang tak melulu dilihat dari guna, faedah dan tujuan.

Dalam bahasanya Ayu Utami dan Sitok Srengenge ketika mengumpulkan sajak-sajak lengkap Goenawan, inilah sebentuk penghargaan pada kesetian untuk menciptakan sanktuari : sebuah wilayah di mana bahasa, ciptaan, karya tak harus berguna, di mana sebuah arti tak sama dengan fungsi.

Dalam suatu dunia yang hanya mementingkan kegunaan, kata Dick Hartoko dalam esai Keadaan Senggang sebagai Dasar Kebudayaan, memang tak ada tempat dan waktu untuk ritual dan kebaktian. Padahal religi dan puisi yang sejati justru tidak mementingkan faktor kegunaan, bahkan berani mengorbankan barang-barang berguna itu demi sesuatu yang lebih menggairahkan iman dan pemahaman.

Senggang adalah waktu yang tepat menulis esai atau puisi yang baik. Tak ada esai atau puisi yang mantap yang tidak kontemplatif. Dasar sebuah penciptaan, adalah semadhi, sunyi, hening, bisu, senggang dan lapang. Itulah corak sebagian besar esai dalam buku Caping 7 (Tempo Print, 2006).

Setahu saya, Goenawan tak pernah menulis buku utuh. Buku Tuhan dan Hal-hal Yang Tak Selesai bukan buku utuh, tapi kumpulan esai yang sebagian besar juga pernah muncul di Caping majalah Tempo. Peluang untuk menulis buku yang sistematis bukan tak ada. Selagi kuliah di jurusan psikologi UI, ia bisa menulis skripsi dan dibukukan, sebagaimana Arief Budiman, namun Goenawan rupanya memilih untuk tak menyelsaikan studinya.

Kehadiran gerakan postmodernisme tampak sejalan dengan sejumlah pendirian Goenawan tentang buku. Derrida pernah menyinggung "senjakala buku" dan "kelahiran teks". Buku, kata Jacques Derrida—yang saya kutip dari Muhammad al-Fayyadl dalam bukunya Derrida (2005)—adalah metafor tentang totalitas. Peradaban metafisika adalah peradaban buku yang memuja totalitas seraya menampik perbedaan-perbedaan. Buku mengandaikan halaman terakhir yang selesai Oleh karena itu Caping Goenawan menjadi penting untuk tak jadi buku yang membelenggu.

Lebih lanjut Fayyadl mengatakan : sebuah buku terdiri dari huruf-huruf, mungkin juga angka-angka, aksra-aksara. Dan di sana, di dalam huruf yang tampak bisu dan diam itu, tersembunyi kekuatan yang tak mungkin selamanya dirangkum ke dalam totalitas. Sebuah huruf yang merapat di antara barisan kata-kata terkadang menyuarakan sesuatu yang lain—semacam enigma yang tak terselami tapi memikat, dan barangkali juga tak terlalu mudah untuk dijinakkan.

Tak heran jika Goenawan tak peduli dengan cibiran orang yang menyebutkan "buku" kumpulan esai bukan buku. Ia terus bertahan untuk tak tergoda menulis buku, dan tetap setia menulis esai-esai pendek dengan kualitas yang terjaga untuk kemudian dibukukan.

Sampai buku ke-7, Caping tetap gigih membela puisi, yang berarti membela tegaknya kebebasan. Di sini ada kesamaan antara Goenawan dan Octavio Paz. Dalam sebuah esai, Paz menandaskan: "Ambisi saya adalah menjadi seorang penyair, dan tak lain kecuali penyair. Buku-buku prosa saya dimaksudkan untuk mengabdi pada puisi. Untuk menilai, menjaga, dan menjelaskan puisi kepada orang lain, juga diri saya sendiri. Saya segera menemukan bahwa pembelaan terhadap puisi, yang diremehkan orang di zaman kita ini, tak terpisahkan dari pembelaan kebebasan".

Salah satu soal yang juga paling sering muncul dalam Caping adalah agama. Goenawan begitu gigih membela agama dari tudingan sekularisme. Apa yang dulu dianggap candu dan agak nyinyir di mata sebagian aktivis Marxis, dan harus disingkirkan karena kerapkali melantunkan nyanyian nina bobok, kini justru meluap-luap hingga yang terdengar bukan lagi kesejukan dan kedamaian, tapi agama dalam letupan kemarahan yang mengerikan. Karena itu, apa yang kita harapkan tampil ke publik bukan lagi subjek yang otonom dan universal, iman yang mati, tapi iman yang hidup dan mau berdialog terus-menerus. Dalam konteks ini, Goenawan pernah menyebut : ”iman dalam praksis eksotopi” yang dipinjamnya dari Bakhtin.

Dengan kata lain, iman bukan sebagai sama, tapi iman dalam beda. Hidup dalam keragaman ketimbang hidup dalam persamaan. Dalam sebuah esai pada tahun 1980, From Secularity to World Religions, Berger, yang dikutip Goenawan, menunjukkan dinamika lain di masa kin, yaitu pluralisme. "Kepastian subyektif" dalam beragama tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Dunia kini warna-warni, di mana yang ada bukan sepasukan "jahiliah" yang utuh menghadapi sepasukan "mukminin" yang tunggal. Keretakan, atau beda, di mana-mana sudah tampak.

Kepastian subjek dalam beragama, kata Goenawan dalam esai tentang agama itu, tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Sebab dunia kini bak sebuah bazar; ada berbagai ekspresi iman, aneka agama, dan masing-masing bisa tampak bagaikan ”satu intan dua cahaya”.

Tak heran jika Goenawan cukup terpesona dengan sejumlah penghayatan kaum sufi. Kaum sufi itu paling toleran dalam hidup. Sebagaimana dalam Gatholoco, percakapan tentang pengalaman mistik menemukan problem dalam pem-bahasa-an. Ketika bahasa bergerak lebih ke arah sifatnya yang komunikatif, dan bukan sifatnya yang ekspresif, pengalaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.

Yang jadi damba kaum mistik adalah perjalanan yang tak pernah sampai di akhir, bahkan apa yang akhir memang tak pernah ada. Tak ada terminal yang bisa disebut sebagai proses sudah dari sebuah perjalanan yang bisa membuat kita berpuas diri, kecuali mungkin tarian di tepi-tepi yang mengasyikkan. Mirip seperti tafsiran Ibn Arabi tentang perjalanan transformasi persepsi. Apa yang disebut gnosis atau mistik, kata Arabi, adalah sebuah perjalanan tanpa ujung.

Arabi juga mengatakan: kita tak pernah behenti berjalan, dari satu momen penciptaan kita dan penciptaan bagian-bagian fisik kita, dan seterusnya. Tatkala sebuah pemberhentian tampak bagimu, kau berkata, ”inilah! Ini adalah yang terakhir!” Tetapi ada jalan lain yang terbuka bagimu, di mana kau dilengkapi dengan persediaan untuk keberangkatan yang baru. Segera setelah kau melihat tempat pemberhentian, kau mungkin berkata, ”Inilah tujuanku,” akan tetapi tak lama setelah kau sampai, lalu kau bergegas pergi dan mulai lagi.

Perjalanan Goenawan mirip sebuah epektasis dalam tafsiran seorang guru Kristen Cappadician abad keempat, Gregory dari Nyssa: ”perjalanan maju tanpa batas ”dari awal ke awal melalui awal yang tidak pernah berakhir”. Dalam perjalanan macam ini, kata Ibn Arabi yang rajin mengingatkan, kita dituntut untuk selalu melakukan ”pembaruan ciptaan di setiap saat” (tajdid al-khalq fi’l anat).

Dari sana kita bisa melihat lebih dekat bagaimana Goenawan mempersepsi ruang dan waktu dalam proses perjalanan yang tak pernah punya batas itu, karena setiap batas berarti selesai. Ruang dan waktu bagi dia hanyalah efek dari pembaruan yang tak pernah terputus. Gerakan lahir kita di ruang tak lain adalah refleksi dari kreativitas Tuhan yang terus-menerus.

Dengan kata lain, sebuah sikap yang—mengutip kata-kata Goenawan sendiri—“suatu kecenderungan untuk selalu menyangsikan kepercayaan” karena yang namanya ”kepercayaan” selama ini senantiasa dianggap selesai. Menyangsikan, bukan menolak. Karena Goenawan masih mengusulkan bentuk ’kepercayaan di luar segala hal-ikhwal”. Ragu memungkinkan orang untuk mencari. Keyakinan yang hidup bukan sebuah patokan yang telah disiapkan, melainkan sebuah kelana dalam proses.

Dalam setiap pencarian, bisa saja saya mengalami ketidakpastian dan terus menerus dirundung keraguan atau tersesat dan tak bisa kembali. Bahkan mungkin saya mengalami keraguan yang paling murung, atau keraguan yang paling menyengsarakan.

Pandangan Goenawan soal agama senada dengan Ulil Abshar-Abdalla yang mengatakan bahwa Islam lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan kepada Yang Tak Tertundukkan."

Goenawan seorang pluralis yang paling tak mau mengambil kesimpulan yang bulat. Ikhtiar dan kerendahhatian serta kewaspadaan dalam menerima aneka warna pelangi dunia, termasuk dengan pelangi bernama ”fundamentalisme”, terasa tak mau kompromi. Ketika merasa ”berbenturan” paham dengan kaum fundamentalis, atau juga revivalis, atau yang skripturalis, terserah, Goenawan kadang masih kurang arif menerima perbedaan pendapat.

Sikap pluralis dan iman dalam proses kadang masih menjebak Goenawan untuk mengambil kesimpulan yang mendesakkan ijtihadnya sendiri kepada kaum yang beda atau berselisih pandangan. Dalam Caping Ahmadinejad, misalnya, Goenawan mengatakan: ”Ada satu ciri kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mereka memusuhi hidup. Hidup adalah sejenis hukuman, karena fana dan diubah waktu. Bagi mereka, waktu yang berubah adalah jalan kemerosotan...Setiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai sesuatu yang mandek”.

Tapi, benarkah semua kaum fundamentalis memusuhi hidup? Apakah memusuhi hidup adalah satu ciri yang melekat pada fundamentalis dari semua agama? Apakah yang memusuhi hidup identik dengan kaum fundamentalis?

Goenawan sepertinya ingin membenturkan kembali gagasan fundamental dengan gagasan liberal. Seakan-akan pandangan liberal tak bisa retak. Padahal yang liberal tak selalu menjanjikan kesejukan, kedamaian, kasih dan sayang. Liberalisme yang melahirkan pluralisme itu, tak selalu menjanjikan sorga perdamaian dan bebas dari waham. Seperti sering ditegaskan Karen Amstrong—kendati beberapa pandangannya terlampau memuji-ria agama Islam—orang yang berada pada posisi liberal masih sering mengedepankan prasangka, mengdepankan intoleransi, konflik, permusuhan, seperti dalam pandangan sejarah Eropa atau di Barat abad ke-20.










































Sapardi



Mang Sapardi ulang tahun ke-70. Adakah ini sesuatu yang relevan dibicarakan? Adakah seorang penyair memang memikirkan tanggal dan tahun lahirnya? Apakah memperingati ulang tahun seorang penyair, apalagi dalam usia yang tidak muda lagi, tidak akan dianggap berlebihan?

Begitu banyak yang telah mang Sapardi sumbangkan pada perjalanan puisi dan prosa Indonesia, serta terjemahannya atas buku-buku sastra dunia. Andaikan tidak ada terjemahan sastra dunia yang dilakukan mamang kita ini, orang seperti saya akan butuh waktu yang begitu lama untuk bisa mengenal siapa itu George Seferis, Hemingway, Ibsen, Okot p”Bitek, Henry James, Albert Wend, Eugene O’Neill,Wole Soyinka, Duong Thu Huong, Tenessee Williams, penyair-penyair Cina klasik dan Jepang, serta sejumlah pengarang Afrika dan Amerika.

Kalau mau dihitung, tak terhitung jasa mang Sapardi dalam dunia terjemahan. Tak banyak orang hebat yang masih mau bertekun-tekun menerjemahkan karya orang lain. Tapi yang satu ini memang unik. Tanpa ada terjemahan sejumlah karya sastra dunia yang dikerjakannya dengan tekun, niscaya saya tak mungkin bisa membaca karya-karya para tokoh dunia. Inilah jasa mas Sapardi yang banyak dilupakan, yang tidak mendapat penghargaan. Padahal, sastrawan yang justru menganjurkan agar kita menerjemahkan buku-buku dunia untuk menguji dan memperkaya bahasa Indonesia, seperti hasrat Sutan Takdir Alisjahbana, tidak pernah segigih Sapardi. Sutan Takdir, sejauh yang saya tahu, hanya menerjemahkan satu buku yang utuh.

Kalau Sapardi meninggalkan bumi yang fana ini, begitu banyak yang bisa kita kenang tatkala kita membuka buku-buku sastra Indonesia. Jangan pernah bertanya berapa jumlah buku yang telah dihasilkan. Sejak buku kumpulan sajak awalnya, Duka-Mu abadi, lalu disusul Mata Pisau, Sihir Hujan, Akuarium, Hujan Bulan Juni, Perahu Kertas, Arloji, Ayat-ayat Api, dan yang terbaru adalah sajak dengan mengambil judul kolam. Kita juga tak tahu berapa kali ia bertindak sebagai juri dan berapa sering ia menjadi editor dan redaktur majalah atau koran.

Semua buku puisinya amat penting untuk tidak dibaca. Dulu, ketika saya masih tinggal di Jakarta, saya harus memburu buku-buku puisi Sapardi yang pernah diterbitkan karena saya mulai jatuh cinta pada sajak-sajak liriknya yang cantik. Pernah saya merasa kesulitan dalam membandingkan capaian sajak Sapardi dalam buku Duka-Mu abadi dan Hujan Bulan Juni, atau antara Sihir Hujan dan Hujan Bulan Juni. Akhirnya saya menyerah. Saya berhenti dengan mengambil kesimpulan bahwa sajak-sajak dalam Hujan Bulan Juni adalah puncak lain dari pencapaian Sapardi. Puncak itu sebenarnya begitu pendek, jadi tidak ada pergeseran yang menjulang. Keduanya beda tapi betapa sulit untuk membedakan. Keduanya sama-sama kuat kendati sama-sama bicara soal yang remeh temeh.

Lagi pula, saya tak mau terjebak pada penilaian sajak melalui perbandingan nilai yang seolah-olah cara ini memang cocok untuk membedah sajak. Sudah cukup banyak orang bersibuk dengan mengait-kaitkan puisi Sapardi dengan puisi generasi sesudahnya. Setelah Goenawan Mohamad, Sapardi adalah penyair yang puisi-puisinya sering dibandingkan dengan puisi-puisi para penyair yang lebih muda. Setiap kali orang membicarakan puisi lirik, akan muncul kata “dipengeruhi Sapardi dan Goenawan”, atau epigonnya Sapardi dan Goenawan. Bahkan ada yang membuat sejumlah penyair muda mutung karena sajak-sajak yang dihasilkannya dinilai oleh kritikus sebagai sajak yang mencuri sajak Sapardi.

Yang paling kurang ajar adalah Nirwan Dewanto. Begitu sibuk ia membaca puisi generasi muda untuk kemudian diberi cap mengikuti Sapardi, padahal sudah lumrah kalau ada kesamaan pengucapan di antara penyair. Lagi pula para penyair yang disebut mengekor Sapardi itu sendiri, kalau diuji, sangat lemah. Orang lupa bahwa menulis puisi bukan seperti orang membuat makalah, dan kritik puisi yang bersibuk mencari kesamaan semacam ini mesti ditolak karena kalau yang melulu dipikirkan ada tidaknya persamaan maka akan ketemu persamaan itu.

Saya lebih tertarik mengungkapkan kesan pribadi saat membaca sajak-sajak Sapardi karena kesan itu terbentuk dari pengalaman saya sebagai pembaca yang juga berhak untuk diungkapkan. Tentu saja saya tidak berani mengatakan bahwa sajak-sajak Sapardi gagal. Bahasa yang dipakai Sapardi dalam menulis puisi adalah bahasa hasil penyulingan, dan karena itu tidak lagi terasa kaku karena sebagian besar sajaknya sudah bebas dari kungkungan yang bernama bait.

Mendekati sajak Sapardi tidak mungkin dengan menggunakan penggada besar. Sapardi sangat hirau dengan alam. Rumput, perdu, sulur, gerimis, hujan, embun, mendapat tempat yang dominan dalam buku sajaknya. Kalau pun ada tema yang agak besar, seperti religiusitas, itu sama sekali jauh dari khotbah. Sajak Prologue dalam Duka-Mu abadi pernah saya hapal di luar kepala. Belum lagi sajak Tuan, sajak Aku Ingin dan Belajar Membaca, yang sempat membangkitkan naluri mencuriku, yang kemudian aku kirim kepada orang yang aku cintai. Betapa palsu sebenarnya kata-kataku, dan betapa malu aku jika ia tahu kemudian….

Tema-tema sajak dan prosanya begitu beragam. Ada tema sosial dan ada juga tema individual, yang hampa maupun yang berisi, yang sunyi maupun yang bunyi. Dua hal ini tak mungkin ditolak karena itu merupakan bagian dari perjalanan kepenyairan Sapardi. Kendati kita tahu, sajak sosialnya hanya secuil saja dari ratusan sajak lirik dengan tema-tema sederhana, remeh, tapi sebagian terasa bening-terbening.

Sapardi menjadi penyair yang berhasil justru karena ia telah menghasilkan ratusan sajak lirik yang jernih dan intim, sebagaimana masih terlihat dalam 96 sajaknya yang terkumpul dalam uku Hujan Bulan Juni. Bahkan kita menggolongkan Sapardi sebagai penyair religius yang mantap karena membaca 42 sajak awalnya yang terhimpun dalam Duka-Mu abadi.

Dari semua sajak Sapardi, termasuk dalam kumpulan Kolam (2009), tak satu pun judul yang terkesan intelektual atau pintar. Malah sebaliknya. Dan ini juga yang jadi kekuatan Sapardi dibandingkan dengan Abdul Hadi WM dan Goenawan Mohamad yang masih tergoda untuk memilih judul yang intelek.

Tekanan pada keindahan berbahasa, ketekunan menyuling kata-kata, menghasilkan refleksi tentang keindahan sebagai yang tak bisa total. Alunan irama kata-katanya begitu khidmat dan nikmat bagai mendengarkan bunyi sungai mengalir di hutan yang paling sunyi.

Kalau kemudian Sapardi berubah dan tergoda menulis sajak-sajak sosial, saya kira itu harus dibaca sebagai sebuah jeda, sebuah jarak sejenak, untuk kemudian kembali dengan yang sepi dan hampa. Buku puisi terbaru Sapardi membuktikan hal itu. Ia kembali menulis sajak tentang alam dan menghayati kolam sambil mendengar bunyi katak berketimpung dan kecemplung.

Saya tak tahu apakah sajak-sajak Sapardi yang mula-mula saya baca dan saya kenal. Seingat saya, ada beberapa larik puisinya yang sangat akrab sejak saya mulai bersentuhan dengan puisi, tapi kemudian saya lebih intim menghayati puisi-puisi Afrizal dan Sutardji. Yang membuat saya tertegun setelah membaca sajak-sajak Sapardi, bukan karena gagasan, karena hampir tidak bicara tentang gagasan besar, melainkan karena wataknya yang liris, sangat liris, bahasanya yang jernih, kejutan pada akhir larik yang menyentak, kendati semua itu tak sampai membuat saya beranjak dari tempat duduk.

Di lapangan puisi, Sapardi termasuk penyair liris dengan pengucapan prosa. Menyelam kedalaman sajak-sajaknya, tahulah saya kalau Sapardi sama sekali tidak tertarik pada narasi besar. Puisi-puisinya banyak bicara soal gerimis, hujan, rumput, embun, asmara, dan hal-hal yang sering dicibir oleh para penyair sosial dan kritikus yang terlampau memburu gagasan kontektual.

Dalam menuliskan kata-kata, Sapardi memperhitungkan nada dan irama dengan cermat. Pengalamannya sebagai penyair membuktikan kalau bahasa Indonesia itu bisa indah dan kaya, tergantung apakah orang mau berjerih dan belajar tanpa henti atau hanya berkarya karena merasa tak lagi membutuhkan suntikan bahan bacaan. Sapardi terus belajar, bahkan untuk menguji bahasa Indonesia, ia harus menerjemahkan puluhan buku yang menyumbang amat besar bagi wawasan kita tentang sastra dunia.

Ciri lain adalah kemampuan Sapardi menggunakan imaji-imaji sugestif yang sama hebatnya dengan kemampuan Goenawan Mohamad. Kalau Sapardi tidak mencintai apa yang ditulisnya, niscaya sajak-sajaknya yang terkumpul dalam Duka-Mu abadi dan Hujan Bulan Juni akan terasa goyah, lemah, kering dan gagal. Tapi yang terjadi justru Sapardi sangat cinta pada yang ditulisnya hingga sajak-sajaknya menghadirkan keintiman, kesunyian, dan kediam-dirian. Sebuah tema yang sering dicibir sebagai “sajak bisu”.

Tapi Sapardi bukan benda mati yang tidak berubah. Ia termasuk barisan penyair Indonesia yang tidak betah selamanya hanya dengan satu pengucapan atau satu dasar pencintaan, karena bisa jatuh jadi sajak monoton dan rutin. Seperti yang kemudian dilakukan Sutardji, Sapardi akhirnya harus juga menulis sajak sosial yang dekat dengan kenyataan, sebagaimana kita lihat dalam buku puisi Ayat-ayat Api (2000).

Tapi jangan salah sangka: tidak semua sajak dalam analekta Ayat-ayat Api bicara soal masalah sosial atau perihal demonstrasi, kecuali enam sajak pada bab Ayat Api, ditambah sajak Dongeng Marsinah dan Tentang Mahasiswa Yang Mati, 1996. Selebihnya, 46 sajak, tetap bercirikan sajak individual yang subjektif, sebagaimana dalam Duka-Mu abadi dan Hujan Bulan Juni. Salah satu sajak mirip pengakuan: “Yang paling menakjubkan di dunia fana ini/adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya/kita bisa membayangkan apa saja tentangnya/menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa.”

Ada juga sajak lama yang bicara tentang cinta: “aku tengah menantimu/mengeja bunga layu/di pucuk kemarau yang , mulai gundul itu/beberapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu/yang telah hari-hari kucatat, tapi diam-diam lewat/ awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu/musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku/kudengar berulang suara gelombang udara memecah/nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah”. Bandingkan sajak ini dengan sajak lama Sapardi dalam Hujan Bulan Juni yang terkenal itu: “aku ingin mencintaimu dengan sederhana/dengan kata yang tak sempat diucapkan/kayu kepada api yang menjadikannya tiada” (Aku Ingin).

Sapardi pandai betul membuai kita, menggelitik naluri cinta kita, membuat kita terpesona atau hidup dalam pesona. Pilihan kata dan rimanya begitu romantis sehingga setiap kali membaca sajaknya ada godaan untuk mengambilnya dan dikirimkan kepada sang kekasih. Larik-larinya terasa mantap dan mengundang kita untuk datang, sebagaimana ia mengirimkan surat itu kepada kita agar diam-diam kita juga menjelang. Lalu “sehabis percakapan pendek/warna-warna menyisih/ke putih; tamasya yang di luar/sia-sia menunggu” (sajak Sehabis Percakapan).

Sementara sajak Dongeng Marsinah nyaris saja jatuh menjadi sajak klise karena kesamaan bunyi di akhir larik terkesan dipaksakan. Bahasanya mulai berterus-terang dan pilihan kata yang dekat dengan dunia pekerjaan Marsinah sebelum terbunuh. “Marsinah buruh pabrik arloji,/mengurus presisi :/merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;/ waktu memang tak pernah kompromi/ia sangat cermat dan pasti”.

Rupanya butuh waktu tiga tahun bagi Sapardi untuk melahirkan sajak Dongeng Marsinah, itu kalau kita percaya pada angka 1993-1996 di bawah sajak itu. Dalam waktu yang cukup lama itu, hasilnya pun tidak terlalu membahagiakan. Dan agak aneh juga bahwa Sapardi bicara soal kepastian dalam sajak, sesuatu yang justru sering ia hindari.

Ada juga sajak panjang tentang tsunami yang pernah dilisankan Niniek L. Karim dan Opic Tamba Ati. Sajak ini kehilangan bahasa yang sugestif. Namun di sini Sapardi tidak berkoar, atau menjerit histeris, malah masuk ke dalam penghayan religius mirip sebuah doa.

Pencitraan sajak sosial Sapardi berbeda dengan sajak Rendra, Sutardji, Thukul atau Afrizal. Kendati bicara soal demonstrasi pada bulan Mei 1998, sajaknya tidak jelek-jelek amat, dan masih menghadirkan personifikasi dan metafora yang diperhitungkan. Misalnya: “mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan/di mana gerangan kemarau, yang malanya dingin/yang langitnya bersih; yang siangnya menawarkan bunga randu alam dan kembang celung, yang dijemput angin/di bukit-bukit, yang tidak mudah tersinggung”. Atau, “seorang anak laki-laki/menoleh ke kiri ke kanan/lalu cepat-cepat menyelinap/dalam kerumunan itu/dan tidak kembali”.

Seorang demonstran ketakutan karena mungkin diburu oleh tentara, menyumput di kerumunan barisan para demonstran, tapi aneh anak itu tak terlihat lagi. Apakah ia diculik? Dibuang? Mati? Ada suspens yang tangguh dalam sajak ini, sebagaimana dalam sajak Tuan atau sajak Belajar Membaca dalam kumpulan Hujan Bulan Juni. Penguasaan bahasa begitu menonjol, seperti Chairil dan Amir memikirkan berhari-hari memilih kata yang cocok.

Tampaklah bahwa Sapardi lebih tangguh kalau menulis sajak cinta, rembulan, embun, gerimis dan hujan, kolam, ketimbang sajak demonstran. Tapi yang terakhir ini sama sahnya dengan yang pertama, dan keduanya tetap layak untuk dicatat dan dapat tempat karena keberhasilan sebuah puisi tidak melulu diukur tentang tema yang dipilih, melainkan lentur tidak benang-benang intuitif yang dipintal saat melakukan eksperimen, baik tentang bahasa, gaya, isi maupun bentuk.

Cukup lama saya tersentuh sajak-sajak dalam dua kumpulan itu, dan tak pernah terbayang sama sekali kalau kemudian Sapardi harus juga menulis sajak sosial. Sebab ia pernah mengkritik dengan keras sajak-sajak sosial yang tak lebih dari “lebah tanpa sengat”.

Maka saya pun mulai melirik sajak-sajak sepi Sapardi. Yang menggoda dan mempesona adalah sajak-sajak pendek mirip haiku, di mana kata dibikin sehemat mungkin mirip sajak-sajak Medy Loekito. Misalnya, Sapardi menulis: “angin memahatkan tiga patah kata/di kelopak sakura—/ada yang diam-diam membacanya”, atau “kita pandang daun bermunculan/kita pandang bunga berguguran/kita diam: berpandangan”., atau “gerimis musim semi—/tengkorakku retak;/kau pun menetes-netes ke otak”.

Sementara buku himpunan puisi Ayat-ayat Api (2000) memuat sejumlah sajak sosial, seperti tentang terbunuhnya Marsinah, tentang mahasiswa yang mati tahun 1996 dan demonstrasi mahasiswa 1998. Ketika tsunami akhir tahun 2004 Sapardi menulis sajak realis dengan judul Hari itu Ahad, 26 Desember 2004, yang pernah dilisankan Niniek L. Karim dan Opic Tamba Ati.

Saya merasa sedih saat menemukan satu-dua larik yang keberatan memanggul beban sosial. Saya tahu penyair ini sangat sunyi, kesepian, penuh kejutan, dan karena itu sajak-sajaknya dengan tema kabut dan waktu penuh warna pengayatan akan pengalaman pribadi. Ya, itulah sajak individual, hal-hal kecil yang remeh, yang tak berguna dan tak bermanfaat, tapi merupakan bagian yang mengangkat nama Sapardi sebagai penyair lirik yang baik.

Memang, bila dibandingkan dengan pergeseran Sutardji, sajak-sajak sosial Sapardi hanya sedikit, dan itu tidak semuanya berterus-terang. Sapardi masih memanfaatkan personifikasi dan metafora , yang sekalipun tidak lagi bening, tetap menggoda imaji kita. Salah satu ciri sajak sosialnya adalah tidak melantangkan suara. Nadanya tetap tenang dan diam, iramanya masih terasa sayu.

Barang kali kita rindu sajak yang begitu intens mencatat percakapan sunyi, tanpa berteriak, dari beribu saat dalam kenangan surut perlahan ketika mendengar bumi menerima tanpa mengaduh sewaktu detik pun jatuh, lalu kita dengar bumi yang tua masih dalam setia, Kasih tanpa suara, sewaktu bayang-bayang kita memanjang, mengabur batas ruang (Sajak Putih). Atau, yang kita ziarah ruang dan waktu yang capai menyusun Huruf, ketika sepi manusia, jelaga, dan duka-Mu abadi (Prologue), dan di ruang semakin maya dan musim tiba-tiba reda (Saat Sebelum Berangkat) dan kita gaib dalam gema (Dalam Sakit) karena waktu hari hampir senja atau kita menunggu senja (Lanskap). Dan di bawah bunga-bunga menua, musim senja telah tiba, dan kita bertanya dengan cemas: masih adakah? (Sehabis Mengantar Jenazah). Atau cukup diamlah, karena sementara burung-burung di atas rumah menghabiskan terik kemarau, sekali waktu kita mesti memilih kata-kata dalam ruang hampa udara (Suatu Siang di Kota M).

Dan arus waktu mengalir ke muara dan waktu tampaknya hanya sebagai detik-detik berjajar pada mistar yang panjang: sebuah waktu matematis. Setiap Desember segera mengeras di udara, dan Januari pun tiba, tapi kita hanya mengikuti garis semula sampai musim pun masak sebelum menyala cakrawala, dan jarum jam melewati angka-angka. Hingga akhirnya kita pun cemas bertanya: kemana kita ketika telah berusia 70 tahun seperti mang Sapardi?

Kita tak kemana-mana. Kita di sini, menyelam di kedalaman puisi-puisi sunyi mang Sapardi saja, lagi.
































Sitok


Sitok Srengenge: sebuah nama keren alias beken. Mungkin orang tuanya pernah bermimpi diberi nama seindah dan secantik lenggak-lenggok permaisuri. Atau mendapat ilham, atau diberi seorang petualang, atau apa saja. Yang jelas orang tuanya pasti tidak pernah mengira kalau anaknya akan jadi penyair. Penyair yang punya modal besar sebagai penyair. Bukan sembarang penyair.

Kemampuan Sitok merangkai kata bahasa Indonesia jadi puisi indah, terhitung langka. Setiap kali saya membaca puisi dan prosanya, saya seperti sedang berhadapan dengan seorang jenius kata-kata. Bahasanya sangat bagus. Pilihan kata begitu diperhitungkan. Rima dan irama terjaga dengan baik.

Saya mengenal Sitok mula-mula lewat puisi Takbir para Penyair, yang belakangan saya anggap sebagai sajak kurang berhasil. Sebagai sebuah takbir, sudah sewajarnya jika sajak ini dimulai dengan kata “Atas nama para penyair”, yang mirip dengan bunyi slogan para demonstran: “Atas nama rakyat!”

Kekuatan Sitok bukan pada kata-kata yang membahana macam itu, apalagi sampai berpanjang-panjang seperti sajak Takbir para Pneyair yang meletihkan membacanya. Kekuatan Sitok ada pada kesederhanaan ungkapan, pada kejernihan kata-kata dan ungkapan yang tidak dibuat-buat.

Kalau puisi Takbir para Penyair adalah kredo, maka Sitok salah memilih kredo. Seharusnya ia memilih kredo Osmosa Asal Mula yang bicara ihwal persenyawaan atau Elegi Dorolegi. Sajak Obituari Bulan juga lumayan bagus. Sajak ini dibuka dengan kisahan atau sebuah kisah tentang seorang bocah. “Anakku tidur menduga-duga bulan/dan di kelas matanya masih menyimpan malam/ketika ibu guru mengajari matahari/anakku lalu menggambar cakrawala, lautan/perahu layar tanpa nakhoda, dan/rok ibu guru dipermainkan ombak pasang/Ibu gurunya dimakna ikan”.

Sajak ini sangat lucu, dan membuat saya ingin tertawa. Rupanya Sitok bisa juga menulis sajak humor yang kena. Tapi bukan macam ini juga sajak Sitok yang berhasil. Namun sajak yang bagaimana, tunggu dulu dan bersabar, saya ingin mengutip sajak Teluh Lanang yang agak merayu dulu. “Ketika kuntum cinta rekah di hati perempuan/dan suara geliat kelopaknya menjadi kata-kata/meluncur kea rah lelaki/sesungguhnya telah dicipta telaga di rahimnya/ditumbuhi buluh-bulu sepi”.

***

Sitok mempesona saya karena kepiawaiannya dalam berbahasa dan menghasilkan sajak-sajak lirik yang cantik dan menawan. Sajak-sajaknya di bawah ini, semuanya menggunakan bahasa yang indah dan nyaris tak ada bahasa yang sia-sia, apalagi sampai cacat. Semuanya penuh perhitungan dan ketelitian. Kadang sangat hemat kata, tapi kadang pula mengurai panjang menyusuri tepi-tepi di keremangan kata dan makna yang penuh kejutan.

Sitok rupanya sangat piawai menghadirkan frase puitik, seperti “penyair terlunta dikutuk kata” dalam sajak Sonet Situmorang. Kata-katanya khidmat dan jernih. Iramanya tenang namun bisa menggelembung bagai aliran sungai yang sedang bandang. Perhatikan susun larik-larinya, atau cerna alunan irama dan pilihan katanya yang cerdas.

Malam dingin yang kesepian turun berjingkat dari Eiffel,
seakan ingin cari teman dan menghayati hangat mantel
Seusai risau mondar-mandir di bawah gedung tua
dia dekap kau, penyair terlunta dikutuk kata

Lidahnya lembut
menelusup ke lekuk-lekuk kulit kisut
Jantungmu bagai diremas gairah,
gelembung masa lalu membuncah di sungai sejarah

Berkemaslah, sebelum maut
sembari kenang pohon renah berlumut
yang kau titi melintas jurang
di belantara rimba nenek moyang

Dari dulu Seine mengalir, mengairi akar anemun dan angkuli
Kau pun tahu, tanah air tak sekedar gurun dan melankoli

Siapa ngajari Sitok bahasa yang sederhana hingga nyaris tak tertandingi oleh puisi-puisi se-generasinya? Dugaan saya adalah Sitok sendiri, artinya otodidak yang banyak baca buku sajak yang bagus. Sekalipun bicara soal mitologi, elegi dan tragedi, sajak-sajaknya tidak jatuh jadi klise. Sitok memang banyak menimba mitologi Jawa dan tembang pesisiran dan lagu dolanan anak kecil di Jawa. Tapi tidak hanya Jawa dunianya, terbukti ia juga menulis sajak dengan tokoh dunia.

Tapi saying Sitok tak selamanya terpesona pada hal-hal kecil yang remeh. Ada beberapa puisinya dengan judul besar dari tokoh besar. Bagaimana penyair ini menafsirkan sosok Prometheus hingga terasa tidak akrab bahkan bagi orang yang sudah lama tahu tentang tokoh ini. Prometheus dalam tafsiran Sitok tentu berbeda dengan tafsiran Wiratmo Soekito. Prometheus dalam puisi Sitok lebih sunyi dan tidak sok cerdas, mengalami nasib yang tidak bebas sehingga memunculkan solidaritas dari aku. Tokoh mitologi ini dilukiskan sebagai sosok yang menyeru zaman baru dengan pengorbanan yang berdarah-darah.

Prometheus

Dengan rasa sakit yang sama, Prometheus,
aku pun diberangus,
Ketika kugenggam api
kehangatan beranjak
dan buku-buku jari
yang gemetar meraut sajak Baca! Dan akan kudengar rintih
pra penghuni generi laut yang air matanya buih

Ini kali, kali-kali berhasrat merasai lagi
geletar arus dalam nadi,
berbukit menggigil dalam sepi
rindu hangat tubuh lelaki
Kelak, kata-kataku akan menetas
di tebing-tebing cadas
Baca! Dan barangkali kau tak lagi bertanya:
hati siapa diresapi cahaya

Langit berkelepak
mengirim jerit selaksa gagak
Amarah menderu bagai Guntur
jatuh tercurah hujan sangkur
melukai kalbu yang menyeru zaman baru
darahnya mengalir ke dalam sajakku


Bahasa yang digunakan Sitok sangat berbahaya karena sangat bagus, tapi pilihan judul itu memperlihatkan semangat intelektualisme. Pilihan kata dan diksi tidak asal-asalan, melainkan penuh perhitungan. Pada titik ini, atau dalam sajak tadi, Sitok menghadirkan kekayaan kosakata bahasa Indonesia yang telah jauh lebih maju dibandingkan jaman Pujangga Baru.

Cukup banyak pembaca yang mengakui keindahan bahasa yang digunakan Sitok dalam sajak-sajaknya. Ada sebuah cerita yang menyedihkan ketika novel Saman Ayu Utami terbit. Beberapa penyair di Lampung tidak percaya kalau novel indah itu ditulis oleh Ayu. Mereka meyakini Sitok-lah yang menulisnya mengingat bahasanya dekat sekali dengan puisi-puisi Sitok.

Tentu saja hal itu meremehkan Ayu, dan sampai sekarang saya berkeyakinan Ayu Utami-lah yang menulis novel itu. Bahwa kemudian Ayu menulis novel Bilangan Fu dengan bahasa yang jelek, tema yang sudah banyak digarap, isi yang terlampau dirayakan hingga nyaris jadi novel pemikir yang garing.

Sejak buku puisi pertamanya, sudah tampak bakat Sitok. Sekarang bukan lagi bakat, tapi terlatiih menulis sajak-sajak bagus. Beberapa tema sajaknya dekat dengan pengucapan puisi Rendra, seperti sajak Rangkasbitung menarik dibandingkan dengan Orang-orang Rangkasbitung, sajak Elegi Dorolegi juga dekat dengan Rendra. Bedanya terletak pada sajak-sajak Sitor yang tidak realis, atau tidak berambisi untuk menjadi sajak sosial apalagi pamflet. Jadi kesimpulannya: kedaunya beda.

Sajak Peniup Angin juga sajak cantik yang hanya bisa lahir dari Sitok. Ingin saya kutip seluruhnya, sajak ini agak panjang dan menghabiskan ruangan saja. Tapi kalau dikutip sebagian sangat saying karena bisa jadi justru yang tidak dikutip adalah yang bagus. Marilah saya kutip seluruhnya saja agar pembaca bisa kembali menyedap-nyedapkan diri dengan sajak Sitor:

Peniup Angin

Peniup angin yang kaukisahkan padaku ketika sebelum subuh
terdengar lenguh menjauh
susut- di padang-padang rumput yang menggelepar
dirambahi birahi kuda liar
telah membekaliku sehimpun getun
ke stasiun
Maka kubayangkan sekuntum kembang
rekah pada sebuah rembang petang
yang belum tersusun
yang kelak akan kautemu begitu kau terperanjat bangun,
dan akan kaupandangi pintu yang lupa kaukunci:
seseorang yang lama kaulupa telah nyelinap ke dalam mimpi Namun
kereta keburu tiba
lalu berlalu membawamu, meninggalkan duka,
sepi menggumpal di pucuk-pucuk menara
Jalanan licin menggelincirkan jejakmu ke kanal,
aku tersesat dalam labirin angan yang banal

Di angkasa salju masih tertebar di antara halimun fajar
bagai sperma dan ovum memancar
Kesunyian
bangkit dari lengang taman,
beku bangku batu, tempatku dulu menunggu kau
turun dari trem lantas bergegas penuh pukau
ke arah harum tembakau
Dari balik pohon oak,
gadis cilik berambut perak menangisi
kupu mati

Angin menghampar, menghantar
suatu senja suarmu samar, kata-kata gemetar:
Cinta bukan padang-padang yang menunggu,
melainkan kincir yang berporos di pusar kalbu,
berderak karena angin,
bergerak karena angin,
Dan kincir yang mengulirkan putting beliung lantaran kaupelintir dengan
lengking dan ruang
ketika malam padang rumput menggelepar
dan lenguh birahi kuda liar,
merekahkan sekuntum kembang
Ddn sedentum kenang
Namun telah ditinggalkan bangku batu itu,
barangkali padang-padang tetap menunggu
Dari jauh kupandang kau turun dari trem, penuh pukau
coba menangkap kupu yang terbang ke harum tembakauku

Dahsyat. Cantik. Bagus. Entah istilah apalagi. Sitok memukau kita dengan sajak-sajak lirik yang berprosa, bercerita dengan warna-warni kehidupan yang mempesona. Dari mana Sitok memperoleh ilham sajak itu? Mungkinkah dari diskusi soal seks yang sejak 1990-an kembali bergemuruh di negeri ini? Melihat tahun sajak itu ditulis, ia sama dengan enam sajak seks Goenawan Mohamad yang cantik dan rupawan.

Masih banyak sajak Sitok yang menggoda kita untuk menjamahnya. Bila perlu bersetubuh dengan intim sebelum subuh menjelang dan fajar singkat melambai di kejauhan sebagai tanda perpisahan. Sajak yang paling mencekam saya, selain yang sudah dikutip, adalah sajak Elegi Dorologi. Agaknya saya perlu kutipkan secara utuh sajak indah yang dekat dengan dolanan anak-anak dalam sajak-sajak Rendra ini:


Di pelataran, di bawah benderang bulan,
ia bimbing anak-anak dengan dolanan dan nyanyian:
Gobak sodor, jamuran, pencari ubi, ayam hilang,
berkejaran, berjalin dengan melingkar, bergamit bahu memanjang
Di hamparan tanah lapang, di atas rerumputan,
di bawah curah cahaya bulan!

Para orang tua duduk bersila di gelaran tikar pandan,
khusuk berbincang tentang musim, hama, tanaman:
cara berdamai dengan alam yang setiap nyari
dijagai para peri,
berkarib dengan nasib, kekuatan akbar
yang bertahta di luar nalar,
demi tahu
bagaimana menggembalakan waktu,
membaca rahasia semesta
jagat kecil dan jagat besarnya,
menyatukan diri
dengan langit dan bumi
Mengurangi tidur dengan tapa, berjaga hingga malam larut:
bencana bagi yang lena, keberuntungan bagi yang siaga
menyambut


Berhadapan dengan sajak Sitok saya agak gemetar. Jangan-jangan sajak itu bukannya memperjelas, malah jadi gelap karena sangat privat. Saya kekurangan bahan pengalaman untuk bisa menyelam di kedalaman irama kata-katanya, sehingga saya khawatir jangan-jangan yang akan hanyut dibuai oleh imaji-imajinya. Apalagi ketika berhadapan dengan sajak Osmosa Asal Mula, sungguh tak mudah dan bisa bercumbu dengan maknanya—karena memang ada segurat makna yang masih rahasia dan meminta untuk dikuak.


Osmosa Asal Mula

Aku bertanya kepada angin,
dari mana asalnya angan
angin menggoyangkan pucuk-pucuk daun
dan kusaksikan pohon-pohon melukis lingkaran tahun

Aku bertanya kepada pohon,
dari mana datangnya waktu,
pohon meekahkan kelopak bunga
dan kusaksikan lebah hinggap menghisap madu

Aku bertanya kepada lebah,
dari apa sel yang tumbuh jadi tubuhku,
lebah menggumam terbang ke dalam gua
dan kusaksikan kelelawar menangkap kuping di
dinding batu

Aku bertanya kepada kelelawar,
dari mana awalnya suara,
kelelawar mengepak sayap ke langit malam
dan kusaksikan embun bergulir serupa sungai

Aku bertanya kepada sungai,
dari mana sumber ai susu
sungai menjulangkan gunung
dan kusaksikan lembah bergaun kabut

Aku bertanya kepada lembah,
dari mana mulanya tabu,
lembah menyingkapkan gaun
dan kusaksikan bumi bugil menggeliat anggun

Aku bertanya kepada bumi,
siapa yang melahirkan Ibu,
bumi tersipu, tapi kudengar laut menyahut,
“Ia bersaksi atas fakta, namun tak berdaya untuk
bicara!”

Aku bertanya kepada laut,
siapa yang menampungnya,
laut menggelora, tapi kerontang
sebelum usai membilang Nama


Ingin saya berhenti sampai di sini. Menyerah. Kalah. Sebab saya kehilangan kata untuk memaknai sajak-sajak Sitok yang gaya dan bentuknya belum pernah aku temukan. Tapi sajak “Sonet, Sonya, dan Nannet” melambai-lambai memanggilku untuk menghidupinya, atau malah menikamnya sampai mampus.

Kalau ada lomba penulisan kata-kata yang indah dalam bahasa Indonesia, mungkin yang juara pertama adalah Sitok dan juara kedua Nukila Amal. Bahasa Sitok lebih menjanjikan ketimbang bahasa prosa Nukila yang membuat banyak pembaca terkesima dan takjub tak percaya. Tapi ada satu hal kekuarangan Nukila: kedalaman kata-kata. Walau pun kedalaman adalah bahasa ruang, tapi sajak-sajak Sitok tidak cetek dan dangkal. Ia tak terhalang oleh ruang, bahkan melampauinya dengan sangat berani.

Kadang saya tergoda untuk mencoba membandingkan larik-larik sajak Sitok dengan larik-larik puisi Sapardi, tapi saya urungkan karena keduanya sangat jauh berbeda. Kalau pun ada satu-dua kata dan gaya yang sama, itu lumrah saja. Bagaimana pun Sitok telah punya gaya sendiri, sudah mengantongi modal sebagai penyair, yaitu bahasa yang khusus yang tidak dipunyai penyair lain.

Bagaimana pun sebuah esai mampu menantang atau mengimbangi metafora dan personifikasi yang dihadirkan Sitok. Dan bagaimana pula mau menilai sajak Sitok jelek kalau saya terpesona, bahkan larut dalam pesona. Lalu dengan apa aku harus melanjutkan telisik yang tidak indah ini, atau yang dipaksa-paksakan agar jadi esai yang indah ini? Daripada suntuk melulu, baiklah saya kutipkan lagi satu sajak Sitok.


Engkau Ingin

Semula aku sangka kau gelombang
tapi setiap kali aku renangi
Engkau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah
adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah
Di situ, kunikmatkan teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi

Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemukan dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di kedalaman rinduku

Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Engkau hidup di dalam dan di luar diriku
--tak berjarak namun teramat jauh
teramat dekat namun tak tersentuh

Jika benar engkaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
engkau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
krenamu, Kekasihku!


Benar kata orang, tidak semua sajak bisa diterjemahkan. Tidak semua sajak mengandung makna yang pekat. Ada kalanya kita cukup menikmati ritme dan aliran bahasanya, tapi kadang perlu juga menjelajah di kedalaman hidup di dalam dan di luar dirinya agar hidup tidak mampet, tapi mengalir.

Sajak-sajak Sitok bisa cidera di tangan pembaca seperti saya. Hanya karena ada larik berbunyi “Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah”, lalu semena-mena saya katakana ini sajak persetubuhan. Karena ada kata “sehening batu di kedalaman rinduku”, lalu saya tafsirkan ini sajak tentang kerinduan pada kekasih. Lantaran ada bunyi “Engkau menggasing bagai angin”, lalu saya terbuai dan mengatakan ini metafor yang cantik, bahkan sangat cantik. Mentang-mentang ada bisikan “engkau gairah baru bagi hidup” lalu menyebut sajak ini sebagai sajak jatuh cinta.

Sampai di sini saya ingin menandaskan: setelah puisi angkatan 70-an yang diwakili oleh Sutardji, puisi-puisi Sitok jauh lebih berhasil ketimbang puisi-puisi Afrizal, Isbedy, Nirwan, Pinurbo, Zen Hae atau Iswadi Pratama. Setelah Chairil Anwar, lalu Rendra, kemudian Sutardji, selanjutnya adalah Sitok nama yang harus disebut sebagai penyair yang kuat dan berhasil.





Afrizal


Bangga rasanya bila pernah tinggal serumah dengan penyair ternama. Begitulah kesan yang muncul ketika saya masih tinggal serumah dengan Afrizal Malna di kompleks Billy Moon H1/7, Jakata Timur. Waktu itu kami masih sama-ama bergabung dengan UPC, dan tinggal di kantor organisasi kemiskinan perkotaan tersebut.

Di rumah itu saya kenal sosok Afrizal lebih dekat. Namanya telah lama saya dengar. Puisi-puisinya sudah lama saya baca. Tapi baru di rumah dengan dua pohon mangga di halaman depan dan sampingnya itu, saya bertatap muka langsung, ngobrol dan diskusi sampai larut malam tentang sastra, film, sosiologi, politik, teologi, dan masih banyak lagi.

Kendati bergabung dengan lembaga yang banyak mengurusi demonstrasi yang membahana, dengan suasana tempat tinggal yang seringkali gaduh oleh para tukang becak, pedagang asongan, pedagang kaki lima, pengamen, dan warga miskin kota lainnya, jiwanya terus bergolak. Antara tuntutan pekerjaan solider dan sifatnya yang soliter, seperti berebut tempat dalam tubuhnya, dan bahkan bentrokan dalam batinnya. Dan itu saya rasakan betul dalam puisi dan prosanya, juga dalam pertemuan langsung dengan si penyair eksentrik ini.

Beberapa kali saya menangkap sosok tokoh dengan kepribadian sulawan, temperamen yang sensitif, pikiran yang rusuh dan bekecamuk, sebagaimana banyak orang alami ketika hidup dalam dunia soliter dan solider secara bersamaan. Saya tak pernah yakin bahwa salah satu tanda-tanda sajak skizofrenia adalah karena di dalamnya mengandung pengalaman kenikmatan estetik atau gairah yang mengalami suatu pikiran aktif an sich!.

Kecenderungan mempertahankan diri terhadap kecemasan yang timbul akibat konflik antara kebutuhan untuk menyendiri dan kontak dengan orang lain, mulai terasa kuat sejak kumpulan Di Rahim Ibuku Tak Ada Anjing. Dalam anelekta ini, Afrizal mulai menampilkan skizofrenia bahasa dengan kata-kata berhamburan dan mirip cerocosan anak-anak hiperaktif. Terkadang tampak hening dan murung, tapi pada saat yang sama, muncul semangat pemberontakan.

Entah sekedar kebetulan atau sebuah pandangan yang direncanakan, ketika dalam puisi Waktu yang Kembali dalam buku kumpulan puisi keduanya, Mitos-mitos Kecemasan, Afrizal pernah berseru: “Datang lagi masa kanak, bermain seperti dulu ketika dunia tak di sini”. Atau Telinga Waktu, yang merindukan masa lalu di negeri yang belum menjelma negara, ketika ”buah mangga terguncang-guncang dalam kardus” dan ”debu sepeti hujan yang bangkit kembali dari tanah” atau ”seperti ayah ibu pertama kali melihatku membawa seorang gadis ke rumah” hingga ”tangan Tuhan masih tertinggal di sini”.

Afrizal kian jauh meninggalkan tradisi perpuisian Indonesia. Puisi-puisinya yang terkumpul dalam buku Di Rahim Ibuku Tak Ada Anjing dan Teman-temanku dari Atap Bahasa (Lafadl Pustaka, 2008), sebagian besar lahir dari rumah di Billy Moon itu. Rumah yang sering mendapat makna berlebihan lewat pertemuan dengan politik ruang dari bahasa yang pecah.

Sajak-sajak mutakhirnya dengan intens menjelajah ruang-ruang dan sudut-sudut dalam sebuah rumah. Beberapa motif kota seakan meronta dalam gaung sajak-sajaknya, yang bisa jadi lahir dari sebuah petualangan ke berbagai negeri kepulauan. Kota-kota besar di Asia dan Eropa telah menjadi bagian intim dari sejumlah sajak mutakhirnya.

Percakapan tubuh di beri ruang bebas hingga kata-kata nyaris menjadi sang penari. Bahasa dipersepsi sebagai kenaifan yang kekanak-kanakan, sebagai lawan kemunafikan para penyair yang menempatkan kata sebagai orang dewasa. Kadang kala muncul fantasi infantil yang lugu, cuek, dan mual.

Bahkan, dari sekian naskah teaternya yang pernah saya baca, ada kecenderungan penyair ini untuk menghidupkan kembali gagasan teater ruang dari atap bahasa Gaston Bachelard. Dalam pengantar lakon Sang Pencinta, misalnya, Afrizal memakai lema Teater Ruang dengan konsep garap yang mengoptimalkan bahasa tubuh untuk menyampaikan makna dalam naskah ke panggung.

Dalam sebuah forum teater yang berlangsung di kota Gudeg, Afrizal pernah melontarkan gagasan teater yang menampik keunggulan sang aktor. ”Bukan akting yang menciptakan ruang, melainkan gagasan atas ruang yang mempunyai konsekuensi terhadap akting”, tulisnya.

Gagasan teater ruang Afrizal ternyata memiliki konsekuensi ke dalam caranya memandang ruang, kode dan simbol kultural. Ruang kota diletakkan di halaman belakang sebuah rumah, sementara desa ditempatkan sebagai latar depan. Afrizal menempatkan pertunjukan outdoor sebagai alternatif terhadap wacana pluralisme, bukan indoor yang ekslusif.

Dengan outdoor, Afrizal berusaha mengucapkan selamat datang bagi perdamaian baru; perdamaian antara seniman desa dan seniman kota sekaligus perdamaian seniman dengan alam dan kehidupan bersama. Sebagai antitesa—kalau pantas dibilang demikian—terhadap kecenderungan formalisme dalam kesenian modern, penyair kita kembali menegaskan pilihan kreatifnya: bukan formalisme yang bisa merayakan pluralitas dalam kesenian, melainkan informalitas sebagai inti keragaman.

Dalam esai proses kreatifnya, Afrizal harus merujuk pandangan Fatima Mernissi (1992) tentang pluralisme, namun sang penyair sendiri khawatir jika puisinya justru tidak berada dalam indahnya sebuah pertemuan kebetulan dengan feminis Maroko itu. Maka ia kembali ke dalam menghayati diri sendiri tentang tarian kehidupan.

Dengan gagasan-gagasan yang cemerlang itu, maka sambutan atas sajak-sajak Afrizal begitu meriah. Sejauh ini, tak kurang dari tiga puluh buah ulasan atas puisinya di koran dan majalah. Beberapa kritikus bahkan menyebut sajak-sajak Afrizal nyaris tanpa lorong, gelap, rumit, main-main. Namun diam-diam muncul pula kritikus yang menahbiskan dirinya sebagai pembaru. Beberapa kritikus berusaha mengaitkan sajaknya dengan pemberontakan penyair pendahulunya, terutama Chairil dan Sutardji.

Radhar Panca Dahana menyebut sajak-sajak Afrizal sebagai kelainan yang menyuguhkan “teknik pengucapan yang belum dilakukan pendahulunya”. Agus R. Sarjono, Dami N. Toda, dan Korrie Layun Rampan melihat adanya pertalian wawasan estetik dengan puisi-puisi Sutardji, yang hemat saya tak terlampau mendasar dan sulit dipertahankan. Afrizal sendiri menolak istlah pembaru dalam dunia puisi.

Para kritikus sastra sejak 1990-an memang banyak mempersoalkan pentingnya pembaruan seni. Puisi dianggap kian seragam dari segi gaya dan pengucapan, karena itu penting untuk menampilkan kebaruan. Naskah-naskah lama dalam teater dianggap sudah tak mampu lagi menangkap realitas yang tengah berlangsung, karena benak manusia masa kini rupa-rupanya sudah dikepung benda-benda urban dan aneka properti dan bahasa gambar serta visual. Dan karya Afrizal konon berhasil menyuguhkan sesuatu yang segar walau kadang terlampau rasional.

Setelah Sutardji, hanya sajak-sajak Afrizal yang paling banyak mendapat apresiasi pembaca. Kedua penyair ini memang punya gaya dan bahasanya sendiri yang jauh berbeda tapi sama-sama menyempal: sajak-sajak Sutardji tampak ant-lirik, sementara sajak-sajak Afrizal mengandung lirik yang posesif. Namun belakangan, terutama dalam Teman-temanku dari Atap Bahasa, Afrizal mulai menunjukkan semangat anti-lirik.


II


Diksi-diksi yang diproduksi Afrizal memiliki keunikan, terkadang tampak menyempal. Beberapa sajak cenderung menyungsangkan fenomena skizofrenia linguistik. Apa yang Ribut Wiyoto pernah bayangkan dalam sebuah esainya tentang Afrizal, mirip dengan yang saya bayangan ketika bertemu larik-larik skizofrenik. Puisi Dalam Gereja Munster misalnya, bahasa skizofrenik dihadirkan dengan intim dan sugestif: “Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu, berderak lagi, membawa remaja-remaja bercumbu, dan hari esok putih menggumpal. Aku tersedu. Lonceng-lonceng gereja berdentangan lagi memanggilmu”.

Sajak di atas tidak anti-lirik. Bahkan mengandung lirik posesif. Itulah situasi ketika bahasa mengalami skizopfrenia. Situasi skizofrenik muncul dengan keras. Metafor-metafor benda-benda urban yang ditakik dari berbagai kota besar di Indonesia dan Asia. Sebagian pembaca puisi Afrizal tak jarang dibuat gamang dan nyaris mengalami situasi yang sama mencemaskan dengan suasana yang diekspresikan sang penyair. Puisi bertajuk Mitos-mitos Kecemasan, Migrasi di Kamar Mandi, dengan mudah dikaitkan dengan puisi ruang dalam situasi yang gawat dan gamang dalam mempersepsi laju modernitas yang telah melahirkan dehumanisasi lewat dua perang dunia di abad lalu itu.

Afrizal tampaknya ingin menempatkan dirinya sebagai sang pelukis kata-kata dengan dunia serba-migrasi: dari migrasi di kamar mandi ke migrasi ruang tamu, dari dekorasi eksterior ke ruang interior, dari indoor ke outdoor, dari bandar ke pedalaman, dan berbagai dunia traveling yang asyik menyusun dunianya sendiri. Migrasi model ini mungkin akan dianggap kembali ke bentuk, ke ruang, ke struktur.

Berbagai motif klasik sering mewujud dalam kehendak sang penyair untuk kembali ke mitos purba sebelum ada manusia. Menakik kata dari benda-benda, mulut kera, embik kambing, suit bekantan, salak anjing, dan berbagai mitos yang sering tak terjamah. Motif-motif mitos yang ditransformasi dalam sajak-sajaknya, umumnya masih tersimpan rapat dalam cenayang memori bawah sadarnya. Betapa pun tajamnya penciuman yang ingin membaui motif-motif yang dihadirkan sang penyair, kita hanya sampai pada kemungkinan.

Lantaran itu pula, maka bukan rahasia lagi bahwa tiap penyair atau seniman menginginkan agar ciptaanya dapat dikenal oleh sejumlah manusia yang sebanyak mungkin. Afrizal tak bermaksud untuk tak dikenal khalayak dan sengaja menggelapkan sajaknya agar tak diapresiasi. Justru karena beberapa sajaknya bermain di wilayah antara gelap dan gumun, maka ada tantangan sendiri bagi kritikus untuk menakwilkan kandungan kemaknaan motif-moif sajaknya. Motif yang sering kali masih terbalut dalam daun rimbun kata, diksi, dan imaji.

Puisi-puisinya berambisi melampaui segala misteri hidupnya, namun tetap saja pengalaman itu tinggal sebagai teka-teki yang tersembunyi dalam imaji. Tragedi dari filsafat kematian diekspresikan sebagai sebuah pencarian yang berujung pada labirin yang buntu dan berbentur keras sekali dengan semangatnya yang menggebu. Atau bagai memasuki lorong-lorong serba-rahasia yang tak kunjung mengemukakan isyarat atau tanda dan penanda, bahkan kode-kode pembuka rahasia pun hilang. Barang kali juga mirip sebuah menara rahasia penuh kabut yang menutupi lorong-lorong bahasa yang dihuni para persekutuan mapia dan preman.

Tapi Afrizal punya alasan lain. Ketika para pembaca mengeluh bahwa puisi-puisinya sangat gelap dan nayris tanpa lorong, ia menjawab: ”Jangankan puisi, berita pagi pun punya misterinya sendiri. Apa yang bisa mereka katakan dalam bacaan berita selama setengah menit. Mereka pun menyilakan kau memahaminya dari gambar-gambar bergerak. Mereka pikir, satu gambar adalah seribu kata. Padahal satu gambar pun punya beranda dalamnya sendiri yang mereka sembunyikan rapat-rapat”.



































Zen Hae


Orang Betawi satu ini bukan penceramah agama, atau politikus, atau komedian, atau tukang urut. Zen Hae—demikian akhir-akhir ini ia menulis namanya—adalah penyair dan penulis cerita pendek bermutu. Buku himpunan cerita pertamanya, Rumah Kawin, jelas punya keistimewaan tersendiri dari segi bahasa pengucapan. Kendati tak sebening prosa Nukila Amal, Zen cukup berhasil menghadirkan bahasa Indonesia yang indah melalui prosa lirik. Kadang-kadang muncul bahasa yang berirama dan cenderung menjadi puisi liris dengan kecenderungan sedikit bermain-main.

Di dalamnya sesekali kita berjumpa dengan gaya silat Betawi. Humor khas Betawi. Tapi hanya sedikit. Selebihnya serius. Gaya ceritanya mengalir-lancar bagaikan air bandang menyusur tempat-tempat yang paling bawah. Menukik. Kadang-kadang asyik sendiri hingga ceritanya jadi surealis, tapi kadang-kadang masuk ke jantung realis.

Beberapa cerpen mengungkai imaji bahasa yang penuh pesona, mencekam, tajam, getir. Teka-teki menjadi semacam pertaruhan bagi seorang pengarang cerpen yang bergulat dengan tema dan bahasa. Sisipan kata-kata gelak tersembunyi dengan mudah kita jumpai dalam sembilan cerpen yang terangkum dalam buku ini.

Cerpen Zen barangkali tak mengena jika dibaca dalam terang sastra “main-main”-nya ” Budi Darma. Saya lebih suka membaca Zen Hae dengan sastra “main-main” ala Hasif Amini; soalnya main-main di sini menjadi “keharusan” yang mesti dipertahankan.

Dalam cerpen “Taman Pemulung”, Zen berkisah tentang seorang gadis, putri pemilik restoran Cina yang berubah menjadi seekor burung. Gadis itu kemudian mengembara dari satu tempat ke tempat lain hingga terdampar di sebuah Taman Pemulung. Bermula dari rumahnya yang terbakar, tentang amukan orang-orang bermata merah, bengis dan ganas, hingga bertemu dengan seorang perempuan pemulung, cerpen ini seakan menjelma “pabel” politik orwelian.

Si pemulung mengalami hidup yang tragis hingga sampah busuk pun tak mau berbaik hati padanya. “Apakah orang-orang kaya itu menelan semua yang mereka makan tanpa menyisakan sedikit pun sampah buatku, seperti anjing yang tak menyisakan sedikit pun daging dan tulang dari tuannya?” Inilah pertanyaan pilu dan penuh nuansa politik. Meski kedengaran pilu, namun bagi si pemulung, “aku tak boleh kalah ceria dari matahari”, menjadi semacam tekad yang harus ditegakkan meski dengan segala tetesan keringat dan bau badan. Kenyataannya ia terus menggeliat seperti “geliat lidah api, asap gimpal, jerit nyawa sekarat, kata-kata iblis, kota tua di utara”—batas-batas puisi dan prosa tampak mencair.

Karena keasyikan mengais sisa makanan, pada akhirnya si pemulung menemukan secarik surat yang berisi kisah seorang gadis yang berubah menjadi burung. Cerita itu menjadi semacam anggur kolesom baginya. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari burung itu. Ia pergi ke sebuah tempat di pinggiran kota. Tempat itu penuh dengan pemandangan yang unik, yang mengingatkan kita pada realitas empat wilayah kota Jakarta: “Laut dan pulau-pulau kecil di utara, hingga pegunungan biru di selatan. Pabrik-pabrik dan permukiman buruh di timur, sungai-sungai beracun di barat. Ia tak menemukan burung itu. Kota itu telah ditinggalkan burung-burung sejak lama sekali”.

Dengan tekad yang teguh dan harus dijalankan, si pemulung itu terus mengembara ke arah matahari terbenam. Disusurinya jalan setapak dan bercecabang, setiap dijumpainya taman ia berhenti. Begitulah setiap taman didatanginya namun tak juga ia temukan taman dan burung itu. Di sebuah tempat yang sudah jauh dari pinggiran kota (Jakarta), ia berteriak: “Ahai, inilah kicau jekimpreng....Ahai, inilah taman yang asri itu”—sebuah diksi khas Zen Hae yang tampak seperti lelucon.

Burung itu seperti mengerti hasrat si pemulung. Ia melompat lebih rendah dan bertengger di pinggir bangku taman. Dari sorot matanya tampak kerinduan seorang pencari—bergulungan, menerjang dan pecah: “Aku sudah menamatkan hari-hari letihku untuk mencarimu”, kata si pemulung. “Aku sudah menghabiskan hari-hari indahku untuk melupakan jejak api dalam tubuhku, tubuh orang tuaku dan saudara-saudaraku”, kata si jekimpreng.

Dari sini cerita tampak baru akan dimulai. Dialog antara si pemulung dengan jekimpreng menjadi bingkai cerita berlanjut. Pemulung itu begitu berhasrat ingin menjadi burung, tapi menjadi burung bukanlah ilmu yang bisa dipelajari, tapi sebuah kebetulan. Seperti mukjizat nabi. Ia tak bisa diajarkan atau diturunkan pada orang lain, itulah pengetahuan sekaligus falsafah burung ala Zen Hae.

Jika bukan lantaran karena amukan orang-orang bermata merah itu, mungkin si sekimpreng tak akan pernah berubah menjadi burung. Lalu berkhotbahlah si pemulung tentang sebuah negeri impian, Negeri Empat Puluh Satu:

“Hanya di negeri itulah kedamaian yang sejati berada dan dinikmati setiap orang. Di sana tak ada kemiskinan. Tak ada operasi pembersihan pengemis, pemulung, dan kaum gelandangan seperti di sini. Orang-orang seperti mereka selalu dikasihi. Tak ada dendam dan perang. Sebab rasa dengki sudah diganti dengan cinta”. “Ah, itu kan dongeng pengantar tidur”, kata si jekimpreng menimpal. “Nggak, negeri itu benar-benar ada. Ia hanya bisa ditemukan oleh orang-orang suci dan bisa menjadi burung seperti kamu”, kata si pemulung. Tapi “aku bukan orang suci dan nggak nemuin apa-apa, cuma kobaran api dan teriakan orang kalap. Mayat-mayat gosong. Kebencian rasial di mana-mana”, kata si jekimpreng membalas.

Dalam keasyikan bermain canda dengan tokoh-tokohnya, sang pengarang tampaknya masih terjebak untuk mendesakkan amanat tokoh-tokohnya kepada khalayak pembaca. Namun ketika cerita ini ingin mengembang menjadi pesan moral eksplisit, Zen Hae mampu memalingkannya ke tema-tema lain, hingga tetap berhasil dari kecenderungan mainstream cerita moralis.

Dalam cerpen “Kota Anjing”, tampak dakwah yang dimainkan sang psikiater pada tokoh yang mengalami proses pembinatangan (animalization), tepatnya penganjingan, hampir menghabiskan satu lembar halaman ini. Pembelaan Nirwan Dewanto atas Zen Hae sebagai “pengarang yang bukan lagi tukang khotbah, tetapi benar-benar menjelma narator” ( Tempo/4 /1/ 2004: 158), masih perlu diperdebatkan; kalau pun ia, itu tak berlaku untuk sembilan cerpen Zen Hae dalam antologi ini.

Cerpen “Rumah Jagal” juga sebuah cerpen yang cukup berhasil memaksimalkan kata dengan kalimat pendek-pendek. Pengarang berhasil mengolah teka-teki yang penuh misteri, menawarkan perspektif yang tajam dan fokus. Ceritanya bermula dari tokoh Ceu Tarmi yang kemasukan setan, yang mengigau dengan kata-kata indah:

“Bertubuh-tubuh telah kaubunuh. Setiap malam kau kirimkan isyarat maut dalam tidurku. Hingga ketika aku terbangun selalu ada sisa ledakan di kamarku. Pecahan kaca dan tembikar, serpiahan kayu dan dedaunan, sobekan kain terbakar. Tetapi angin pagi menerangkap bau tubuhmu, jejak yang tidak bisa kau hapus sepenuhnya. Suatu saat akan kuketemukan, aku akan balik membunuhmu. Kau akan hancur, wahai Sang Minotaour”.

Dari sini kisah mengalir menyusuri beragam persoalan dalam sastra dan politik. Tentang orang yang bernama Ceu Tarmi dan Salamah, tentang ungkapan Ceu Tarmi yang mirip dengan puisi Mahmuda Tongga. Tentang Front Anti Maksiat yang selalu membawa firman Tuhan dalam beragam aksinya. Tentang pelacur, hingga cerita mengalir masuk ke dalam persoalan plagiat dan “pengaruh-memengaruhi” dalam sastra, “penulisan otomatis” (automatic writing) hingga puisi “Sang Minotaour”-nya Goenawan Mohamad. Perihal siapa pemilik sah ungkapan itu menjadi titik berangkat bagi pengarang untuk merangkai bait-bait puisi yang indah menjadi kisah yang menantang imajinasi.

Teki-teki semacam itu bukan lagi bentuk perpanjangan dari kelisanan. Pengarang begitu lentur mengolah berbagai sumber . Ia beranjak lebih jauh menelusuri data dan melakukan riset yang serius. Cerpen-cerpen Zen Hae dalam kumpulan ini hampir keseluruhannya dilandasi oleh penelitian dan riset yang sungguh-sungguh—tepat seperti diungkapkan Kurnia Efendi di sampul belakang buku ini. Cerpen “Rumah Jagal” menjadi contoh dari keberhasilan seorang penyair-cerpenis-esais tentang pentingnya melakukan penjelajahan peristiwa, meski misteri dibalik cerita itu tetap tinggal sebagai teka-teki. Siapa Ceu Tarmi, apa hubungannya dengan Salamah, Mahmuda Tongga, Goenawan Mohamad, perlahan-lahan bisa terungkap tanpa menarik kesimpulan yang eksplisit.

Kelebihan cerpen-cerpen realisme Zen Hae juga terletak pada kemampuannya “membungkus” realitas dalam bentuk metafor unik. Tokohnya juga unik. Ketika membicarakan tema seks dalam cerpen “Segalanya Terbakar Di Matamu”, sang tokoh menyukai bentuk penulisan yang samar-samar, penuh perlambang atau bentuk penulisan simbolisme. Barangkali cerpen “Rumah Kawin” bisa menguji seperti apa seks yang penuh perlambang yang dimaksud tokoh di atas:

“Mamat Jago mengerang dan menekan pantat Sarti. Kali ini Sarti membiarkan Mamat Jago meremas dan menekan pantatnya. Ada api meletup dari bekas lubang hitam itu. Suhu badan Mamat Jago melonjak naik dan menjalar ke tubuh Sarti. Api menjalar ke tubuh pengibing dan wayang cokek lainnya. Semuanya terbakar. Para penonton menelan ludah. Seorang penonton meremas selangkangannya. “Pulanglah bersama Abang!”. “Pulanglah ke mana?” “Pulanglah...”Batuk Mamat jago meletus lagi, bertanding dengan irama gambang. Nafasnya seperti bunyi mesin perahu ngadat. Hingga pada suatu pukulan gong, nafasnya mereda. Sarti menjerit. Orang-orang menoleh. Tubuh Mamat Jago terkulai di tubuh Sarti. “Terus main. Gua bakal mati gambang berhenti”, kata Mamat Jago dalam tujuh kali jeda. Setengah berbisik, setengah menjerit.”.

Tema seks yang samar-samar dan penuh perlambang juga bisa dijumpai dalam cerpen “Kereta Ungu”: “Ahai, dalam remang yang tampak tinggal tubuh telanjang. Setelah itu ia kembali melompat, bersijingkat, meliuk, berputar, meregang, mundur-maju, merentangkan dan bertepuk tangan, merentangkan kaki kanan, menghunjamkan tangan kiri. Timbul-tenggelam. Angin yang sejak lama mengintai di balik semak-belukar tak tahan lagi. Mendengus. Menggelosor. Berputar. Lalu hujan. Ohoi, hujan petang yang berahi. Menderai. Bergelombang. Menjilat tubuh telanjang yang terus melompat, meliuk, menerjang, mengerang...Tubuhmu terguncang-guncang, hingga daging pipimu berjatuhan, belatung beterjunan dan berenang, rambutmu berlepasan.....Mereguk anggur kenangan. Mabuk. Hingga kau meracau an menolak kematian yang Kukirimkan”.

Cerpen “Rumah Kawin” yang dipilih sebagai judul kumpulan ini “mirip” dengan setting novel Menggarami Burung Terbang-nya Sitok Srengenge. Dalam novelnya, Sitok mengembangkan beberapa tembang Jawa, seperti tembang genjer-genjer Banyuwangi-an yang dicap sebagai lagu PKI. Dalam cerpennya, Zen Hae banyak memasukkan tembang-tembang Betawi. Kepiawaian mengolah lagu sehari-hari, seperti lagu Teratai Putih, tetap memenuhi kualitas literer sebagai seni keindahan. Ia indah karena mampu “bermain-main” dengan “nakal” terhadap segala bentuk kekuasaan.

Tema-tema politik yang juga berhasil dalam ontologi ini adalah cerpen “Kereta Ungu” . Kilsas-balik politik yang menjadi bingkai cerita ini begitu indah dan jauh dari kesan horor dan slogan-slogan murahan. Seorang pemuda lajang, tak punya pekerjaan, tak dapat santunan negara, akhirnya bergabung dalam gerakan bawah tanah yang menyokong pembangkangan terhadap pemerintah resmi. Alhasil, ditangan Zen Hae, tema-tema pemberontakan, separatis, otonomi daerah, krisis ekonomi, hingga kekerasan militer berhamburan dan bersanding dengan tema-tema cinta, seks, hiburan yang begitu indah dan puitis.

Membaca cerpen ini, sama dengan membaca puisi-puisi lirik Goenawan Mohamad dan sapardi Djoko Damono yang berhasil memainkan sunyi dan bunyi, atau membaca prosa-prosa Kafka dan Milan Kundera dengan seni ambiguitasnya.

Cerpen-cerpen Zen Hae dengan begitu akan lebih bernas jika dibaca dalam kerangka fiksi mikro—meminjam istilah Hasif Amini. Dalam fiksi mikro, cerita barangkali hanya sebatas “bahan mentah”, bahkan “bahan entah”: ia bergerak dalam rentang waktu yang bercecabang, berkembang, berkelok dan bergerak lagi. Sebuah cerita, mengutip Hasif Amini, “ketika ia diceritakan oleh juru cerita, tindakan menceritakan atau proses penceritaan, membuat sebuah cerita menemukan ekspresi dan gayanya. Sebuah teks, sebagai medium penceritaan, memunculkan sebuah versi cerita”. Inilah yang disebut Hasif Amini sebagai Cerita-Penceritaan-Teks: Versi.

Cerita kemudian menjalin menjadi teks yang bermakna, menjadi bahasa. Cerita sepenuhnya menjadi tergantung pada bahasa, ia tak punya rute lain kecuali melalui rute bahasa. Kata bekerja melakukan suatu penciptaan dunia makna, melahirkan teks yang bercerita dan menjelma sejenis puisi. Ini disebut Teks-Penceritaan-Cerita: Puisi (Prosa No. 1/2002: 57-59).

Fiksi mikro tidak memilah secara ketat antara prosa dan puisi, keduanya bisa menyatu. Begitu juga antara esai dengan puisi, seperti dalam tulisan Goenawan Mohamad berjudul “KTP”. Ia bisa disebut esai tetapi sekaligus juga puisi. Karenanya, dalam kumpulan buku puisinya, editor memasukkan “KTP” sebagai bentuk puisi, sementara dalam catatan pinggir, ia menjelma sebagai esai. Keduanya bisa menyelusup masuk, bertukartangkap hingga tak lagi kelihatan batas-batasnya secara jelas.

Sisi yang lain dari fiksi mikro, masih menurut Hasif Amini, ada pada cerita yang berupa “narasi pendek yang hanya terdiri dari beberapa kata dan dipadatkan secara maksimal dan indah bagai sebuah teorema, bisa dinikmati dalam satu sesap kopi, dalam rentangan waktu habisnya sekeping koin di telepon umum, dalam rentang waktu yang tersedia pada sehelai kartu pos....Saat memulai adalah sekaligus saat mengakhiri.....Ketika ia hendak mengembang, saat itu juga ia mesti menguncup, saat hendak mengurai, sekaligus ia mesti memadat”.

Ada tiga “sihir” yang lazim bekerja pada teks-teks fiksi mikro dalam menuju pencapaian literernya: Pertama, sudut-pandang (provokatif). Karena keringkasannya, fiksi mikro tidak bisa lain kecuali menawarkan perspektif yang segar, yang cerdas, yang gila, yang tak terduga. Ibarat berpapasan dengan orang asing yang tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tak disangka-sangka. Masing-masing bisa asyik, dahsyat, tak terlupakan Kedua, imaji, yakni pemilihan dan pemadatan imaji merupakan taruhan dengan memori dan asosiasi: imaji yang kuat akan bertahan dalam ingatan dan merangsang lompatan imajinasi pembaca, seperti dalam haiuku atau koan Zen, di sana mesti ada kejernihan dan sekaligus teka-teki. Fiksi mikro tak punya banyak waktu untuk memerikan atau memaparkan, ia hanya bisa menyaran, atau menandaskan, atau menohok. Ketiga, kata demi kata. Dalam fiksi mikro, ekonomi penulisan demikian mengemuka dan tak tertawar: setiap patah kata menjadi amat berharga dalam menyiapkan bangkitnya sebentuk narasi yang—betapapun sederhananya—kompak dan bernas, dimana prosa satu dengan puisi.

Cerita pendek yang ampuh, kata Hasif Amini dalam esainya yang lain, adalah “sejenis rayuan maut dalam suatu pertemuan singkat di suatu tempat, ia merasuki diri kita, bisa memabukkan, menyihir, menggila, ambiguitas, subversif, namun mungkin meninggalkan geledek yang gaungnya tak kunjung sirna dalam ingatan” (Bertandang dalam Proses, Kalam, Jakarta, 1999: 47). Atau cerita yang bukan lagi “ringkasan dari risalah panjang, tetapi mikrokosmos dimana kita bisa bermain tangkap-dan-lari dengan tokoh”, tulis Nirwan Dewanto suatu kali.





















Isbedy (1)


Sungguh keterlaluan bila ada yang mengaku pembaca sastra di Lampung namun belum pernah mendengar nama Isbedy Stiawan ZS. Penyair Lampung yang sering dipanggil sebagai ”Paus Sastra Lampung” ini telah menjadi bagian penting bagi perkembangan puisi di tanah kelahirannya, bahkan telah ikut meramaikan perkembangan puisi di kancah nasional.

Julukan sebagai “paus sastra Lampung” itu mungkin bisa ditafsirkan sebagai sindiran, kalau bukan olok-olok terhadap sang penyair. Namun, gelar itu bisa jadi muncul lantaran Isbedy terhitung penyair paling sepuh yang masih terus menata kata dan kalimat hingga lahirlah ratusan puisi dari tangannya. Sementara penyair sezamannya telah lama pensiun dan beralih profesi, sementara Isbedy justru saja menata kata dan merangkai kalimat yang kian mantap.

Mungkin hanya Isbedy dari kalangan penyair Indonesia yang telah menghasilkan buku puisi terbanyak. Kadang-kadang, tidak sampai lima puluh puisi telah diterbitkan menjadi buku. Tahun 2003 terbit buku Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gema Media), yang hemat saya inilah buku kumpulan puisi Isbedy yang menampilkan puisi-puisi paling kuat. Tahun 2005 ada seratus buah puisinya yang ditulis dalam rentang tiga dekade 1980-an sampai 2000-an, yang diterbitkan oleh Grasindo dengan judul Kota Cahaya. Dalam buku ini tampak sekali perubahan-perubahan puisi Isbedy. Puisi yang ditulis era 1980-an menampilkan puisi-puisi religius.

Beberapa waktu lalu terbit kembali buku himpunan puisi Isbedy dengan judul Setiap Baris Hujan (BukuPop, Jakarta (2008). Dalam buku ini bermunculan sajak-sajak protes yang kering, dan makin lama makin banyak sajak protes yang kering. Kalau dalam buku Aku Tandai Tahi Lalatmu muncul sajak-sajak sosial yang tidak verbal, yang menggugah dan memantik, maka sajak-sajak sosial dalam buku Setiap Baris Hujan mulai abai pada pengucapan yang jernih dan jatuh pada pengucapan yang terang-benderang.

Simaklah bait puisi pertama dalam kumpulan Setiap Baris Hujan: ”Presiden, kirim bantuan; makanan dan obat-obatan. Kami kelaparan, kami sudah sekarat. AH, presiden belum juga melayat, para menteri dangdutan, anggota dewan Cuma rapat”. Sajak Ketika Kota Jadi Laut dan Kami Berakit mungkin sajak paling jelek yang pernah ditulis Isbedy.

Entah mengapa saya merindukan bait seperti dalam sajak Tubuh Tanpa Ruh (1984) yang jernih: ”tubuh itu/tanpa ruh./nyebarkan duka/melayat bunga dari seluruh kampung” atau: ”tubuh itu/tanpa ruh/bekukan hujan di awan/sepanjang hari”. Atau sajak Di Tepi Laut (1985): ”kita pernah bermain layang-layang di sini/rambutmu yang tersibak angin adalah benangnya/aku ulur kau biar terbang menyilang cakrawala/tapi kendali tak sudi kulepaskan./Tak sudi”, atau ”pada akhirnya aku kembali sendiri juga./aroma pupur dari kamar sebelah, dari kota-kota yang tak pernah sunyi/mendadar kengerian jiwaku./o, adakah yang lebih sepi selain diurbaniskan seperti begini?” Atau sajak-sajak tahi lalat yang jernih, seperti Aku Tandai: ”aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak/yang tak akan pernah terhapus bilangan/sampai hapal benar/aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal/tubuhku sendiri”. Atau ”kukirimkan surat dalam lembaran kertas berwarna hijau muda, saat hujan menganyam kesedihan di seluruh alam.lalu kuingin kau mau membacanya dengan hati yang mawar pula.di gelombang awan yang masih menghitam, aku tandai dengan tahi lalatku yang kusilet dari tubuhku yang putih” (Surat: Hujan). Atau ”di antara tahi lalatmu yang telah kuhapal aku pernah mencatat percakapan-percakapan kita: tentang biru laut, bening kolam, dan bau belerang yang membuat perhiasanmu karat (Rendezvous).

Menyimak sajak-sajak Isbedy dalam analekta Setiap Baris Hujan, memang tak semuanya jelek. Beberapa sajak yang tak membawa pesan moral eksplisit justru menggoda perhatian saya. Isbedy tampaknya sangat teruit pada kata-kata, walau pun kadang-kadang ia tak berdaya oleh kehadiran kata-kata, histeria dirajam oleh kata-kata. Sejak halaman muka buku barunya ini, kita disuguhkan pada kata sebagai personifikasi dari berbagai peristiwa hujan dengan menempatkan kata sebagai kuda pedati yang mengusung makna. Sebuah arsenal di mana terjadi dialektika peritiwa dan makna, karena dalam sajaknya makna tidak hapus, malah padat dan kental. Apa saja ingin jadi kata dan menyusun kalimat yang pekat. Rintik-rintik hujan jadi kalimat. Laut dan alam raya seakan menjadi sekolahnya.

Tengok saja larik puisi sunyi yang bergemericik, yang jadi judul buku analekta puisi Setiap Baris Hujan, yang melukiskan hujan dengan jernih namun datar: ”pada setiap baris hujan yang jatuh, mengetuk-ketuk detak sepiku, senyummu pula menulis baris itu jadi kalimat:--cuaca khianat—”. Bandingkan puisi Hujan Meluruhkan Bunga-Bunga dalam kumpulan ”Aku Tandai Tahi Lalatmu” ini: ”masih kau dengarkah suara hujan yang mengetuk/ jagamu/sore ini? Kaca berkabut dan selembar daun bergantung di bingkai jendela, memanggil-manggil alamat nan jauh./Seperti/cambuk langit yang mengalir ke balik tanah/basah”.

Barangkali Isbedy bisa mati kedinginan karena selalu diguyur hujan. Sajak-sajak hujannya berjatuhan yang mengingatkan kita pada sajak-sajak hujan Sapardi. Mungkin Isbedy ingin berbagi pada hujan, pada sepi, pada gerimis yang puitis. ”baru saja gerimis reda, ketika iringan panjang itu melewati jalan ini.mungkin kau tak pernah rasakan pedihnya kehilangan cinta dan segala yang dicinta” (Requem). Atau ”biarkan hujan turun: dengan keyakinan yang penuh/kita tembus pisau-pisaunya.dari hotel yang gelap,/maka kegairahan seekor kuda akan menari/o,langit makin gigil di antara daun-daun/jendela dan ketukan pintu yang menagih/janji bahwa hari ini adalah akhir percakapan” (Biarkan Hujan Turun).

Mungkin ia ditenung kata-kata, atau dibuai kata-kata, hingga ia harus melirik pantai dan menceburkan diri dalam gulungan ombak laut. Setelah hujan, Isbedy banyak melukiskan pantai dan laut dalam konteks sunyi dan bunyi, sepi dan bahana, amuk dan diam. Hal itu mungkin karena dalam sajak-sajak Isbedy, kata tak ubahnya gelombang yang bagaikan benang-benang intuitif yang memintal kandungan maksud dengan cara membuka diri kepada pembaca. Sajak-sajaknya mengusung kemaknaan dengan maksud ingin berbagi, tidak sebagaimana sajak-sajak mahagelap yang anti-kata.

Membaca sajak-sajak Isbedy terasa bahagia jika menyelam kandungan maknanya, ketimbang bersibuk-ria mempersoalkan tipografi dan gaya karena sangat biasa. Mungkin karena pengaruh bencana yang bertubi-tubi menimpa negeri ini, maka dalam buku puisi Isbedy sejak Kota Cahaya hingga Setiap Baris Hujan akan kita temukan gempa kata dan tsunami makna. Bahkan di sana ada bahala yang menimpa berbagai negeri yang membuat orang banyak celaka, yang dihadirkan lewat kacamata ingin bermakna.

Dialektika kata dengan makna dan peritiwa tidak lain adalah suara. Kata menghadirkan dirinya, membentuk sebuah kemaknaan, dan pada kedalaman kemaknaan itu, sang penyair tidak pernah kembali pada kata-kata ini, melainkan menuju suatu benda yang dirujuk, baru kemudian kata tersebut dilepas dengan aturan main. Akan tetapi ada bedanya dengan imaji. Dalam kasus imaji, intensionalitas justru berbalik pada lukisan imaji yang menyelubungi makna secara konstan. Imaji, tidak lain seperti halnya dalam suatu kesadaran sang penyair.

Di sini jelas bahwa Isbedy tidak terpengaruh oleh postmodernisme yang menggejala sejak 1990-an di negeri ini. Ia tetap intens menghayati kata, menakik struktur kata, dan sajak-sajaknya tidak hendak berada dalam menara epistemologi eksistensial dengan menghadirkan imaji, tetapi masuk ke dalam kandungan makna melalui teruit kata-kata. Puisinya membangun rima dan bunyi hidup sebagaimana kebanyakan sajak liris. Tapi apakah cukup hanya dengan membuat kegaduhan bunyi subkultur atau bahana-bahana keras kepala agar menjadi resistensi? Sajak-sajak Isbedy tampaknya menjawab: tidak. Puisi-puisinya tak membahana oleh tekanan suara yang teratur, tapi ada suatu maksud dan ”nilai” yang sampai.

Dengan maksud yang tegas, dan tak jarang menampilkan asosiasi yang mengajak pembaca untuk mencari referen ke sana-kemari, Isbedy berhasil memunculkan renungan yang sadar diri untuk tak hendak mengejar kebaruan, meski pun ada kata-kata yang sudah khas jadi milik sang penyair. Tak ada bunyi yang tanpa makna, karena dalam puisi bunyi memang seperti gema kemaknaan itu sendiri, dan rasa yang ditimbulkannya pun muncul secara bersama dengan rimanya. Aku lirik terjun dari kekosongan pencarian menuju bumi dan sumber-sumber literer untuk menemukan bahasa biasa saja lagi.

Isbedy banyak menampilkan perumpamaan hujan sebagai kilatan ras rindu eksistensial. Hujan puisi Isbedy terasa rimis oleh kelebat awan kata-kata. Isbedy menjelma seorang pemain di lapangan hujan kata-kata, yang di awal kemunculannya dianggap sebagai penyair terdepan di Lampung, tapi kini ia harus ”bersaing” ketat dengan penyair-penyair lain yang menantang kata-kata.

Keintimannya menjadikan kata sebagai alat tak lagi menghiraukan kalau bahasa dan gramatikanya kepeleset, tergelincir, karena hal ini erat hubungannya dengan kreativitas. Sajak-sajaknya menampilkan kristalisasi dari kata, tapi belum cukup untuk melukiskan seribu tahun dalam kesunyian.

Sebagai contoh: ”di bukit ini, kami disalib!” (Tanah Lot), ”pantai tetap bercahaya, meski laut tak mengecupnya” (Bersama Penyair 1), ”dalam keheningan kata, tercipta jalan mencapi Tuhan” atau ”setiap kalimat adalah ayat-ayat” (Bersama Penyair 4), dan lain-lain. Kata-kata jauh dari tenung dari mantra, malah sangat sederhana. Ya, sederhana yang belum sampai ke keindahan kata.

Asosiasi yang dihadirkan memancing reaksi batin saya sebagai pembaca, yang ikut memengaruhi organ dalam saya secara lebih tegas dan kuat: kata-kata berlarah-larah, berdiam-diri, memusat, memberai, terjun ke dalam kepenuhan isi, menukik dalam dada, dan memberai dalam kebermaknaan. Dan sajak-sajak Isbedy seperti ingin menjadi remedi bagi mala yang merajalela di sekelilingnya, walau pun terkadang terkesan eksklusif dalam hal komunikasi dengan pembaca.

Semantik dari kata begitu dominan. Kata sebagai alat muncul bertubi-tubi, dan ini bukan sesuatu yang haram dalam sajak mutakhir. Sejak puisi lirik hadir sebagai salah satu genre puisi yang dirayakan banyak penyair di negeri ini, kehadirannya tak bisa menghindar sepenuhnya dari godaan subjek kata yang menekankan kesadaran tentang manusia dan alam raya. Dengan lirik Isbedy berusaha melukiskan dan mengungkapkan makna secara ilustratif. Pembaca dengan mudah bersua dengan renungan kemanusian.

Apa yang menggoda saya adalah: apakah Isbedy seorang humanis dan pandangannya tentang Kata menjelma sebagai daging? Bila kita tengok dalam puisi-puisinya di buku tipis ini, tak ada pendewaan manusia. Puisi-puisinya sangat sadar-diri pada keterbatasan manusia. Kadang muncul nuansa kegagahan yang berganti-ganti dengan rendah diri.

Isbedy konsisten dengan penampilan lirik dan larik yang koheren dan rapih. Sesekali muncul suasana melankolia, guratan kata yang keletihan dan pendakian puncak-puncak kata tak sampai-sampai, baik melalui peristiwa hujan, peristiwa di ladang tebu, lukisan yang tak transparan, ilustrasi yang berupa gambaran, yang agaknya begitu dekat dengan dunia keseharian yang tengah carut-marut.

Sebagian besar sajaknya dalam Setiap Baris Hujan cukup dominan mempersoalkan realitas sosial dan bencana besar kemanusian: kemiskinan yang melaju drastis, perampasan hak atas tanah ulayat warga oleh negara, pembalakan kayu (hutan) hingga tanahnya menguning karena tandus, penindasan gaya pemerintahan model raja, pembodohan kaum paria, ketidaktanggapan pemerintah, dsb. Kalau pun ada luka, luka itu adalah luka besar kemanusian.

Caranya menghadirkan kepedihan sosial tentu tak seperti yang dibayangkan banyak orang bahwa puisi-puisi realisnya adalah puisi yang memindahkan begitu saja realitas yang ada atau memindahkan yang sudah dimamah-biak media massa—walau tak juga sepenuhnya mendayakan imajinasi dengan sunyi diri.

Beberapa sajak bahkan muncul kenaifan dan kepolosan tak ubahnya imajinasi infantil, misi propetik yang banal, dengan pengucapan ah-ah dan ai-ai yang khas gebalau aku lirik. Kepekaan yang berlebihan pada kata, kesadaran yang semakin merunduk, pengucapan yang matang, pola pikir yang tak berumit-rumit namun dengan hasil pikiran yang wagu, bukanlah hal yang acak, sekonyong-konyong, melainkan masih tunduk pada aturan-aturan tentang konvensi dan struktur kata.

Sang penyair cukup intens memikirkan kata hingga menjadi plastik kata, sampai-sampai nekat ingin ”mengayak pasir-garam kata”, atau yakin ”akan kekal bersama kata”, atau ”akan hidup dalam kata”. Namun apa boleh buat: aku lirik pada akhirnya ”tak berdaya oleh kata” (sajak Bersama Penyair 3). Lalu, setelah kata, apa? Kalimat yang menyusun arti karena ”setiap kalimat adalah mukjizat” (Bersama Penyair 4) yang mampu menghadirkan dunianya sendiri.

Bersama penyair Isbedy ingin menyuling kata lagi, menjadi darah dan daging saja lagi. Untuk apa? Agar kata yang bersajak tak tersesat. Agar kata kembali menjadi doa menjadi sihir. Dan di atas segalanya: agar puisi tak mati ditikam kata. Lagi-lagi Isbedy tak hendak menampilkan sajak anti-kata, karena apa artinya jika sajak justru tak berdaya. Maka pilihan Isbedy kembali merenggut kata, menakik bahasa, justru menunjukkan kerendahan-hatinya sebagai penyair yang telah menulis begitu banyak kata.

Dan, inilah celakanya, sering kali kita temukan perbandingan sajak-sajak Isbedy dengan sajak-sajak lain dari perspektif perbandingan nilai. Seakan-akan sajak lirik lebih rendah mutunya dengan sajak puitik, sajak anti-kata lebih kuat dari sajak yang menempatkan kata sebagai alat. Memang, di tengah arus-bandang lirikisme, pilihan pada sajak tidak prosais dan tidak lirik, bisa menjadi pilihan yang segar.

Saya percaya bahwa puisi lirik Isbedy yang menempatkan kata sebagai segala-galanya dengan puisi yang anti-kata tak pantas dibandingkan dengan perspektif perbandingan nilai literer. Kedua jenis puisi ini punya kelebihan juga kekurangan pada dirinya. Demikian pula sajak lirik dan sajak puitik, sejauh dihayati dengan perenungan dan keintiman, ia bisa berpeluang sebagai sajak yang sebenarnya sajak.




































Isbedy (2)


Bang Is yang baik,

Aku sungguh gembira membaca sajak-sajakmu dalam buku Anjing Dini Hari (2010). Semula aku menduga kalau sajak-sajak barumu lebih jelek dari kumpulan sajak dalam buku sebelumnya. Tapi aku gembira karena mutu dan kualitas sajakmu masih mempesona. Walau belum banyak bergeser dari bentuk pengucapan sebelumnya, sajak-sajak terbarumu menandai pergolakan yang lebih serius persoalan sosial-politik di negeri ini.

Pelan-pelan saya menyimak dan menghayati setiap kata yang kau goreskan, dan tampaknya kau memang telah memiliki bahasa pengucapan khusus dengan nada yang khusus pula. Nada sajak-sajakmu begitu tenang dan tampak enggan memasuki wilayah sosial-politik secara detail dan bombastis. Walau godaan untuk itu begitu besar, dan terasa sekali bahwa kau bergulat menghadirkan yang individual dan yang sosial secara seimbang. Kalau boleh aku berterus-terang: kau lebih berbakat sebagai penyair lirik yang hening. Betapa indah sajak yang kau hasilkan jika kau menulis dalam diam, tenang dan lirih. Tema-tema individual jauh lebih kuat ketimbang upaya memaksakan diri mengeksplorasi masalah politik yang kebesaran menanggung beban hingga kata-katamu nyaris tajungkang.

Tapi menulis sajak dengan tenang, lirih dan diam, rupanya tak lagi mudah karena begitu banyak persoalan kemasyarakatan yang lalu lalang di sekitar kita. Tak adil memang mengabaikan hal-hal yang kita lihat dan kita rasakan. Menulis soal embun dan gerimis di tengah segerombolan manusia yang kelaparan, memang terasa keras kepala. Maka kau pun—dan saya kira juga penyair yang lain—mau tak mau juga harus menulis sajak sosial.

Akhir-akhir ini kau tampak gandrung menulis sajak bertendensikan politik. Tapi sayang sajak-sajak jenis ini bukan mengangkat namamu. Jarang ada sajak politik yang bagus yang telah kau hasilkan. Dan ironisnya: kau pun mengundang seorang politikus Golkar untuk memberikan kata pengantar buku kumpulan sajak terbarumu, Anjing Dini Hari.

Bang Is yang baik,

Kau sungguh membuatku kecewa. Selama ini kaulah penyair pertama yang mengantarkan aku mengenal puisi di Lampung. Dan mungkin ini terdengar cengeng, cerewet, atau terlampau menekankan pembacaan secara biografis. Apa boleh buat, Bang Is. Saya tak mungkin bisa membaca puisimu hanya puisi tanpa mengaitkan dengan sepak-terjangmu. Terlalu banyak yang saya ketahui tentang hal-hal di luar puisi yang tak mungkin saya tolak karena ia telah menjadi bagian pengetahuan dalam benakku.

Saya tak tahu apa misimu dengan menghadirkan Alzier dalam buku puisimu yang cantik itu. Tidakkah ini bisa membunuh perjalanan kepenyairanmu selama ini? Apa kepentingan mendasar yang kau perjuangkan hingga menggandeng Alzier masuk sebagai bagian dari bukumu?

Sastrawan dan politikus itu hanya profesi, memang. Bisa juga disebut pekerjaan, walau mungkin tak pernah ada sastrawan dan politikus yang menulis pekerjaan di KTP-nya sebagai sastrawan atau politikus. Sebagai profesi, keduanya bukan dua pekerjaan yang berlawanan. Itu seharusnya. Tapi dalam prakteknya tak jarang justru sering dipertentangkan.

Kita punya cacatan sejarah yang saling tolak antara sastrawan dan politikus. Ada sastrawan yang keberatan dengan politik sebagai panglima walau bahasa Indonesia yang digunakan oleh para sastrawan untuk menulis puisi itu kenyataannya berasal dari kepanglimaan politik. Hubungan sastra dan politik berlangsung sudah sangat tua. Kadang harmonis, kadang gontok-gontokan, kadang damai dan kadang saling rebutan kapling.

Saya kira Bang Is tahu dengan sastrawan besar Chili, Pablo Neruda, yang pacak dengan persoalan politik negerinya. Pada suatu hari penyair Neruda mengambil keputusan sederhana tentang bagaimana seharusnya sebuah puisi ditulis. Katanya, bahasa puisi itu tak usah muluk tapi lumrah saja. Orang bisa paham, itu yang penting. Dan berhubungan Neruda juga merasa terpanggil untuk menulis tentang masalah politik, maka ada satu buku kumpulan sajaknya yang sangat politis.

Neruda bersahabat baik dengan presiden Allende. Bahkan sang presiden memaklumkan hari besar nasional Chili jatuh pada saat Neruda menerima Hadiah Nobel di tahun 1971. Jarang ada penyair seakrab kedua insan itu. Mungkin karena keduanya penganut Marxis maka merasa sejalan. Si sastrawan tak merasa keberatan kalau politik dijadikan sebagai panglima. Apalagi kalau kenyataannya memang demikian.

Untuk mengambil contoh sebenarnya tak perlu jauh-jauh. Sutan Sjahrir bersahabat baik dengan Chairil Anwar. Keduanya bukan Marxis, walau pun pikiran-pikiran Sjahrir sangat dekat dengan Marxis. Mengapa keduanya bersahabat? Entahlah. Tapi mungkin karena keduanya merasa cocok. Itu saja. Atau karena Sjahrir merasa puisi Aku dan Semangat Chairil cocok dengan semangat pergerakan yang sedang mendidih, atau pas dengan jiwa romantisnya.

Kalau setelah Neruda masih banyak sastrawan yang terlibat persoalan politik di Chili, seperti Cortazar, Garcia Marquez dan Vergas Llosa, di Indonesia setelah Chairil semakin langka. Hubungan kedua profesional itu rusak. Entah siapa yang mulai main hujat dan main menyalahkan. Kata si politikus, sastra itu sebuah kemewahan, ber-indah-indah dengan kata saja, tak bermanfaat untuk perubahan. Kata si sastrawan, politik itu kotor, politikus itu korup, culas, dan tak patut dijadikan teman.

Wiratmo Soekito konon pernah coba-coba bergaul dengan politikus, tapi tak mendapat banyak perhatian. Rendra hanya bergabung dengan pengusaha ternama, bukan politikus. Dan sekarang tambah sulit mencari sastrawan yang mau berteman dengan politikus, apalagi jika politikus itu sedang menjabat sebagai menteri, presiden atau jaksa agung.

Tapi di Lampung, kau rupanya berusaha “mengundang” politikus memperbincangkan puisi. Kau mungkin jenuh melihat sastrawan makin jauh dari persoalan politik. Tapi saya tak boleh curiga bahwa kau mengambil keputusan sederhana dengan mengorbankan puisimu. Puisimu tetap ditulis dalam bahasamu, tidak disederhanakan dan tidak ada kesan agar para politikus mudah mencerna dan memahami sajak-sajakmu.

Kalau langkahmu itu muncul dari keprihatinan makin jauhnya hubungan sastra dan politik, makin renggangnya relasi pergaulan antara sastrawan dan politikus, padahal keduanya sama-sama menyuarakan kebenaran pedih, maka langkah ini mesti diapresiasi. Kau mengharapkan jarak antara sastrawan dan politikus seharusnya diperpendek dan jangan lagi seperti kucing dengan anjing di pagi hari yang kelaparan, tapi seperti musik harmoni yang rukun dan tentram.

Dalam pengantar buku barumu itu, Alzier tampak mengenal sosokmu secara dekat. Si Alzier tampak berusaha mengulang slogan lama tentang politik dan sastra. Katanya menghimbau: ketika politik panas, seni yang menyejukkan.

Saya tak sependapat dengan pendapat Alzier itu. Kalau politik busuk ya politikus yang mengusahakan agar tidak busuk. Kalau seni dibungkam, ya seniman yang memperjuangkan agar seni tidak dibungkam. Minta tolong pada orang lain yang bukan profesinya memang bisa-bisa saja, tapi yang mula-mula harus mengurus kalau ad masalah adalah orang yang menggeluti dunia yang runyam itu. Enak saja kalau politik mendidih harus minta tolong kepada seniman yang menyejukkan?







Iswadi



Dengan apa Iswadi menulis puisi hingga bahasanya terasa indah dan khidmat? Mungkin dengan kepekaan seluruh tubuhnya. Ototnya menarik denyut perasaan, bulu pada dagingnya mengernyitkan denyar rasa yang menukik pikiran, otaknya bekerja merangsang bibir, gigi, lidah menggiring darah. Dan darah pada jantungnya memompa mesin perasaan, para-parunya menafaskan atau mengembuskannya. Maka jadilah (daging) puisi. Dan kena sentuh puisi Iswadi, bahasa tampak membatu, dan selanjutnya ia tamat sebagai bahasa; ia menjelma sajak.

Demikian. Membaca sajak-sajak Iswadi Pratama terasa ada gema yang berpendar di kejauhan yang perlahan-lahan mendekat ke permukaan dengan cara diam-diam meminta diperhatikan. Iswadi tidak sepenuhnya setia pada pengucapan lirik. Dalam sajak-sajaknya terdapat tiga bentuk yang tidak asing bagi khazanah perpuisian Indonesia sejak generasi Muhammad Yamin hingga Iswadi, yaitu bentuk lirik, epik dan bentuk dramatik.

Pertama, bentuk lirik, yaitu bentuk di mana si penyair menampilkan gambaran dalam hubungan langsung dengan dirinya sendiri. Aku lirik di sini menjadi pusat gravitasi, yang menghasilkan sajak yang sering bersifat pribadi. Kedua, bentuk epik, yaitu bentuk di mana ia menyajikan gambarannya dalam hubungan tak langsung dengan dirinya sendiri dan orang lain. Ketiga, bentuk dramatis, bentuk di mana ia menyajikan gambarannya sendiri dalam hubungan tak langsung dengan orang lain.

James Joyce suatu kali mengatakan. ”Bantuk liris sebenarnya adalah busana paling sempurna dari sebuah emosi sesaat”. Sajak lirik bahkan ”sebuah jeritan ritmis, semacam yang berabad-abad yang lalu membuat gembira orang-orang yang menarik dayung atau menarik batu ke puncak bukit”. Sama sekali tak mengherankan jika di Indonesia bentuk liris paling dominan. Bahkan hampir semua penyair di Lampung memilih pengucapan lirik, dan hanya beberapa yang mencoba menyandingkannya dengan bentuk dramatik dan epik.

Penyair lirik berusaha mengungkapkan perasaannya lebih sadar mengenai emosi sesaat, ketimbang dirinya sendiri saat merasakan denyut gravitasi emosi yang sedang menarik-ingin. Denyut itulah yang menjadi penghubung beragam unsur dan anasir dalam sebuah sajak dan diolah ke dalam matahari besar untuk kemudian ditransformasi—atau ditransmutasi ke dalam bentuk sajak.

Puisi epik adalah bentuk tengah dari dialektika sajak lirik dan mite. Tak ada epik tanpa kehadiran mite. Jika selama ini sajak epik sudah jarang kita dapatkan, itu tak berarti bahwa bentuk epik sudah tak menarik lagi. Sejumlah penyair bahkan masih memelihara bentuk epik yang menyerupai drama. Selama ini, pudarnya genre epik—atau metamorfosa epik menjadi novel—lantaran karena kemunduran-relatif mite di Barat. Mite-mite telah mengalami perubahan bentuk sedemikian rupa, dan sekarang ini lalu disebut utopia (utopia politik, utopia erotik, dan sebagainya). Mite-mite inilah kini yang jadi gravitasi dan substansi novel dan drama mulai dari Jon Duan, Fauts, Rastignas, Swan, Kyo, Nadja, hingga Tim Finnegan.

Bentuk epik terlihat pada sajak-sajak panjang yang ditulis tahun 2005. Di sana bahasa tampak terasa gerak-geriknya, aromanya, nadanya, bahkan sosoknya. Sajak-sajak tahun 2005 tidak menampilkan sajak gelap karena imajinya masih terlihat dalam lirik, terutama ketika si penyairnya memperpanjang, juga menumbuhkan dirinya, sebagai pusat gravitasi emosi dalam epik. Kekuatan, atau progresivitas sajak epik, bisa menjelma sebagai orbit yang sumbunya adalah sang tokoh.

Narasi dalam puisi—jika memang ada—tak lagi bersifat murni personal, bahkan kepribadian sang penyair terlepas ke dalam narasi itu sendiri, hingga kemudian ”mengalir berputar-berkelok” menemu orang-orang dan tindakan-tindakan yang dituju, seperti sebuah lautan yang tak pernah berhenti mendeburkan ombak dan bergejolak. Maka, dalam sajak epik, ada sebuah cerita yang dimulai dengan orang pertama dan berakhir dengan orang ketiga, seperti pada balada Rendra, balada Garcia Lorca, atau balada tua Turpin Hero di Inggris.

Bentuk dramatis sebuah sajak dicapai ketika vitalitas yang telah mengalir dan membentuk pusaran di sekitar tokoh-tokoh, lalu mengisi setiap tokoh itu dengan tenaga vital yang dia anggap sebagai sebuah kehidupan estetik yang sesuai dan tak bisa diraba. Kepribadian sang penyair pada mulanya adalah sebuah jeritan, irama atau gairah jiwa dan berproses menjadi narasi yang mengalir dan memancar, hingga akhirnya menguatkan dirinya sendiri melalui eksistensinya.

Gambaran estetis dalam bentuk sajak dramatis adalah kehidupan yang tersucikan, atau yang terpancarkan dari rahim imajinasi. Rahasia kehidupan estetis—seperti penciptaan materi—bisa diraih, dan sang penyair seperti Pencipta— atau ciptaan—yang berada di dalam atau di belakang, di luar atau di atas karyanya. Bentuknya kadangkala tampak samar, tak terlihat, namun terasah oleh eksistensinya—atau mencoba mengasah dirinya sendiri melalui eksistensinya—sambil bersantai makan kacang dan minum kopi.

Karena hampir semua ritme sajak terbentuk oleh kerja menghela nafas dan menghembuskannya, seperti pendirian klasik Whitmen, dan juga diakui Octavio Paz, maka hampir tak ada kata yang tepat untuk melukiskan makna sebuah sajak. Tapi izinkan aku mengutip sebuah frase dari kalif keempat kita: kerja menghela nafas dan mengeluarkannya, bisa menghasilkan embusan-embusan spiritual, atau ahwal. Ibn Arabi punya istilah yang juga kena tentang kata: ”Melalui kata yang terus mencari dan mendaki, maka akan melahirkan ungkapan yang dengannya Tuhan bercumbu denganmu”.

Kefasihan Iswadi mengungkapkan kehendak yang sederhana, remeh, yang kadang jelas kadang gelap, dengan lentik-lentik lirik yang menimbulkan epik, agaknya perlu mendapat perhatian sedikit di sini. Zaman epik yang dianggap telah berlalu ternyata masih hidup, dan mungkin tidak akan pernah berakhir. Walau perkembangan puisi kini nyaris sampai pada titik akhir sebagai alat menulis drama dan novel, epik tetap berada dalam pesona. Bisa jadi “warna” epik merupakan transmutasi atau patahan dari konvensi dramaturgi yang melahirkan sesuatu yang baru tapi bukan baru, bukan baru tapi juga baru.

Andaikan biografi kreativitas Iswadi kita sertakan di sini, tidak mustahil bahwa konvensi dramaturgi yang selama ini ia geluti juga bagian dari upaya menguatkan kematangan aku lirik, epik, dramatik. Tak kurang dari tiga buah puisi setengah lirik setengah epik setengah dramatik: Fragmen Pertempuran, Fragmen Tanjungkarang, Dongeng Pepohonan. Ketiga sajak panjang ini terasa membangkitkan kembali semesta gema di kejauhan dan analogi yang terlampau percaya diri.

Iswadi bekerja lewat proses transmutasi menjadi transformasi: antara sajak lirik dan mitos, menghasilkan gaya epik. “Sudah mafhum jika puisi epik bersandar pada dinding mitos—atau sesuatu yang di-mitos-kan atau seolah-olah mitos—sebagai bahan mentahnya”, tulis Octavio Paz suatu kali. Metamorfosis dari epik menjadi novel selama ini terjadi karena kemunduran relatif mitos ditangan sejumlah penyair modern di Barat. Sementara di Timur, sejumlah mitos terdesak pula oleh utopi politik sekaligus utopi erotik.

Dalam Gema Secuil Batu, ekuivalensi antara puisi lirik dan mitos menghasilkan epik pra-novel, yang tak mudah dibentang-pisahkan sebagaimana membentangkan waktu kronometris dan episode dalam epik yang telah jadi novel sekarang. Proses yang unik ini dapat ditelusuri dari kelahiran tradisi epik sebagai bentuk-tengah atau bentuk-antara: sejarahnya adalah tersingkapnya ruang antara sajak liris dan mitos, yang melahirkan sajak epik.

Namun, pemaparan epik dalam puisi Iswadi tak terlampau ketat. Alurnya buntung, tidak lengkap, tidak ada tahap-tahap atau episode-episode dan penokohan yang spektakuler. Namun ada beberapa bentuk cerita dengan adegan-adegan yang seru nan syahdu, nenes dan cengeng, dialog-dialog batin dalam ragam bentuk, deskripsi-ilustrasi dan musikalisasi, amanat, dan sublimitas yang sederhana, cukup kena dan menggugah saya.

Semua ciri epik sebelum jadi novel dan drama begitu tipis jaraknya dengan lirik sehingga sulit sekali membedakan keduanya dengan tegas, sebagaimana halnya membedakan antara kata dan imaji dalam puisi Iswadi. Sublimitas “peristiwa” sering (hanya) dikonstruksi dengan sederhana, kadang dengan memasukkan tema sepele dan jauh dari tragedi dan kemabukan. Kata hampir semuanya sunyi, bisu. Sikap kepenyairan yang jelas-jelas“fanatisme pada puisi” terungkap lewat frase “betapa nikmat hati yang tak bisa pasti” sebagai lawan dari ilmu pasti.

Ada beberapa sajak yang membahana, hendak bermantra, namun tekanan bahana akhirnya jadi gema di ujung, dan terus masuk dalam bisik lirih, kadang seperti asap yang senyap, bukan awan yang bergelombang. Ketika komunikasi lewat kata diperalat sedemikian rupa, maka “gramatika secuil batu” menjadi media yang tangkas untuk berkomunikasi dalam puisi.

Dalam puisi Iswadi terdapat relasi intim antara bunyi dan sunyi, bahana dan diam, namun yang dominan justru bukan bahana, bukan bunyi, tapi sunyi dan diam. Kalau pun masih terdengar gemerincing bunyi, maka seturut dengan Iswadi, itulah bunyi suci (wingit) yang bertemu dengan rumah sunyi. Aliran pertemuan dua arus kata-kata tampak membentuk komposisi gerak-diam. Secuil batu diam.

Kata-kata bahkan menjadi bagian dari laku kediamdirian. Kata-kata yang membatu. Sebab dengan batu, membatu, maka makna dan arti pun seperti udang di balik batu. Kadang bukan arti dan makna yang terasa, apalagi makna ini dan itu, melainkan ketidak-berartian arti. Metafora muncul secara bugil-mungil dan mengandung isyarat pekat-kental. Fungsi puisi kadang ingin melarikan diri ke dalam kompleksitas, entah menuju ambiguitas, atau tak menuju ke mana-mana. Kompleksitas itu dicirikan dari berbagai hal, tema, gerak, alur, dll., yang semuanya ingin bersemuka, ingin dapat tempat dalam Gema Secuil Batu.

Eksperimen ke dalam epik mengingatkan dengan beberapa sajak Sitor Situmorang (penyair Indonesia yang paling saya kagumi sampai kini). Oleh karena itu, membaca analekta puisi Gema Seuil Batu seperti membaca sesuatu yang pernah saya baca dalam himpunan puisi Bunga di Atas Batu. Nama inisial SS pada puisi yang jadi judul analekta puisi Iswadi ini, walau mungkin ada yang menyebutnya Sitok Srengenge, Saut Situmorang, saya justru condong pada Sitor Situmorang.

Senyampang dengan kedekatan pada Sitor itulah, maka banyak puisi Iswadi masuk ke dalam kesunyian diri. Hal ini cukup beralasan, mengingat “kita berasal dari sunyi, dan kepada sunyi kita kembali”, kata Octavio Paz suatu kali.

Karena itu, pengalaman membaca Gema Secuil Batu adalah pengalaman membaca karakter sensitif yang hidup dalam resah dan gelisah. Sangat klise memang! Namun pada yang klise rangkap banyak sekali pun, sering kita merasakan gairah ritme dan komposisi yang menakjubkan. Aku lirik meyakinkan kita untuk ikut menghayati kembali sesuatu yang remeh dan sederhana: daun yang digoyang angin, gerimis, perdu, sulur, pohon, daun, sayap kupu-kupu, hujan, batu, parit dan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir mengikis tebing, biru laut yang lirik yang membentangkan layar yang bebas, ganggang, umang-umang, bunga karang, remah kerang, dll.

Sebuah khayal yang jauh, yang nyaris melumat dan mengikis-habis individu yang coba berpaling. Seorang yang luka, atau menulis tentang pengalaman akan luka yang membentuk delta sungai mutiara dari endapan lumpur yang bertahun terabaikan. Amis darah yang meresap masuk bersama kenyataan bahwa: aku lirik mungkin sang penyair yang tak puas dengan hanya menulis yang diketahui. Sebab dunianya adalah yang tak terketahui. Bahkan apa yang tak terpahamkan itulah yang memuaskan. Karena itu, jangan berharap sajak-sajaknya seperti novel yang bertanggungjawab, karena puisi lirik sifatnya “hanya sebuah kemungkinan dari kenyataan yang belum seluruhnya terjadi”, tulis Iswadi dalam sebuah sajak.

Pribadi sunyi Iswadi terasa hendak membaurkan lirik dengan tradisi epik yang tidak dipenting-pentingkan. Sebab puisi pada dasarnya cuma gema secuil batu, atau bunyi yang lain dari lirik Sitor dan Goenawan yang posesif. Tapi di dalamnya kita disuguhkan sebuah keterpesonaan. Bukan sekadar dalam pesona sesungguhnya, tapi terhubungnya pengalaman penyair dan pengalaman pembaca.

Tahun 2005 adalah tahun paling produktif bagi Iswadi, dan ini terlihat dengan begitu banyak sajak lahir. Beberapa sajak muncul suasana hening menuju kebening-beningan, namun belum terbening. Saya katakan belum terbening karena Iswadi banyak menampilkan kata-kata sebagai elemen kediam-dirian. Beberapa sajak bahkan memiliki relasi estetik dengan Octavio Paz, khususnya tentang tradisi menulis dalam diam sebagai elemen-elemen bawah-sadar dari kebisuan, atau elemen-elemen yang tak terpikirkan; seperti memikirkan diri sendiri. Iswadi mungkin suka jika aku memaknai kembali kata-kata Octavio Paz ini: “kau berasal dari sunyi”, Iswadi, “dan kepada sunyi kau kembali”.

Kata dan kalimat terasa menyamun asap dan kabut bahasa dengan kekayaan metafora, atau kata yang menjelma semacam doa-diam yang meragukan realitas hampir tanpa batas dalam melakukan monolog batin. Sebuah akal kelajuan lain yang membentang suram di ufuk dini hari, kadang dengan permainan tegangan, sulawan, dan gejolak yang menembus-tembus dinding keharusan. Karena itu, tak mudah bagi saya menangkap gema dari sajak yang berayun antara lirik dan epik atau antara lirik dan dramatik, sonata dan balada, fuga dan drama.

Memang, dari sekian elemen itu, betapa diam ingin jadi maqam menuju pendakian ke puncak pohon lotus terjauh. Dan seorang aktor ternama pernah mengatakan: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening, maka aku akan menikmatinya, bahkan luluh dalam pesona”. Kata-kata ini saya petik dari Stanislavski dalam Persiapan Seorang Aktor terjemahan sangat bagus oleh Asrul Sani, terutama ketika menyinggung sifat silent soliloquy.

Tentu saja percakapan dengan diri sendiri lebih mudah dilakukan dalam puisi, ketimbang di atas panggung. Tapi monolog batin inilah yang juga sedang dicari bentuknya dalam tiap kali pementasan Teater Satu yang naskahnya ditulis dan pertunjukannya disutradarai Iswadi sendiri. Bahkan dalam lomba teater monolog beberapa bulan lalu di Lampung, Iswadi Pratama dan Ari Pahala mengeluh dengan sulitnya mencari teater monolog yang memenuhi kriteria.

Iswadi cukup intim dalam mengungkai semesta batin di tengah cuaca yang bergayut mendung, suram, yang saya bayangkan si aku lirik dalam sajaknya sedang berpegangan pada sebatang jerami kering, atau pada apa yang oleh Ivan illich dan Goenawan Mohamad dinamakan: bergayut pada “seutas tali kebisuan; dimana bunyi bahasa dalam puisinya hanyalah simpul-simpulnya”. Inilah bentuk komunukasi dalam diam, dan menulis pun tampak “menulis dalam diam” (Carlos Fuentes). Tapi kediam-dirian inilah yang tak disangka-sangka akan melahirkan “sebuah kefasihan dari diam”—the eloquency of silence—kata Illich.

Monolog batin, kembali ke rumah sunyi, kefasihan dari diam, adalah kembali ke kewajaran, ketakbiasaan, yang disebabkan oleh pembesaran kata tunggal aku yang selama ini terdengar bertalu-talu. Kekuasaan aku lirik adalah gerak terakhir dari kebimbangan Iswadi. Bayang-bayang dari elegi Rilke, balada Garcia Lorca hingga simponi Bethoven, pencinta yang muram, penurunan dalam gravitasi Einstein sampai yang terendah, pendakian ke puncak menara keterasingan, berbaur-maur bersama gerak-komposisi puisi Sitor dan Goenawan.

Tidak harus dibaca sebagai pengaruh-mempengaruhi, tapi sebagai kelumrahan jika ada kemiripan dan kedekatan antara satu sajak dan sajak lain dari penyair berbeda walau tak pernah jumpa dan saling terpaut. Tanpa harus mengamini semangat pasca-modernis tentang alusi, parodi, komidi, rekonstruksi, apropriasi, transformasi, intertektualitas, dll. Dan marilah kita beralih ke sesuatu yang lain, yang mungkin masih tersembunyi oleh hutan rimbun imaji.

Apa yang Iswadi cari dengan puisi, tampaknya bukan sesuatu yang khas. Iswadi mencari bukan ke-Lampung-an! Bahkan si penyair menulis elegi bukan zaman ini, tapi ia menghadirkan puisi ironi dan parodi pada kelampauan yang jauh sekali. Logat puisinya sendiri justru kental dengan Jawa ketimbang Lampung. Nama kota kelahiran bukan lokalitas, hanya seadar kesan untuk ikut bagian yang menyenangkan hati mereka yang berkarya dari tradisi. Sajaknya “telah lama” sekali (mencuri judul puisi Sitor) bermain dalam wilayah lawa, antara ada dan tiada, atau expatriate kata Goenawan, dan mari kita mulai permainan sunyi ini, ujar Tardji. Ya, Iswadi masih menulis buah khuldi, sesuatu yang fitri dalam hidup ini, barangkali, yang sedang ia susuri di pantai-pantai pengharapan tempat balada-balada orang tercintanya Rendra dinyanyikan, atau pertempuran dan salju penghabisan di Paris-nya Sitor berlangsung.

Sesekali muncul kilatan kata-kata sunyi yang mendekati gairah dengan ritme dan komposisi, mirip “arus yang menyisir batu, batu yang menahanmu”—dalam sajak Pastoral dengan komposisi musik untuk dua soprano dan kuartet gesek Goenawan Mohamad.

Barangkali itulah gema yang sebentar, atau pendar di kejauhan, untuk kemudian lenyap, dan diam adalah suatu maqam menuju Tuhan. Dan barangsiapa mengikuti pendirian kepenyairan Iswadi, akan tahu bahwa para sufi adalah bisu. Diam adalah cara kekasih Tuhan, karena Ia menyukai diam. Diam adalah gaya hidup para pujangga dan kebiasaan orang-orang tercinta. Diam adalah bagian intim dari hikmah kebijaksanaan. Dan diam adalah menggemaskan. Dan diam adalah: tersapih paling jauh dari komunikasi orang-ke-orang.

Di balik semua itu, tampak ada yang menggemaskan dalam laku kepenyairan Iswadi, yaitu watak pelarian dari “hidup yang jadi komoditas” (untuk meminjam istilah Goenawan Mohamad dalam konteks lain) dan karena itu sering bikin kita gemas. “Kini aku takjub pada bangkai kupu, sengat batu pada tuba, jelaga, atau serpih duri yang merumpun di halaman itu”, tulis Iswadi dalam sajak Fragmen-fragmen di Beranda. Daun kaktus, pohon camar, hujan dan debu yang beradu, sunyi yang ratusan kali persiran di halaman buku, adalah sebuah percakapan yang sah untuk puisi, seperti hidup dan mati.

Iswadi tak henti-hentinya merasa bersalah, dan meyakinkan kita pentingnya menulis tentang burung dan angin, rumput dan perdu. Iswadi ingin menerima apa saja yang wajar di dekat ambangnya. Karena, seperti kata Goenawan suatu kali: selama ini banyak yang lupa dan tak pernah terkesima akan hal yang sesungguhnya dahsyat tapi tersisih; warna bulu burung yang menakjubkan itu, sepasang mati yang seperti merjan jernih itu, sayap-sayap yang serba-sanggup itu. Ternyata selama ini kita tak punya waktu buat tetek-bengek itu. Kita hanya menyimak dan memakai hal-hal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Ada yang salah, agaknya.










Jimmy



Di sebuah negeri yang sedang dijiwai oleh puisi, telah lahir seorang hakim muda yang lebih dikenal sebagai penyair. Si hakim itu adalah salah seorang penyair lirik sekaligus pemain drama, yang namanya sudah mulai akrab di telinga para pencinta sastra sejak 2000-an. Baru-baru ini ia menerbitkan himpunan sajaknya dengan judul Puan Kecubung (2009). Di dalamnya terdapat puisi yang bicara tentang Ophelia dan Hamlet.

Penyair muda itu rupanya suka pada kata-kata yang sederhana, tapi syarat makna. Sajak pertamanya dalam analekta itu tak menampilkan kata-kata membahana, tapi mirip prosa yang diam. ”Pada sebuah pokok jambu saya pernah melihatmu berbincang dengan sekelompok semut sedang memintal sarang. Waktu itu, matahari masih susup oleh kabut dan satu dua daun uzur jatuh tersungkur karena lamur”. Atau kalimat syarat metafor dengan bunyi yang terjaga: ”Bayangkan, bulan memar karena sepi melebar dan rama-rama acap liar lantaran banyak ada terkena sampar”.

Demikianlah sajak Surat Buat Sulaiman, yang walau pun masih tak terlalu jelas maksudnya, ia bicara pada kita tidak dengan kata-kata massal, tapi individual. Bukan dengan kata-kata bunyi tapi sunyi. Sebab, seperti ditulis dalam sajak Bukit Fatima I, ”sunyi sudah lama jadi nyanyi”. Tanpa sunyi tak ada puisi. Tanpa sunyi tak ada nyanyi hati.

Ada pula sajak dengan baris yang nyaris terlepas dari bait karena perasaan luka eksistensial. Cukup banyak pula sajak Jimmy yang terasa pasif, lembut dan sederhana. Tapi tak jarang pula sajak yang menuntut kita merenungkan siratan makna dari takdir yang tersembunyi di balik hutan rimbun imaji. Kadang-kala muncul metafora absurd, seperti misalnya: ”bulan memar” dan ”menyuapi sepotong bulan”.

Jimmy adalah penyair yang gemar pada labirin sekaligus pada yang feminin. Karena puisi-puisi labirin dan femininnya mencoba menyuarakan dunia puan, sementara ia sendiri sang tuan, maka dengarkan pengakuan Jimmy Maruli Alfian ini: ”Puan, aku tumbuh di tengah retakan/berulang kali kehilangan akar/sebatang kara antara ladang cinta/dan belantara kata-kata”.

Fragmen sajak Tamsil Damar Batu itu cenderung menghadirkan komunikasi searah, bicara dengan diri sendiri, sebuah monolog batin yang hening namun masih terasa agak kenes. Dari sekian model dan bentuk sajak yang dihadirkan, entah mengapa saya justru menyukai sajak Jimmy yang dramatik, atau sesuatu yang dekat dengan dunia drama.

Syahdan, pada suatu hari Hamlet menemui Ophelia, dan berkata: ”Ophelia, suatu saat kau merupa sarang laba-laba, memintal benang-benang kabut, lalu mengharamkan tubuhku larut, dalam perangkap tangan-tanganmu yang lembut”. Ophelia menjawab: ”Kekasihku Hamlet, seharusnya kau tidak lupa mematikan lampu saat hendak tidur, agar birahiku tak terlihat, yang membenamkanmu ke dalam jerat”.

Apa cuma Ophelia yang punya birahi? Apa dalam kalimat-kalimat itu terjadi dialog atau monolog? Tak mudah menjawabnya. Aktor dan produser ternama Rusia, Stanislavski, sempat juga kewalahan menjelaskan secarik kalimat yang menyerupai puisi dalam naskah Shakespere saat bicara tentang sifat soliloqui di atas panggung. Kalimat ”dipegangnya pergelangan tanganku dengan erat/Lalu undur sejauh jarak lengannya/Dan dengan tangan yang lain di keningnya....”, bagi Stanislavski menghadirkan pertanyaan: ”apa dalam kalimat-kalimat ini dapat kalian rasakan hubungan tanpa kata-kata antara Hamlet dan Ophelia? Apakah dalam keadaan seperti itu pernah kalian alami sesuatu yang mengalir dari diri kalian, suatu arus yang datang dari mata, dari ujung jari atau yang keluar melewati pori-pori?”

Jika aku mengaitkan Shakespere dan Stanislavski agak panjang di sini, itu karena dalam sajak-sajak Jimmy ada gerak lakon yang diilhami oleh kedua dramawan ternama itu. Susunan kata-kata serta bait sajak-sajaknya menyerupai susunan dialog dalam naskah teater. Sajak Jimmy berjudul Rencana Seorang Aktor tentu bisa ditafsirkan memiliki hubungan dengan buku Persiapan Seorang Aktor, tapi bisa juga tidak. Hamlet dan Ophelia dalam sajak Jimmy memiliki persenyawaan dengan Hamlet dan Ophelia dalam drama, bisa juga tidak.

Sebagian sajak Jimmy tampaknya menyerupai susunan naskah drama dengan dialog-dialog yang berpsang-pasangan (seperti tampak dalam sajak Venus, Tentang Lajang, Lelaki dan Ikan (A), Lelaki dan Ikan (), Rumah Juru Timbang 2, Rumah Juru Timbang 3, Tonil Kadi & Kala). Jimmy memang pernah mengatakan: jika terdapat bentuk pengucapan drama dalam sajaknya, hal itu wajar saja mengingat ia sendiri seorang yang terlibat dalam dunia teater, dan jadi orang dalam pada Komunitas Berkat Yakin (salah satu komunitas teater yang ada di Lampung).

Pengalaman Jimmy bergelut di jagad teater tidak sia-sia. Malah ikut memperkaya pengucapan sajak-sajaknya. Misalnya, bagaimana Jimmy menempatkan sajak dramatik dengan memilih pengucapan prosa lirik. Di sana ada kisah tentang seorang aktor sedang berjalan pelan mengitari panggung pertunjukan outdoor, menuju ufuk lembut. Di sana tampak sekali matahari seperti dalam Orang Asing Albert Camus; yang memberat pada kedua mata tokohnya, seolah ingin melata, ”dari satu ufuk ke ufuk lain tubuhku” (sajak Saat Sakit). Tapi matahari tak akan pernah lagi menitipkan cahaya sekali pun renyai yang setiap senja menghampiri kita (Rencana Seorang Aktor).

Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali di siang hari. Makin lama kata-kata yang digunakan Jimmy tampak berakbut dan bersayap kupu-kupu, yang hanya bisa betah di cuaca. Kalimat-kalimatnya yang lembayung, yang tangkas bermain dalam dua aras tematis; gelap dan gumun, cerita dan drama, dialog dan monolog, mirip seperti kisah tentang jukung tanpa arah tujuan karena telah kehilangan ufuk; terombang-ambing di laut lepas tanpa tahu kapan akan menepi.

Pertemuan ufuk yang gelap dan gumun melahirkan pengucapan prosa dan pantun, dengan nada dasar yang kadang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian. Ada nada jazz, juga sonata yang berdebar serta gemetar yang hanya sebentar, lalu berseling kelakar, beragam perbalahan, disertai debam lengang, seperti menyembul dari pengalaman luka yang belum sampai histeria. Kata-katanya seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok dan berbentuk—bagaikan sebuah adegan-gerak. Tak urung, Jimmy mengingatkan saya pada satu kalimat Nietzsche: ”Penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari”.

Dalam sajak-sajak Jimmy terdapat suasana melankolia dengan guratan kata-kata cinta, kisah-kisah mistis di perkampungan misterius yang dihuni para puan yang bergelut dengan perih. Bahkan ada ajakan untuk bercinta dengan puitis: “Mari, cium ranum keningku/sebelum kau alum dirajam waktu”. Ritme dan komposisi sajaknya tampak tertata dengan rapi. Ada warna yang berkilau embun, seni rupa kurva dan musik lirih.

Aku lirik seorang yang muram, luka, duka, dan maut, dengan kalimat yang memberat oleh cerita. Jimmy memang penyair yang gemar bercerita, kadang secara gamblang, kadang dengan mendadak mengejutkan oleh karena kehadiran bahana yang tiba-tiba. Dengan gaya bercerita, dengan bentuk yang menyerupai drama, sajak-sajak Jimmy hendak memenuhi tantangan lama, bahwa kisah-kisah, drama-drama, bisa menjelma masyarakat yang hidup tanpa ikatan kenyataan. Sebab, seperti pernah dituturkan Afrizal Malna, dunia kisah-kisah adalah sebuah kriminalitas dalam ingatan seorang penyair masa lampau. Maka kesusastraan kisah-kisah adalah sebuah dunia berbahaya karena ia bisa beroposisi terhadap realitas, dengan mengubahnya jadi cerita-cerita.

Untuk menegaskan bahwa puisi sebagai kisah-kisah, Jimmy memasukkan kalimat-kalimat berkisah, bahkan muncul kata syahdan sebanyak dua kali dalam buku ini (sajak Lomba Domba dan Dayang Rindu). Sebagai cerita-cerita, puisi Jimmy menjadikan yang purba bukan sebagai masa lampau, tapi justru yang menyekarang. Jika kita menengok sejumlah kitab suci, di sana berjibun puisi kisah-kisah.

Sebuah kisah, sebuah tuturan, (di)hadir(kan) bukan karena disebabkan abskuritas penyairnya, melainkan karena mengaburnya posisi aku lirik dalam sajak-sajaknya. Beberapa sajak Jimmy tampak menyisakan pengucapan puisi emosi, puisi ide atau puisi suasana, dengan gaya romantik banal. Ada pertemuan lirik dan mitos, yang menghasilkan gaya penokohan, seperti munculnya tokoh Maria, Fatima, Sulaiman, dll., yang mengingatkan pada Patima atau Maria Zaitun dalam balada-balada Rendra.

Jimmy berusaha menggapai puncak pengalaman kreatif lewat puisi dan dramaturgi. Saya tak terlampau akrab dengan sajak-sajak Jimmy selama ini, namun ketika membaca 49 sajak dalam Puan Kecubung—judul unik yang tidak diambil dari salah satu sajak sebagaimana umumnya buku kumpulan sajak—saya baru sadar bahwa Jimmy penyair yang menyimpan bakat.

Saya suka pada kejernihan bahasa yang digunakan, terutama ketika melukiskan kisah tablo dalam lima babak yang beberapa baitnya menyerupai gurindam: ”sudah tiga ratus pagi habis/ia belum juga ceguk dan menangis....di dalam, seorang lelaki telanjang/terus memasak dengan gasang”. Ada banyak kosakata yang asing—dalam arti yang masih jarang digunakan. Saya kira inilah salah satu kelebihan Jimmy dari penyair Lampung yang lain.

Penyair kelahiran 1980 ini adalah sisi lain dari para penyair lirik yang mukim di Lampung. Bisa jadi Jimmy adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi dramatik. Puisi liriknya ternyata sebuah migrasi dari dunia konvensi ke sumber-sumber realitas terdalam, dengan bahasa yang kadang terasa sugestif dan pasif.

Di sini lagi-lagi mengingatkan saya pada ucapan Nietzsche: “Jika mimpi memberi daya khayal, asosiasi serta puisi, maka mabuk memberi dendang kekuatan yang cenderung akan kebesaran, keangkuhan”. Namun, apa yang mabuk bukanlah ceracau dan dendang yang bahana, seperti dibayangkan Nietzsche, tapi mungkin “dendang yang sebentar” yang dibayangkan Iswadi. Octavio Paz—kalau saya tak salah—pernah mengatakan: para pemabuk dan seni yang mabuk adalah kontemplatif dan pasif. Sebagaimana juga Jimmy memaknai ketakdatangan bukan berarti ketidakhadiran, tapi justru “ketakdatangan semakin menegaskan makna kehadiran” (In Absentia).

Tak berlebihan jika Jimmy sempat menyinggung sajak lama dan dongeng Zarahustra, dalam sajak Mencari Alamat, dengan gaya monolog: “sudah bergantikah warna cat rumahmu?/musim hujan sudah lama tiba/aku belum sempat menyimpan payung dan mantel/cuma ada potret kekasih, sajak-sajak lama/dan dongeng Zarahustra”. Mencari rumah ziarah bagi Jimmy ternyata tak mudah, kadang kala dengan via dolorosa (jalan penuh duka): “bagaimana jalan menuju rumahmu sekarang? Seperti lintas Sumatera atau jalan Dolorosa?” (sajak Tonil Kadi & Kala).

Dari segi stilistika, tak ada yang mengejutkan dalam sajak-sajak Jimmy. Tak ada kamuflase atau suspens, atau yang baru, karena sebagian besar sajaknya berangkat dari metafora yang menggelorakan imaji melalui pertemuan pantun dan mantra, drama purba dan lirik tua. Sebagaimana Jimmy mengutip Gao Xingjian dalam kata pembuka bukunya, maka saya ingin menegaskan juga: dalam sajak-sajakmu ”tak ada keajaiban”.

Membaca sajak-sajak dramatik Jimmy membawa saya tamasya ke dalam rumpun rimbun kehidupan. Kadang kala saya diajak untuk ikut menghayati peristiwa masa lampau yang jauh: kisah tentang Sulaiman, bukit Fatima, kejatuhan Eva, Dayang Rindu, Habil dan Kabil, Ophelia dan Hamlet, hingga Inggit Putria Marga atau Ari Pahala.

Dalam sajak-sajak Jimmy terdapat enigma, tapi pilihan kata, pilihan tema, dan logat daerah (Lampung) dihadirkan dengan jujur di dalam penciptaan sajak-sajaknya. Seandainya hukum diksi puisi memang ada, dan berlaku pula dalam telisik ini, maka Jimmy patut disebut penyair muda yang memiliki talenta dalam jurisdiksi penciptaan. Puisi Jimmy, dengan demikian, mampu mengekspresikan dunia jurisdiksi estetiknya sendiri, tanpa mendurhaka pada kata dan makna.




























Inggit Putria



Terbitnya buku puisi Inggit Putria Marga, Penyeret Babi (Bandarlampung, 2010), kian meyakinkan saya kalau di Lampung telah muncul generasi penyair yang berbeda dari generasi penyair Isbedy Stiawan ZS. Sebetulnya, sejak Dina Oktaviani masih menetap di Lampung saya sudah melihat ada perbedaan wawasan antara penyair generasi Isbedy yang sebagian besar sudah tak lagi berkarya lagi, dengan generasi Iswadi, Ari, Inggit, Jimmy yang masih terus menghadirkan puisi.

Keempat penyair itu terhitung paling depan menampilkan sajak-sajak yang jernih dan makin jauh dari hiruk-pikuk sosial dan politik. Dari empat nama itu, hanya Ari Pahala yang belum punya buku kumpulan puisi tunggal, namun cukup mudah untuk melacak puisi-puisinya yang bertebaran di berbagai media dan antologi bersama.

Inggit seakan menggantikan posisi Dina Oktaviani yang telah meninggalkan Lampung. Kreativitasnya tampak tak jauh beda dengan Dina, kendati pilihan tema sajak sangat berbeda. Dina sampai sekarang masih terus menulis puisi kehilangan, kecemasan dan luka yang begitu pribadi. Sementara Inggit tampaknya tak terlampau tertarik mengkhususkan diri menulis soal kepedihan kaum perempuan.

Puisi-puisi Inggit menarik ditelaah karena selama ini puisi-puisinya cukup sering jadi pembicaraan secara lisan di kalangan para pemerhati sastra. Beberapa kali saya mendengar orang menyinggung sajak-sajak Inggit, tak hanya di Lampung, tapi di Jakarta, Yogyakarta dan Banten. Sebagian orang mengatakan kalau sajak-sajak Inggit sangat Goenawan Mohamad sekali. Dan saya menolak tudingan macam ini. Inggit mungkin hanya mengambil filosofi kepenyairan dari Goenawan, tapi tidak sajaknya. Malah kalau harus dicari kedekatannya, sajak-sajak Inggit lebih dekat dengan sajak Nirwan.

Inggit menonjol bukan karena ia perempuan, tapi sajak-sajaknya memang sebagian besar menarik dan unik. Setiap kali sajaknya muncul tampak bahwa dirinya berusaha mengadu siasat dengan kata-kata. Sebagian besar puisi bersinggungan dengan masalah teknis berinovasi, bernikmat-nikmat dengan dirinya, dan karena itu sajak-sajaknya bersifat pribadi.

Buku Penyeret Babi menampilkan puisi dengan keragaman tema dan isi. Terdapat sejumlah sajak pendek yang cantik, di samping sajak-sajak yang mengulur panjang, bahkan ada yang kelewat panjang. Di dalamnya terdapat kekayaan bentuk puisi: gurindam, pantun, haiku. Di samping itu, semua gaya puisi digunakan: lirik, dramatik, dan epik (dulu didaktik dimasukkan sebagai salah satu genre tapi kini dianggap cukup untuk menyebut tiga itu saja).

Namun, bentuk lirik paling dominan hingga patut kalau Inggit disebut penyair lirik. Inggit lebih tertarik pada lirik tak langsung, di mana aku lirik menyembunyikan diri di belakang lambang atau metafora. Si penyair berusaha menampilkan gambaran dalam hubungan langsung dengan dirinya sendiri. Jika sajak diibaratkan daya tarik bumi, maka aku lirik adalah pusat gravitasi, di mana si lirikus menghasilkan sajak yang bersifat pribadi. Ia mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca.

Pilihan Inggit pada lirik cukup tepat, sebab seperti pernah diilustrasikan oleh James Joyce dalam The Portrait of the Artist as a Young Man (yang saya kutip versi terjemahan Wawan Yulianto), ”bantuk lirik sebenarnya adalah busana paling sempurna dari sebuah emosi sesaat”. Sajak lirik bahkan ”sebuah jeritan ritmis, semacam yang berabad-abad yang lalu membuat gembira orang-orang yang menarik dayung atau menarik batu ke puncak bukit”, tulis Joyce.

Demikian kita rasakan juga pada sajak-sajak Inggit tentang buih dan laut. Pengucapan lirik paling cantik terdapat dalam sajak-sajak pendek. Sajak Langit Begitu Sendiri, Firman dan Penakluk, misalnya, sangat liris, hemat dan bening, dan pantas dibandingkan dengan sajak Pohon Mapel, Angsa Liar, Sepeda Nirwan Dewanto. Sajak-sajak pendek ini mengambil semangat Matsuo Basho yang minim kata tapi begitu puitis.

Puisi Langit Begitu Sendiri, misalnya, menampilkan sehemat mungkin kata hingga sangat menawan. Saya kutip dengan mengubah tipografinya: “Ada embun sisa hujan/di ranting patah/di daun yang basah/ada embun/sisa hujan”. Atau puisi Firman: “Ada yang menitik,/sembunyi pada celah batu/ada yang mengalir/ada yang beku”.

Puisi Inggit muncul sebagai cetusan perasaan sekaligus pertaruhan atau ujian untuk menghadirkan kebebasan pengucapan. Ia tak lagi peduli kalau yang ia tulis adalah puisi dalam bentuk bahasa prosa karena perbedaan keduanya telah lebur. Setiap sajak muncul dari kedalaman kata-kata tanpa luput mengungkai makna. Si penyajak cukup cerdik mengelabui pembaca dengan melebur penutur-penafsir hingga muncul gelora dan gejolak yang khas. Kata-kata diusahakan seindah dan se-otentik mungkin. Susunan kata atau lariknya sangat rapih. Setiap tanda baca berusaha diperhitungkan kehadirannya, kendati tak begitu fungsional.

Membaca sajak Inggit adalah membaca mainstream kata-kata. Pembaca diajak memikirkan kembali hakikat kata. Kita dapat saja berkilah bahwa puisi tak melulu tergantung pada kata. Tapi pembaca memperlakukan sebuah puisi terutama karena kata-kata yang digunakan si penyair. Kemudian tema, gaya, isi, bentuk dan lain sebagainya. Kalau kata yang digunakan tak memikat perhatian, maka puisi tersebut memang tak menarik.

Cukup banyak tema yang mengemuka, baik soal alam, binatang dan manusia . Dari segi isi memang unik, tapi dari segi gaya biasa-biasa saja. Sebagai penyair sekaligus penafsir, Inggit menyadari kalau hal-hal besar bisa membuat sajak keberatan memanggul beban dan amanah. Maka, seperti penyair Lampung yang lain, Inggit berusaha menyuguhkan hal-hal yang jarang diperhitungkan. Hal-hal kecil menjadi filosofi kepenyairan Inggit, yang juga terlihat menonjol pada sajak Iswadi, Ari, dan Jimmy.

Bagi penyair Lampung, tak terkecuali Inggit, apa pun bisa diangkat ke dalam puisi dengan segudang alasan pembenaran. Tak cuma manusia, tapi perdu, sulur, pakis, babi, rumput, anjing, mesti dicatat dan dapat tempat. Kalau Inggit memilih babi sebagai judul bukunya, yang seringkali luput dari perhatian penyair, Isbedy justru lebih tertarik pada lolongan anjing dini hari yang memecah kesunyian.

Tapi babi dalam puisi Inggit kurang politis kalau dibandingkan babi dalam prosa George Orwell. Dan Inggit memang enggan menghadirkan yang politis-politis, tapi lebih tertarik dengan yang puitis-puitis. Bukankah yang puitis juga bisa sangat politis? Daya gugah dan daya sarannya kadang lebih ampuh dari slogan.

Pohon, hewan, batu, awan, dan manusia serta segala yang diciptakan, semuanya merupakan lambang-lambang yang menuntut untuk dibaca dan ditafsirkan. Hubungan-hubungan di antara semuanya menjadi sumber pertanyaan yang tak berkesudahan. Si penyair berusaha mencoba berbagai cara untuk mengungkapkan sumber pertanyaan itu. Dan setiap sajak yang ditulisnya terlihat sebagai percobaan dengan kata.

Kalau ia gagal dalam percobaan itu, maka tamatlah riwayatnya. Maka Inggit tak main-main. Ia pertaruhkan imajinasinya agar kata-kata puisinya tak sekadar bunyi, tapi mengandung sesuatu daya yang tak mudah mati atau lenyap ditimpa berbagai bencana sosial. Ratusan sajak dihasilkan dengan kadar pengucapan yang terasa mulai mantap. Ada usaha untuk menghadirkan rasa-kata, mencecap dan menghayati kata seintim dan seintens mungkin.

Inggit juga sebagai penerjemah kata dengan baik. Juru tafsir tentang flora dan fauna bahasa, pemberi makna tentang seks dan asmara yang berani. Bagi Inggit, yang erotik tidak selalu dramatik ketika dihadirkan secara wajar, tidak liar. Ia menerima berahi sebagai bagian dari diri yang punya enigmanya sendiri.

Di tangan si penyajak, kata bisa mengeluarkan kicau yang merdu, terkadang lirih dan bergumam atau mendesah. Membaca 112 sajak yang disusun dalam dua bagian di buku puisinya ini, bagaikan membaca sebuah misteri kata-kata yang senantiasa meminta disimak dan dibuka, tapi pada saat yang sama terasa sia-sia untuk sekadar menemu makna.

Tentu saja Inggit tak bermaksud menyembunyikan makna atau sengaja menggelapkan sajaknya melalui kehadiran kata-kata yang tak punya cahaya. Makna seperti terkurung dan begitu sulit direngkuh atau dijamah. Makna muncul kemudian lewat dan tersembunyi oleh hutan rimbun imaji, irama, tegangan dan sulawan.

Pada bagian pertama yang diberi judul Mantra Petani, kata-kata bukan hanya sebagai esensi dari puisi. Si penyair melakukan percobaan dengan menerjemahkan kata-kata untuk menangkap kehadiran sejumlah tanda dan tinanda. Di sini Inggit kadang berhasil menyiasati kependekan kata dan bahasa.

Ada anggapan bahwa menulis sajak pendek jauh lebih sulit dari menulis sajak panjang. Sebab kependekan bukan karena sedikitnya kata saja, tapi—seperti yang pernah disinyalir Sutardji—sajak pendek bagaikan sebuah pigura. Ibarat pelukis yang tidak melukis tapi menciptakan pigura. Contoh: Bulan di atas kuburan (Sitor) Baju bulan (Pinurbo), pun (Sutardji), gugur semboja (Medy Loekito), dan banyak lagi. Sajak panjang sering banjir kata-kata hingga jadi keruh. Maka sudah sewajarnya jika penyair menampilkan seminim mungkin kata agar tak mubajir.

Sajak-sajak pendek Inggit berkilau atau bening, tapi belum terbening. Kalau diumpamakan sebagai sebuah ledakan, sajak-sajak pendek itu belum sampai menghadirkan dentuman ke dalam atau implosif, tapi masih nyaring terdengar dentuman keluar (eksplosif). Meditasinya tak terlampau khusuk, dan masih jauh dari keheningan Budha di hutan Urwella.

















Dina Oktaviani



Saya akan bicara tentang puisi dan prosa Dina Oktaviani, penyair muda kelahiran Lampung yang kini menetap di Yogyakarta. Penyair ini salah satu yang saya anggap berbakat dan puisi-puisinya begitu kuat menggelorakan keterpencilan dan kehilangan. Sejumlah puisinya tampak unik, walau pun dekat sekali dengan pengucapan puisi Sapardi. Beberapa prosanya juga saya suka karena menghadirkan percik-permenungan seputar dunia perempuan masa kini.

Saya tak tahu dari mana harus memulai selisik ini, mengingat ada dua tema yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu puisi dan prosa. Dina, kita tahu, telah menghasilkan buku puisi tunggal, Biografi Kehilangan, dan buku himpunan cerpen tunggal: Cumo Un Sueño.

Puisi

Saya mulai dengan puisi, mengingat pada puisi-lah mula-mula Dina dikenal luas sebagai penyair. Puisi-puisi Dina muncul sejak ia masih duduk di bangku SLTP dan masa produktifnya mulai terlihat sejak SLTA. Ada yang khas dalam sajak-sajak Dina. Bahkan ada aroma yang tampaknya kita kenal—atau pernah kita kenal dari penyair lain—tapi tak kunjung kita ingat.

Bagi Dina, puisi mungkin tak cuma untaian kata dan kalimat, yang menyuguhkan kepada kita tentang komunikasi yang bersuara, tapi puisi justru wahana bagi ungkapan kebisuan. Ungkapan ini pernah saya kemukakan dalam rangka menanggapi mereka yang terlampaui menekankan kata dalam puisi. Kepada Dami N. Toda yang mengucapkan terimakasih yang telah menempatkan puisi tak melulu tergantung pada kata.

Untuk menopang pendapat ini saya akan menggunakan puisi Dina Oktaviani dalam antologi puisi Biografi Kehilangan (2006)—kumpulan puisi pertamanya—yang perlu mendapat catatan tersendiri di sini. Beberapa puisinya bagi saya banyak menyuguhkan sejumlah ketegangan dan kontras yang menyangkut tema eksistensialis, tapi bukan ajaran tentang filsafat.

Kenyataan ini mengingatkan kita pada kecenderungan puisi-puisi Forough Farrokhzad—perempuan penyair kelahiran Teheran yang meninggal dunia di usia 33 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di tahun 1967, yang sejak usia dua puluh tahun ia telah berhasil menuliskan perasaan lirihnya terhadap ihwal yang dirasakannya.

Forough Farrokhzad pernah menulis puisi liris yang menggelorakan perasaan, yang diterjemahkan dengan indah oleh Hasif Amini: “Dalam malamku, betapa singkat, sayang/ Angin segera akan bertemu dedaunan/ Malamku betapa singkat betapa sarat kepedihan/ Wahai!/Kau dengarkah bisikan bayang-bayang?/ Di sana, di tengah malam, sesuatu terjadi/ Bulan cemas dan merah/ Dan, bergayut pada langit-langit ini/ Yang mungkin runtuh sewaktu-waktu…”

Dengan gaya dan rima yang berdekatan, Dina Oktaviani mengungkai puisinya dengan baik: “Tuhan pergi, sayang/ ia balikkan punggungnya/ dan kita harus bicarakan ini dengan hati/ aku kini harus selalu menahan duri/ semuanya menawarku sebagai mawar/ dan menusukkan diam-diam/ Tusuklah baik-baik, sayang/ niscaya kujadikan engkau korban yang tenang/ pada hari jumat maupun sabbath/ pada penebusan atau pengkhianatan/ langit tak jauh/ seperti matahari setiap saat dapat tersentuh….”

Membaca kedua puisi itu, tampaknya membutuhkan sebuah penghayatan yang mendalam, sebab di dalamnya kita temukan sebuah gelora yang begitu intens tentang seorang anak manusia yang merasa kehilangan dan keterasingan. Gramatika yang dibangun dan komunikasi yang berlangsung tampak tidak melantangkan suara, melainkan kediam-dirian yang hening—ibarat seutas tali kebisuan, dimana bunyi bahasa kedua puisi itu hanyalah simpul-simpulnya.

Komunikasi dalam puisi—bahkan dalam keseharian—memang tak selamanya terjadi hanya dengan bersuara. Saya ingin mengutip Ivan Illich—kritikus pedagogi kritis yang mungkin tidak pada konteksnya di sini—berdasarkan penafsiran Goenawan Mohamad tentang kata the eloquency of silence: kefasihan dari diam.

Kalau kita percaya bahwa kata-kata adalah bagian dari keberdiam-dirian, begitu kata Illich, maka yang terdengar enak bukan melulu bunyi atau suara, tapi keheningan akan proses batin si pembuat kata itu. Berkomunikasi dengan diam bagaimana pun menawarkan sebuah refleksi—bukan sebuah pengertian—yang terasa lebih intens ketimbang dengan bersuara.

Bila kita tengok dalam puisi-puisi Dina, maka tampak sang penyair enggan bermain dengan ide, gagasan, pengertian, atau mengaktifkan pikiran. Aku lirik lebih mengutamakan perasaan, imaji, suasana, intuisi, dan pengalaman hidup si aku yang kehilangan. Suasana, lukisan, pemandangan, ilustrasi, gambar, memang begitu dekat dengan dunia sehari-hari atau dunia penghayatan (juga dunia pengkhianatan), yang begitu tipis jaraknya dengan lirik—cara pengucapan pribadi yang jernih yang menawarkan penghayatan dan kepekaan perasaan.

Puisi lirik modern sejak generasi Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, hingga Iswadi Pratama—sekadar menyebut beberapa nama—tampak tidak terlalu tertarik pada pengertian eksplisit karena memang ia milik si lirikus-nya. Puisi mereka mengandalkan keheningan, kesepian, kehilangan, keterasingan, dan bahkan sinisme, karena semua itu merupakan sebuah penghayatan pribadi sifatnya.

Lirik Dina Oktaviani menunjukkan ekspresi bahasanya yang menohok pelbagai kata sambung seperti “yang”, “dimana”, “yang mana”, “sebab”, dan kata-kata formulatif (“adalah” dan “ialah”), kata-kata kias atau pengandaian (“bagai”, “laksana”, dan “seperti”) yang sangat jarang kita jumpai pada puisi lirik penyair lain, dan kebanyakan penyair naratif atau puisi dengan gaya bercerita masa kini akan kesulitan menempatkan kata-kata sambung tersebut.

Kendati kata bertele-tele itu sering muncul dalam puisinya, bahkan kata “sebab” dan “seperti” yang muncul di awal kalimat, tapi kata-kata itu tampak sudah melewati proses pengendapan. Sebab kata-kata itu tak lagi sekadar pantas, atau sekadar pemenuh garis kalimat. Kata-kata itu—berikut tanda baca dan huruf kecil di awal kalimat—tidak lagi mubajir karena ia telah menjadi satu kesatuan organis. Tanpa membubuhkannya, maka puisinya tak akan bunyi, atau ada sesuatu yang terasa hilang dari keutuhan bangunan diksi sebuah puisi.

Keintiman Dina menghadirkan lirik dan upayanya melakukan refleksi dan self-refleksi yang menghasilkan gambaran yang jernih tentang keresahan dirinya, membawa dirinya masuk ke dalam pergulatan dunia batin yang keras. Aku lirik seperti sedang melakukan orientasi, atau re-orientasi terhadap apa yang lama terpendam dan nyaris lapuk dalam laci kenangan, kemudian diproyeksikan kembali ke dalam kata puisi. Aku lirik memperlihatkan kematangan dalam puisi-puisianya, yang terutama yang kita rasakan dalam keresahan dan pengekangan diri, pengkhianatan, kehilangan; baik pada bentuk ucapan maupun pada sikap hidup aku-liriknya.

Kematangan itu terlihat pada pilihan kata dan ungkapan perbandingan yang pekat dengan kehidupan yang secara matang dipertimbangkan. Si aku bahkan tak segan-segan mencemooh dirinya dengan cara menerima ironi, absurditas, ambiguitas, dan paradoks dalam hidup sebagai sesuatu yang “wajar”.

Beberapa sajak Dina dekat dengan sajak Sapardi. Oleh karena itu, tanggapan saya pun terhadap sajak Dina banyak dipengaruhi oleh uraian Sapardi tentang sajak lirik. Kita tahu, Sapardi adalah penyair yang gemar menulis tentang peristiwa hujan sebagai media mengungkapkan pergulatan hidup yang penuh rahasia dan juga keresahan si aku dalam mengungkapkan maknanya atau pencarian yang tak kunjung dapat ia temukan. Metafor hujan merupakan sebuah pertanyaan yang bisa menjadi jembatan penghubung dalam proses pencarian yang membosankan yang berakhir pada krisis kepercayaan si penyair pada hujan itu sendiri (seperti tersirat dalam puisi “Sebuah Natal, Hujan, Penghancuran” dan “Memo Sebuah Kelahiran”).

Dina begitu setia dengan tema kehilangan. Bahkan dalam puisi terbarunya, “Hati yang Patah Berjalan”, “Nyanyian Pemabuk” dan “Aku dan Dunia” yang terbit di harian Kompas (23/7/2006) lalu, begitu intens melukiskan biografi kehilangan dengan kalimat-kalimat pembuka yang terasa menyayat. Namun, yang cukup mengganggu dalam puisi Dina ketika ia menampilkan kiasan. Di sini ia tak sepenuhnya berhasil membangun jembatan kata yang menghubungkan keseluruhan tema puisinya. Bahkan tak jarang Dina menggunakan kiasan yang terlalu klise dan mengulang-ulang, seperti “hujan”, senja”, “matahari”, “bulan” , “mawar berduri”, yang tampak memenuhi sebagian besar puisinya dalam kumpulan ini.

Usahanya membangun metafora pun terkesan absurd, seperti “lampu-lampu kota menjemputku pulang”, dan “membawa dada dalam kresek”. Namun puisi dengan metafora yang absurd ini justru berhasil melahirkan gaya naratif yang mampu menghidupkan aku-lirik penyairnya.

Saya lebih tertarik puisi Dina yang mampu menyuguhkan semacam umpan-balik pembaca. Dan itu saya temukan dalam puisi “Agoni”, “Jalan Pulang”, “Dongeng tentang Kesetian”, dan “Kado Buat Masa Kecil”. Keempat puisi ini selalu menggoda saya untuk menuliskannya kembali dan mengirimkannya ke teman-teman dekat atau pacar baru. Bahkan puisi itu bisa memenuhi dahaga orang-orang yang sedang jatuh cinta—sesuatu yang mungkin tak disadari oleh si penyairnya sendiri.

Prosa

Saya termasuk yang menyukai monolog-monolog batin yang dihadirkan Dina lewat sejumlah cerita pendeknya. Membaca sepuluh cerpen dalam Cumo Un Sueño, buku pertamanya tentang himpunan cerita pendek, saya seperti diajaknya mengembara ke lembah-lembah gelap yang nyaris tanpa batas dan tepi. Di dalamnya saya bertubi-tubi disuguhkan berbagai refleksi dan pertanyaan kritis yang dibiarkan tanpa jawaban. Hampir seluruh cerpen Dina menampilkan kisah aku naratif yang gelisah, menderita, dan kesepian. Dalam hal keluarga, cerpen-cerpennya banyak menyuarakan konflik antara perempuan yang harus bekerja di luar rumah dengan kewajiban mengasuh anak di dalam rumah.

Nicole—perempuan asal Bandung—dalam cerpen Dina memiliki karakter yang unik. Selain karena judul dan setting cerita “tidak nyambung”, cerpen ini mengisahkan karakter seorang perempuan lokal yang terjerat di tengah-tengah kehidupan orang ramai di kota modern. Nicole tinggal di kota Manhattan—sebuah kewarganegaraan baru yang mengancamnya—lantas kawin dengan tokoh “aku”. Mereka hidup bersama dan sepakat untuk pura-pura tak saling mengenal sampai waktunya mereka pulang kembali ke kampung halaman.

Manhattan dalam cerpen Cumo Un Sueño tampil lewat realitas kehidupan tokoh-tokohnya yang begitu menggugah keingintahuan lebih jauh. Nicole dan si Aku tinggal di sebuah apartemen atau gedung pencakar langit. Menurut ukuran kita yang biasa tinggal di “Hotel Indonesia”, menetap di apartemen mewah di Manhattan bukannya menyenangkan. Bagi seorang yang beragama Katolik seperti si Aku dan Nicole, menonton adegan-adegan penuh aksi di film-film Hollywood sungguh menggoda. Tapi pada saat bersamaan, budaya pop seperti ini bisa menggrogoti keyakinan yang selama ini masih bisa dipertahankan.

Nicole dan si Aku--orang kampung yang tak jauh berbeda dengan kita--begitu gamang memposisikan diri di tengah kehidupan modern di kota Manhattan atau New York. Dalam cerpen ini, Dina kembali menghadirkan tema lama tentang “Timur” dan “Barat” yang ujung-ujungnya, “Timur” lebih baik dari “Barat”. Alam lokal begitu kuat menariknya untuk kembali ke kampung halaman. Pengarang nampaknya belum mampu keluar sepenuhnya dari kecenderungan lama para pengarang “rantau” kita, yang ketika telah menetap di negeri orang, ingin kembali lagi ke kampung halaman.

Tema semacam itu sudah banyak digarap oleh para sastrawan. Sitor Situmorang—sekedar menyebut contoh—adalah “tipe ideal” penyair yang gamang menghadapi negeri “asing” (Prancis) dan kembali ke kampung halaman—baik dalam arti kiasan atau sebenarnya. Puisi-puisinya sempat menjadi perbincangan dikalangan kritikus sastra. Goenawan Moehamad menyebut gejala manusia modern semacam ini sebagai, Potret Seorang Penyair Muda Sebagai si Malin Kundang (1972). Soebagio Sastrowardoyo melahirkan, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989). Sementara Radhar Panca Dhahana melahirkan “tesis” sastra, Yatim Piatu yang selalu Meragu (2001).

Pada cerpen Dina, alam lokal yang tenang dipertentangkan dengan alam global yang bising. Bayangkan, setiap memasuki pukul enam sore, si aku menyaksikan di jalan-jalan kota Manhattan berubah menjadi lautan kepala manusia. Segalanya siap untuk bereaksi. Semunya sibuk dengan diri sendiri. Menjelang hari Natal dan Tahun Baru, segalanya menjadi kacau.

Sinar lampu yang berkunang-kunang membuat rambut di balik slayer merah yang dikenakan Nicole terurai panjang seperti “kunang-kunang yang mengingatkan mereka pada selembar kain bendera Amerika…Seragam putih bertepi merah seperti bendera Indonesia.” Pada penghujung kalimat sang narator menegaskan, “Ah, sentimentil imigran.”

Saya kira di sini letak kelebihan—atau malah kegagalan—cerpen Dina. Saya terpaksa harus membaca kembali cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1968) yang diterbitkan kembali oleh Penerbit Grafiti (2003). Ada beberapa kedekatan naratif antara cerpen Dina dan Kayam. Kita tahu, Kayam melukiskan dengan sangat indah realitas Manhattan sebagai kota yang dipenuhi lampu-lampu yang menjelma seperti “ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa”.

Lewat dialog tokoh Marno dan kekasihnya , Kayam berusaha untuk menghindar dari perangkap kisah sentimentil yang memuja berlebihan tanah air dan kampung halaman. Saya kutip dialog kedua tokohnya untuk sedikit “membandingkan” dengan cerpen Dina.

“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”

“Lantas?”

“Tidak apa-apa. Itu akan membuat aku lebih senang sedikit.”

“Kau anak desa yang sentimental!”

“Biar!”

Baik cerpen Kayam maupun cerpen Dina, terlihat usaha sang pengarang untuk menghindar dari kecenderungan kisah sentimentalisme dengan membubuhkan kata sentimentili itu pada teks cerita. Selain itu, kedua cerpen ini sama-sama memainkan narasi dengan rima bunyi dan dialog yang bersahut-sahutan. Penulisan nama juga begitu dekat. Dalam cerpen Kayam, nama martini—nama sebuah minuman atau jus—“berubah” menjadi nama tokoh Maraini dalam cerpen Dina.

Dalam cerpen Dina, ada makanan yang “berjenis kelamin”—yang semula digambarkan sebagai sosok perempuan rupawan—berubah menjadi sebuah makanan “lobster” jantan atau Dad (makanan) menjadi Dad (nama orang). Dalam cerpen Kayam, sebuah negara bernama Eskimo—tentang adat istiadat yang menyuguhkan istri kepada tamu—sama dengan realitas negara Meksiko dalam cerpen Dina.

Begitu juga tentang kisah percintaan antara si Aku dan Nicole dalam cerpen Dina, begitu berdekatan dengan kisah cinta si Aku dengan Marno dalam cerpen Kayam. Kedua kisah percintaan—keduanya sama sekali tidak bicara tentang “tomo maindo” atau bersetubuh dan Cu atau vagina--di kereta bawah tanah (Dina) dan di apartemen (Kayam), hanyalah setting pelengkap yang tak begitu dominan. Istilah-istilah Portugis yang dihadirkan dalam cerpen Dina (seperti terlihat dari judul) atau Spanyol, Timor Leste dan Indonesia, hanya bingkai atau polesan sekilas. Selebihnya, kisah tentang kehidupan orang-orang Manhattan berikut realitas politik di dalamnya.

Baik cerpen Dina maupun Kayam, keduanya cukup unik. Terutama ketika di penghujung kisah, sang narator menyuguhkan kepada kita tentang pentingnya “menjelaskan” karya ini. Keduanya bagai petualang yang melahirkan banyak inspirasi –juga ilusi dan mimpi-mimpi-- yang mengagumkan. Pada cerpen Dina Octaviani dengan sangat terang-benderang sang narator mengatakan, “Aduh, maaf kalau cerita ini jadi kelihatan berantakan, ngawur, tidak waras dan mengada-ada, bahkan seperti sebuah mimpi saja. Ya, como un sueño. Habis, aku stres. Pada cerpen Umar Kayam disebutkan, “ di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.”.

Apa maksud kedua kalimat terakhir ini? Apakah sang narator hendak mengatakan bahwa cerpen ini hanya ilusi atau kejadian-kejadian dalam mimpi—seperti dalam film-film Hollywood—atau…? Semua kemungkinan bisa saja ditafsirkan. Tapi ada hal-hal—yang meski sangat terang-benderang--yang tak mampu keduanya hindari adalah, seni bercerita memang menjadi taruhan tersendiri bagi pengarang untuk melahirkan cerpen realisme yang tak sekedar berumit-rumit dengan metafor atau estetika yang berlebihan.

Kembali pada cerpen Dina, tokoh Nicole dan si Aku memang berkali-kali digambarkan sebagai “orang Timur” yang terpana dan terjebak di gedung-gedung pencakar langit yang menimbulkan kesangsian yang luar biasa. Salju-salju di Manhattan yang begitu indah justru menyiksa. Orang-orang yang menonton adegan-adegan penuh aksi sementara keduanya hanya termangu. Sebagai orang yang dibesarkan dengan tata karma agama dan adat istiadat Timur, si Aku tak mampu bertahan lama dalam cengkraman budaya pop kota Manhattan.

Sang narator juga menyuguhkan kepada kita tentang persepsi “Barat” terhadap “Timur”. Pada suatu hari, ketika si Aku dan Nicole sedang menyantap makanan, sebuah koran dengan sebuah headline yang kacau-balau tentang Indonesia bergeletakan di meja-meja restoran. Si Aku duduk di sudut restoran sendirian, sementara orang-orang berkerumun dan berbicara tentang Indonesia dengan berapi-api sambil tangan menunjuk-nunjuk ke arah halaman koran itu.

Kemudian si Aku menangkap pembicaraan orang-orang tersebut seraya berkata, “Aku penasaran dan dengan malas mengambil juga satu koran. Ada berita yang menjatuhkan negaraku habis-habisan. Di negeri orang, manusia sentimentil dan emosional sepertiku pun bisa menjadi begitu nasionalis dan terpukul”.

Di Manhattan, setiap orang Barat menemukan berita tentang Indonesia di koran atau media massa, mereka tak mampu menyembunyikan wajah tak bersahabat terhadap Indonesia. Di Manhattan pula, manusia sentimentil dan emosional (seperti watak si Aku), yang semula kurang begitu memikirkan masalah “Indonesia Tanah Airku”, tiba-tiba berubah menjadi seorang nasionalis yang memeluk teguh negara-bangsa-nya.

Ada nada ironis(me) yang tampil gamblang dalam cerpen ini. Meski sang narator mencoba mengalihkan persoalan ini ke masalah yang lain, seraya mencoba menghindar dari keterpukauan terhadap kebudayaan Manhattan, namun diam-diam Nicole menaruh rasa kagum dan simpati pada kota ini. Ia pun tak mampu menyembunyikan kesenangannya saat mengikuti perkemahan di musim panas, meski tubuhnya sering sakit-sakitan.

Pertengkaran tak bisa dihindarkan, dan singkat cerita, kedua anak manusia ini harus berpisah. Namun mengurus perceraian dan segala tetek-bengeknya di kota Manhattan tak semulus yang mereka duga. Terlebih untuk pasangan Katolik seperti mereka, mengurus perceraian begitu menyiksa. Di sini si Aku lag-lagi menampilkan wajah ‘Timur”-nya dan mengingat kembali sikap orang-orang di restoran yang dulu menjelek-jelekkan negaranya. Ia menangkap arti lirikan orang-orang di restoran setelah membaca koran suatu Sabtu itu. Ia juga tahu kenapa temannya dan seorang lelaki tegap memperdengarkan kata “komo en suenyo”—ejekan dengan memplesetkan kata como un sueño --sambil memandang kepadanya. Ia juga tak ingin menyusahkan temannya dan karena itu ia harus segera pulang ke Bandung.

Dari sini, Nicole harus tinggal seorang diri di Manhattan sementara si Aku harus segera angkat kaki dari negeri yang tidak menaruh simpati pada negaranya. Cerita selanjutnya hanya menghadirkan kisah surat-menyurat antara si Aku yang sudah berada di Jakarta (menginap di Hotel Indonesia) dengan Nicole yang masih tinggal di Manhattan. Dari surat-menyurat itu sang narator menghadirkan kisah kegagalan si Aku di Manhattan seraya ingin hidup seperti dulu lagi: menulis dan mengarang cerita tentang sebuah “bangsa yang sudah tak punya muka” dan perang antara Jerman (Nazi) dengan Yahudi, dengan “ambisi setinggi langit untuk meraih nobel sastra”.

Mengapa kisah perang membuatnya ingin menulis prosa? Sang narator sadar atau tidak tengah menegaskan kembali apa yang dulu pernah dikatakan Milan Kundera. Di zaman ini, hanya negeri yang pernah luka oleh sengitnya perang saja, yang bisa melahirkan karya berwibawa seperti lukisan Guernica. Alih-alih bersikap kritis, sang narator justru tengah menegaskan kembali apa yang pernah dipertanyakan secara kritis oleh Goenawan Mohamad: bisakah kita katakan bahwa kita, juga sastra, membutuhkan perang dan kejahatan dan kekejaman untuk dicatat dan dapat tempat?

***
Cerpen Pementasan Terakhir nyaris merangkum seluruh perasaan si aku naratif dalam kumpulan cerita pendek Dina. Dilihat dari temanya, cerpen ini agak dekat dengan cerpen semibiografis, di mana pengarang mengisahkan pengalaman aku lirik yang menulis puisi dan menceburkan diri di dunia seni pertunjukan (sandiwara dan teater). Namun pada puisi-lah aku lirik merasa terpuaskan. Itulah sesuatu yang ketika ia tak kuasa menolak kekalahan di luar dirinya, ia membalasnya dengan puisi. Baginya, puisi adalah kemenangannya yang terakhir setelah sandiwara dan teater.

Di sini tema kesepian, angkara, dan kegelisahan tampil lewat kisah kehidupan perempuan yang berkali-kali mengalami nasib tragis. Dalam cerpen Biografi 1510, pengarang kembali menampilkan cerita seorang perempuan yang hamil di luar nikah hingga kemudian melahirkan seorang anak yang tak pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Di kamar Hotel Sabrosa 1540, sejarah hidupnya terukir dengan amat tragis. Ia diperkosa oleh seorang lelaki yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri.

Tema incest – hubungan seksual antara orang yang masih memiliki hubungan darah—ternyata memancang ingatan kelam bagi masa depan seorang gadis seperti dalam cerita ini. Betapa nyeri proses yang berlaku bagi seorang gadis tak berdosa dalam menanggung beban penderitaan bertahun-tahun. Tema incest terung lagi dalam cerpen Setangkai Mawar Dari Emily. Cerpen ini berkisah tentang perjalanan seorang perempuan yang kehilangan mimpi-mimpi indahnya dan tak lagi memiliki nyali untuk berhadapan dengan dunia luar (publik). Dalam cerpen ini, pengarang bertubi-tubi menggugat kita—kaum maskulin—dan mereka yang dengan lancang menanamkan kekuasaan hanya pada kaum laki-laki. Tuan Dickinson adalah lelaki berwibawa, tuan tanah yang kaya, memiliki empat istri, dan dibangga-banggakan oleh orang-orang kampungnya. Ia meninggal dunia ketika Emily berusia dua puluh tiga tahun.

Emily adalah putri Tuan Dickinson yang mengalami penderitaan yang tragis lantaran hamil di luar nikah. Sejak ia melakukan hubungan seks ia mengalami gangguan jiwa yang berat, yang ayahnya—juga orang-orang di kampungnya -- tak pernah memahaminya. Tema incest terkuak ketika sang ayah yang telah menanamkan benih di rahimnya. Pengarang nampaknya ingin menggugat sang ayah lewat pertanyaan sederhana: kenapa kautancapkan jakar di rahimku bila kemudian engkau pergi meninggalkan aku seorang diri tanpa kepastian? Kenapa setelah benih kau sebarkan ke seluruh sendi-sendi tulangku tapi tak pernah engkau sirami?

Tema perempuan dalam cerpen-cerpen Dina selalu diperlakukan tidak manusiawi. Mitos keluarga yang pengasih dan penyayang dalam cerpen-cerpennya digugat habis-habisan lewat dualitas kehidupan modern-tradisional, lelaki-perempuan, surga-neraka, kehidupan-kematian, dan seterusnya. Kalimat-kalimatnya terasa mengalir lancar dalam keheningan—seperti lirik puisi-puisinya—seraya mencoba memainkan perasaan dan getaran jiwa seorang perempuan.

Sampai di sini, tema incest dalam cerpen-cerpen Dina cukup berhasil menyuguhkan konflik yang dialami tokoh-tokoh berjenis kelamin perempuan. Suasana hati dan pergulatan jiwa yang begitu menghunjam di kedalaman, nyaris mendekati perasaan putus asa yang begitu menyiksa para puan. Entah disebabkan tradisi patriarkhi atau disebabkan langsung oleh laki-laki.

Mahbub


Pada suatu hari saya mengikuti acara program penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggera) untuk genre esai. Agus R Sarjono—salah satu pembimbing program penulisan itu—mengajukan pertanyaan kepada kelompok kami: siapa esais terbaik menurut anda?

Pintarnya, Agus menggilir kami untuk menjawab satu per satu. Tentu saja ada yang menjagokan Sutan Takdir Alisjahbana, Goenawan Mohamad, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, dan Sutardji Calzoum Bachri (yang terakhir ini adalah jago saya yang saya lontarkan ke forum dengan sejumlah alasan, terutama karena buku esainya, Isyarat, mempesona saya).

Rupanya, tak satu orang pun yang kami sebut yang juga merupakan esais terbaik Agus R Sarjono. Tak disangka-sangka, Agus malah menyebut nama Mahbub Djunaidi sebagai esais jagoannya. Alasannya karena esai-esai Mahbub jernih, mengalir dan jenaka. Tak satu pun esai Mahbub yang terkesan intelektual atau pintar.

Pak Mahbub sebetulnya lebih dikenal sebagai kolumnis karena banyak menulis kolom yang sangat bagus di Tempo dan di Kompas. Kolom-kolomnya mampu menyentak dan membuat orang bangun dari duduk. Dia memang kolumnis tangguh dan sangat brilian, dan mungkin sampai sekarang belum ada tandingannya. Goenawan Mohamad sendiri mengakui ini dalam pengantar buku Mahbub, Kolom Demi Kolom (1986). Goenawan menulis: “Saya punya kecemburuan pada Mahbub. Bagaimana dia bisa menulis hingga orang tertawa, padahal isinya cukup serius? Kelebihan Mahbub dalam kolom-kolomnya, yang belum tertandingi siapa pun, ialah bahwa ia bisa mengatasi mempergunakan bahasa Indonesia dengan kecakapan seorang mime yang setingkat Marcel Marceau. Kata-kata, kalimat-kalimat, ia gerakkan dalam berbagai ‘perumpamaan’ yang tidak membosankan karena selalu tak terduga”.

Persoalan-persoalan yang berat ditangan Mahbub menjadi enteng tapi tak kehilangan kesegaran dan membuat kita ngakak. Bahasa yang dipakai Mahbub dalam menulis kolom memang bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi malah menerabas rambu-rambu yang ditetapkan oleh Pusat Bahasa itu.

Mahbub berusaha menerobos bahasa Indonesia dengan menghadirkan bahasa khas kolom yang pintar-jenaka. Kolom-kolomnya berhasil membebaskan bahasa Indonesia dari proses birokratisasi. Ia bahkan enggan terbelenggu oleh aturan baku yang kaku itu. Maka ia pun dengan santai bercanda dan berkata-kata tak ubahnya orang sedang ngobrol. Cetusan-cetusan perasaan melalui gelak tersembunyi membuat kolom-kolomnya dianggap paling depan. Goenawan Mohamad bahkan merasa cemburu dengan Mahbub karena dia bisa menulis hingga orang tertawa. Sampai kini kolom-kolom Mahbub belum tertandingi oleh siapa pun.


Tentu saja kami terheran, termasuk saya. Sebab hanya sedikit esai Mahbub yang pernah saya baca. Dari yang sedikit itu, kalau tidak salah kolom-kolomnya di rubrik Asal-Usul harian Kompas, memang ada yang “menggigit”. Gaya esai Mahbub jelas bukan “esai sekolahan” atau “esai akademik”. Esai-esainya mengandung gelak tersembunyi, enak dibaca, jernih dan sebagian besar menampilkan hal-hal yang sederhana.

Tentu saja saya bisa mengatakan penilaian semacam itu setelah beberapa hari kemudian saya mulai mengumpulkan esai-esai tokoh yang jadi pavorit esais Agus R Sarjono itu. Tapi penilaian saya tak sampai di situ. Saya bahkan mencoba untuk membandingkan esai-esai Mahbub dengan kolom-kolom atau esai-esai dari tokoh yang lain.

***

Di Indonesia, ada tiga kiai yang kalau menulis bikin iri seribu penulis yang bukan kiai. Ketiganya adalah: Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Najib dan Abdurrahman Wahid. Kolom-kolom ketiganya terasa segar karena selera humor yang cerdas. Humor atau lelucon di tangan ketiga kiai ini menjadi senjata ampuh untuk ”menyentil” penguasa yang kaku dan pelit senyum. Berhadapan dengan lelucon-lelucon ketiga esais mengagumkan itu, membuat saya tersentuh dan tak bisa berpaling.

Abdurrahamn Wahid alias Gus Dur, mungkin paling bernasib baik dibandingkan dengan dua nama lainnya. Ia pernah jadi presiden dan buah karyanya dibicarakan oleh media massa. Ketika ia telah tiada, ribuan orang merasa kehilangan, termasuk para pekerja teater dan sastra. Padahal kalau dipikir-pikir sumbangan Gus Dur terhadap seni dan sastra tidak lebih hebat dari sumbangan Rendra dan Asrul Sani.

Buku himpunan kolom Gus Dur di majalah Tempo yang kemudian dibukukan dengan judul Melawan Melalui Lelucon (Tempo Print, Jakarta) atau Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, Yogyakarta), menunjukkan kalau Gus Dur seorang kolumnis yang berbahaya. Bahkan buku versi Tempo itu diulas dalam edisi khusus kebangkitan nasional majalah Tempo. Dalam edisi khusus 100 tahun kebangkitan nasional itu, tak ditemukan nama Mahbub Djunaidi dan Emha Ainun Najib, apalagi ulasan karya kedua kolumnis Indonesia yang mengagumkan itu. Padahal, di samping sangat produktif menghasilkan tulisan, Emha dan Mahbub juga cukup produktif mengisi rubrik kolom majalah Tempo. Keduanya adalah kolumnis kreatif dan imajinatif yang pernah ”berurusan” dengan penguasa Orde Baru.

Sudah bisa diduga mengapa nama Mahbub Djunaidi dan Emha Ainun Najib kerap kali luput dalam perbincangan di dunia penulisan esai atau kolom, dan mengapa nama Abdurrahman Wahid begitu menonjol sebagai kolumnis. Konon, kolom-kolom Gus Dur di majalah Tempo tidak pernah diedit, dan langsung dimuat apa adanya. Gus Dur memang kolumnis yang hebat, dan kolom-kolomnya sering tak memberi jawaban melainkan pertanyaan. Sudah watak kolom dan esai jika enggan mengatasi permasalahan dan membuat permasalahan baru dengan cara menggugat lewat pertanyaan. Tak heran jika Gus Dur seing menggampangkan persoalan karena sudah merasa dirinya telah melakukan transformasi gagasan dengan baik. Padahal ciri seorang berwawasan transformatif adalah responnya yang kuat dalam tindakan, bukan hanya lontaran kata-kata.

Kolom-kolom Gus Dur tentang sepak bola hanya bisa ditandingi oleh kolom-kolom reflektif Sindhunata. Kolom-kolom humor dan lelucon segar yang ditulis Emha (Slilit Sang Kiai) dan Mahbub (Asal Usul), dianggap bukan karya bermutu, dan karena itu tidak dianggap penting untuk dipelajari dengan suntuk. Sementara karya yang begitu banyak kutipan, dan hampir tidak ada kutipan terhadap kata-kata sendiri, dianggap karya besar dan hebat. Hal ini terulang juga pada Mohamad Sobary yang kolom-kolomnya dianggap “ringan” dan karena itu tidak pernah kita temukan kolomnya dalam jurnal Kalam karena jurnal ini tidak berselera pada kolom tanpa kutipan.

Tapi apakah betul kolom-kolom dan esai-esai ketiga penulis itu mutunya lebih jelek dari Catatan Pinggir Goenawan? Kalau menurut saya, esai-esai Goenawan memang tangguh, tapi masih “berbau” akademis dan minus humor. Bahasa Goenawan yang bergaya dan caranya mengutip itulah yang agaknya yang menyelamatkan esainya sebagai karya ilmiah. Tapi kalau melihat “banjir” kutipan di dalamnya, orang macam Emha dan Sutardji tampak tidak terlalu tertarik.

Kegemaran mengutip sebetulnya punya motif tersembunyi, yaitu ingin dianggap sebagai guru atau diam-diam sedang memposisikan diri sebagai guru. Sutardji pernah mengatakan: esai-esai Wiratmo Soekito banyak kutipan karena memang pada waktu itu banyak yang menganggapnya sebagai guru. Seorang guru mungkin harus menunjukkan kehebatannya kepada murid-muridnya, yaitu dengan cara menunjukkan bacaannya yang luas. Goenawan pun demikian. Diam-diam banyak juga yang memposisikan GM sebagai guru sehingga GM juga harus menunjukkan sosoknya sebagai guru yang banyak membaca karya yang orang lain bahkan belum sempat mendengarnya.

Di Lampung ada kawan saya yang diam-diam juga dianggap guru oleh teman-temannya. Maka kalau ia menulis atau ketika sedang bicara dalam sebuah diskusi, hampir tak pernah tidak mengutip. Bisa saja orang menuduhnya pamer, dan seorang guru memang harus pamer. Tak mungkin seseorang disebut guru kalau bacaannya lebih sedikit dari murid, bukan?

Saya kagum pada ketiga kolumnis kita itu karena tulisan mereka minus kutipan. Mereka lebih banyak bercanda dan menampilkan perbalahan sambil main-main. Ketiga penulis yang sangat saya kagumi itu dengan ringan dan santai bisa menyentil ke sana ke mari, nyaris tanpa beban. Bahasa yang digunakan ketiganya lebih “merakyat” ketimbang esai-esai Goenawan, apalagi esai Nirwan Dewanto. Kata-kata sulit masih sering dipakai dalam esai Goenawan dan Nirwan, mungkin tujuannya untuk menyembunyikan kejelasan, hal-hal konkret, serta motif sebenarnya si penulis. Pilihan kata yang belum banyak digunakan penulis lain, dan prinsip “selalu ingin menghindari satu kata yang sama berulang dalam satu kalimat—bahkan kalau mungkin dalam satu paragraf”—tampaknya membuat esai-esai Goenawan terlampau “canggih”.

Saya teringat sebuah kolom Farid Gaban ketika melihat ada kecenderungan luar biasa sekarang ini untuk memakai bahasa yang makin rumit dan abstrak, ketimbang bahasa sehari-hari yang konkret dan bisa dipahami orang banyak. Alih-alih memakai ”sekolah ditutup”, kita cenderung mengatakan ”kegiatan belajar-mengajar dihentikan”. Kita lebih suka menulis ”infrastruktur transportasi terdegradasi” ketimbang ”jalan dan jembatan rusak”; atau menulis ”stasiun pengisian bahan bakar untuk umum” ketimbang ”pompa bensin”. Kita bahkan makin terbiasa mengatakan orang miskin ”mengkonsumsi” nasi aking, bukannya ”makan”.

Bila memperhatikan tulisan di media massa kita, makin hari makin banyak istilah sulit dan kabur. “Inilah yang kita kenal sebagai jargon”, tulis Gaban: “yakni kata atau istilah yang hanya dipahami kalangan tertentu. Makin banyak tokoh, ilmuwan, dan pejabat publik, termasuk presiden dan para menterinya, pamer jargon. Sebagian mereka menganggap jargon, bisa mendongkrak kualitas pesan mereka. Tapi lebih banyak dari mereka sebenarnya hanya ingin menghindar dari berbicara konkret dan spesifik. Jargon mengkotak-kotakkan orang, mencegah orang saling memahami, dan mencegah birokrat berkoordinasi. Mereka bicara masing-masing dengan bahasa yang hanya dipahami diri sendiri. Jargon juga alat efektif menyembunyikan kebohongan. Tidak transparan. Elitis. Korup”.

Itu sebabnya kita perlu membaca kolom-kolom yang ditulis Mahbub, Emha dan Gus Dur. Sejauh mungkin ketiga pengarang ini menghindari kata-kata sulit yang susah dimengerti tukang becak. Lain halnya dengan saya yang terlampau serius dan makin hari makin tidak bisa bercanda, kalau menulis terasa kering dan terlampau percaya pada pendapat orang ketimbang pendapat sendiri.

Saya suka pada esai-esai yang bisa membuat kita tertawa. Tapi sayang, tiap kali saya berusaha menulis dengan memasukkan humor dan lelucon, ternyata makin tidak lucu. Saya tahu betapa menulis esai dengan menampilkan humor-humor segar ternyata tak mudah. Bagaimana saya berani mengatakan bahwa esai-esai yang mengandung humor itu jelek, sementara saya sendiri tidak bisa menirunya?

Ada teman saya yang kalau nulis juga sangat serius. Baginya, esai-esai serius itu yang menarik. Ia tidak suka pada kolom-kolom Gus Dur, Emha, dan Mahbub, walau pun ia sering iri dengan karangan tiga kolumnis kita ini. Ia lebih suka ”meniru” gaya Ignas atau Goenawan, dan memang cukup banyak yang berusaha meniru gaya bahasa Catatan Pinggir.

Mahbub Djunaidi dikenal sebagai penulis kolom di rubrik Asal Usul, Kompas. Dari sekian nama yang pernah mengisi rubrik ini, kolom-kolom Mahbub termasuk yang paling hebat dan kuat. Ariel Heryanto dan Sobary tidak mampu mengungguli kehebatan kolom-kolom Mahbub. Sementara Emha bukan nama “ecek-ecek” dan kolom-kolomnya terbukti banyak penggemar. Buku Slilit Sang Kiai sudah masuk cetakan ketiga belas, belum lagi buku Secangkir Kopi Jon Pakir, Dari Pojok Sejarah, dan Foklore Madura.

Ketiga kolumnis itu tidak pernah terus terang menyebut dirinya sebagai kolumnis. Orang lain-lah yang justru menobatkan ketiganya sebagai kolumnis. Kalau ditanya kepada ketiga orang itu, apa sih kolumnis itu, mungkin mereka akan gelagapan. Profesi "kolumnis" sampai sekarang belum dianggap sebagai pekerjaan. Tidak ada orang yang menulis di KTP-nya bekerja sebagai kolumnis, kecuali mungkin Mahbub Djunaidi.

Kalau ada yang bertanya pada Mahbub Djunaidi tentang hubungan kolumnis dengan komunis, atau perbedaan kolumnis dan komunis, ia akan menjawab: tidak ada hubungan, dan keduanya beda. Komunis itu sudah musnah sedangkan kolumnis itu masih ada, setidaknya sampai hari ini. Perkara besok akan lenyap juga, kita lihat saja nanti.















Rushdie



Di sebuah kota yang sedih, hidup seorang sobat muda bernama Harun. Bapaknya, Rasyid Khalifa, dikenal sebagai Raja Dongeng paling masyhur di sentero Alifbay. Sementara ibunya Soraya, dikenal sebagai perempuan yang pintar bernyanyi.

Rasyid Khalifa dikenal juga sebagai Rasyid Sang Samudera Khayal, terutama bagi para penggemar dongeng-dongeng masyhurnya. Namun bagi musuhnya, yang alergi terhadap dongeng, Rasyid Khalifa adalah Raja Omong Kosong. Apa yang didongengkannya hanya omong kosong. Tak ada kebenaran, semuanya khayalan kosong yang membuai dan menghanytukan. Mungkin juga sebuah kemewahan terselubung. Kalau bukan sebuah laku-borjuis.

Keluarga kecil itu tinggal di sebuah lantai bawah rumah sederhana yang berdinding merah muda dan berjendela warna hijau limau. Sementara di lantai atas tinggal pak Sengupta dan istrinya, Oneeta. Keduanya tak memiliki anak. Dan sang istri begitu perhatian pada si Harun. Tapi pak Sengupta tak peduli pada Harun. Namun ia selalu bercakap-cakap dengan Soraya, ibunya Harun. Dan Harun merasa kurang suka lantaran lelaki ini begitu kritis terhadap ayahnya.

Pernah, pada suatu hari pak Sengupta menjelek-jelekkan si Raja Omong Kosong kepada Soraya, dan Harun mendengar dengan jelas kata-kata penuh kebencian yang meluncur dari mulut lelaki itu. “Sumimu itu, kepalanya terpaku di udara dan kakinya melayang di atas bumi. Apa gunanya dongeng-dongeng itu? Hidup bukanlah sebuah buku cerita atau toko lelucon. Semua kenangan ini akan berujung tidak baik. Apalah gunanya dongeng-dongeng yang tak mungkin terjadi di alam nyata?”

Singkat cerita, hasutan Sengupta berhasil. Soraya—ibu Harun dan istri Rasyid Khalifa—minggat bersama Sengupta dan meninggalkan sepucuk surat penuh kebencian pada Raja Omong Kosong yang sedang sedih itu. Begini bunyi surat Sorya untuk Rasyid Khalifa: “Kau hanya tertarik pada kesenangan, seorang lelaki yang bermartabat mestinya tahu bahwa hidup adalah urusan serius. Otakmu penuh dengan dongengan, sehingga tak ada lagi tempat untuk kenyataan. Pak Sengupta tak punya imajinasi sama sekali. Dan itu baik buatku”.

Tetes air hujan menitik di atas surat itu, jatuh bergulir dari rambut Harun yang kebetulan ada di situ. “Apa yang musti kulakukan, Nak”, Rasyid berkata mengiba di hadapan anaknya. “Mendongeng adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa kulakukan”, kata si pendongeng itu.

Tapi Harun bukannya menenangkan hati ayahnya. Ia malah berteriak dan mengucapkan kata-kata yang pernah diucapkan Sengupta kepada ibunya: “Apa arti semua ini? Apakah gunanya dongeng-dongeng yang tak mungkin terjadi di alam nyata?”

Bagaimana pun, Harun mesti tinggal bersama ayahnya. Sebagai seorang yang dikenal sebagai Raja Dongeng, ayahnya mulai banyak diundang untuk mendongeng dalam acara kampanye politik. Tapi peristiwa kelabu itu, serta ucapan putra tercintanya, telah mempengaruhi jalan pikiran lelaki itu. Pernah pada suatu hari ia diundang untuk mendongeng dalam sebuah kampanye politik di kota G, tapi ternyata ia cuma bisa mengucapkan kata ahk, ahh, ahk, seperti gagak tolol.

Tentu saja ia dianggap telah melecehkan, bahkan dituduh telah berkomplot dengan lawan politik mereka. Dalam situasi semacam ini, Harun langsung merasa bersalah, dan ucapannya itu selalu membuatnya merasa sedih. “Aku salah lagi”, batin Harun. “Aku yang memulai semua ini. Apakah gunanya dongeng-dongeng yang tak mungkin terjadi di alam nyata?” Aku menanyakan pertanyaan itu dan membuat ayahku patah hati”.

Harun Khalifa bersama Rasyid Khalifa hidup dari satu tempat ke tempat lain, dari pegunungan M, kota G ke kota K, dari Danau Membosankan, rembulan bernama Kahani—sebuah negeri asal dongeng—hingga Kisah Mata-Mata, Pendekar Bayangan, Kapal Kelam, dan Ulah Si Anjing Laut. Bagaikan wilayah yang berkelok dan bercecabang, tanpa ujung dan jalan pulang: mirip sebuah peradaban labirin dalam dongeng-dongeng tua.

Di sana mereka berjumpa dengan berbagai legenda, mengarungi lautan dongeng dan politik yang fantastis. Si empunya cerita, Salman Rushdie, memang pendongeng ulung yang berbahaya. Novel Harun dan Lautan Dongeng ini sungguh mengagumkan, mistis dan enigmatis. Dalam keasyikan berdongeng, kita di bawa menjelajah dunia asing yang mengasikkan, indah dan lucu. Sampai-sampai kita lupa pada riwayat Soraya yang dibawa Sengupta di awal cerita.

Seperti mengarungi dunia mimpi dan samudera dongeng, tau-tahu kita terperanjat bangun diakhir kisah ketika Harun dan ayahnya kembali ke rumah asalnya. Dan di sana telah menunggu Soraya, ibu Harun, dengan linangan air mata yang muncul dari rasa bersalah. Mereka bertemu kembali. Hidup serumah kembali.

Sebuah dongeng menggetarkan, haru dan di sana sini muncul gelak tersembunyi. Kepiawaian Rushdie mendongeng mengingatkan saya pada kisah-kisah fantastis Jorges Luis Borges. Bahkan buku Harun dan Lautan Dongeng yang mendebarkan pesona mimpi dan dongeng mistik ini pantas dibandingkan dengan Labirin Impian Borges.

Rushdie seakan mengobat rasa kecewa kita dengan dongeng modern yang dahsyat ini. Ya, memang begitu seharusnya. Rushdie memang manusia yang bisa salah, lalai dan ceroboh. Tapi tidak semua karyanya menyandang title itu, dan tidak seharusnya kita menghukum semua buah penanya. Bagaimana pun, Rushdie novelis besar yang mesti juga kita catat dan dapat tempat.







































Adonis



Kata-kata seperti penanggalan yang lama, pelucutan otoritas teks, pembaruan tafsir, perubahan kiblat, pembongkaran, begitu menakutkan bagi mayoritas orang Arab-muslim maupun bagi orang Islam di Indonesia. Pembacaan yang dominan terhadap teks sakral telah mengubah teks menjadi medan ideologis yang menuntut upaya mendapatkan legitimasi. Pembacaan idelogis-politis tak jarang membuat teks melulu jadi sarana untuk menggunduli dan mendominasi apa yang berbeda.

Berbagai proyek mercusuar pemikiran dan kreativitas yang menyimpang dari kebiasaan mayoritas menjadi tempat menyemai perangai buruk sangka dan kesumat purba. Penyair bolehlah diibaratkan sebuah foto dan karyanya adalah lisnya dan para pembaca ibarat kolektor yang menyimpannya atau bahkan membuangnya. Pertanggungjawaban penyair bukan pada fotonya, atau kreativitasnya, melainkan yang di luarnya, pada bingkainya: entah bingkai itu bernama politik, ekonomi, maupun sosial.

Di sebarang pembacaan yang berpusat pada teks, muncul pula para pioner dengan menohok kaum fundamentalis sebagai biang keladi disharmoni yang memuncak akhir-akhir ini. Liberalisme seakan-akan berada dalam wilayah yang selalu membawa misi kesejukan, kedamaian, dan kasih. Padahal orang yang menganut pandangan liberalisme pun masih sering mengedepankan waham, mengedepankan intoleransi, konflik, permusuhan, seperti juga dalam pandangan sejarah Eropa dan Barat abad lalu, sebagaimana dilansir Karen Amstrong dalam Menerobos Kegelapan.

Liberalisme Islam atau Islam liberal memang tak mengklaim tafsirnya atas teks sebagai yang paling sahih dan harus diikuti, namun bahasa dan pasifisme yang sering dibalut lirikisme merupakan suatu sentilan yang terkadang ikut menyulut kejengkelan. Orang lupa bahwa dunia punya wajah si kembar siamnya sendiri. Siapa pun bisa salah sangka dalam menabarkan teks, karena proses pembacaan selalu berada dalam bayangan salah sangka + salah baca.

Sebagai cermin pewacanaan antara pemikiran keislaman dan kreativitas di Indonesia, yang tampak mulai kehilangan harkat transformatifnya oleh polemik fundamentalisme-liberalisme di satu sisi, dan saling-sikut antara kemapanan dan perubahan di sisi lain, saya menyuguhkan bingkai pembacaan terhadap sejarah pemikiran kebudayaan kontemporer melalui penulusuran dua proyek pemikiran dan kreativitas Arab-muslim yang masih terus berlangsung hingga kini. Tujuannya bukan sekadar mencari inspirasi saja lagi, terlebih bukan soal merancang kegenitan dalam negeri sendiri lagi, tapi ajakan menuliskan pigura pengalaman di bidang keativitas keislaman dan keindonesiaan yang lain dari model teologi pembaruan yang selama ini kita rayakan sebagai poros Islam Melayu itu lagi.

Adonis adalah sisi berseberangan dengan Hassan Hanafi. Planolog pemikiran Arab-Islam mutakhir dengan tiga proyek penelitian seumur hidup ini, seorang “advokat Islam” yang mencetuskan ide oksidentalisme yang sampai kini tampaknya tak banyak pengikut. Tiga proyeknya sering disebutnya proyek al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaruan): yaitu Min al-‘Aqidah ila al-Tsahrah: Muhawalah li I’adah ‘Ulum Bina Ilm Ushul al-Din (Dari Teologi ke Revolusi: Upaya Rekonstruksi terhadap Ilmu Ushuluddin), Min al-Naql ila al-Ibda: Muhawalah li I’adah Bina ‘Ulum al-Hikmah (Dari Transfrensi ke Inovasi: Upaya Rekonstruksi terhadap Ilmu Hikmah) dan Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (Pengantar Menuju Oksidentalisme).

Hassan Hanafi dengan gigih merancang ulang bangunan pemikiran Arab-Islam dan pernah mengatakan bahwa pilihan bangsa Arab untuk membangun hubungan karib dengan Iran jauh lebih strategis ketimbang terus-terusan mencari titik-temu Palestina-Yahudi. Lewat proyek tradisi dan pembaruan—saya lebih suka menggunakan istilah transformasi ketimbang pembaruan karena nuansa proyek pemikiran Hassan Hanafi lebih tepat disebut transformatif—hasil perkawinan Arab-Iran, ia melantangkan gerakan pemikiran Islam yang ingin menjebol hegemoni Barat.

Hassan Hanafi memandang nyinyir apa yang disebut proyek estetik di bawah baju puisi dan sufisme, dan menyuguhkan kokok ayam emperisme dan filafat sebagai subjek-mater pengetahuan Arab-Islam. Dengan proyek tradisi dan transformasi yang menekankan epistemologi dan aksiologi, Hassan Hanafi menabari gerakan pemkiran lewat sayap filsafat sejarah yang sejak Ibn Rusyd nyaris ditinggalkan.

Akar tradisi dan transformasi dilacak kembali melalui keterhubungan filsuf Muslim dengan filsuf Yunani—baik ditinjau dari segi geografis, sejarah maupun peradabannya—melalui gerakan penerjemahan besar-besaran. Akar proyek penelitian yang dilakukan Hassan Hanafi dapat dilacak dalam relasi peradaban Islam dengan peradaban Yunani. Ketika peradaban Islam berstatus sebagai subjek pengkaji, ia mencoba menempatkan peradaban Barat sebagai objek yang dikaji. Hanya dengan ini, bagi Hassan Hanafi, kebebasan akan melahirkan tafsir filsafat dan sains yang baru.

Refleksinya atas masa lalu digambarkan sebagai tirani Barat atas Islam. Ambisinya ingin membangun dialektika yang ilmiah antara Islam dengan Yunani dengan menempatkam kembali Islam sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek yang—sadar atau tidak—bisa menyuburkan tirani Islam terhadap Barat yang benihnya memang sudah tampak di dunia Islam. Hassan Hanafi lebih seorang pemikir yang terobsesi untuk mencapai konstruksi filsafat ketimbang konstruksi puitis.

Dalam karya pemikir Islam terdahulu, kata Hasan Hanafi dalam Oksidentalisme, jejak transformasi dan rekonstruksi mazhab pemikiran Arab-muslim dapat dilacak melalui beberapa fase: pertama, fase transferensi (al-naql). Dalam fase ini diberikan priortitas kepada “kata” sebagai perwujudan keinginan untuk memberikan perhatian kepada bahasa “buku awal”; yaitu bahasa Yunani, serta memberikan perhatian kepada munculnya istilah-istilah inovatif dalam filsafat Islam. Kedua, fase transferensi makna (al-naql al-ma’nawi). Dalam fase ini prioritas diberikan kepada “makna” sebagai manifestasi keinginan untuk memberikan perhatian kepada bahasa serta terjemahan, yaitu bahasa Arab, serta memulai karya filsafat secara tidak langsung.

Ketiga, fase anotasi (al-syarh). Dalam fase ini prioritas diberikan kepada tema atau substansi dan berupaya mengungkapkan entrinya secara langsung dengan sedikit memasukkan redaksi orang lain ke dalam karya baru, serta memberikan perhatian kepada struktur dan pengungkapan lema itu sendiri. Anotasi paling ringan dimulai dengan kutipan kata yang bersifat partikular, lalu dilanjutkan dengan upaya menyusun menara pemikiran baru. Anotasi menengah dimulai dengan konsep-konsep yang dikutip secara maknawi yang ditindaklanjuti dengan upaya pembuatan konsep tanding yang komprehensif dan general.

Keempat, fase peringkasan (talkhish); yakni kajian terhadap suatu tema dengan memfokuskan pada kajian inti lema itu sendiri, tanpa melakukan perdebatan dan pembuktian; ia meminimalisir penyampaian tematik tanpa melakukan penambahan atau pengurangan yang dapat mengakibatkan teks berubah menjadi substansi dan kata berubah menjadi kepala karangan.

Kelima, fase mulai mengarang dalam lingkup ilmu pengetahuan pendatang dengan melakukan presentasi dan penyempurnaan, sehingga kata, makna, dan lema dalam pemikiran Eropa dan Barat dapat dibendung. Tema yang ada dapat dijadikan sebagai entri poin yang independen dengan membawanya pulang, menjadikannya milik kita (Islam) sendiri.

Keenam, fase kritik nalar terhadap ilmu pengetahuan Eropa/Barat dan menjelaskan lokalitas serta keterkaitannya dengan kesejarahan: bahwa pengetahuan Barat/Eropa itu merupakan suatu keadaan khusus dan tidak memiliki universalitas nilai yang memungkinkan ilmu pengetahuan tersebut diwarisi oleh peradaban umat manusia, seperti potensi ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dimiliki Islam. Ketujuh, atau fase terakhir, yaitu fase menolak total ideologi dan ilmu pengetahuan pendatang karena sudah tidak diperlukan lagi. Terhadap pengetahuan sendiri (Islam) yang masih berupa bahan mentah, Hassan Hanafi masih menawarkan interaksi dengan ilmu pengetahuan lain. Dan sikap seperti inilah yang diambil para ahli fiqh dan filsafat terdahulu.

Arkeologi sejarah pemikiran Arab-Islam kontemporer tak bisa dilepaskan dengan Ali Ahmad Said atau lebih dikenal dengan Adonis—gelar yang diberikan Anton Sa’adah berkaitan dengan tiga proyek persatuan Syiria, Irak, dan Libanon. Adonis merancang ulang dengan teliti proyek mercusuar pemikiran dan keativitas Arab-Islam dengan empat jilid buku yang pantas menjadi cerminan bagi diskursus islamic studies di Indonesia: Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam (LKiS, 2007).

Bagi Adonis, kebudayaan Arab sejak dulu hinga kini tampak bergeming dalam alimbubu yang tak berpangkal kecuali berpusar pada subjek yang membayangkan komunitas dan dirinya sendiri sebagai romantisme banal; bukan pemikiran subjek yang merenungkan semesta raya secara kreatif dan eksploratif.

Dunia yang dipersepsi dalam kebudayaan Arab mengalami pegeseran dan mengikuti gerak naik ala Plato, tatkala hijah menjadi strategi pemutusan masa lalu. Namun, hijrahnya orang Arab-Islam tak seperti yang pernah dilukiskan Ali Syariati dalam memandang hijrah Nabi Muhammad dan pengikutnya yang mengubah pandangan yang rigid dan jumud menjadi yang dinamis atau loncatan besar sejarah yang meniupkan ruh perubahan. Keluarnya para penyair Arab dari jazirah dan birai kesukuan, tak sampai menjadi kreatif, tapi hanya melahirkan variasi tematik.

Ketika para pelancong Arab kembali dari petualangan dan perjalanan kafilah, mereka juga tak mengolah panji-panji kebudayaan dengan “kebaruan” struktur dan stilistik, yang memberikan kontribusi bagi munculnya tafsir simbolik dan metaforik di kemudian hari, baik yang dilakukan oleh para ulama tafsir maupun penyair Arab. Identitas Arab tampil dalam gerak kembali ke muasal yang sempat ditinggalkan, bukan menuju loncatan keativitas yang bernas.

Pergeseran watak kebudayaan dan kesusastraan Arab semenjak 14 abad lalu, diparafrasekan dengan stilis oleh Adonis dalam kitab yang semula disertasi ini. Lewat teropong mata pengamat yang terlibat, Adonis menyungsang dilema yang mengungkung penyair Arab-Islam dengan mengevaluasi kembali sejumlah pancangan kenangan yang tertancap bagai lembing dalam memori masa lalu orang Arab.

Dari sini Adonis mengenal watak-watak budaya dan kritik sastra Arab, yang hanya bergerak dalam cahaya murni yang bersifat total dan melulu bersandar pada teks. Dengan bekal pembacaan melekat dan karib, Adonis merekonstruksi kembali kebudayaan Arab sebagai proyek sejarah dalam proses mencari yang menyulut polemik hingga ia terusir dari negeri sendiri hingga “Aku sesat di sini, sesat di sana” tulisnya dalam secaraik puisi yang diterjemahkan dengan apik oleh Goenawan Mohamad. Negeri “di sini” tidak lain adalah negeri Arab, sementara negeri “di sana” adalah Prancis, negeri tempatnya menjadi eksil dalam rasa “cemas dan jadi alum/tak tahu bagaimana tinggal/tak tahu bagaimana pulang”.

Menjadi orang usiran tidaklah membuatnya susut untuk terus memikirkan masa depan Arab, tempat lahir dan derita beberapa Nabi itu. Adonis memetakan empat persoalan yang menyita perhatian para kritikus Arab-Islam mutakhir; mulai dari tegangan hubungan antara yang lama dan yang baru, lalu tumbuhnya bahasa pengucapan puisi yang inovatif, kriteria pengucapan yang berhasil dan yang gagal, budaya estetik dan makna kritik. Lebih jauh Adonis menelusuri kriteria kritik sastra Arab-Islam ke dalam ushul al-khamsat: pembaruan dan peniruan, yang memengaruhi dan yang dipengauhi, puisi dan kewargaan, puisi dan pengetahuan budaya, pengalaman dan eksperimen.

Apa yang dilakukan Adonis sudah bisa diduga. Berlawanan dengan kecenderungan yang menekankan taklid demi mengejar mahabayangan keaslian Islam, terbentuk suatu pilihan sikap individu yang berhadapan secara diametral dengan mayoritas orang Arab-Islam sekaligus reaksi terhadap masa lampau. Apa yang disebut kemurnian, keaslian, kelengkapan, tak akan pernah tergapai di dunia kini hingga datangnya ajal. Kaena itu Adonis menekankan proses pencarian lewat kreativitas sebagai pemaknaan ulang geneologi dan arkeologi sejarah pemikiran Arab-Islam kontemporer.

Berhadapan dengan bahasa padang sahara di sebutir pasir, Adonis mendulang bahasa peradaban yang aneka makna. Mazhab lama terus dipertanyakan dengan merayakan mazhab metafora pemikat baru. Gaya puisi yang lumrah diganti dengan hasil kreasi yang luwes. Formalisme yang beku didekonstruksi dengan menakik informalitas inti keragaman (informality is diversity), dan seterusnya, hingga gairah estetik dan rasa haus puitik seakan menjadi oase di tengah gurun yang gersang.

Adonis membedakan—atau lebih tepat memisahkan—antara ekspresi dengan yang diekspresikan, antara gerak realitas dan kebekuan ruang-waktu; di mana ketiganya berada dalam keterhubungan indeksional dan simbolik yang dinamis. Di sini Adonis nyaris melampaui para resi Arab-Islam yang pernah menaruh perhatian pada tafsir sastra modern sejak mendiang Muhammad Abduh, Thaha Husein, dan Amin al-Khuli.

Puisi kewargaan Arab-Islam diharapkan menjadi nujuman yang memberi ilham yang paling menantang naluri bawah sadar para pencinta budaya kreatif. Tetapi faktanya, puisi-puisi Arab tak mengenal perubahan dan tak ada penyair yang bersusah payah dalam menabarkan budaya estetik. Tak ada kesulitan memparafrasekan hal-ihwal dalam gerak turun realitas, memutar otak sampai menemu takwil, atau diskusi sampai larut malam seperti yang dilakukan para pujangga dan pemikir Persia.

Orang-orang Arab tinggal mengerahkan angan-angan yang sudah ada untuk bicara dalam aktu kini, melantunkan puisi ketika berada di bibir sumur dan tubir padang pasir, ketika menggiring unta, ketika sedang melakukan lawatan. Segala sesuatu tidak mengikat dirinya. Bebas mengeluarkan pandangan tanpa reflektif yang ranum. Namun risiko yang dirasakan sangat jelas: dari generasi ke generasi bebagai puisi Arab nyaris seragam dan berada dalam status quo, hingga kebaruan kreatif sebagai tinanda adanya kebudayaan menjadi tak terpikirkan dan kemapanan mesti terus dipertahankan.

Orang Arab terkenal sebagai penghafal, karena itu semua puisi nyaris sama dari zaman kakek hingga anak-cucunya. Mereka menghafal apa saja yang terkesan dalam hati, mengendap dalam jiwa, melekat dalam dada, dan menggantungkan pada otak kanan dari tiap-tiap generasi. Seperti museum tua yang tetap langgeng walau kematian generasi silih berganti. Sementara orang Persi menurut Adonis, justru sebaliknya; mereka rata-rata ahli retorika. Setiap sepatah kata yang diucapkan bagaikan tirai menyibak mata air padang lamunan di pantai kesadaran, penuh nuansa rekayasa, mengenal sangat dekat bidang liputan, menyendiri dan merenung, pertukar-pikiran dan berdiskusi sampai lawa malam, mempelajari puspa kitab, di mana generasi kedua meniru generasi pertama, generasi ketiga menambah ilmu generasi kedua, dan seterusnya, hingga terbentuklah buah dari gairah yang tak lelah-lelahnya membangun kesadaran kreatif dan nyala oncor pemikiran sampai generasi kini.

Kisah Seribu Satu Malam adalah indeksikal yang mempertemukan Arab dan Persia di poros kekuatan Syi’ah Irak dan Syi’ah Iran. Melalui untaian kisah yang tak putus-putusnya, sambung-menyambung dan membentuk gugusan piramida kata-kata emas, kisah ini terus mengalami perubahan kendati sudah dibukukan. Eksperimentasi adalah kata kunci untuk melahirkan para penyair dinamit bukan dedemit.

Tapi sayang, keanekaan budaya bangsa Arab yang begitu beharga kini berada pada lawa pintu ketika para penyair dan cendikiawannya lebih mengedepankan angan-angan analogistis dengan puisi lamunan yang kosong. Analogi sahidiah Aristotelian dan gerak naik ala Plato serta cinta platonik bermetamorfosa pada budaya Arab dengan klaim-klaim yang rapuh. Kreativitas Abu Nuwas, Abu Tamam dan Jabir bin Hayyan di mata pemikir Arab tidak lebih mengugah dari seloyang martabak Mesir. Senyawa kimiawi implusif dan eksplusif dan harkat kata-kata terperosok di antara ribuan buku fiqh dan syai’at.

Dalam sketsa penyair Arab mutakhir, berpikir secara kias dianggap sebagai cara untuk menguatkan argumen sekaligus cara menyanggah argumen lawan. Sering kali seorang penyair dan kritikus menyanggah argumen lawan perdebatnya tanpa mencoba melihat sungguh-sungguh alasan-alasan yang dikemukakan dan dengan sibuk saling menyalahkan dan menuduh murtad mereka yang tak sehaluan.

Demikian pula di kalangan teolog yang menganut silogisme religius, dibandingkan para pemikir abad pertengahan, kata Hassan Hanafi dalam buku Dari Aqidah ke Revolusi, hampir tak ada kemajuan yang berarti dalam penggunaan silogisme; bahkan klasifikasi yang dilakukan para pemikir terdahulu tentang berbagai macam turunan perbandingan merupakan kemajuan yang jauh lebih menantang ketimbang yang dilakukan teolog dan penyair sekarang.

Masih dalam pengamatan Hassan Hanafi, beberapa segi analogi yang digunakan oleh para pengarang kini, lebih didasarkan atas dugaan dan imajinasi ketimbang dengan nalar dan bukti-bukti. Banyak yang menggunakan silogisme tanpa pernah memahami dan menganggap perumpamaan memiliki otoritas dan validitas yang tak terbantah. Karena itu, Hassan Hanafi menawarkan kembali untuk merebut filsafat dan sains, bukan kebudayaan apalagi ”teologi puisi”.

“Analogi sesuatu yang konkret terhadap yang tidak konkret tidaklah meyakinkan”, tulis Adonis seraya mengutip Jabir bin Hayyan; “kecuali bila kita dapat menangkap semua yang ada dan pengetahuan kita bersifat komprehensif”. Pengetahuan kita jelas tak mungkin menangkap hal-ihwal. Tak seorang pun berhak mengklaim kebenaran atas sesuatu yang tidak konkret. Oleh karena itu, kata Adonis, penyimpangan terhadap kebiasaan umum adalah hal yang mungkin ya dan niscaya.

Di tangan Jabir bin Hayyan, kata Adonis, budaya Arab-Islam masuk ke jantung metode yang bersifat inferensial. Perbandingan estetik yang terjadi kemudian mengerucut dalam tiga mode: ikonik, simbolik dan indeksikal, yang di Barat serta Eropa ditunjukkan oleh para pengagum John Stuart Mill dan kritik Walter Benjamin terhadap ”teologi seni” sebagai tak lebih dari pemujaan ritus seperti tampak dalam kultus ikon dan simbol. Dan Hassan Hanafi membagi tiga tipe keraguan yang mencengkram teolog-penyair Arab-Islam: keraguan pertama diringkus dengan frase “aku tak tahu”, keraguan kedua sebagai “aku dialektis”, dan keraguan ketiga melulu “menurut pendapatku”.

Tiga model ini tak dapat menjadi landasan bagi ”teori pengetahuan” (Hassan Hanafi) tapi berharga bagi ”sufi dan puisi” (Adonis). Dengan tiga model ini saja lagi, kata Adonis yang seakan menyindir Hassan Hanafi, tak berarti bahwa puisi tak bisa menjadi arkeologi sejarah pemikiran, karena puisi bisa jadi pengantar untuk sebuah pencarian yang intens yang dapat melahirkan serbakemungkinan.

“Keraguan merupakan kewajiban pertama atas penyair mukallaf sehingga ia terbebas dari taklid dan ikutan-ikutan secara buta”, tulis Hassan Hanafi. Apa yang ikonik, simbolik dan indeksikal bagi Adonis justru mengandung kemungkinan dan dugaan, bukan pemujaan. Bukan dugaan tapi perkiraan, kata Hassan Hanafi pula, karena yang terakhir ini tingkatnya lebih tinggi dari dugaan; sebab perkiraan akan berubah dari kepercayaan yang semula tidak pasti menjadi keyakinan teguh, dari kebingungan menjadi kecenderungan kuat (tarjih).

Hassan Hanafi masuk dalam pemikiran ontologis-epistemologis Arab-Islam lewat nalar, sementara Adonis masuk ke jantung kegilaan kreativitas ”terlarang” oleh para penjaga moral melalui tafsir puisi yang melampui teks, ruang, dan waktu. Adonis berada pada posisi afirmasi-negasi yang tidak hanya dekat dengan “Ãœbermensch”-nya Nietzsche, seperti yang ditunjukkan Zacky Khairul Umam baru-baru ini, tapi juga dekat dengan tafsir sufistik dan interpretasi puitik yang diwartakan al-Hallaj puluhan abad lampau.

Hassan Hanafi mengkritik sufi, puisi dan silogisme murni dalam membaca teks, karena semua itu lebih mengacu pada kultur ketimbang nilai, lebih sebagai makna untuk mengevaluasi dan menggugah naql (tradisi atau wahyu) dalam ruang dan waktu manusiawi, bukan untuk menyusun aksiologi dan epistemologi yang memberi sumbangan bagi peradaban Arab-Islam. Lebih sebagai gambaran estetis ketimbang gambaran historis, lebih untuk memberikan inspirasi pada kegelisahan hati tanpa memilki bobot untuk membangun mazhab teori-aksi.

Puisi menjadi penting dalam karya Adonis ketika akal terbentur dalam pencarian yang tak konkret, karena apa yang tak kasat adalah ladang tafsir bagi para sufi dan penyair. Mu’tazilah—juga Hassan Hanafi saya kira—salah sangka ketika menekankan melulu akal dan ilmu pengetahuan seraya menjauhkan puisi, karena akal ternyata tidak juga menjamin kedinamisan dan inovasi. Demikian pula apa yang (di)mapan(kan) tidak selalu lunglai dan beku.

Tetapi, baik ilmu pengetahuan maupun puisi tak bisa dinilai yang satu lebih unggul dari yang satunya lagi karena keduanya bisa unjuk prioritas dalam ruang, waktu, dan tempat tertentu. Bila akal merupakan dasar dan kriteria bagi pengetahuan, tandas Adonis, hal ini mengharuskan teks—tradisi dan wahyu—tidak mungkin bertentangan dengannya, tetapi justru harus melengkapi dan menjelaskan. Jika secara lahiriah teks suci bertentangan dengan akal, maka yang lahiriah mesti terus ditakwilkan sehingga dapat meminimalisir kontradiksi dan anomali antara teks yang masih bisa dibawa pulang dalam ruang-waktu dan tempat kekinian, atau dinegasikan dengan melucuti otoritas teks sama sekali. Mana yang akan kita pilih? Mengapa pula kita harus bicara soal pilih-memilih?













Berlin


Bukan soal betapapun sempitnya gerbang,
Betapapun suratan ini didera siksa,
Aku tuan atas nasibku:
Aku nakhoda bagi jiwaku


Persoalan mendasar abad ke-20, selain perang, adalah harapan akan ”Aku tuan atas nasibku/Aku nakhoda bagi jiwaku”. Demikian Octavio Paz melukiskan dalam secarik puisi Peneguhan Diri sebagai nyanyian kebebasan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Seorang penyair menulis puisi karena ia mendambakan kebebasan. Seorang membela puisi tak lain karena ia membela kebebasan.

Tiap-tiap orang memimpikan untuk hidup bebas, menjadi merdeka dan berkehendak menentukan nasib sendiri, bahkan jadi tuan atas dirinya sendiri. Abad ke-20 adalah abad sensor, pengekangan, hingga jutaan manusia kehilangan kebebasannya hanya dalam sekejab.

Tapi kebebasan bukan hal yang datang sendiri. Ia mesti diperjuangkan. Demikian tauladan yang diberikan para filsuf, penyair dan seniman. Tapi ”mengapa begitu sukar untuk bebas?” tanya Mark Sommer dalam bukunya tentang musim semi kedua kota Praha. Dengan kata lain: memperoleh kebebasan tak semudah yang kita bayangkan.

Pertanyaan Sommer itu saya kira relevan diletakkan dalam konteks pembicaraan tentang terjemahan buku Isaiah Berlin: Empat Esai Kebebasan. Kendati keduanya hidup dalam konteks zaman yang berbeda, tapi keduanya mendambakan hidup dalam suasana yang bebas. Ingin menghirup udara merdeka tanpa hambatan dan gangguan. Ingin melihat tegaknya bendera kemerdekaan dan kreativitas tanpa ditakut-takuti oleh cap berdosa dan senjata.

Tak seorang pun betah hidup dalam suasana yang tak merdeka. Kita tentu tak ingin terus-terusan hidup dalam sensor. Kita akan terus menolak setiap pencekalan. Dan tak seorang pun dari kita ingin melihat kesewenang-wenangan dan membiarkan negeri di bawah pemberdelan dan pembakaran terus-menerus. Kita ingin hidup tanpa ketakutan dan teror. Itu mungkin. Itu pasti bisa. Dan kedamaian akan menang. Itu pasti. Itu harga yang harus diperjuangkan tiap-tiap manusia di dunia.

Kita ingin hidup tanpa bahaya yang mengancam di sekitar kita. Bahkan di atas segalanya, kita ingin hidup dengan kebersamaan yang saling menyapa, tanpa dendam dan tanpa waham. Tapi, bisakah kita hidup tanpa itu semua?

Kita ingin bebas, tentunya. Tapi harapan itu tak selalu bisa kita dambakan. Kebebasan yang didamba itu, sayangnya masih remang-remang. Walau kita tahu, apa yang dinamakan kebebasan sama tuanya dengan usia kita sebagai manusia. Sejak Adam dan Hawa diusir dari surga karena melanggar larangan Tuhan, masalah kebebasan telah menjadi bagian dari darah dan daging umat manusia. Adam dan Hawa mungkin tak akan pernah turun ke bumi seandainya Tuhan membiarkan keduanya dengan bebas memetik dan memakan apa saja, termasuk buah Khuldi.

Tak ada kitab suci tanpa kehadiran Adam dan Hawa di dunia. Tapi, janji Tuhan adalah janji, tak seorang pun bisa meramalkan. Hidup di surga nyatanya masih tak bisa melakukan apa saja, masih ada larangan-larangan dan batasan yang mesti ditancapkan. Setiap kebebasan pada akhirnya tak juga mutlak-mutlakan. Ada batas yang dibuat, walau kecil.

Sejak kemunculan filsuf Stoa hingga filsuf pasca-modernisme di hari ini, pengertian kebebasan masih menyita sebagian besar umat manusia: apakah kebebasan itu suatu bawaan dari lahir atau sesuatu yang terberi ketika di bumi. Kebebasan tak hanya menjadi ladang garapan para filsuf dan seniman, tapi para ahli ekonomi dan politik begitu bergairah mendiskusikan satu kata yang tak menemukan muaranya ini. Tiap-tiap kebebasan di mata ahli ekonomi dan politik hanyalah cerminan dari determinisme diri (self determinism); sebuah pandangan yang menyatakan bahwa: watak dan struktur kepribadian manusia, seperti emosi, sikap, perasaan, pilihan, keputusan, dan tindakan-tindakan yang bersumber darinya, memainkan peran penting dari apa yang sedang terjadi. Namun pada dirinya sendiri merupakan dampak dari berbagai sebab, psikis maupun fisik, sosial maupun individual, dalam satu rangkaian yang tak terputus. Pandangan ini dianggap sebagai biang keladi munculnya ”determinisme lembek” atau ”rawa persembunyian”, kata William James.

”Aku adalah tuan bagi diriku sendiri”, tulis Isaiah Berlin. Kalau si aku dihalang-halangani untuk meraih kebebasannya, maka sia aku tak lagi merasa sebagai tuan atas dirinya. Tidak lagi sebagai ratu atas kerajaannya sendiri. Tiap-tiap manusia yang sudah dewasa bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Pilihan-pilihan saya secara kausal telah ditentukan. Karena jika tidak demikian, saya akan menjadi suatu kejadian yang acak dan alternatif-alternatif yang ada akan kehilangan kemungkinan; sama halnya dengan mengatakan sesuatu yang tak bermakna.

Kendati ”saya tidak tertarik untuk mengetahui apakah manusia bebas”, kata Albert Camus dalam Le Myth de Sisyphe (Mite Sisifus), namun ”yang dapat saya rasakan adalah kebebasan saya sendiri”. Bagi Camus, ”hakikat kebebasan dalam dirinya sendiri” tidak mempunyai arti. Mengetahui apakah manusia bebas mempersyaratkan bahwa diketahui juga apakah ia bisa mempunyai majikan. Kebebasan absurd ini timbul karena pengertian yang memungkinkan masalah kebebasan itu sendiri sekaligus memperoleh seluruh makna darinya. ”Konsepsi kebebasan yang dapat saya miliki hanyalah kebebasan narapidana atau individu modern di dalam negara”, tulis Camus. Dan ”satu-satunya kebebasan yang saya ketahui adalah kebebasan berpikir dan berbuat”.

Seseorang dianggap menjalankan titah kebebasannya jika ia dapat melakukan apa yang ia inginkan dan memungkinkan memilih salah satu di antara dua jenis pikiran dan tindakan yang akan ia ambil. Atau, semua perilaku manusia adalah bebas ditentukan, tergantung dari sudut mana orang memandangnya. Isaiah Berlin dalam Empat Esai Kebebasan meletakkan prinsip ”bebas untuk memilih dan tidak untuk ditentukan pilihannya” sebagai satu ihwal yang tak bisa disingkirkan dalam apa yang menjadikan manusia kita sebagai manusia.

Berlin menekankan makna kebebasan sebagai ”tidakadanya belenggu, pemenjaraan, perbudakan oleh orang lain”. Saya ingin mengutip Camus kembali: Kebebasan ”tak mungkin bisa ditemukan di kamp konsentrasi atau pada orang-orang tertindas di daerah jajahan atau dalam kemiskinan kaum pekerja”. Sebab, menurut Camus, setiap kebebasan jauh lebih kompleks dari hanya sekadar tak adanya belenggu dan penindasan. ”Kekuatan kebebasa tidak dapat menyama-ratakan anak-anak korban dengan algojo-algojo”, tulisnya dalam buku Krisis Kebebasan. Karena tiap-tiap kebebasan bukanlah hadiah yang diberikan oleh negara atau pemimpin, tetapi hak milik yang harus diperjuangkan, direbut sepanjang hari oleh setiap individu. Dengan kebebasan, dengan keinginan untuk merdeka, berarti berusaha untuk menghilangkan berbagai rintangan. Berusaha memperoleh kebebasan personal, kata Berlin, berarti berusaha mencegah campur tangan, pengisapan, penindasan oleh orang-orang yang gemar melakukan semua itu.

Seseorang yang ingin bebas menjauhkan diri dari dominasi dan hegemoni. Setiap manusia pasti mati, demikianlah takdirnya, kata Camus. Namun janganlah kita mati karena melawan. Dan kalau pun semuanya harus punah, janganlah kita bertindak sedemikian rupa sehingga tampaknya adil. Kebebasan punya krisis. Krisis dalam kebebasan. Camus bicara dalam konteks kekejian manusia dalam perang dengan menengok kesadaran manusia berikut kebebasannya, dengan bahasa yang jernih, nyaris tak terbayangkan jika sastrawan ini begitu arif.

Dalam salah satu naskah pidatonya yang stilis, yang ditulis untuk menghormati Eduardo Santos—redaksi El Tiempo—yang diusir dari Kolombia oleh penguasa saat itu, Camus mengungkai pesan tentang hakikat kebebasan. Menjadi manusia bebas, baginya, tidaklah mudah, semudah anggapan kebanyakan orang. Sesungguhnya, satu-satunya orang yang mengangap hal itu mudah, justru adalah mereka yang menyangkal kebebasan itu sendiri. Kebebasan sering ditampik bukan karena hak-hak istimewanya, seperti yang banyak diduga orang, melainkan karena kewajiban-kewajibannya yang melelahkan.

Sebaliknya, mereka yang tugas dan minatnya adalah menjamin segala hak dan kewajiban kebebasan, tahu bahwa pentingnya ikhtiar dan kewaspadaan tanpa henti. Dalam ikhtiar dan kewaspadaan, ada semacam kebanggaan, juga kerendahan hati. Kebabasan memiliki banyak segi, yang tak semuanya layak jadi teladan. Mereka yang bersorak gembira ketika kebebasan menunjang segenap keinginan mereka, kemudian meneriakkan sensor saat terancam, tak patut dicontoh. Mereka yang menggunakan kebebasan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, adalah seperti biji-biji bernas di bawah tumpukan salju yang menjadi perbincangan orang orang besar. Kelak, jika badai durjana telah berlalu, dunia akan menjadi semarak karena kehadiran mereka. Tapi, sayang, kebebasan yang kita impikan ini tak memiliki banyak sekutu.

Kebebasan tidak akan mampu menjawab semua hal-ihwal. “Kebebasan seseorang mencapai batas ketika mulai merambah daerah kebebasan orang lain. Tak seorang pun berhak atas kebebasan mutlak”, kata Camus. Batas mulai dan berakhirnya kebebasan, saat hak dan kewajiban menyatu, yang sering kita disebut sebagai hukum itu. Dan suatu rejim haruslah tunduk pada hukum. Kita harus memegang teguh prinsip kebebasan, bukan hanya karena kebebasan adalah dasar hak istimewa budaya, melainkan juga karena dasar hak-hak kaum pekerja. Hal terburuk yang mungkin terjadi pada para pencinta kebebasan adalah, mereka diliputi fesimisme dan keraguan tentang dirinya dan yang dibelanya.

”Saya bebas sejauh saya otonom. Sejauh saya mematuhi hukum. Tetapi hukum itu saya temukan dalam diri saya sendiri yang tak terkekang”, tulis Berlin. “Saya menghilangkan semua rintangan yang ada di jalan hidup saya dengan menarik diri ke dalam sekte-sekte saya sendiri, di mana suara-suara di luar tak perlu lagi didengar. Betulah yang diinginkan Berlin. Namun, katanya juga, prinsip dan tindakan semacam itu merupakan bentuk pencarian rasa aman. Tapi juga, telah menunmjukkan arah di mana batu kebebasan mesti ditancapkan”.

Kebebasan macam apa yang kita tuntut pada Berlin dan Camus? Apakah nilai kebebasan sebagai suatu jawaban terhadap kebutuhan dasar manusia untuk bebas, atau sesuatu yang diandai-andaikan oleh tuntutan yang lain? Apakah empat esai kebebasan Berlin merupakan pertanyaan sekaligus jawaban yang murni antropologis atau historis, yang membutuhkan jawaban empiris atau pertanyaan filosofis, psikologis, dan politis? Di mana puisi dalam kebebesan Camus? Peran macam apa yang bisa dimainkan oleh bukti-bukti antropologis dan historis dalam menetapkan premis kesahihan dalam kebebasan Berlin? Apakah seperti yang ditujukan lewat analisis filosofis yang meyakinkan kita bahwa pengebaikan kebebasan tidaklah bersesuaian dengan menjadikan kita sebagai manusia?

Paham kebebasan determinisme diri dan universalisme yang dianut para ahli sejarah, antropologi, sosial dan politik, berangkat dari usaha memamahbiak warisan pencerahan Eropa yang kehilangan pesona dalam teori maupun praksis kebebasan masa kini. Kehendak bebas membutuhkan pemecahan dengan ide-ide yang lebih segar. Terminologi kebebasan dari Green, Hegel, dan Marx sudah terlampau usang untuk kurun ini dan mendatang.

Berlin dan Camus memang bicara ihwal kebebasan yang sangat jauh dari tempat kita berdiri di sini. Kita butuh kebebasan dalam kekinian. Kebebasan dalam makna puisi. Dalam makna ekspresi. Tapi siapa yang telah menuliskan? Octavio Paz adalah suara yang tak bisa diabaikan. Dalam pidato penerimaan Hadiah Alexin de Tocqueville (1989), Paz mengatakan: ”Pembelaan terhadap puisi, yang diremehkan orang di zaman kita ini, tak terpisahkan dari pembelaan kebebasan”.

Tentu saja yang disebut kekebasan bagi Paz, sebagaimana ia melihat dalam tauladan tokoh surealisme terkemuka, Andre Breton, bukan filosofi, bahkan bukan suatu ide. Kebebasan adalah ’gerak kesadaran yang membimbing kita pada momen-momen tertentu untuk mengucap salah satu dari dua patah kata: Ya atau Tidak. Dalam keringkasannya, selamanya namun seketika, bagai secercah kilat, karakter kontradiktif tabiat manusia tegak bicara”.



























Wiesel



Munculnya Elie Wiesel dalam belantika sastra dunia telah memikat jutaan pembaca ke dalam debat etika kekepengarangan yang kian pelik: di manakah posisi pengarang ketika kemanusian tengah dicabik-cabik? Apakah pengarang tetap sebagai sosok agung yang tak terjamah atau harus mundur dari proses kreatif ketika tak mampu menyuarakan kemanusiaan?

Barangkali itulah pertanyaan yang layak diajukan kepada Elie Wiesel. Novelis kelahiran Hongaria pada 1928 dari keturunan Yahudi yang mendapat suaka dari Parncis dan kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat ini, sangat piawai menyuguhkan koor panjang derita manusia dan kemanusiaan. Elie Wiesel menjadi saksi utama bagi keganasan Adolf Hitler dengan serdadu NAZI-nya terhadap pembantaian jutaan warga Yahudi. Wiesel pernah merasakan amis dan nyerinya Auswitch dan Bushenwald dengan rintihan-perih para penghuninya yang kini nyaris dilupakan. Impresi pengalaman hidupnya amat tragis. Tapi berkat kesaksian tokoh-tokoh dalam novel-novelnya, titik balik kenyataan hidupnya dengan cepat berbalik. Wiesel akhirnya menyandang hadian Nobel Perdamaian, sekalipun ia layak menyabet pula Nobel Sastra.

Seorang, rupanya, tak selamanya hanya jadi korban. Elie Wiesel adalah contoh bagaimana pergeseran korban menjadi saksi, bahkan kini menjadi pelaku sejarah. Suaranya punya pengaruh terhadap pembaca yang mencoba mengikuti novel-novelnya yang menyuarakan harga diri manusia dan kemanusian, antara politik ingatan dan kecenderungan pelupaan. Tiga novel debutannya telah diterjemahkan di Indonesia, masing-masing Malam, Fajar, dan Sang Hakim. Ketiga novel ini adalah contoh karya sastra sepanjang masa dengan jalinan kisah yang jujur, enggan terhadap sesuatu yang heroik kendati sedang bicara tentang sesuatu yang heroik, dan di atas segalanya: ketiga novel ini mampu menggugah pembacanya.

Malam terasa begitu panjang. Sementara sinar fajar hanya sebentar, untuk kemudian digantikan matahari. Dengan kata lain, digantikan terang yang lebih panjang. Kisah malam dan fajar unik karena menampilkan metafor yang segar dengan sejumlah ikutan tentangnya. Banyak metafor yang dekat dengan dunia sehari-hari, dan dekat dengan pengalaman sang tokoh.

Sudah seratusan—kalau bukan seribuan—novel yang aku baca, tapi baru pada novel Malam dan Fajar Elie Wiesel saya merasa berada dalam pesona. Kata-katanya lugas, metafornya yang hidup, dan gaya pengucapan yang liris, membuat saya ambyar dibuatnya. Tokoh-tokoh novel Wiesel ternyata tak mudah saya lupakan. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun Eliezer dan Elisha masih membayang dalam memori saya. Kedua tokoh ini begitu mistis menuturkan pengalaman perjumpaan manusia dan Tuhan melalui konflik batin, pergulatan jiwa yang hening dan jernih, terutama dalam Malam dan Fajar. Sementara dalam Sang Hakim , Elie Wiesel menolak menjadi algojo, bahkan menolak menjadi hakim.

Karena itu, membaca tiga novel Elie Wiesel ini ibarat sedang membaca novel trilogi, di mana narasi ketiganya saling terkait. Satu kalimat Elie Wiesel dalam sampul belakang novel Fajar—terjemahan Marianne Katoppo dari L’Aube—agaknya cukup akrab dalam ingatan saya. “Mengapa aku harus membencimu, John Dawson? Karena umatkubtak pernah tahu bagaimana caranya membenci. Tragedinya, sepanjang abad, dapat dijelaskan berdasarkan kealpaan rasa kebencian itu di dalam hidupnya. Akibatnya, mereka dibasmi dan dihina. Satu-satunya kesempatan kami, dewasa ini, Jown Dawson, ialah untuk mengetahui bagaimana caranya membenci, mempelajari seni serta kebutuhan membenci itu”.

Di bagian akhir novel Fajar, Wiesel tampaknya sedang menghadirkan fajar menyingsing sebagai sebuah harapan. ”Di ufuk timur, fajar merekah”, tulisnya. ”Aku mendekati jendela. Kota itu masih tetap tidur. Entah di mana., seorang anak terbangun, dan mulai menangis. Aku ingin ada anjing menggonggong, tetapi di seluruh wilayah itu tak ada anjing. Malam mulai buyar, meninggalkan suatu cahaya kelabu, kotor, warna air yang tidak mengalir. Segera, malam hanya tinggal secabik saja, secabik yang sangta kecil, yang tersangkut di balik jendela”.

Ada puluhan novel yang ditulis Wiesel, sebagian besar menyuarakan harga diri dari sebuah martabat kemanusian. Lewat novel, Wiesel tak henti-hentinya menggugat proses keterbelengguan manusia melalui ingatan; ia mengingat di atas harga diri manusia untuk tidak melupakan. Ingatan di tangan Wiesel, sebagaimana juga Milan Kundera kemudian, merupakan siasat untuk melawan (politik) lupa yang dipelihara penguasa.

Ciri khas novelnya terletak pada sikapnya yang selalu ingin bertanya. Wiesel bertubi-tubi menyergap kita dengan cara bertanya. Barangkali tak ada novel baginya tanpa mengajukan pertanyaan. Dengan bertanya Wiesel seakan menyatakan sendiri bahwa “pertanyaan kita memiliki suatu kuasa yang tak terkandung dalam jawaban”. Dan novel, sebagaimana juga pernah ditegaskan Milan Kundera dalam Kitab Lupa dan Gelak Tawa, senantiasa mengajak pembaca untuk menggugat diri dengan cara bertanya.

Wiesel membuka pertanyaan atas ingatan dengan bersaksi bahwa orang yang menuliskan ingatannya akan menjadi harta karun sejarah yang akan terukir abadi sampai akhir zaman. Dengan novel, para pembaca diberitahu apa yang pernah terjadi pada kurun waktu dan zaman lalu.

Wiesel memang dikenal sebagai orang yang gelisah bila tak bertanya. Pernah ia bertanya dengan liris seputar mengapa orang-orang miskin yang kelaparan harus pasrah dalam diam. Wiesel punya jawaban sendiri, yang agaknya inilah kelebihan sastrawan satu ini: pertanyaan semacam itu baginya sama halnya dengan pertanyaan mengapa manusia hidup dan mengapa pula manusia bernapas.

Dalam pandangan tokoh rekaannya, ingatan ternyata mampu menjadi penghubung bagi kesaksian manusia. Dan novel adalah sarana untuk menjaga ingatan sekaligus mengabadikan ingatan ke dalam memori umat manusia. Wiesel mendulang ingatan untuk menampik lupa seraya menghayati wilayah pengalaman mistis masa kanak-kanaknya yang terukir dengan cerdas lewat kesaksian tokoh sang hakim.

Wiesel mencoba untuk memberontak terhadap penantian di jeruji besi di kamp konsentrasi paling keji itu. Lalu ia dengan ringan berkisah tentang kepedihan dan penyiksaan tanpa ampun. Bahkan berkisah tentang kebengisan yang mengalir di jalan-jalan kumuh, di antara rumah penduduk dan kamp konsentrasi, tentang kesetiaan kepada kemanusiaan, kehidupan, kemerdekaan. Tentang, meminjam kalimat Wiesel sendiri, “wajah tak bernama yang lenyap di malam kabut”.

Saya teringat Karlina Leksono—aktivis Nurani Perempuan—ketika mengatakan bahwa seorang pengarang seperti Wiesel telah lama menunggu kita dengan setia dan diam-diam di dalam benak kita. Bahkan ia telah memengaruhi mimpi-mimpi kita, merasuk perlahan-lahan ke dalam relung jiwa, lalu menjadi tenun hening jiwa, sampai akhirnya ia memulai hidupnya di dalam lubuk kita. Pada saat itulah, tulis Karlina dalam esainya yang elegan, Sastra dan Hak Asasi Manusia, sastra menjadi subversif. Menjadi subversif karena selalu mengingatkan kita akan bahaya lupa yang dipelihara para penguasa.

Seorang sastrawan mengerti akan kekuatan sebuah kisah. Sastrawan memahami bahwa kisah dapat mengubah zaman dan dapat membalikkan sebuah era. Tidak heran bila ada begitu banyak karya sastra yang mengalami larangan peredaran oleh penguasa, seperti pernah terjadai pada karya sastrawan kita, Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer. Tetapi karena itu pula, kita mulai mengerti mengapa karya sastra yang bersaksi atas keterbelengguan manusia diam-diam membuat topeng kekuasaan tampil dengan telanjang.

Namun sejumlah pengamat meragukan kesaksian ingatan Wiesel atas tragedi kemanusian, karena ternyata Wiesel sendiri masih dibatasi oleh ruang, waktu, dan tempat. Naluri kemanusian dan keberpihakannya terhadap korban dan calon korban, pada akhirnya harus diadili oleh sang hakim sendiri. Wiesel menutup mulut atas atas tragedi kemanusian yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina. ”Amat disayangkan buku-buku seperti yang ditulis oleh Elie Wiesel ini telah tidak dibuat sebagai pelajaran oleh orang Yahudi sendiri”. Demikian satu kesimpulan Mochtar Lubis dalam pengantar Malam.

Wiesel yang sempat menjadi juru bicara terkemuka tentang tragedi kemanusian yang dikenal dengan “malam kabut” itu, harus divonis sang hakim rekaannya sendiri. Sang hakim menjemputnya pulang kembali ke dalam keterbatasaan kemanusian karena ia lupa mengingat dan bersaksi dengan jujur atas puluhan ribu warga Palestina yang terenggut nyawanya oleh kekejaman militer Israel.

Naluri ingatannya yang panjang atas tetesan darah manusia yang bergelimpang di kamp konsentrasi ciptaan Hitler itu, harus dikalahkan oleh nalurinya yang pendek. Wiesel kini dengan nyata diam seribu basa sembari memperteguh keyakinan bahwa gigi dibalas dengan gigi dan mata mesti dibalas dengan mata.

Padahal dulu Wiesel pernah berujar lewat mulut tokoh bijaksananya: “Jangan sekali-kali kamu kehilangan keyakinan, sekali pun pedang tergantung di atas kepalamu “. Tapi kata-kata itu kini mulai kehilangan tenaga. Proses evolusi yang terjadi pada ingatannya dengan tangkas dimanfaat tiga kritikus terkemuka abad ke-20, Edward Said, Noam Chomsky, dan Mochtar Lubis, sekedar menyebut beberapa nama, untuk menarik gelar kepahlawanannya di bidang kemanusian.

Tak sampai di situ, Wiesel yang dulu dianggap sebagai “Sang Hakim” agung kemanusian tanpa kenal ras dan agama, malah membuat para kritikus “gerah” lantaran ia membela Yahudi lewat pernyataannya sendiri: “Cobalah untuk memahami penderitaan warga Yahudi, termasuk hak Yahudi untuk mengklaim tanah leluhur mereka.”

Marianne Katoppo agaknya punya pendapat lain, dan dengan gesit menjernihkan pandangan miringterhadap Elie Wiesel, ketika dalam pengantar Fajar ia justru membeberkan yang sebaliknya dari kesan yang dipahami Mochtar Lubis (dengan data dan informasi yang tampaknya akurat. Sehari sesudah penyerbuan kamp-kamp pengungsi Palestina Sabra dan Stalia serta pembantaian anak-anak Palestina, kata Katoppo, sebuah iklan memasang protes keras, dan nama yang paling pertama sekaligus sebagai seorang pemrakarsa, adalah Elie Wiesel.

Akhirnya, siapa pun bia memberi tafsir tentang bagaimana posisi Elie Wiesel dalam soal besar kemanusian asal dilandasi oleh data dan informasi yang akurat, bukan suatu dugaan dan prasangka rasial. Sebab kita tahu, salah satu penyebab berkobarnya perang dan terbunuhnya puluhan juta manusia di abad ke-20 adalah karena prasangka rasial. Hitler membantai warga Yahudi karena ingin mengembalikan keaslian suku Arya. Dan banyak contoh yang bisa kita jejerkan bagaimana identitas telah menjauhkan manusia dari keharusan hidup berdampingan dalam perbedaan yang saling menyapa.

Satu kalimat panjang Elie Wiesel dalam novel Fajar, sungguh menggugah dan mungkin bisa memuaskan atau tidak memuaskan anggapan kita tentang sang pengarang. Saya kutip sebagai penutup:

”Selama sekian turunan kita selalu ingin lebih luhur, lebih murni dari mereka yang menganiaya kita. Kau tahu hasilnya: Hitler. Kamp-kamp pembantai di Jerman. Nah, kita sudah muak selalu bersikap lebih adil daripada mereka yang berpura-pura bicara atas nama keadilan. Mereka tidak ingat pada keadilan, ketika kaum Nazi membantai sepertiga umat kita. Bila orang Yahudi mau dibunuh, tak seorang pun bersuara. Telah lewat dua puluh abad sejarah kita untuk membuktikannya. Kita tak dapat mempercayai seorang pun, kecuali diri kita sendiri. Bila kita harus menjadi lebih kejam dan bejad dari mereka yang telah bersikap kejam serta bejad terhadap kita, hal itu dikarenakan kita terpaksa bersikap demikian. Kita tak suka menjadi pembawa maut. Hingga saat ini, kita selalu lebih gemar menjadi korban dari pejagal. ENGKAU TAK AKAN MEMBUNUH: titah itu pernah diberikan pada umat manusia dari puncak salah satu bukit di Palestina”.


























Orwell


Novel 1984 mirip sebuah utopia yang pahit. Tak terduga. Mengejutkan. Menakutkan. Mengerikan. Ramalan? Futurolog? Peringatan? Tanda-tanda zaman?

Entahlah. Kalau ramalan bahwa komunisme akan hancur berkeping-keping, tahun 1984 sudah lewat dan tak ada kejadian dahsyat. Komunisme hancur di Uni Soviet lima tahun kemudian, yaitu 1989. Kalau memang ramalan, anggaplah Orwell memang meleset tapi tak terpeleset jauh-jauh amat. Hanya lima tahun.

Kalau bukan ramalan, ini jelas novel tak biasa. Novel yang berbahaya. Sampai-sampai Mahbub Djunaidi pernah menulis sebuah kolom di Tempo yang membuat saya terbahak-bahak. Kata Mahbub: ”Di tahun 50-an saya baca buku George Orwell: 1984. Geli, deg-degan, skeptis, waswas, kurang kerjaan, penenung pikun, tukang ulah khayali yang tak tahu berbuat apa. Mana mungkin ada keadaan macam begitu, pikirku. Mana ada semua dinding jadi telinga. Mana ada penduduk negeri berubah jadi cacing yang diperintah oleh penguasa yang teramat kuasa...”

Di ujung kolomnya Mahbub mengejutkan. Dan gaya macam ini agaknya kini sudah langka. Dan Mahbub tetap mempesona kendati banyak bercanda dan main-main.

Berkat terjemahan Landung Simatupang yang sangat bagus, maka novel masyhur George Orwell itu menggetarkan. Inilah novel debutan, yang konon nyaris menjelma semacam ‘ramalan’ yang ditunggu-tungu hasilnya ketika tahun 1984 tiba. Judul 1984 yang dipilih Orwell lebih menunjukkan kebalikan dari tahun 1948 di mana novel ini ditulis pertama kali.

Pada tahun 1948 Orwell melihat secara langsung peristiwa demi peristiwa yang menunjukkan kecenderungan ke arah formasi masyarakat totaliter dan menguatnya rejim otoritarianisme di berbagai belahan dunia. Pengalamannya mengikuti Perang Dunia II menimbulkan padanya kesadaran yang tinggi mengenai ekses-ekses negatif totalitarianisme sebagai suatu sistem atau paham, seperti yang telah terwujud dalam regim Naziisme, Fasisme dan Komunisme.

Dunia pada 1984 yang digambarkan Orwell terbagi atas tiga bagian: Oceania (benua Amerika), Eurasia (Rusia) dan Eastasia (Asia Timur). Ketiga negara ini bagi Orwell senantiasa dirundung konflik dan peperangan yang mahadahsyat. Negara Eurasia dilukiskan sebagai negara yang dikuasai oleh ideologi tunggal, yakni Partai Komunis. Negara Oceania dalam imajinasinya Orwel dikuasai oleh sistem totaliterisme. Pimpinan umumnya dipegang oleh Bung Besar (Big Brother).

Dalam struktur kekuasaan Oceania, Big Brother memegang kendali dan kebijakan politik pemerintahan yang mengendalikan semua kebijakan negara. Di tingkatan bawahnya dilapisi oleh inti partai, ditingkatan berikutnya dikawal oleh golongan luar partai. Yang pertama merupakan tangan kanan Big Brother. Sementara yang kedua sebagai tangan kirinya. Big Brother menjelma sebagai pemimpin yang menganut paham “politik sebagai panglima”. Bahwa partai adalah satu-satunya ukuran kebenaran yang harus ditegakkan.

Semua kepercayaan, kebiasaan, perasaan, sikap dan nilai-nilai suatu masyarakat bila perlu diarahkan untuk mendukung pelaksanaan doktrin partai. Partai dengan demikian memiliki otoritas penuh dalam mengambil kebijakan dari tingkat bawah sampai ke pusat. Partailah yang memiliki kebenaran yang mutlak. Karena itu, setiap kelompok yang terorganisir akan dituduh makar. Oposisi dibuat netral atau jika perlu ditumpas.

Dalam melaksanakan sebuah sistem totaliterisme, negara dalam imajinasinya Orwell telah melembagakan beberapa aktivitas baru: Newspeak (Bahasa Baru), Doublethink (Pikiran Rangkap), dan Hate Week (Minggu Benci). Pengawasan tentang ingatan masyarakat harus diperketat, bila perlu disensor. Jika dipandang perlu, ingatan masyarakat harus diatur di bawah kendali partai. Fakta-fakta harus diubah untuk disesuaikan dengan visi partai. Sejarah (dalam hal ini gambaran tentang masa lampau) perlu ditulis kembali.

Dengan demikian, masa lampau (sejarah) dapat disusun menurut kebutuhan partai. Tujuannya tak lain adalah bagaimana “melupakan” ingatan kolektif masyarakat tentang kediktatoran seorang yang bernama Big Brother.

Buku ini begitu penting dibaca dalam kerangka usaha untuk menanamkan sebuah ingatan. Orwell ingin mencoba menangkal ancaman yang datang dari sebuah lupa—satu bagian penting dari sebuah perjuangan. Di sini kita teringat sebaris kata yang terkenal dari Milan Kundera: “Pergulatan manusia melawan kekuasaan adalah pergulatan ingatan melawan lupa”. Milan Kundera tentu saja menulis kata-kata ini di bawah pengawasan Partai Komunis di Cekoslowakia, yang secara sitematis seringkali mengubur ingatan.

Baik Orwell maupun Kundera sama-sama berangkat dari keprihatinan Dunia Ketiga. Keprihatinan tentang pemutarbalikan fakta sejarah sekaligus usaha untuk membongkar politik lupa yang membinasakan jutaan umat manusia.

Novel ini juga menampilkan kisah tentang kemungkinan terjadinya revolusi melawan rejim resmi yang mengendalikan kekuasaan Bung Besar. Saudara Tua dan partai yang menguasai para “proles”—orang-orang paria yang menyedihkan, massa yang terpinggirkan, yang mencapai 85 persen populasi negara imajinernya. Kaum proletar atau rakyat terorganisir dalam imajinasinya Orwell, kelak akan menghancurkan partai yang sudah memperbudak mereka bertahun-tahun. Jika mereka menyadari kekuatan mereka, mereka akan bangkit dan mengguncang Big Brother layaknya kuda mengusir lalat dari tubuhnya.

Orang-orang miskin, tertindas, budak, dan orang-orang malang di dunia seakan berada dalam sebuah kotak pandora yang tertutup. Tetapi dengan cepat Orwell membuang semua harapan itu … “Hanya jika para proles atau yang proletar itu sadar, mereka akan memberontak. Dan jika mereka memberontak maka kesadaran mereka akan tumbuh.”

Namun di tengah masyarakat totaliter, masih ada orang yang belum bersedia tunduk atau patuh kepada rejim partai dan Big Brother . Mereka adalah Winston Smith dan teman wanitanya bernama Julia—tokoh cerita yang menjadi saksi-saksi sejarah Orwell. Winston dan Julia merasakan kebebasan mereka saat itu sangat dikekang, masyarakat perlahan-lahan tunduk pada “ritual habit” (kebebasan upacara). Kalau pun mereka tunduk tapi hanya sekedar menjalankan fungsi-fungsi formal ritual. Namun kedunya terus melakukan gerilya sebagai seorang oposan yang tak kenal menyerah.

Winston Smith, Julia atau kaum “proles”, kaum paria, kaum tertindas lainnya, tak lagi patuh pada status quo dan Big Brother. Kekuasaan partai telah terpecah-belah dan rakyat miskin sudah menarik dukungannya. Meski angkatan bersenjata penguasa mungkin akan tetap bersatu, serdadunya tak cidera, golongan elite tetap merajalela di jalan-jalan raya, pabrik dan sistem angkutan bekerja seperti biasa, dan gedung-gedung pemerintah tidak rusak, tetapi segala-galanya telah berubah. Dukungan dari pihak buruh, kaum kere, kaum rudin, yang menopang kekuasaan partai, sudah ditarik. Karena itu, kekuasaan partai dan Big Brother sudah runtuh.


















Russel



Russel seorang ilmuwan tulen yang menaruh minat kuat terhadap matematika. Sejumlah karya intelektualnya banyak menyinggung bahasa angka. Russel melacak kejayaan matematika sejak zaman Babilonia, Romawi, Yunani, hingga renaisance dan aufklarung di Eropa dan Barat. Bagi Russel, bangsa Yunani berjasa mengenalkan bahasa angka pada manusia setelah kejayaan Babilonia. Matematika Yunani tumbuh dengan gemilang hingga kelak lahir paham tentang manusia berakal-budi.

Tapi bangsa Babilonia yang mula-mula mengenalkan tahap-tahap penting yang berlaku dalam matematika dan astronomi. Kemudian orang Yunani mempromosikan cara-cara berpikir dan mengamati secara ilmiah dan progresif. Pada abad ke-3 S.M, bangsa Yunani bahkan telah tampil dalam penemuan bahasa angka yang kelak dianggap sebagai cikal-bakal lahirnya konsepsi modern tentang ”sains girang”—sains yang mencapai kemajuan puncak di abad ke-20.

Filsafat Yunani memiliki konsepsi mendasar tentang hukum alam serta mengembangkan kebiasaan untuk mengungkapkan hukum-hukum tersebut dengan istilah-istilah matematis. Desain matematis tidak digagas guna mempermudah proses industri, atau bersifat utilitarian murni, tanpa memperhitungkan kegunaan secara praktis, sebagaimana kelak kita temukan pada zaman modern. Hal ini karena bangsa Yunani sendiri, kata Bertrand Russell dalam esainya jernih berjudul Kerangka Buat Omong Kosong Intelektual, dengan sedikit agak bercanda: Sistem per-angka-an orang Yunai buruk sekali, sehingga metode perkalian jadi sangat sulit dan penghitungan yang rumit hanya bisa dilakukan oleh orang yag sangat pandai, seperti Aristoteles.

Archimedes hanya mengisyaratkan penggunaan modern dari matematika dengan menciptakan perkakas-perkakas perang untuk membela Syracuse dari sangan bangsa Romawi. Namun seorang serdadu Romawi telah berhasil membunuhnya, dan matematika kembali beristirahat dalam menara gadingnya. Dalam kurun ini, seperti kata Bertrand Russel dalam salah satu esai di buku Pergolakan Pemikiran—terjemahan Mochtar Pabotinggi—bangsa Yunani mencapai tingkat rasionalisme pencerahan yang tak akan bisa dilampaui oleh zaman kita dan mereka berhasil mencapai perkembangan paling mencengangkan mengenai teori alam semesta. Namun bangsa Yunani masih tak menemukan mesin hitung yang memandu manusia untuk berhitung perkalian atau penjumlahan dengan lebih mudah.

Kemajuan pemahaman tentang bumi secara lebih mengejutkan memang terjadi di abad ke-17 dengan tampilnya Galileo, Descartes, Newton dan Leibniz, namun kemajuan yang dibawakan bangsa Yunani awal tidak kalah canggih dan mengejutkan. Tapi sejak Descartes, hukum alam dapat dipatahkan hanya dengan mendasarkan diri pada matematika dan logika. Descartes mungkin pernah membaca karya-karya para pemikir Eleatik yang menggariskan cita-cita logika, sehingga begitu terpesona dan percaya dengan segala yang logis-rasionalis.

Ada perbedaan mendasar antara matematika Babilonia dengan matematika modern. Pada masa Babilonia, matematika dan astronomi tak sepenuhnya meinggalkan mistik, sementara matematika modern justru mengenyahkan takhayul dan mistik. Namun konsep matematika dan astronomi akhirnya bergeser ke arah yang serba rasional, dan nyaris tak tegoyahkan bahkan oleh bersatunya semua agama di dunia. Bangsa Yunani yang menaruh minat pada penjumlahan angka-angka, tapi masih berbaur dengan takhayul. Pada zaman kepercayaan yang dipuja kalangan neo-skolastis, takhayul tumbuh subur di gereja dan pemikiran biarawan.

Johannes Kepler (1571-1630)—ilmuwan perintis sejati dari astronomi ilmiah—adalah yang terhitung paling awal dalam mengubah matematika ke arah yang kian tak tergoyahkan dengan hitungan-hitungan angka yang logis. Kepler bertarung untuk mengusir mistik dalam astrologi Babilonia dan Yunani, dan akhirnya berhasil: Astronomi kemudian mendepak astrologi. Matematika menjadi ilmu hitung yang bermetamorfosa menjadi ilmu pasti yang dijaga puluhan ilmuwan. Angka dan bilangan kembali jadi ratu di segala lapangan. Apa saja harus diukur dengan angka. Apa saja mesti ada bilangan.

Sementara astronomi dikejar orang dengan bersemangat pada abad ke-16 dan ke-17 karena manfaatnya di bidang pelayaran, seperti kata Russell dalam artikel Gagasan-Gagasan yang Menyelamatkan Manusia. Selama berabad-abad filsafat matematis yang statik menjadi terdepan. Sementara konsep matematika dan astronomi Babilonia dianggap ketinggalan zaman karena tidak masuk akal. Bahkan Bertrand Russell—filsuf Inggris yang terkemuka abad ke-20 yang mengajarkan prinsip kehendak untuk meragukan dengan gaya berpikir eksotik-matematik yang statik—menganggap matematika dan astronomi Babilonia masih amat kaku, statik, tidak progresif, dan masih mengandung takhayul. Bukankah hakikat matematika itu sendiri statik, karena matematika bukanlah eksperimentalisme yang dinamis-progresif?

Apa boleh buat, Russell terlanjur menganggap matematika dan astronomi modern lebih progesif dan lebih ilmiah ketimbang empat ratus tahun sebelum datangnya abad ke-20. Russell pun menegaskan: Mulai dari abad ke-17 hingga sekarang sudah menjadi semakin nyata bahwa jika kita ingin memahami hukum-hukum alam, kita mesti melepaskan diri dari segala macam bias etis maupun estetis. Kita harus berhenti beranggapan bahwa hal-hal mulia punya sebab-sebab mulia, bahwa hal-hal yang cerdas punya sebab-sebab yang cerdas, dan bahwa ketertiban tidak mungkin ada tanpa polisi alam raya.

Pada persimpangan abad ke-16 dan ke-17, kata Donald B. Calne (Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, 2004) dan Nirwan Ahmad Arsuka (Dialog Dua Anak Haram, 2004), para pemikir tumbuh dan terdidik dalam cabang filsafat Aristoteles, yang dengan tegas membagi ranah langit dan bumi, ranah surgawi dan duniawi, perfeksi dan korupsi, Kenaikan dan Kejatuhan.

Mayoritas pemikir masa itu belum menemukan alasan untuk mengkritik dasar filsafat Aristoteles. Hanya satu-dua pemikir yang menyangsikan pandangan kitab suci dan pemikiran Aristotelian. Kopernikus, yang mencetuskan teori yang menggemparkan gereja Katolik dan Protestan, menghebohkan gereja pada tahun 1543. Giordano Bruno yang mengikuti Kopernikus dibakar sampai mati tahun 1600, dan Galileo Galilei dipaksa hadir di hadapan Inkuisisi pertama kali pada 1616.

Filsafat matematis modern mulai banyak menuai kritik dari kalangan matematikawan sendiri. Kurt Godel banyak menggugurkan sejumlah teori bidang ini, seperti kata Nirwan Ahmad Arsuka dalam Ontologi Baru, Algoritme dan Api (2002). Kurt Godel adalah anak ajaib dari Wina untuk logika, dan dirinya pernah ditolak sebagai guru besar matematika, dan pernah bergabung dengan Einstein dan von Neumann di School of Mathematics di institut Princeton AS sekitar tahun 1933. Dialah jenius tersohor yang lekat dengan paranoia dan terornya yang menghebohkan di Institute for Advanced Study. Tapi Kurt Godel bukan satu-satunya. Bisa jadi kritiknya pada aritemetika telah dilancarkan para teolog Kristen dan Yahudi sendiri yang mula-mula menyadari ketebatasan desain matematis saat berhadapan dengan kenyataan.

Seraya merujuk Wolfram dan terpukau olehnya, Arsuka yakin bahwa bukan matematika—termasuk aljabar dan kalkulus—sebagai satu-satunya sarana ampuh dan meyakinkan untuk memahami kenyataan, apalagi kenyataan yang kompleks, melainkan cellular automata. Sebuah otomata seluler ialah sebuah perintah program komputer yang terdiri dari satu baris situs, di mana tiap situs membawa sebuah nilai 0 dan 1. Karena itu, konfiguasi sebuah sistem kompleks—kata Nirwan yang terkesima gagasan ”baru” Wolfram—sesungguhnya merupakan sekuensi dari nilai nol atau satu. Alam semesta-lah komputer itu, kata Wolfram (2002).

Mungkin betul bahwa bukan Wolfram yang pertamakali mengenalkan gagasan gila itu, seperti kata Mahdi Murthada Armahedi Mahzar (2002), melainkan telah lama dikumandangkan Edward Fredklin yang merekonsruksi teori fisika fundamental sebagai fenomena komputasi digital. Yang terakhir ini tidak lain adalah peristiwa komunikasi antarsel-sel otomata yang diprogram alam satu Maha Komputer yan disebut sebagai Yang-Lain. Gagasan mekanika digital Fredklin hanyalah kulminasi dari proses reduksi sibernetik total. Penggagas sibernetika abad ke-20 adalah Norbert Wiener—seorang Yahudi kelahiran Amerika.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, sebagian ilmuwan memang mulai beralih dari memproduksi mesin energi menjadi mesin informasi, dari matematika ke algoritme. Komputer telah dipraktekkan para agen-agen CIA untuk memproduksi jaringan informasi raksasa dalam rangka memonitor dunia. Maka sekarang kita sering mengenal parodi yang menggelitik: barangsiapa menguasai informasi maka ia menguasai dunia. Jika Uni Soviet yang menguasai informasi, maka bukan Amerika yang jadi negeri Super Power seperti sekarang ini. Namun karena sebagian besar ilmuwan sendiri—termasuk Bertrand Russell—mencoba merasionalisasi bahwa masa depan dunia lebih terjamin jika Amerika yang menang perang lawan Rusia, karena alasan demokrasi liberal AS lebih menjanjikan. Terlepas hal itu mengandung konsekuensi kemudian, dari Russell pula kita memperoleh hikmah tentang sejarah sains: Sejarah sains ternyata mirip sejarah arsitektur yang dekat dengan penguasa (arsitek = penguasa), namun sains modern adalah anak kandung militer AS.

Maka Russell pun ambil bagian dengan menekankan filsafat sebagai kebijaksanaan. Dalam esainya bertajuk Filsafat Untuk Kaum Awam, Russell menyingung kegamangan ilmuwan dengan mengambil contoh penemuan bom atom. Setelah ilmuwan berhasil membuat bom atom, para ilmuwan sendiri lalu dilanda kecemasan dan tak tahu mau berbuat apa dengannya. Manusia, karena itu tak cuma butuh dan cukup dengan keahlian, kata Russell, tapi ada sesuatu yang dirindukan oleh manusia, yaitu ”kebijaksanaan”. Filsafat, kata Russell, berarti ”cinta pada kebijaksanaan”. Dan filsafat dalam pengertian inilah yang harus diusahakan oleh umat manusia jika kekuatan baru yang ditemukan oleh para ahli teknik, dan diteruskan untuk digunakan oleh orang-orang biasa, tak dikehendaki menjatuhkan manusia ke dalam bencana yang mengerikan.

Tapi tak disangka-sangka bahwa Russell pun mencetuskan sebuah aforisme pendek yang mematahkan anggapan tentang kebaikan sejati ditunjukkan oleh ketidak-acuhan pada soal-soal duniawi. Bahkan Russel pun menolak anggapan bahwa penderitaan fisik sesungguhnya tidaklah buruk betul karena bisa jadi sarana melarikan diri dari ketakutan yang akut. Anggapan ini bisa jadi suatu cara mulia untuk menjauhkan ketakutan, dan jika benar-benar dianut, kata Russell, itu akan mengakibatkan orang acuh tak acuh bukan hanya terhadap penderitaannya sendiri tapi juga terhadap penderitaan orang-orang lain. Atas dasar inilah maka orang pengecut lebih cenderung melakukan kekejaman dibanding dengan orang berani.

Luar biasa, bisikku saat membaca untaian pena pribadi Russell itu. Sampai pada saat menjelang tutup usia, Russell seperti telah menemukan ”hikmah kebijasanaan”. Namun Russell sendiri—lewat warisan karyanya yang bertebaran di rak perpustakaan—tampak masih menjelmakan sosok dwikembar-paradoksial dari seorang rasionalis sekaligus skeptis, yang menggelorakan perang tapi sekaligus pengecut dan cinta-damai, seorang filsuf yang memberi suatu alasan pada filsafat untuk mempertahankan agama dan bukan menyingkirkan, tapi juga sebagai matematikawan yang percaya bahwa sesuatu dapat diketahui dalam matematika murni tapi ”tentang dasar-dasar matematika saya tak mendapat suatu kesimpulan pun” dan ”walau saya cenderung pada empirisme, saya tidak dapat mempercayai bahwa 2 x 2 = 4 diperoleh dari generalisasi yang negatif murni ini”.

Terhadap angka 0 dan 1, Russell agaknya masih condong pada bilangan satu yang logis-rasionalis, dan kurang menaruh pada bilangan nol yang enigmatis dan mistis. Karena semua angka adalah sama, tak ada yang istimewa. Angka nol syarat mistik itu hanya khayalan para mistikus dan takhayul yang nikmat walau sesat. Tapi bilangan nol yang irasional itu adalah sebuah arreton, kata Ernst Cassirer dalam An Essay on Man. Atau hal yang lebih dekat kepada sesuatu yang tak untuk dipikirkan, dan tidak pula untuk dibicarakan panjang-lebar. Karena nol adalah bilangan fu kata Ayu, dan satu itu menipu kata Goenawan, sementara nol menuntut interpretasi yang tak selesai dan tak mutlak-mutlakan.

Mungkin saja bahwa Tuhan sebagai nol, bukan sebagai satu (jika anggapan Goenawan itu bisa dipercaya). Karena satu itu adalah bilangan pasti dan logis, nol meluangkan penuh kemungkinan, kepelbagaian, perbedaan, dan di atas semuanya; nol bersifat tak terhingga. Jika kau mau mencari Tuhan, kata Nietzsche dalam Senjakala Berhala, maka jangan cari nol (nullen), Jika kau mau mencari nol maka ”carilah bukan siapa-siapa”. Kosongkan anggapanmu saat bicara tentang Tuhan, termasuk mengosongkan pikiran dari anggapan tentang Tuhan yang Mahaesa, karena ungkapan itu cuma ilusi saja.





















Hawking


Saya membayangkan Stephen Hawking duduk bersama dengan Jorge Luis Borges, berdiskusi tentang kosmologi, dengan moderator Karlina Leksono Supelli. Saya membayangkan si buta Borges dengan tekun menjelaskan keeksakan sains menurut kacamata sastra fantasi kepada si bisu dan si lumpuh Hawking, dan ilmuwan ini menyimak dengan sabar.

Tapi saya hanya bisa membayangkan. Sebab, sudah cukup lama saya merindukan sains dan sastra saling berdiskusi dengan baik hati, tanpa waham, dan mau berdialog, memberi dan menerima, mengakui keterbatasan bahan dasar masing-masing di hadapan sang Pencipta Semesta.

Bukan kebetulan bahwa buku tersohor Galileo Galilei tentang Aristoteles dan Kopernikus, Dialog Mengenai Dua Sistem Utama Dunia, ketika terbit di bawah sensor tahun 1632, dielu-elukan di seluruh Eropa sebagai karya utama sastra dan filsafat. Padahal semua orang tahu itu buku sains yang membuat Galileo menjadi tahanan rumah oleh Gereja. Tapi karena buku itu pula Galileo dianggap ilmuwan paling berjasa bagi kelahiran sains modern.

Sementara Borges, dengan ringan dan lincah “bermain-main” dengan kosmologi. Ia dengan cerdik melakukan parodi terhadap keeksakan sains lewat sastra fantasi. Kisah tentang buku dan labirin yang dijanjikan Ts’ui Pen dalam prosa Borges, membincang soal ruang dan waktu yang sekaligus menyiratkan persoalan kosmologi, ruang dan waktu, yang begitu menawan. Atau prosa mini tentang keeksakan sains dalam buku Sejarah Aib yang jernih dan memikat.

Sekarang, baik ilmuwan maupun sastrawan, makin sering bicara tentang waktu. Waktu luncur yang tak dapat kembali, kata Octavio Paz. Atau langkah kembali menuju asal primordial, ke kala mula, sebelum ketidakadilan lahir, sebelum masa ketika manusia pertama menandai sekeping tanah dan berkata: “ini milikku”.

Pada hari itulah, kata Paz, kesenjangan di muka bumi dimulai, dan bersamanya hadir pula perselisihan dan penindasan. Itulah Revolusi: tindak historis agung yang justru enggan mengakui sejarah. Kala baru yang membuka gerbangnya merupakan restorasi waktu asali. Selaku anak sejarah dan akal budi, Revolusi adalah buah waktu linear.

Hawking bicara soal anak panah sang waktu, atau lebih singkat: panah waktu (arrow of time); sesuatu yang memperbedakan masa lalu dari masa depan, sesuatu yang memberi arah kepada waktu dan yang sekaligus menunjukkan adanya tiga panah waktu: panah termodinamika, panah psikologi dan panah kosmologi. Panah termodinamika, yaitu arah waktu sepanjang kekacaubalauan, atau entropi itu bertambah. Panah psikologi, yaitu arah perasaan kita mengenai majunya waktu, arah mengapa kita ingat masa lalu, bukannya masa depan. Panah kosmologi: arah waktu yang sejalan dengan memuainya jagat raya, bukan mengerutnya.

Hawking adalah ilmuwan besar yang mengalami cacat bicara, dan persis jadi bisu. Usianya masih sangat muda ketika namanya melambung. Ia kelahiran 1942, yang dengan cepat mensejajarkan dirinya dengan para ilmuwan fisika abad ke-20. Dialah satu-satunya ilmuwan yang melegenda pada abad itu, dan pengaruhnya tak hanya secara eksklusif di bidang sains, tapi menembus ranah filsafat, teologi dan sastra. Pandangannya tentang ruang dan waktu tak hanya membuat terkesima para ilmuwan, tapi kerapkali juga dikutip oleh kalangan sastrawan dan kritikus sastra.

Namun, sebagaimana juga dijelaskan oleh Hawking dalam bukunya A Brief History of Time, atau diterjemahkan ke Indonesia dengan judul Riwayat Sang Kala: Dari Dentuman Besar hingga Lubang Hitam (1993), yang namanya teori fisika—bagaimana pun sahih tampaknya—ia hanya bersifat sementara, bukan segala-galanya. Teori itu hanya suatu hipotesis, dan kita tak pernah dapat membuktikannya.

Saya senang Hawking mau memulai telaahnya dengan mempersoalkan teori dan metode. Sambil mengutip Karl Popper, ia menegaskan: suatu teori yang baik dicirikan oleh fakta bahwa teori itu membuat sejumlah ramalan yang pada prinsipnya dapat dibuktikan keliru atau dianggap palsu oleh pengamatan. Tiap kali eksperimen baru ternyata cocok dengan ramalan, teori itu selamat dan bertahan, serta kepercayaan kita pada teori itu bertambah. Begitu juga sebaliknya.

Tapi masalahnya tak sampai di situ. Masih ada tugas ilmuwan selanjutnya, yaitu mempertanyakan kemampuan setiap orang dalam melakukan pengamatan. Apakah pengamatannya dapat dipercaya? Apakah ia jujur sebagai seorang pengamat atau seorang pendusta?

Prestasi terbesar ilmuwan pada paro pertama abad ke-20, kata Hawking, adalah: mereka memerikan jagad raya dalam dua teori parsial dasar: teori umum relativitas dan mekanika kuantum. Tapi pada abad ke-20 juga tak ada ilmuwan yang meyakini bahwa jagad raya bisa menuai dan mengerut. Umumnya orang menganggap jagad raya itu telah ada untuk selama-lamanya dalam suatu keadaan yang tidak berubah-ubah, atau telah diciptakan di masa lalu yang terhingga dan dalam keadaan yang kurang lebih sama seperti kita amati sekarang.

Hawking sangsi dengan semua itu. Ia pun mulai melakukan ujia coba dan serius meneliti jagad besar dan jagad kecil hingga sampai kepada suatu pertanyaan paling mendasar: apakah kodrat waktu? Apakah waktu itu berawal dan berakhir? Akankah waktu berakhir?

Salah satu jawaban Hawking yang mengejutkan adalah: jagad raya ini telah memuai selama sepuluh miliar tahun dan sedikitnya perlu sepuluh miliar tahun juga untuk menyusut dan hancur berkeping-keping. Siapakah yang percaya? Adakah Hawking sedang menceracau?

Hawking berusaha mengajukan pertanyaan lagi, yang sama sekali tidak baru: dari mana jagad raya ini berasal dan akan ke mana ia kemudian? Bagaimana dan mengapa jagad raya berawal?Akankah jagad raya menemui akhir, jika ya, bagaimana caranya?

Pertanyaan-petanyaan itu tentu hanya muncul di bidang sains dan tidak di bidang sastra. Kendati sastrawan juga memikirkan bagaimana terjadinya kehidupan ini, dan akan ke mana setelah hidup, dan sebagainya. Namun wewenang sains untuk bertanya dengan kritis tentang bumi, planet, dan matahari begitu besar.

Dari sana mungkin ada anggapan bahwa sains itu angkuh. Bahwa sains itu mutlak-mutlakan. Dan tak heran jika sebagian besar sastrawan justru berseberangan dengan pertanyaan mendasar kalangan ilmuwan. Mereka menempatkan suatu jawaban yang pasti, sementara fiksi justru tak pernah mengenal kata mutlak. Sebuah puisi bergerak di antara proses tak selesai, dan mungkin tak akan pernah selesai dan tak bisa dipastikan.

Saya tak tahu sejak kapan sains dianggap lebih unggul di hadapan pengetahuan yang lain. Mungkin sejak Johannes Kepler (1571-1630)—ilmuwan perintis sejati dari astronomi ilmiah—yang telah mengubah matematika ke arah yang kian tak tergoyahkan dengan hitungan-hitungan angka yang logis. Kepler bertarung mati-matian untuk mengusir yang mistik dalam astrologi Babilonia dan Yunani. Akhirnya, astronomi berhasil mendepak astrologi, dan sains—terutama matematika—jadi raja.

Aristoteles termasuk filsuf pemula yang masih memberi alasan mistis dalam perbincangan mengenai bumi dan matahari. Menurut Donald B. Calne, dalam Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, pada persimpangan abad ke-16 dan ke-17 para pemikir masih berada dalam bayangan filsafat Aristoteles. Filsuf ini menduga bahwa bumi tetap di tempat dan matahari, bulan, planet, dan bintang-bintang mengikuti garis edar melingkar mengitari bumi. Aristoteles meyakini ini karena ia merasa, atas alasan mistis, bahwa bumi itu pusat jagad raya, dan gerakan melingkar adalah gerakan yang paling sempurna.

Hawking menyinggung fungsi ilmu pengetahuan, dulu dan sekarang. Pastilah benar di masa lalu bahwa apa yang kita sebut kecerdasan dan penemuan ilmiah memberikan kelebihan untuk bisa tahan hidup. Tapi sekarang ini, kata Hawking, tidak begitu jelas apakah hal itu masih berlaku: penemuan-penemuan ilmiah itu dapat juga memusnahkan kita semua.

Hawking hadir dengan kata-kata kearifan. Di dalam bukunya ia tak meninggalkan Tuhan. Bahkan seturut dengan pendahulunya, Albert Einstein, Hawking bertanya: adakah Tuhan punya pilihan dalam menciptakan jagad raya ini? Dan kesimpulannya tak disangka-sangka: suatu jagad raya yang ruangnya tak bertepi, yang waktunya tak berawal dan berakhir, dan yang Penciptanya tak perlu berbuat suatu apa pun lagi.



































Dostoyevski



Saya membaca Catatan Dari Bawah Tanah Dostoyevski ketika sedang dalam keadaan yang santai, dan novel yang terdiri dari dua bagian itu hanya bisa saya bandingkan dengan Orang Asing Albert Camus. Dua novel ini tak begitu tebal, bahkan terhitung novel tipis, sama-sama terdiri dari dua bagian. Tapi kandungan kemaknaan dan pergulatan dunia yang dibentangkan kedua novelis itu, begitu menawan.

Saya membaca Catatan Dari Bawah Tanah dengan nikmat berkat jasa Asrul Sani sebagai penerjemahnya yang tangguh. Sementara, entah mengapa saya tak merasakan kenikmatan yang serupa pada gaya bahasa Orang Asing terjemahan Apsanti Djoko Sujatno. Kendati saya tahu Apsanti nyaris menjadi penerjemah dari bahasa Prancis ke Indonesia secara spesialis, namun sejumlah kalimat dalam Orang Asing terasa kaku lantaran begitu taat pada Bahasa Indonesia yang baik dan Benar!

Berbeda dengan terjemahan Apsanti terhadap Mite Sisifus, Orang Asing tak begitu menggigit. Seikit lurus dan kurang lincah. Tapi tidak berarti bahwa terjemahan Apsanti gagal seluruhnya. Masih banyak yang mantap dan membuat kita iri. Bahasa Albert Camus masih bisa kita nikmati walau dalam bahasa Inodnesia.

Novel Catatan Dari Bawah Tanah terbit dalam bahasa Indonesia pada 1979, sementara Orang Asing 1985, tahun ketika saya baru berusia sepuluh tahun. Kebetulan, saya membaca novel Dostoyevski sehari setelah saya menyelesaikan novel Camus itu. Kesan saya: Dostoyevski dan Camus punya pengalaman luka yang sama menganga, punya intuisi dan daya khayal yang menembus dunia yang sedang dipijak dan diinjak.

Jika memang saya harus menuturkan perbedaan antara dua novel besar yang dipuji-puji para kritikus di belahan dunia itu, letak perbedaannya tentu banyak, di antaranya terletak pada penuturan tentang sosok sang tokoh dan cerita mengenai sains yang tampaknya membuat dunia sang pemuda dalam novel Dostoyevski lebih intelektual dari dunia yang dialami Meursault dalam novel Camus sebagai sosok paria yang terhina.

Dostoyevski menghabiskan bagian pertama novelnya dengan cerita mengenai perkalian dalam matematika, hukum logika dalam filsafat, tentang kebebasan, dan sejumlah gugatan yang dialamatkan pada (filsafat) manusia. Dostoyevski sendiri mengakui kalau cara berpikirnya “terlalu filsafi”, sebab itulah “hasil hidup di bawah tanah selama empat puluh tahun”.

Dostoyevski punya gaya bertutur—juga bermonolog—yang khas. Ketika kita telah masuk ke dalam kisahnya dan asyik mengikuti relief-relief jiwa si pemuda, ternyata kita dikejutkan oleh pernyataan narator yang menganggap ceritanya belum dimulai. Demikianlah pada bagian pertama novel ini menampilkan monolog batin sang pemuda tentang ketidakpastian akan tanah air yang dipijaknya, tentang kecemasan dan keresahan akan dunia yang tak kunjung bisa diraihnya.

Dostoyevski banyak memberi kita pelajaran tentang kearifan hidup. Berbagai persoalan yang bisa jadi sahabat sejati manusia dihadirkan dengan ringan, tapi tiba-tiba watak bejat kita sepeti sedang diperiksanya. Ada yang abadi dalam kata-kata anak seorang dokter tentara ini. Tapi ada pula imaji penulis novel Si Miskin dan Karamazov Bersaudara ini yang mudah mati . Pengalaman hidupnya sebagai orang yang tak merdeka, di mana seluruh gerak-geriknya diawasi rejim yang berkuasa, membuat novelnya kaya pengalaman mengenai pertanyaan tentang kesadaran siapa sesungguhnya manusia di muka bumi.

Pengetahuan Dostoyevski tentang Roma, Jerman dan Prancis, juga ikut memperkaya metafora dan tema novelnya. Tapi sekaligus membuat novelnya kian tak bisa ditolak dari kecenderungan untuk berfilsafat tentang manusia berikut dunianya. Bahkan Dostoyevski terlampau asyik mempersoalkan filsafat angka dan perkalian, sekali pun dengan pena pribadi yang kritis. “Kepastian matematis”, tulis Dostoyevski, "bagaimana pun juga, adalah hal yang tak bisa ditahan. Dua kali dua ada empat bagiku tak lebih dari suatu keangkuhan....Kuakui bahwa dua kali dua ada empat adalah hal yang bagus sekali, tetapi sekiranya kita ingin memberikan kesempatan pada semuanya, maka dua kali dua ada lima kadang-kadang juga bisa sangat menarik”.

Dostoyevski cukup peka menghadirkan dunia sang pemuda, pergulatan identitas dan jiwanya di tengah dunia yang absurd, juga gugatan yang hampir marah menyaksikan manusia menjadi makhluk perusak dan pembunuh. Sejak Adam dan Hawa menerima kutukan untuk segera turun ke bumi, Tuhan memang telah mengingatkan akan sifat manusia sebagai khalifah yang menyimpan tabiat perusak dan penghancur di muka bumi nanti. Dan Dostoyevski kembali mengingatkan kita, memberi semacam aba-aba tentang dualisme dalam diri manusia: “Manusia senang membuat jalan dan mencipta, ini adalah kenyataan yang tidak usah disangsikan. Akan tetapi, kenapa ia juga begitu senang pada perusakan dan kekacauan? Tolong katakan!”

Dostoyevski seperti mengajak kita bermain catur dan kita disekak mati oleh biji kudanya. Dostoyevski sendiri melukiskan perumpamaan tentang tragedi manusia dalam permainan catur yang mengacuhkan tujuan demi mementingkan proses permainan. ”Manusia makhluk banyak tingkah dan selalu berubah-ubah, dan barangkali, laik seorang pemain catur, mencintai proses permainan dan bukan tujuannya sendiri”. Artinya, dalam hidup yang selalu dikejar manusia, membuat manusia menyeberangi laut luas dan memanjat tebing meninggalkan kampung halaman dan tanah air, tapi ia sendiri takut akan berhasil.

Gaya bahasa Dostoyevski tampak meyakinkan. Kadang-kadang muncul kalimat dengan nada dasar penuh keyakinan, bahkan nyaris mendekati keangkuhan. Terutama pada bagian pertama yang memaparkan tentang bakat dan kemampuan sang tokoh yang lebih unggul dari yang lain. Ada satu kalimat terakhir Dostoyevski yang mengingatkan saya pada kepercayaan diri Nietzsche tentang bagaimana ia menulis: “Kalau mengenai diriku”, kata Dostoyevski, “yang kulakukan ialah menjalani sampai ke ujung-ujungnya apa yang Anda tidak berani jalani sampai separuh jalan”.

Bahkan, ada satu kalimat Dostoyevski yang mengingatkan saya pada ”kredo” Iwan Simatupang tentang novel masa depan sebagai novel tanpa pahlawan. ”Sebuah novel memerlukan pahlawan”, tulis Dostoyevski, ”sedangkan semua ciri-ciri anti pahlawan diutarakan dengan jelas dalam kisah ini”. Agaknya, Dostoyevski memang berhasil mengakhiri novel debutnya dengan ending yang cantik. Setelah merenung tentang sebuah kebencian bisa mengantarkan kepada penyucian, dan merenungkan rasa perih yang sekarat, ia menutup Catatan Dari Bawah Tanah dengan rasa rendah diri, melalui penggalan kalimat panjang syarat perenungan:

”Bahkan kini, setelah bertahun-tahun kemudian, semuanya ini masih merupakan kenangan buruk. Aku banyak punya kenangan buruk, tapi....apa tidak lebih baik kalau ’catatan’ ini kuakhiri di sini? Aku yakin aku telah melakukan kekeliruan dengan menuliskannya, setidak-tidaknya aku tak henti-hentinya merasa malu waktu menuliskan kisah ini; ia lebih lagi merupakan hukuman ganjaran sastera. Mengisahkan suatu kisah yang panjang dan memperlihatkan bagaimana aku sudah merusak hidupku dengan membiarkan moralku membusuk di sebuah sudut, karena tak adanya lingkungan yang sesuai, karena terpisah dari kehidupan sebenarnya, dan karena rasa kesal, di dunia bawah tanahku, bukanlah hal yang menarik; sebuah novel memerlukan pahlawan, sedangkan semua ciri-ciri anti pahlawan diutarakan dengan jelas dalam kisah ini. Yang paling penting, semuanya memberikan kesan yang tidak menyenangkan karena kita terlepas dari kehidupan, kita adalah orang-orang cacat, kita semua, begitulah kira-kira...Kita merasa tertekan karena jadi manusia—manusia dengan tubuh dan darah pribadi, kita malu karenanya, kita menganggapnya sebagai suatu penghinaan lalu kita berusaha untuk menjadi semacam manusia umum yang mustahil. Kita dilahirkan bisu, dan selama angkatan demi angkatan kita diciptakan bukan oleh ayah yang hidup, dan kita merasa senang dengan kenyataan itu. Kita mulai serasi dengan itu. Tidak lama lagi kita akan berusaha entah dengan cara bagaimana supaya lahir dari sebuah ide. Tapi sudahlah; aku tidak mau lagi menulis dari ’Bawah Tanah’”.






Huong



Partai Komunis Vietnam berusaha mendesakkan seni untuk rakyat, dan meneguhkan kembali peran sosial sastrawan yang harus bertanggungjawab. Sementara sastrawan dan intelektual Vietnam meresponnya dengan beragam karya sastra, film, novel dan teater yang secara terang-terangan mulai melontarkan kritik atas kebijakan partai komunis. Salah satunya adalah Duong Thu Huong, penulis Novel Tanpa Nama (2003)—terjemahan Sapardi Djoko Damono dari versi Inggris—yang terang-terangan mengkritik segala kebijakan partai Komunis Vietnam tanpa ampun.

Pada tahun 1989 para pejabat partai konservatif Vietnam tiba-tiba menghentikan seruan tersebut dan mencanangkan kembali politik “ketertiban” dan menyensor buku-buku yang dianggap tidak sepaham. Novel-novel Duong Thu Huong menjadi sasaran kemarahan rezim karena itu dilarang terbit.

Duong Thu Huong adalah sosok feminis sekaligus penulis penuh kontroversi. Melalui novel-novelnya, Huong tak henti-hentinya mengkampanyekan semangat keterbukaan dan menentang segala bentuk sensor yang dibuat oleh rezim penguasa. Novel Sorga bagi si Buta (Indonesiatera, Oktober 2004), adalah contoh novel yang secara spesifik mengkritik kebijakan-kebijakan partai Komunis yang memberlakukan kebijakan reformasi tanah yang dipaksakan kepada rakyat jelata. Mengambil setting di era 1980-an, dengan narator seorang perempuan muda Vietnam, Hang, novel ini mengalunkan kisah mencekam dan teror yang menakutkan. Sebagian besar novel ini bertempat dalam angan-angan Hang ketika ia tengah melakukan perjalanan dengan kereta api menuju Moskow untuk mengunjungi pamannya, Ho Chi Minh, seorang kader partai Komunis yang kelak menjadi musuhnya. Dari tempat kelahirannya, di sebuah desa kumuh di pinggiran sebelah utara Hanoi, Hang memulai kisah panjang tentang peristiwa revolusi, kediktatoran partai Komunis dan sikap sastrawan penganut realisme sosialis yang sering memaksakan kehendak.  

Paman Chinh adalah kader yang bertanggungjawab bagi pendidikan ideologis di belahan utara kota Quang Ninh. Di mata kader partai Komunis, ideologi adalah profesi yang mulia, lebih tinggi dari segala-galanya. Guru dianggap sebagai orang terpelajar, yang menyalurkan pencerahan dan pemikiran berharga yang tak dapat dibeli dengan uang. Slogan-slogan mereka begitu elitis bagi kalangan petani dan pedagang kecil seperti ibu dan tetangga-tetangganya yang hanya butuh sesuap nasi untuk bisa bertahan hidup. Gerakan mogok massal, pertentangan kelas antara kapitalisme dengan komunisme, imperialisme, gerakan kaum buruh, gerakan revolusioner, Front Nasional dan sejenisnya, terdengar asing dan menakutkan bagi penduduk setempat.

Selama empat puluh lima tahun, Duong Thu Huong menyaksikan teror dan horor yang ditimbulkan oleh kampanye reformasi tanah. Kisah ini merupakan bagian permulaan yang paling besar menimbulkan kekecewaannya pada praktik pemerintah Komunis yang otoriter dan diktator. Sebagaimana digambarkan Duong, kampanye reformasi tanah (1953-1956)--yang sebagian besar terinspirasi oleh revolusi Cina yang dipimpin oleh Mao Zedong--telah memancing gelombang kekerasan: tindakan mengerikan para penduduk desa yang menggulingkan “tuan tanah” tetangga mereka, juga keluarga ayahnya, sebagian hanya karena memiliki tanah beberapa akre saja--telah ditangkap, dipermalukan dan diusir dari tanah moyangnya.  

Di antara “tuan tanah” itu banyak yang merupakan penduduk desa yang baik, orang-orang yang hanya sedikit memiliki tanah, yang menghargai ladang padinya sebagai darah daging mereka sendiri, hanya dengan satu pernyataan yang kejam mereka tersingkir, terlempar dari sekadar penonton tak berdosa menjadi pihak tertuduh. Teror yang ditimbulkan oleh pengikut partai Komunis telah menelan korban ratusan ribu nyawa. Ironisnya, kampanye idologi yang hendak menghapus sistem kepemilikan pribadi, ternyata diikuti oleh hasrat menumpuk kekayaan dari kaum elit partai. Sebagian lainnya mengambil keuntungan dibalik kesempitan mereka yang terguling. Karena itu, slogan-slogan “demi perbaikan ekonomi kaum proletar”, “tuan tanah musuh abadi kaum tani”, “hidup proletariat”, “gayang para borjuis” , “kepalkan tangan” adalah slogan-slogan yang terdengar klise dan kehilangan daya sihirnya.

Absurdnya reformasi tanah dan kampanye ideologi patai Komunis telah menimbulkan berbagai dampak psikologis yang patal bagi penduduk setempat. Bagi Duong Thu Huong, yang berasal dari keluarga kelas pekerja dan sempat menjadi anggota partai Komunis itu sendiri, Vietnam menjadi negeri yang dilanda rasa takut yang mencekam, dimana darah seorang telah berubah menjadi putih lantaran perang yang berkepanjangan, sempoyongan di jurang kelaparan, dan tiba-tiba harus mempertahankan diri mereka melawan pemimpin mereka sendiri. Huong dengan lantang mengutip teriakan-teriakan dan khotbah-khotbah para kader partai Komunis dengan penuh semangat. Ada sikap marah, kecewa dan terkadang terdengar putus asa menghadapi orang-orang yang menghamba pada sebuah ideologi licik dan pengecut yang menghalalkan segala cara. Itulah sikap yang ditunjukkan oleh paman Chinh yang ternyata tak kalah rakusnya dari kaum elit borjuis lainnya, hidup dan tinggal di rumah mewah di atas penderitaan orang lain.  

Ketika pemerintahan Viet Minh mulai mendengar kritik dan teror yang disebabkan oleh kampanye-kampanye partai Komunis yang dianutnya, dia mengumumkan permintaan maaf, mengakui bahwa reformasi tanah adalah sebuah “kesalahan” dan mengelompokkan para petani kembali melalui kampanye “Perbaikan Kesalahan”. Mereka yang selamat dari kamp buruh dikirim kembali ke desa mereka di bawah perintah untuk “memaafkan dan melupakan”. Dengan ketajaman nalurinya, ajakan untuk memafkan kesalahan dari rezim yang berkuasa tetap belum mampu melupakan ingatan akan betapa pedih masa lalu keluarganya . Meski secara de facto, hidup yang dialami Huong jauh lebih bebas dari tahun-tahun ketika perang dan pertentangan ideologi dirayakan, kenyataan pahit tetap menjadi memori kolektif yang sulit dilupakan. Duong Thu Huong dan kisah dalam novel ini, betapa pun pedih pada awalnya, ia tetap menjadi ikon bagi pejuang hak asasi manusia di Vietnam. Huong adalah seorang feminis yang terluka oleh perang dan pertentangan ideologi yang tak kenal menyerah. Kejujuran dan keberaniannya, tak jarang menjadi sesuatu yang menakutkan bagi rezim yang sedang berkuasa. Novel-novel Huong menjadi saksi sejarah betapa ideologi dan politik tak selamanya bisa diserbatunggalkan.

Hingga saat ini, ada tiga novel karya Duong Thu Huong yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia; Novel Tanpa Nama (2003), mengisahkan gambaran yang liris dan subtil tentang orang-orang 'tanpa nama' dalam perang berabad-abad dan tanpa akhir di Vietnam. Novel Sorga bagi si Buta (2004) dan Menembus Mimpi Hampa (2004), mengisahkan perjalanan pahit dua orang perempuan yang hidup di tengah-tengah huru-hara perang dan pertentangan ideologi politik yang berlarut-larut. Juga penderitaan sebagian perempuan Vietnam dalam menghadapi dominasi ideologi patriarkal yang meletakkan perempuan di bawah subordinasi laki-laki, menjadi sisipan kisah indah sekaligus menggugah.  

Buku Novel Tanpa Nama konon mendapat sambutan luar biasa di Vietnam. Namun, di sini, novel yang diterbitkan hampir dua tahun lalu, dengan mudah masih kita temukan di rak-rak toko buku. Novel Sorga bagi si Buta dalam versi Inggrisnya, konon terjual 40. 000 eksemplar. Novel Menembus Mimpi Hampa dalam waktu yang tak sampai dua pekan, sudah habis terjual 60. 000 eksemplar. Sebuah prestasi yang gemilang yang jarang ditemukan di negeri ini. Betapa pun indah dan kuat pesan moral yang ditawarkan Duong Thu Huong dalam novel-novel terjemahan ini, dari segi tematis, tak ada yang baru. Tema pertentangan kelas dan ideologi Komunisme sudah banyak digarap oleh para sastrawan, politikus dan kaum cerdik-cendikia lainnya. Sekedar menyebut beberapa contoh, buku Milovan Djilas (The New Class), adalah buku debutan yang meramalkan komunisme akan hancur karena ia mengabdi kepada kepentingan kelas pelaksana (aparatchik), terbukti sudah. Czeslaw Milosz (The Captive Mind), penulis Polandia ini mendeskripsikan hilangnya kebebasan bangsa dan manusia Polandia. Maka menurutnya, betapa nyeri proses penyesuaian diri para intelektual dan seniman terhadap konsepsi kekuasaan totaliter di negara-negara Eropa Timur, yang jatuh ke dalam orbit kekuasaan Uni Soviet setelah Perang Dunia. Padahal negara-negara Eropa Timur itu dulunya adalah bangsa-bangsa yang bebas, dan nasionalisme mereka sendiri yang kuat dan teguh seperti Polandia,, Hongaria, Cekoslowakia, dan sebagainya. Buku dalam tema yang sama, namun terhitung masih baru, adalah novel Arundhaty Roy (The God of Small Things), sebuah novel debutan yang sempat heboh lantaran kritiknya atas partai Komunis India.

Pengamatan Djilas, Milosz dan Arundhaty Roy sebenarnya sudah didahului oleh sebuah pandangan lain dari Antonio Gramsci, seorang teoritikus komunis Italia yang meninggal dunia tahun 1927. Ia mengajukan kritik pedas kepada gerakan komunis waktu itu, yang telah kehilangan pesonanya lantaran mencampakkan spiritualitas dan wajah kemanusiaan. Namun konteks dan sudut pandang yang berbeda, membuat tema semacam ini tetap layak diapresiasi dan menarik untuk terus didiskusikan, menjadi bahan refleksi betapa bahayanya ideologi yang menghamba pada kepentingan kelas.




































Lahiri


Jhumpa Lahiri mungkin hanya diketahui namanya oleh mereka yang selama ini mengikuti dengan baik perkembangan sastra dunia. Mereka yang rajin menyambangi kehadiran para sastrawan India di panggung sastra dunia, mungkin sudah pernah mendengar namanya. Bahkan sebagaian satrawan dan kritikus sastra kita cukup akrab dengan buah penanya.

Siapa sesungguhnya Jhumpa Lahiri, dan apa yang istimewa darinya sehingga karyanya diterjemahkan ke bahasa Indonesia? Apakah yang dibicarakan Jhumpa Lahiri punya kaitan dengan sesuatu yang juga penting bagi orang ramai di sini? Mengapa Jhumpa Lahiri, tidak sastrawan India lainnya?

Harus diakui, nama Jhumpa Lahiri mulai melejit dan disebut-sebut dalam panggung kesusastraan kita sejak karyanya Interpreter of Maladies terbit tahun 1999 itu diterjemahkan oleh dua penerbit: penerbit Jalasutra menerjemahkan dengan judul Benua Ketiga dan Terakhir dan penerbit Akubaca menerbitkannya dengan judul Penafsir Kepedihan dan Gramedia mengalihbahasakan dengan judul Penerjemah Luka.

Judul yang digunakan ketiga penerbit Indonesia itu sepintas sudah menggambarkan apa yang dibcarakan Jhumpa dalam Interpreter of Maladies. Pergulatan impiannya, harapan serta angan-angannya, tak selalu memikat perhatian kita di sini. Namun Jhumpa telah bicara, bahkan memberikan suara-suaranya tak cuma demi India, bahkan bagi perempuan dunia ketiga.

Buku Jhumpa itu telah ikut mengantarkan dirinya meraih penghargaan Puitzer dalam kategori karya fiksi. Orang mengenalnya sebagai sastrawan dengan pendidikan formal yang relatif bagus dibandingkan dengan sejumlah pengarang dunia ketiga lainnya. Jhumpa meraih gelar Ph.D pada bidang renaissance studies dari Universitas Boston, Inggris. Sebuah gelar dari disiplin yang menggetarkan bagi sebagian orang, tentunya.

Dalam usianya yang relatif masih muda, Lahiri telah memulai proses kreatif dengan mendalami dunia kesusastraan, khususnya di bidang prosa. Pada prosalah Jhumpa Lahiri tertambat pada dunia kesusastraan, sebagaimana para pendahulunya terpikat oleh labirin dan seni rupa kurva yang memang khas terdapat pada sebagian besar pengarang India.

Hingga saat ini, belum ada sastrawan kita mengulas karya itu dengan studi yang mendalam. Kecuali mungkin resensi Yusi Pareanom dalam rubrik Buku majalah Tempo Agustus 2000, yang kini dimasukkan dalam kata pengantar terjemahan dari penerbit Akubaca.Sementara Interpreter of Maladies menjadi semakin populer di dunia, dengan puluhan komentator dari sastrawan maupun intelektual, majalah atau jurnal, baik yang berasal dari Inggris, Amerika maupun India.

Terlepas ada publikasi besar-besaran dan ketenaran penulisnya, bagaimana pun, cerita-cerita Jhumpa telah membuai saya, memberikan pesona dengan aroma tersendiri, hingga membawa saya untuk memahami lebih mendalam persoalan hidup berikut realitas pedih pergulatan manusia di benua ketiga dan ke empat (yang terakhir julukan dari para pastur Katolik Amerika latin).

Buku ini terdiri dari sembilan bagian yang masing-masing nampak ditulis secara terpisah, layaknya sebuah buku kumpulan cerita mikro, tapi di sisi lain, buku ini dapat dipahami sebagai bagian yang saling mengait layaknya sebuah novel karena hampir setiap tema bercerita tentang kepedihan. Jhumpa memang menyajikan pergulatan yang pedih, semacam mimpi hampa yang tak kuasa dilaluinya.

Pada bagian tentang Penafsir Kepedihan, sang tokoh yang bernama Kapasi ditampilkan dengan citra-citra unik, hingga menjelma tokoh sempurna. Jhumpa berhasil menggambarkan pergolakan seorang imigran yang bisa jadi merupakan manifestasi dirinya sendiri. Kapasi terjebak antara dua kultur yang berbeda, ia merupakan contoh yang tepat betapa runyammnya berumah di dua kultur, selalu terombang-ambing, travelling terus-menerus, terayun boalak-balik yang berkesinambungan atau lepas, antara harapan dan anggapan, antara masalalu dan masa depan.

Selanjutnya, Kapasi memahami realitas hidup melalui pengalaman langsung, sementara nyonya Das orang akademis yang tidak bisa lepas dari teori-teori abstrak. Kapasi telah mengabdikan dirinya sebagai penafsir penyakit antar benua sekaligus sebagai pemandu wisata. Sementara nyonya Das mengalami derita batin selama delapan tahun yang nyaris terkapar dan tak sangup lagi memaknai kehidupan. Nyonya Das telah membuat Kapasi kembali kepada masa muda, terperangkap dalam angan-angan yang asing, suasana hati yang berbunga.

Pada bagian Perawatan Bibi Haldar, Jhumpa bercerita tentang perempuan India yang tinggal bersama paman dan bibinya. Si perempuan kemudian jatuh sakit dan tak diketahui secara pasti penyebabnya. Selama tiga puluh tahun ia mendekam di tempat tidur dan mengharap akan datangnya “dewa penolong”. Dengan kemampuan si juru terjemah, perempuan itu ternyata hanya bisa disembuhkan dengan menjalani sakramen aib: sebuah ritual tentang seks bebas. Dengan kata lain, hanya seks yang bisa menyembuhkan si perempuan.

Dalam cerita berjudul Dunia Ketiga dan Terakhir, Jhumpa menuturkan dengan sangat indah pergulatan seorang suami dan istri (tokoh aku dan Mala), yang bergulat memperjuangkan kenyataan hidup di benua Amerika dan India, yang masing-masing tokoh menunjukkan karakternya sendiri. Seorang perempuan berjalan disebuah trotoar, memakai sari yang longgar diujungnya hingga selalu terseret ketika ia berjalan di atas trotoar. Perempuan itu tengah mendorong kereta bayi. Sementara perempuan yang satunya berjalan bersama seekor anjing kecil yang kelihatannya galak. Perempuan yang pertama, yang membawa kereta bayi, sangat terkejut ketika tiba-tiba anjing yang dibawa perempuan kedua melompat, dan menggigit ujung sari bajunya dengan gigi-gigi menakutkan. Perempuan yang membawa anjing itu membentak anjingnya seraya meminta maaf dan segera menyingkir meninggalkan tempat kejadian. Sementara perempuan yang membawa bayi bergegas membenahi sarinya yang bekas digigit anjing dan menenangkan tangis anaknya.

Kisah kedua perempuan itu seperti ingin mengontraskan karakter dari tipologi tradisional dan modern bawaan mazhab Pencerahan. Cerita dalam cerpen-cerpen Jhumpa tampak terlihat mempreteli jebakan-jebakan modernitas melalui kemampuan seorang interpreter menghadirkan narasi-narasi kecil yang kuat, dan menggugah.

Jhumpa Lahiri sendiri pernah mengatakan: hampir semua karakter ceritanya berupa penerjemah, dalam arti; memahami orang lain untuk menyelamatkan kehidupan mereka. Penerjemahan, demikian dikatakan Jhumpa Lahiri, bukan melulu tindakan linguistik, namun sebuah aktivitas kultural yang tak pernah henti. Inilah karakter semangat menerjemahkan, seperti halnya pernah dikatakan Jhumpa di tempat lain: “Saya menerjemahkan, maka saya ada”.

Mungkin saja Jhmpa sedang mengolok-olok Rene Descartes, kalau bukan sedang memparodikan diri sendiri dengan cara membikin kredo kepengarangan. Tetapi, sebagai sebuah tafsir, setiap pembaca dihadirkan ke dalam suatu hutan rimbun kemungkinan pemaknaan lain, yang melimpah, atau dangkal. Karena itu, sebelum sampai kepada tafsir, ia terlebih dulu “bersua dengan tabir, dan kemudian tafsir” (untuk meminjam ungkapan Goenawan Muhammad).

Apa-apa yang dikisahkan Jhumpa dalam bukunya, menunjukkan kepada kita sebuah pernik-pernik dunia yang penuh dengan upaya menembus mimpi hampa. Cerita-cerita tentang nasib orang-orang perempuan imigran India, adalah cerita terbaik. Para astronot Amerika yang selalu dikenang sebagai pahlawan, tampak dicibirnya dengan lembut, karena mereka hanya menempuh beberapa jam saja untuk sampai ke bulan, sementara si aku telah berada di benua ketiga dan keempat selama hampir tiga puluh tahun.
“Aku tahu bahwa apa yang kulakukan bukanlah sesuatu yang luar biasa. Aku bukan satu-satunya manusia yang mencari keberuntungannya jauh dari rumah, dan tentu saja, aku bukan yang pertama. Namun, ada waktu-waktu dimana aku mengagumi akan setiap mil yang telah kujelajahi, setiap makanan yang telah kumakan, setiap pribadi yang kukenal, setiap ruang yang di dalamya kutiduri. Sebiasa semua itu kelihatannya, ada waktu-waktu ketika semua itu berada di luar imajinasiku”.
Ungkapan semcam itu tidak lahir dari perenungan yang dangkal. Ia hadir sebagai dimensi keselurahan pergolakan batin orang yang tinggal di dunia ketiga selama hampir setengah abad menyaksikan kehancuran. Jiwanya ditempa oleh berbagai dinamika yang tegang. Bahkan, ungkapan semacam itu juga tidak lahir dari teks-teks fiksi yang maskulin, yang meletakkan laki-laki sebagai juru tafsir yang piawai. Ia lahir dari kekuatan yang berbasis pada teks-teks feminin, meletakkan perempuan sebagai pelaku dan saksi.

Kekuatan cerita-cerita Jhumpa terletak pada penafsirannya tentang keindahan, dan bukan pada tema yang disuguhkan. Misalnya, sebagai seorang perempuan yang dibesarkan di tengah-tengah budaya gaduh seperti Amerika, pergulatan antara keharusan untuk mempertahankan tradisi India dan keharusan untuk menyesuaikan diri di tengah-tengah kehidupan orang Amerika, bukanlah pergulatan yang tanggung.
Tokoh-tokoh cerita dalam cerpen Jhumpa berkisah mengenai perjalanan bolak-balik dari India, Inggris dan Amerika yang begitu dikenal pengarangnya. Cerita-ceritanya dikemas dengan suasana dialog yang intens antara tokoh satu dengan tokoh lainnya. Ceritanya hidup, kendati saya membacanya dalam terjemahan Indonesia.
Tak mudah memetakan karya sastra Jhumpa. Apakah prosanya masuk dalam kategori sastra imajinasi, fantasi atau sastra imigran/diaspora. Sekali sebuah pematokan dimulai, maka kita menafikan berbagai kemungkinan berkelebatnya makna sastrawi dalam setiap tema yang dibicarakan.

Ungkapan Nirwan Dewanto bahwa sastra yang ideal adalah sastra yang “mengimajinasikan realitas” dan bukannya “menghancurkan ralitas” sepenuhnya benar ketika merujuk pada puisi Octavia Paz dan novel Seratus Tahun Kesunyian Gabriel Garcia Marquez. Tapi apakah gunanya di sini? Tetapi, apakah cerpen-cerpen Jhumpa bisa dikategorikan sebagai sastra imaji? Lalu bagaimana sikap Jhumpa ketika karyanya dipetakan? ”Semua menggelikan saya. Buku saya adalah apa yang tertulis di dalamnya, dan penerimaan terhadapnya merupakan sesuatu di luar angan saya dan saya sendiri tidak memiliki kesanggupan untuk mengontrolnya”, tulisnya.

Sayangnya, komitmen Jhumpa telah terhujam dalam hatinya untuk tak lagi akan menulis tentang India dan orang-orang India non-imigran. Tetapi, semoga ia seperti Inul Daratista ketika dihujat oleh Rhoma Irama, ia menangis dan akan absen di dunia panggung, dangdut, tetapi tak lami ia bangkit dengan semangat baru mendobrak ketabuan.























Bagian II
Makna dan Nama




















Teater Satu dan Teater Garasi


Teater masa kini adalah Teater Garasi dan Teater Satu. Mengapa? Dari sekian banyak teater yang ada, Teater Garasi terhitung paling depan dan disusul Teater Satu. Tentu saja pernyataan ini bisa diperdebatkan, bahkan ditolak karena menihilkan keberadaan yang lain. Tapi jika ada penulis sejarah teater Indonesia mutakhir, maka karyanya akan cacat kalau mengabaikan keberadaan Teater Garasi dan Teater Satu.

Dari segi usia dan "jam terbang", Teater Garasi tentu lebih lama. Dari segi pengaruh juga demikian. Namun jangan remehkan perkembangan Teater Satu Lampung! Dalam sepuluh tahun terakhir Teater Satu berhasil "memaksa kritikus teater“ untuk menyimak, dan mampu menjejak-kan pengaruhnya di ranah teater Indonesia dengan kemampuan penyutradaraan yang ketat, serta ketangguhan dalam melahirkan aktor yang menjulang (sebut misalnya Hamidah).

Baik Teater Garasi maupun Teater Satu, ideologinya satu. Yudi dan Iswadi pengagum buku-buku aktor dari Constantin Stanislavski, yang di Indonesia sudah punya pengaruh kuat sejak jaman ATNI. Tak lengkap rasanya jika kita bicara panjang-lebar tentang teater realis kalau tidak menyitir segugus pendapat Stanislavski. Salah satu aspek mustahak dalam teater realisme yang ditekankan Stanislavski adalah persiapan seorang aktor menjadi intelektual (dalam arti menggagas rapat seni dan pemikiran), punya bobot emosional yang terjaga baik, bukan cuma pemain. Stanislavski menekankan dialog dengan penafsiran secara liris kata demi kata, kalimat demi kalimat, sampai si aktor dapat merasakan kata dan kalimat dengan mendalam.

Intonasi dialog, diksi yang bernyanyi, gestur dan mimik, dan berbagai prasyarat pelik dari Stanislavski dihidupkan kembali oleh Yudi dan Iswadi. Padahal masih diragukan apakah dalam mempelajari karya-karya Stanislavski calon aktor betah digembleng secara tahap demi tahap dengan merasakan secara praktik-pikiran-pikiran seni peragaan sastra Stanislavski. Walau banyak juga yang pernah mencak-mencak karena membuat teater Indonesia modern jadi seragam. Arifin C. Noer menganggap Stanislavski bersama David Garrick hingga Steve Lim (Teguh Karya) telah lama mati.

Metode akting yang dikembangkan dari garis tebal realisme Stanislavski itu juga pernah dikritik Afrizal Malna, Remy Sylado, dan banyak lagi. Namun tokoh Teater Seni Moskwa itu masih mempesona. Setidaknya bagi Yudi Ahmad Tajudin dan sejumlah pegiat Teater Garasi Yogyakarta dan Iswadi Pratama dan kawan-kawannya di Teater Satu Lampung.

Baik Yudi maupun Iswadi, sekalipun banyak mendapat inspirasi dari Stanislavski, namun kedua sutradara handal ini lebih banyak menampilkan teater non-realis dengan menakik bahasa puisi liris model yang dimaui oleh Goenawan Mohamad. Iswadi banyak sepaham dengan Goenawan soal gagasan puisi liris. Yudi bahkan terang-terangan mengikut Goenawan ketika mensejajarkan karya seni pada umumnya dengan puisi dalam esainya tentang ideologi teater Garasi. Kredo Goenawan tentang puisi lirik dalam esai HB Jassin. Dimana Berakhirnya Mata Seorang Penyair? dijadikan semacam ideologi teater Garasi oleh Yudi.

Memang, beberapa kritikus teater selama ini melihat kedekatan Teater Garasi dengan Teater Satu. Selain Stanislavski dan lain-lain, Goenawan termasuk guru Yudi dan Iswadi. Maka sangat logis jika beberapa naskah teater-puisi yang ditulis Goenawan pernah dipentaskan Teater Garasi dengan sangat berhasil dan memuaskan GM. Mungkin kita beraharap agar Iswadi mau menggarap naskah teater Goenawan yang terkumpul dalam Tan Malaka dan Dua Lakon Lainnya (2009).

Para kru Teater Garasi pernah menerjemahkan buku "bimbingan menjadi aktor" karya Stanislavski: Membangun Tokoh (judul Inggris: Building A Character). Iswadi meresensi buku ini dengan kagum dan mengajak para pegiat teater untuk membaca buku langka tersebut. Gagasan-gagasan Iswadi tentang teater dekat sekali dengan arahan Stanislavski, di mana teater begitu berpusat kepada aktor. Aktor seolah segalanya. Dan melahirkan aktor adalah target utama.

Dalam melatih calon aktor, Iswadi secara fanatik menekankan keterampilan di bidang intonasi dialog dan sangat habitual pada bentuk-bentuk antara bacaan hafalan dan bacaan kata per-kata, atau resiatif dan mentrastik. Mungkin karena begitu sulit mencari aktor berbakat, maka sutradara Iswadi Pratama menawarkan untuk mengikuti arahan-arahan Stanislavski.

Iswadi juga mengembangkan teater sutradara. Sang sutradara juga menjadi sang aktor seperti dirinya. Tapi jasanya melahirkan aktor di Teater Satu layak diacungi jempol. Teater Satu berhasil melahirkan aktor Desi Susan, Hamidah dan lain-lain. Aktor Hamidah dipuji majalah Tempo saat membawakan karya Firdaus yang diangkat dari novel "Perempuan Di Titik Nol“. Hamidah merupakan aktor yang mampu "bermain dua jam setengah dengan ekspresi yang tak kendur. Artikulasi dan intonasinya terjaga. Ia bisa menggiring imajinasi kita, menelusuri kegetiran hidup Firdaus—padahal set dan properti begitu minimalis“.

Rupanya zaman ATNI yang meletakkan aktor sebagai pusat bagi teater belum mati. Asrul Sani punya jasa menderek para pekerja teater untuk menciptakan teater aktor hingga jejaknya masih bisa kita temukan dalam beberapa teater aktor Iswadi. Apakah teater tercipta hanya karena aktor? Ada teater yang malah tak membutuhkan aktor. Sardono lewat "Dongeng Dari Dirah“ tanpa naskah tanpa aktor tetap teater. Meminjam Putu Wijaya, teater bukan hanya laku, tapi juga peristiwa dan bisa peristiwa itu sendiri.

Tak banyak aktor mutakhir yang keberhasilannya bisa bertahan lama. Kalau ada ada Rendra, Arifin, Teguh, Slamet Raharjo, Tuty Indra Malaon, Nano Riantiarno, Tapa Sudana, Chaerul Umam, Moortri Purnomo, Dedy Sutomo, Doorman Borisman, Ratna Riantiarno, Renny Djajusman, Zainal Abidin Domba, dan banyak lagi. Maka anjuran Iswadi agar para calon aktor terus membaca karya-karya Stanislavski tidak sia-sia. Majalah Tempo telah mengapresiasi Teater Satu dan menempatkan sang sutradara Teater Satu sebagai satu di antara tokoh teater terbaik 2008.

Tentu saja Stanislavski masih mempesona untuk sebuah teater monolog, walau pun dialog paling mendapat tekanan dalam karya-karyanya. Dialah sang inovator, aktor, sutradara, dan kritikus teater Rusia yang pengaruhnya terhadap penekanan terhadap rasa kata atau diksi dan bernyanyi itu, bisa kita lihat dalam banyak karya Iswadi, termasuk lakon Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang.

Tak sia-sia, setelah di pentaskan kali pertama 2003 di Jakarta, lakon itu menyabet empat penghargaan sekaligus: Naskah Terbaik, Sutradara Terbaik, Grup Terbaik, dan Kelompok Artis Terbaik. Patutlah kita berbangga karena ternyata ada sutradara dari Lampung yang berkelas dan dapat disejajarkan dengan Yudi Ahmad Tajudin di Teater Garasi.

Sebagai sutradara, Iswadi menekankan bagaimana memberi bentuk fisik peran/karakter yang dimainkan sehingga citraan-citraan lahir maupun batin peran bisa sampai. "Bahkan, tidak jarang ada semacam keraguan di kalangan mereka untuk menentukan apakah aspek-aspek batin peran terlebih dahulu yang harus diserap aktor kemudian diberi bentuk fisik; ataukah citraan-citraan fisikal lebih dahulu yang dikejar aktor barulah 'jiwa’ peran diberikan?“

Sementara Yudi lebih tertarik pada yang dramatik dan subversif dengan tetap mengandalkan kekuatan bahasa puitis. Apa yang dituju oleh sang sutradara tidak lain adalah menciptakan pelaku yang dramatik, yaitu ideal artistik yang ingin dicapai oleh setiap pelaku teater melalui eksperimentasi bentuk. Saya kira antara Yudi dan Iswadi sama-sama tertarik pada bentuk, bukan isi, sebagaimana juga ketika keduanya bicara tentang puisi.

Beberapa kali saya dengar kritikus teater menyebut tentang kekuatan sebuah teater ada pada person. John Perreault dan Michael Kirby mendedah lakon Oedipus, a New Work, dan menemukan daya pukau dan daya sihir sebuah teater justru pada matrik tokoh dan kisahan yang menampakkan kekuatan person, alih-alih aktor.

Dari sini kita tahu bahwa tokoh punya peran penting bagi teater, tapi bukan segalanya. Aktor yang baik tidak selalu baik karena piawai menampilkan dialog dan monolog batin, melainkan mampu menghubungkan momen batinnya dalam keadaan khusuk seperti orang semadi dengan sejumlah persyaratan lain yang tentu tidak sedikit. Teater dialog maupun monolog tetap membutuhkan semacam tempo-ritme. Dalam berbicara maupun membisu, bergerak maupun diam, kata Stanislavski, kita mesti mengikuti tempo-ritme. Tanpa memperhatikan tempo dan ritme, sulit sekali dialog atau monolog berlangsung dengan intim dan khidmat.

Seturut dengan Goenawan Mohamad, keterampilan seorang sutradara dalam melahirkan seorang aktor merupakan hal yang paling signifikan. Keterampilan dalam memahami, menghayati, dan memainkan peran serta menghidupkan pertunjukkan, untuk menjadikan seni pertunjukan menjadi suatu realitas tersendiri yaitu realitas pertunjukan teater, di mata Goenawan adalah hal paling mendasar harus dilakukan. Terlebih lagi dalam teater monolog yang memang menempatkan aktor sebagai pusat gravitasi.

Tengok pernyataan Goenawan dalam Lakon dan Lelucon, betapa dekat dengan semangat esai resensi Iswadi berjudul Buku 'Penyelamat Aktor: "persoalan yang dihadapi oleh seorang sutradara dewasa ini“, kata Goenawan, adalah "ketika metode akting Stanilavski tampaknya tidak pernah diikhtiarkan lagi dan ketika karya-karya yang sering dipanggungkan di Indonesia sekitar tahun 1950-1960-an (Chekhov, Ibsen, Strindberg, misalnya, atau beberapa lakon Indonesia oleh Motinggo Boesje dan Nasyah Djamin) tidak pernah muncul kembali.

Di pentas di Indonesia sekarang mungkin hanya Studi Teater Bandung yang masih meneruskan apa yang dulu dirintis oleh Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan tentu saja oleh Jim Adilimas. Kita tak pernah lagi menyaksikan Pinangan atau Kebun Cheri, di mana aktor dituntut menampilkan drama batin, karakterisasi, suasana hati (lebih penting ketimbang alur cerita), dengan fokus pada segi tragikomedi dari kejadian-kejadian yang sering banal“.

Beruntung buku Persiapan Seorang Aktor masih bisa saya baca di perpustakaan daerah Lampung, di mana Stanislavski meyakinkan saya melalui pengalaman personalnya tentang makna sesungguhnya dari monolog batin: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening“, tulis Stanilavsky, "maka aku akan menikmatinya“.

Sekali pun dengan harga cukup mahal, kusempatkan membeli buku Membangun Tokoh karena di buku ini saya diajarkan bagaimana menubuhkan tokoh dengan penekanan pada aksen bicara, penokohan batin, mimik wajah, intonasi, jeda, diksi, keliatan gerak, tempo-ritme, dan seperangkat persiapan lain yang tak mudah. Gagasan-gagasan ini sudah cukup lama saya baca dalam pementasan teater Satu dan Teater Garasi.

Tentu saja puisi-puisi liris Iswadi tak bisa diabaikan dalam proses pembentukan dan penjiwaan beberapa karya teater yang lahir dari Teater Satu. Dan sekarang saya baru tahu kalau teater monolog ternyata berhubungan erat dengan aktor dan penyair yang memiliki sifat silent soliloquy. Seperti bisikan puisi Pushkin di akhir buku Membangun Tokoh Stanislavski itu, saya sadar bahwa “dari ketinggian, dapat memindai dengan mata berbinar, lembah tempat tenda-tenda putih tersemat, dan, jauh selepasnya, laut serta layar terkembang melaju pesat“.





































Seni dan Uang



Seni dan uang: apa yang bisa kita bayangkan? Kehancuran seni karena uang? Seni yang menjadi tergantung pada uang?

Kita bisa membayangkan apa saja. Bisa dikaitkan dengan minimnya anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk seni. Dan ini lagu lama yang diulang-ulang hingga membosankan. Bisa juga dihubungkan dengan laku para seniman yang berkarya dengan mengharapkan jasa. Lagi pula tak relevan lagi bicara pahlwan tanpa tanda jasa. Tidak manusiawi. Pelecehan. Melanggar HAM.

Sekarang tak usah heran kalau mendengar seniman mengharap bintang jasa. Sudah lumrah di zaman sekarang kalau ada seniman yang berusaha mendekatkan diri pada kuasa modal dan mengorbankan ideal dan integritas seni. Selain itu, upaya menginduk pada negara dianggap sah demi memperoleh suntikan modal. Siapa yang tak butuh uang di zaman yang serba-uang ini. Uang menjadi segalanya. Menjadi panglima.

Tapi masih ada seniman yang tidak menjadi penegmis dana negara. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, sepanjang hidupnya tidak mengemis dan menghamba dengan pemerintah. Dia tak pernah terdengar menyodorkan proposal kepada pengusaha atau penguasa. Demikian pula Afrizal Malna. Penyair ini mungkin satu-satunya yang sudah punya nama yang mantap, dengan menghasilkan ratusan puisi yang mendapat apresiasi luas, tapi sekaligus paling melarat dan sampai sekarang tidak punya rumah. Ia tak punya uang kecuali mengharapkan hasil dari honor tulisan di koran, atau sebagai pembicara dalam diskusi tentang seni yang jarang sekali.

Afrizal sempat juga diselamatkan oleh beberapa wartawan TV yang memintanya membuat skenario film pendek. Tapi saya tahu betul bahwa Afrizal mau menggarap skenario film itu kalau tidak diatur dan diarahkan oleh si pemesan. Ia ingin membuatnya dengan merdeka, agar bisa tulus.

Maka, agak ganjil kedengarannya kalau seniman dan sastrawan di Lampung meributkan soal anggaran. Kita semua sepakat bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana untuk kegiatan seni dan sastra sama sebagaimana mereka memperlakukan politik, bahkan sudah sewajarnya jika perhatian pemerintah lebih terfokus pada soal seni, budaya dan sastra, karena ini persoalan nilai. ”Pada 2010 ini pemerintah harus memikirkan strategi kebudayaan di Lampung”, tulis Iswadi.

Sejak dulu, pemerintah kita memang tidak peka, tidak terbiasa berpikir keras, apalagi mau memikirkan strategi kebudayaan. Terlampau berharap pada gubernur atau walikota, sekalipun mereka kita dukung saat pencalonan, bisa membuat ketergantungan yang tidak sehat, padahal sejak lama seniman hidup dengan memotong tali pusar.

Lagi pula apa sih yang sudah dilakukan seniman dan sastrawan Lampung selama ini? Melihat cara-cara mereka mendesak pemerintah untuk memberi dana bagi perkembangan seni dan sastra di Lampung, terkesan bahwa mereka sudah banyak jasa dan perlu dihargai, seperti Sutardji dihargai oleh Pemda Riau.

Sumbangan mereka terhadap perbaikan kualitas masyarakat Lampung tidak terlalu jelas. Selama ini mereka hanya mengharumkan nama Lampung di kancah pergaulan seni dan sastra nasional, tapi hanya sebatas mengharumkan saja. Apanya yang harum, warganya, tradisinya, bahasanya, menjadi tidak jelas juga.

Kalau saja kegelisahan para seniman dan sastrawan Lampung itu terbit dari hati yang tulus, memikirkan seni dan sastra sampai berdarah-darah, saya sangat bangga. Tapi saya kira, tudingan yang dialamatkan kepada pemerintah selama ini, punya ekor yang panjang. Kritik yang bertubi-tubi kepada pemerintah kadang menyimpan motif yang tidak punya hubungan langsung dengan nasib seni dan sastra di tanah Lampung, tapi lebih pada mengharpkan dana pribadi.

Munculnya puluhan sastrawan di Lampung dengan karya yang lumayan bagus, dan mendapat apresiasai nasional, justru karena mereka tidak menggantungkan hidup dengan dana dari pemerintah. Jangan-jangan kalau Pemprov atau Pemkot sudah ngasih dana, para seniman dan sastrawan kita akan bernasib sama dengan para aktivis LSM di Lampung yang kehilangan daya kritis. Tidak ada dana dari Pemprov selama ini justru sudah terbukti mampu melahirkan karya-karya dengan capaian estetik yang sip.

Harumnya nama Teater Satu di kancah nasional selama ini hampir tidak ada peran yang berarti dari pemerintah daerah. Anggaran kegiatan Teater Satu dan Kober memang tidak sepenuhnya mandiri, mereka masih menggantungkan dana dari luar. Namun keberadaan dana bagi dua komunitas teater di Lampung itu bukan persoalan pokok dan mendasar. Saya kira akan tetap lahir karya-karya hebat Iswadi dan Ari Pahala sekalipun sudah tidak ada lagi bantuan dari pihak luar.

Demikian pula Isbedy, Arman AZ, Inggit, Lupita, Oyos, Dahta, dll., mereka sudah terbukti hebat walau pun masih sering melarat. Memang, dalam even atau acara yang tingkatnya nasional atau internasional, para sastrawan kita kadang masih harus buat proposal kepada pemerintah, walau pun akomodasi dan transfortasi sudah disiapkan panitia.

Memang, dengan tidak adanya anggaran dari pemerintah, para seniman dan sastrawan kita menjadi pintar bikin proposal. Kepintaran dalam membuat proposal ini nyaris mengalahkan kepintaran para aktivis LSM. Mereka juga pandai membangun jaringan di kantor-kantor pemerintah atau swasta, yang sewaktu-waktu akan mereka ”manfaatkan” untuk kepentingan mendapatkan dana. Dan kelebihan terakhir, adalah: kalau ada momentum pemilihan kepala daerah para sastrawan dan seniman kita menjadi tim sukses, tapi ketika jago mereka menang, hanya pahit yang mereka terima.

Uang benar-benar membutakan banyak orang. Uang juga senjata paling ampuh untuk menggerogoti idealisme para pengarang dan wartawan. Dan sukses tampaknya cuma bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita. Para pengarang Lampung senantiasa menjadi biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri.

Lagi-lagi saya teringat Pram, terutama satu kalimatnya dalam novel Bukan Pasar Malam: “Hidup di alam demokrasi membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh–ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Adakah Pram sedang bicara tentang filsafat uang? Pram bisa jadi berhutang pada ajaran Marx dan Simmel tentang filsafat uang. Dalam salah satu tulisannya, The Capacity of Present-day Jews and Christians to Become Free (1843), yang pernah dikutip St. Sunardi dalam pengantar buku AB. Widyanta tentang sosiologi kebudayaan Georg Simmel, kita menemukan gagasan Marx tentang uang. Uang, kata Marx, adalah “Tuhan pencemburu bangsa Israel” (the jealous god of Israel). Tak ada Tuhan lain pun yang boleh ada di hadapan Dewa Uang.

Bisa jadi “uang menurunkan derajat semua Tuhan dan mengubah mereka menjadi komoditas”, kata Marx yang sekuler. Uang terbukti menjadi nilai dari segala sesuatu yang bersifat umum, dan tidak membutuhkan nilai-nilai lainnya. Oleh karena itu, uang telah merampas nilai kesejatian pribadi, juga merampas nilai sesungguhnya dari seluruh dunia; baik dunia manusia maupun dunia alam. Uang adalah esensi terasing dari kerja dan hidup manusia, dan esensi ini menguasai dirinya saat dia memujanya.

Di sini kita tahu mengapa Georg Simmel (1858-1918) terseret oleh bayang-bayang Marx. Salah satu tesis Simmel terkenal—sekaligus menghubungkan dirinya dengan Marx—adalah tentang segalanya adalah uang. Dan kalau ini juga yang sedang mengancam para seniman Lampung, maka pilihan kita sekarang tinggal ”serulah”, kata Asrul Sani: serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan anggaran dengan mengorbankan ideal-ideal kesenian! Kemudian katakan: “Ia yang hendak mencipta, menciptalah atas bumi ini. Ia yang akan tewas, tewaslah karena kehidupan”.









































Sastra, Waktu, Sejarah


Apakah di antara yang ada di dunia ini yang paling panjang namun sekaligus juga paling pendek, paling cepat namun paling lambat, paling terbagi-bagi namun paling luas, paling disepelekan namun paling disesalkan? Dan tanpa hal itu, tak satu pun dapat dilakukan; dia melahap segala sesuatu yang kecil, namun mengabadikan yang besar.

Hadirin tampak mulai berpikir keras mencari jawaban. Lalu seseorang berdiri dan menyebut kekayaan. Seseorang lagi menjawab bumi, sementara yang lain menjawab cahaya. Tapi semua jawaban itu salah. Yang betul adalah jawaban Zadig: waktu.

Tak ada yang dirasakan lebih panjang, karena waktu adalah ukuran keabadian. Tak ada yang lebih pendek karena selalu kurang untuk melaksanakan rencana-rencana kita. Tak ada yang lebih lambat bagi mereka yang sedang menunggu. Tak ada yang cepat berlalu untuk mereka yang sedang menikmati hidup. Waktu terbentang luas tak terkirakan, juga terbagi-bagi dalam satu ukuran yang atomik. Semua orang menyepelekannya, namun menyesali kehilangannya. Tak ada yang dapat dilakukan tanpa waktu. Waktu membuat semua yang tak patut dikenang terlupakan, dan yang pantas dikenang menjadi abadi.

Teka-teki dan jawaban di atas saya kutip dari satu bab roman klasik Voltaire dalam versi Indonesia: Suratan Takdir (judul aslinya Zadig). Apa sesungguhnya waktu? Bagi Zadig, waktu adalah panjang. Kita hidup dalam waktu, dan sejak lama melahirkan persekutuan dan angkatan. Tapi apakah waktu memang keabadian?

Ada renungan yang panjang terutama ketika waktu diukur dan dibekukan dalam satuan-satuan menit. Seakan-akan ada rentetan statis yang lantas dianggap sebagai waktu. Ini kata-kata Bambang Sugiharto ketika memahami waktu dari konteks filsafat.

Memang, seperti kata Bambang mengingatkan, kita hidup dalam waktu. Karena itu, dimensi waktu kini jauh lebih relevan ketimbang dimensi ruang. Waktu menjadi bagian tak tepisahkan dari manusia, alam, dan Tuhan. Hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi memiliki pemahaman tentang Waktu atau waktu: waktu sebagai angka hari, bulan dan tahun sejarah, maupun waktu dalam arti makna dan pemahaman. Waktu geometris, waktu kalenderis, waktu antropologis, waktu mistis, waktu abstrak, waktu simbolis, waktu psikologis.

Waktu bertaut-erat dengan sejarah; serangkaian kejadian atau peristiwa yang dalam pandangan tradisionalisme tak dapat berulang. Waktu lampau membeku dalam sejarah dan tak dapat kembali. Musim durian tahun 2007 hanya sekali walau tahun berikutnya berkali-kali terjadi musim, namun berbeda hari, bulan atau tahun. Dan waktu tak mungkin berputar mengikuti lingkaran siklus yang sama.

Namun waktu menjadi lain ketika dilihat dari konteks makna dan pemahaman. Dengan kata lain, waktu kualiatif. Alexis Carrel mengingatkan pentingnya waktu kualitatif, karena banyak persoalan manusia dan alam raya tak terkait secara kuantitatif. Martin Heidegger memahami waktu sebagai yang sambung-menyambung antara masalalu, masakini, masadepan dan berputar-putar tanpa awal dan akhir.

Kini waktu ibarat komidi putar di taman ria yang mengelilingi lingkaran yang sama. Ratusan tahun lampau al-Hallaj telah menyebut tofik waktu sebagai lingkaran titik-titik primordial yang berputar terus-menerus dalam kesatuan antara masalampau, masakini, dan masadepan. Manusia memahami luncuran waktu sebagai proses yang tak cuma mengenai masa lalu, melainkan masakini dan juga masa depan.

Sementara Octavio Paz memahami waktu sebagai langkah kembali menuju asal primordial, ke kala mula, sebelum ketidakadilan lahir, sebelum masa ketika manusia pertama menandai sekeping tanah dan berkata: ”Ini milikku”.

Tepat pada hari itulah kesenjangan dimulai, dan bersamanya hadir pula peselisihan dan penindasan.. Atau dengan kata lain: sejarah. Oleh sebab itu, revolusi adalah lawan dari sejarah. Apa yang kita namakan revolusi adalah tindak historis agung yang justru enggan mengakui keberadaan sejarah.

Seorang kritikus pernah menganalogikan mesin waktu lewat penafsiran atas waktu dalam sajak Padamu Jua Amir Hamzah. Sang kritikus itu mengatakan begini: skala waktu geologi kini mencakup masa jutaan, bahkan miliaran tahun, karena Bumi sendiri telah berumur sekitar 4,5 miliar tahun. “Bicara waktu untuk kosmos atau alam semesta malah lebih menggetarkan karena menjangkau sedikitnya 13 miliar tahun”, katanya dengan sangat percaya diri.

Dalam kurun yang jauh melampaui rentang waktu hidup Amir Hamzah, katanya, manusia yang cerdas dan terus mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikiran untuk memahami rahasia alam, kini bisa kembali ke masa miliaran tahun silam. Bahkan, kalau umur kosmos disebut 13 miliar tahun, katanya yang tampak sangat matematis, maka dengan berbekal ilmu fisika kuantum, manusia dapat mereka ulang kejadian-kejadian di dekat masa 13 miliar tahun silam itu, bukan saja satu detik setelah alam semesta lahir, tetapi bahkan seperjuta-triliun-triliun-triliun detik. Luar biasa! Haruskah kita menyalahkan pencapaian sains yang ilmiah ini?

Sekali lagi, waktu ibarat komidi putar yang berkeliling menyapa kita, terus berproses mengelilingi lingkaran tanpa pusat dan tanpa sumbu atau orbit. Octavio Paz mengaitkan kenyataan puisi modern dengan waktu sebagai sebuah perulangan, yang juga tanpa awal dan tanpa akhir, terus-menerus mencari persilangan waktu, memusar ke satu titik pertemuan yang melebur kala silam, kini dan kelak.

Dalam konsep Hindu, ada istilah Mahakala (waktu tanpa akhir), yang mengatasi waktu dan siklus perputaran kelahiran kembali. Dalam kerangka reinkarnasi, waktu merupakan roda perputaran yang menyedihkan dari eksistensi di dunia yang fenomenal, yang bukan dunia nyata, melainkan maya. Karena itu mereka mencoba mengatasi apa yang imortal dan yang abadi dengan yang berubah dan tak selesai.

Dalam ajaran panca maha butha misalnya, semua makhluk hidup pada akhirnya akan terurai dan terberai atas unsur alam pembentuk kehidupan: air, api, logam dan eter. Kematian adalah siklus. Satu hidup saja memang tidak abadi, karena hidup masih sering ditata dalam prasangka kefanaan, tetapi rangkaian siklus kehidupan dan reinkarnasi dalam Hindu, itulah makna keabadian sejati.

Goenawan Mohamad, seingat saya, menekankan waktu ekstasis dalam hubungannya dengan sejarah interior ketimbang sejarah eksterior, terutama dalam esai Kota, Waktu, Puisi. Ini sebaliknya dari pandangan Albert Camus, bahkan gagasan Jose Rizal—novelis terkemuka Filipina—dalam tilikan Anderson, di mana waktu dipersepsi sesuai perhitungan kalender. Di mana ruang dan waktu interior justru bergeser ke ruang dan waktu eksterior, dan bukan sebaliknya.

Contoh menarik tentang perubahan waktu dalam konteks kebudayaan masyarakat Bugis lama pernah ditunjukkan dengan sangat menarik oleh Christian Pelras dalam esai Pendahuluan Siklus La Galigo yang Tak Dikenal. Sejak dahulu, bagi sebagian besar masyarakat Bugis terkait dengan soal waktu yang mistis melalui sejumlah ritus suci. Waktu berhubungan erat dengan upacara sinkretis. Namun ketiga Islam masuk, maka mulailah konsep waktu dikaitkan dengan ajaran Islam. Hal yang gaib disesuaikan dengan konsep Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah paham filsafat matematis yang menekankan hanya satu sebagai bilangan pasti.

Sejak kekuasaan raja-raja Bugis dihapus dan Islam jadi patokan di segala bidang, gejala-gejala sinkretisme dan mistisisme mulai tergusur. Demikian pula dalam penanggalan Jawa kuna. Bilangan mistis, magis, dan nonrasional, akhirnya berubah sejak Sultan Mataram berkuasa dan masuknya Islam ke bumi Nusantara. Berbagai corak mistis dan magis serta misteri-misteri yang terkait dengan bilangan, telah tergusur oleh gerakan pemurnian dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar masyarakat bahari Nusantara memiliki pemahaman tentang dunia ruang dan waktu yang spiritualis, dengan daya-daya kekuatan supranatural—terlepas apakah itu berupa yang ilahi atau setan.

Dalam astronomi Babilonia yang digerakkan oleh ras Sumaeria dan Akkadia, ruang dan waktu adalah bingkai kehidupan yang non-rasional. Pemikiran astronomi dan matematis pada awalnya masih diliputi oleh suasana pemikiran magis-mistis. Ruang dan waktu dalam sistem astronomi awal tidak berupa ruang dan waktu teoritis yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis yang bisa diukur. Astronomi lebih dikenal sebagai astrologi. Karena astronomi tak mungkin lahir tanpa sosoknya yang mitis dan magis, yaitu sosok astrologi.

Selama ber-abad-abad sifat ini bertahan, bahkan menurut Ernest Cassirer dalam salah satu buku esainya tentang manusia, masih terdapat dalam kurun pertama abad ke-20. Namun, kesulitan-kesulitan mendasar untuk mengekspresikan ruang dan waktu abstrak dan simbolis akhirnya dialami juga oleh para filsuf. Fakta bahwa ada ruang abstrak merupakan penemuan terpenting dari pemikiran Yunani. Namun para pemikir Yunani, kata Cassirer, masih kesulitan menjelaskan corak pemikiran logisnya. Sama seperti aljabar simbolis Babilonia masih teramat elementer dan sederhana. Maka larilah para filsuf Yunani ke dalam pernyataan-pernyataan paradoksal. Demokritos menganggap ruang ”bukan hal ada”. Newton mengingatkan agar tak mencampur-adukkan ruang matematika murni dengan ruang pengalaman inderawi. Tugas filsafat justru mengabstraksikan data-data dari penglaman inderawi ini.

Para pemikir Berkeley menampik gagasan Newton tentang ruang matematika murni sebagai yang tak lebih dari ruang imajiner juga; suatu khayalan dalam pikiran manusia. Weinz Werner menganalisa gagasan ruang dan waktu masyarakat primitif dan secara angkuh menyimpulkan bahwa: ruang dan waktu manusia primitif kurang objektif, kurang terukur, kurang abstrak, sifatnya yang egosentris atau antromorfis, yang fisiognomis-dinamis yang tak sesuai dengan teori ruang dan waktu ilmiah. Dengan ruang geometris, katanya, maka manusia mendiami ruang universal.

Descartes berangkat dari penemuan besar di bidang matematika yang melahirkan cita-cita ideal mathesis universalis yang bermetamorfosis menjadi cogito ergo sum. Kant memisahkan pengertian antara ruang dan waktu, di mana ruang adalah bentuk pengalaman luar manusiawi, sementara waktu adalah bentuk pengalaman dalam. Demikian pula Leibniz.

Pemikiran astronomi dan matematika yang masih menyimpan kandungan metaforis dan mistis, akhirnya berubah menjadi sangat rasionalis dan khaostis. Astronomi mengugusur astrologi. Kuantitatif dalam matematika telah menggusur kualitatif. Maka ruang dan waktu mitis dan magis pun disisihkan oleh ruang dan waktu geometris. Padahal para penemu pertama astronomi dan geometri tak bermaksud meretas selubung mistik dengan teori ilmiah. Baru kemudian ketika astronomi dan pemikiran matematis Babilonia yang mistis telah beralih ke Yunani dan Arab-muslim, maka ruang dan waktu yang mistis digusur oleh yang serba-rasionalis.

Pencarian religius orang Hindu lama mengikuti jejak spiritual yang membuat mereka keluar dari siklus dan keterikatan waktu dari eksistensi, dan untuk mencapai keadaan eksistensi yang abadi, imortal dan bahagia. Budha mirip dengan pandangan Hindu yang menggambarkan keadaaan nirvana sebagai arus waktu melalui gagasan kelahiran kembali. Hanya saja, dalam kosmologi Budha, alam semesta adalah siklis, dan arus waktu kelahiran kembali itu tenyata melahirkan parinirwana—fase ketika tidak ada lagi reinkarnasi atau terhentinya kelahiran kembali.

Masyarakat ”primitif” mengenal waktu sebagai tak bisa dipisahkan dengan keseluruhan aktivitas sosial dan fenomena ekologis dan meteorologis. Ada waktu yang suci dan diangap terjadi secara periodik, dan waktu biasa tanpa kaitan dengan sesuatu yang magis dan religius. Mitos dan ritus menghadirkan kembali hal-ikhwal yang mereka percayai sebagai sejarah suci dalam wujud tindakan simbolis dan ritual. Sebagian mereka memaknai waktu dengan mengacu pada siklus hidup individu dan sosial. Siklus waktu dapat dilihat konteks geneologi, konteks mitos, dan legenda-legenda asal-usul kehidupan alam semesta.

Edward W. Said dalam Orientalisme, khususnya pada bagian tentang geografi imajinatif dan representasi dalam konteks mentimurkan timur, mengatakan begini: sampai dengan pertengahan abad ke-18, para orientalis adalah cendekiawan Injil, pengkaji bahasa-bahasa Semit, spesialis-spesialis Islam, dan sinolog-sinolog yang bergerak dalam pemahaman waktu modernis. Namun Said sendiri mengira bahwa waktu akan terhenti ketika ditafsirkan oleh modernisme sebagai waktu yang melulu matematis-geometris.

Pranata imperial, ilmu pengetahuan, dakwah agama, ternyata telah menciptakan berbagai kategori dan yang berakar kokoh dalam sistem klasifikasi dan representasi yang menyerahkan diri begitu saja pada dualisme, dan penataan dunia secara hierarkis. Linda Tuhiwai Smith dalam Dekolonisasi Metodologi misalnya, melihat waktu sebagai bagian integral organisasi kehidupan sosial masyarakat ”primtif”, namun lewat diskusi yang menghadirkan keterpautan waktu dengan revolusi ilmu pengetahuan, imperialisme, dan etika keagamaan, Linda—yang terinspirasi oleh Edward W. Said—melihat ketiga proyek ini punya andil besar dalam mengakhiri hubungan integral antara waktu dan kehidupan sosial.

Para orientalis, kata Said, telah menciptakan suatu penelitian arbitrer (sembarang) tentang Islam dan menghasilkan pandangan tentang binari antara ”daerah mereka” dan ”daerah kita”, antara yang ”objektif” dan ”yang subjektif, ”masyarakat primitif” dan ”masyarakat modern”, ”timur” dan ”barat”. Oleh karena itu kata Said pula, ”mereka jadi mereka dengan sendirinya”, daerah kita ditetapkan berbeda dengan daerah mereka. Maka, jika kita sepakat bahwa segala sesuatu dalam sejarah adalah diciptakan oleh manusia, maka kita akan memahami mengapa benda, ruang, tempat, dan waktu bisa saja diberi peranan dan arti yang (seolah-olah) memperoleh validitas obyektif hanya sesudah peranan dan arti tersebut diberikan. Padahal semua itu, kata Said sambil mencontohkan tentang ruang dalam sebuah rumah yang dipinjamnya dari Gaston Bachelard, hanyalah ilusi.

Novel Things Fall Apart Chinua Achebe dengan cantik menampilkan bagaimana misionaris Kristen telah menghancurkan tradisi Ibo masyarakat pribumi yang menempatkan waktu sebagai siklus kehidupan dan organisasi sosial yang tak tepisahkan di Niegeria-Afrika. Lewat konflik penokohan yang terjadi pada Okonkwo dan rekan-rekannya, Achebe berhasil menyampaikan secara apik gambaran tentang tragedi kemanusiaan yang diakibatkan oleh kehendak menyebarkan agama ke segala bangsa.

Seraya merujuk Walter Benjamin, Benedict Anderson dalam Imagined Communities menegaskan adanya analogi antara gagasan tentang sesosok makhluk hidup sosiologis yang bergerak mengikuti kalender melalui waktu yang homogen dan hampa, dengan gagasan tentang bangsa sebagai imagined communities—komunitas-komunitas terbayang.

***

Pemahaman atas waktu ternyata telah mengubah pemahaman atas alam dan manusia. Kini alam dan kehidupan bersama manusia sedang berada dalam pertanyaan yang mencemaskan. Semakin lama banyak orang semakin bergantung pada alat-alat kekuasaan untuk menyelamatkan diri sendiri, yang digunakan mulai dari kedudukan hingga penguasaan ekonomi, dan dipraktekkan dari tingkat individu hingga negara. Alam yang kita kenal sebagai memiliki hukum penciptaannya sendiri (baca: hukum alam), kini justru dijadikan alat di tangan manusia untuk menundukkan misteri di bawah ilmu pengetahuan.

Hukum alam sudah dimanipulasi sedemikian rupa oleh kesadaran egologi manusia lewat ilmu pengetahuan dan teknologi pemangsa. Kehidupan alam kian hari kian terancam sejak manusia merasa dirinya sebagai penemu-penemu hukum kausal. Sejak silogisme Aristoteles hingga cogito ergosum Descartes sampai dengan karya arsitektur pesanan penguasa, telah jauh membawa pengetahuan manusia ke egosentris, dengan cara menempatkan pengetahuan teknik sebagai teknik penguasaan terhadap alam.

Hampir setiap hari kita menyaksikan manusia-manusia mesin yang telah menjadi biang keladi atas kerusakan lingkungan dan menganggap ilmu pengetahuan berada di atas hukum kosmis. Lingkungan kebudayaan yang diciptakan oleh manusia seakan mengungguli lingkungan alam ciptaan Tuhan. Pandangan purba yang menempatkan alam di atas kebaradaan manusia, dianggap sudah ketinggalan zaman. Rasionalisme dan modernisme dipercaya sebagai iman yang teguh karena konon akan memberikan harapan masa depan bagi kemajuan umat manusia.

Para perencana, arsitek, pengelola, dan pemodal, masih saja berpikir dan berlomba-lomba untuk membuat berbagai macam desain lingkungan untuk memberi mereka akses dalam memanfaatkan hamparan alam di bawah kendali ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak mengherankan jika muncul akibat sampingan, di mana alam yang tak bisa diganggu gugat, yang sakral, yang menjadi penyangga kehidupan semua makhluk di bumi, menjadi diabaikan, dan lambat laun dikonstruksi dan diubah-jadikan sesuai dengan mesin pemangsa.

Keberadaan alam sebagai payung kehidupan di bumi terus mengalami pengrusakan. Para penghuni alam, manusia dan binatang, mengalami alienasi dan tak lagi bisa menentukan keberadaan ruang huniannya sendiri secara alami. Ozon telah lama diisukan mengalami tukak, bolong, dan mengancam kehidupan. Srigala pemangsa ternyata jauh lebih peka dalam memandang keberadaan dan fungsi alam ketimbang manusia sempurna. Sebab, manusia semakin lama justru kehilangan medianya melalui berbagai politik perijinan dan legitimasi hukum yang dijalankan sistem teknologi pemerintahan.

Imajinasi sosial kita tentang lingkungan, ruang, dan tempat menjadi impian-impian buruk di masa lalu, sekarang dan mungkin juga nanti. Berbagai fenomena baru yang muncul dalam pengalaman ruang kita di hari ini telah mengalami perubahan peran dan fungsi. Karena itu, kini dituntut bukan saja sekadar melakukan koordinasi atas relasi ruang dan tubuh kita, melainkan juga menciptakan pola persepsi atas pemahaman akan nilai ruang kehidupan bersama.

Para arsitek memang tak pantas dianggap sebagai biang keladi kehancuran lingkungan hidup jika saja mereka peka dalam memandang keberadaan alam dan tidak melulu menjalankan titah ilmu pengetahuan dan teknologi habis-habisan demi untuk memutlakkan mitos kecerdasanan manusia sebagai satu-satunya kuasa manusia menyaingi kuasa Tuhan. Mengikuti pandangan dan gagasan para arsitek di Lampung beberapa tahun terakhir, sungguh sangat memperihatinkan apa yang tertanam dalam benak mereka. Para dosen arsitek di kampus tampak masih enggan masuk ke dalam kajian ekologi kota dengan mengaitkannya dengan politik kota, apalagi masuk ke dalam pengimajinasian seni, budaya, dan keadilan gender. Padahal dalam perencanaan sebuah kota, tidak melulu bersifat perencanaan teknis, tetapi juga perencanaan secara politis.

Lingkungan masih sangat signifikan. Karena dalam perencanaan kota, bisa ditetapkan apakah pengembangan teknik akan diabadikan kepada tujuan yang menghancurkan lingkungan atau ke arah kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan. Apakah dalam perencanaan juga akan ke arah menggusur sistem pengetahuan lokal dan menjadi alternatifnya, atau justru bisa memperkuat sistem pengetahun budaya lokal dan menjadi komplemennya.

Dalam analisa perencanaan kota selama ini, terlihat bahwa pengetahun teknik para arsitek dikonsentrasikan pada teknologi dan teknologi dikonsentrasikan pada industri yang pada gilirannya di arahkan secara terpusat pada gerakan eksploitasi lingkungan. Penelitian yang banyak dilakukan para arsitek kampus yang bekerjasama dengan pemerintah kota tentang pesisir pantai Teluk Betung misalnya, masih tersihir oleh kokok ayam empirisme-positivisme. Hasil “Studi Penataan Kawasan Pantai Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menuju Bandar Lampung Ecocity” (2003) yang dilakukan Jausal dkk. sangat meragukan karena adanya kesulitan yang bersifat prinsipil yang tak mereka sadari; yaitu bagaimana caranya menjaring fakta-fakta sosial dan budaya yang bersifat non-empiris dengan metode-metode empiris.

Sejarah arsitektur dan ruang kota ternyata memang ditulis oleh jenderal yang menang. Para arsitek menyikapi politik keruangan melalui pemanfaatan ruang dan waktu geometris. Proses kapitalisasi telah memposisikan ruang kota berhadapan dengan waktu. Bahkan ruang ikut dihancurkan oleh waktu. Modernisme telah melahirkan ruang-ruang yang cemas dan gamang.

Berbagai kearifan lokal dan genealogi Melayu telah diletakkan dalam kerangka antroposentrisme yang saling memangsa. Sementara manusia terus hidup dan berkarya dalam penguasaan sejarah yang mengabaikan kearifan yang menjadi akar penting bagi manusia dan alam. Refleksi terhadap kehidupan bersama yang bersifat mistis dalam memandang alam kini telah kehilangan peluangnya untuk dinyatakan. Posisi alam dan hubungan antar-masyarakat lebih banyak merefleksikan ketakutan bersama. Warga pun mulai kehilangan modal sosialnya—rasa saling percaya, kohesi sosial, kebersamaan.

Perkembangan kampung yang merepresentasikan dirinya dengan pemandangan kesenjangan mencengangkan, yang meliputi perumahan, tingkat penghasilan, gaya hidup, ketertiban umum yang tidak cukup nyaman, hingga pelayanan sosial yang banyak mengandung masalah, adalah sebagian dari gambaran kehidupan bersama kita yang sudah tidak nyaman.

Pengkotak-kotakan kebudayaan terjadi dimana-mana. Model pembangunan di dalam era modernisasi hanya memikirkan dirinya sendiri-sendiri tanpa peduli faktor lain yang sesungguhnya berkaitan. Bentuk pembangunan di dalam kompetisinya untuk mencapai kemajuan (progres) menjadi semacam gurita yang menakutkan dan memangsa yang lainnya. Karena itu, konsep ”jaringan” menjadi gagasan alternatif bagi kampung-kampung di kota yang telah jatuh ke dalam curuk dan ceruk yang hiruk-pikuk, sarang pertama dalam penampungan kaum urban, kumuh dan padat, dan setiap saat berada dalam ancaman kebakaran atau penggusuran. Sejarah tidak memberi toleransi pada keberadan kaum urban poor alias kaum paria di kota-kota di Indonesia. Kehidupan bersama dalam konteks jaringan kampung bukan bermakna sebagai pembalikan ‘desa sebagai latar depan’. Kita tidak membutuhkan ‘desa sebagai latar depan’ seraya menjungkirbalikkan kota sebagai latar belakang. Apa yang dibutuhkan adalah ruang perantara dan jejaring bersama yang menghubungi latar desa-kota dalam kerangka pemikiran lebih luwes.

Kompleksitas kehidupan alam telah menenggelamkan kita ke dalam apa yang disebut krisis utopia—yang memanifestasi secara paling kuat pada hilangnya kemampuan dan keberanian masyarakat kita untuk bermimpi. Tapi jangan kecil hati dulu: baru-baru ini seorang anak muda dari latar keluarga miskin telah menghebohkan jagad kesusastraan Indonesia dengan tetralogi Laskar Pelangi. Si Andrea Hirata namanya, lewat tokoh Lintang, telah menantang kita lewat edensor untuk berani bermimpi: ”ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekata ruang dan waktu; sebuah jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa masa laluku; inilah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi”.

Manusia kini terus bergulat dalam kondisi insomnia melelahkan, yang menghilangkan kejernihan akal budi untuk dapat secara kuat dan imaginatif mengatasi permasalahan. Betapa sering bencana muncul akibat tangan manusia yang telah menjelma mesin. Teori ”tangan tersembunyi” Adam Smith telah menempatkan lingkungan sebagai produk pasar yang bisa dipasarkan, dikaplingkan. Dalam lima tahun terakhir ini kita terus menyaksikan ribuan pohon bertumbangan, rumah-rumah berantakan, binatang-binatang kian menjauh dari sukma bumi oleh keangkuhan pikiran dan tangan manusia. Kehidupan di bumi tengah beramai-ramai menuju peradaban ‘kota’, ‘modern’, ‘kemajuan’, ‘pembangunan’. Secara ekologis, semua konsep yang bagus-bagus itu saling terpatahkan.

Dalam kebudayaan mutakhir, sudah jarang kita temukan ritual keselamatan bumi dan kehidupan bersama. Prosedur yang ditempuh para seniman mutakhir lebih ke arah pemberontakan terhadap konvensi dan mainstream. Padahal konsep keselamatan dalam masyarakat tradisi merupakan totemisme, acuan terhadap nilai kosmologi bersama yang ekologis sifatnya. Meraka melakukan ritual dan upacara meruwat alam dan laut sebagai keselamatan bersama, membebaskan diri dari bala dan bencana, membersihkan alam semesta dari roh jahat.

Sikap kulturalis yang mistis ini, merupakan kesadaran terpenting dalam relasi sosial kehidupan masyarakat tradisi. Segala yang berkaitan dengan alam dan lingkungan ditempat sebagai pan-kosmisme, di mana manusia hanya dipandang sebagai bagian dari alam. Tak ada pemisahan antara alam dan manusia. Alam dipandang sebagai Ibu Bumi.

Setelah berbagai bencana menimpa, baru kini kita tergerak menyediakan ruang luas untuk penciptaan alternatif-alternatif unik yang kreatif. Pemecahan konvensional dalam arti yang melulu menekankan rasio dan nalar, mungkin hanya akan mengulangi kesalahan mendasar sebelumnya. Maka yang kini kita butuhkan adalah sejenis refleksi dan keheningan untuk mengembalikan manusia ke dalam kesadaran-dirinya, keterbatasan dan kerendahatian-nya.

Kini agaknya kita rindu akan tradisi mistis purba, karena kian hari kian banyak kerusakan di bumi. Hutan terus digerus dan digunduli. Di Toraja, di Tengger, di Jawa, dan banyak lagi, masyarakat kita memiliki nilai bersama untuk menjaga bumi dari kerusakan. Meruwat bumi adalah upaya menjaga refleksi kreatif bagi pemecahan konstruktif atas permasalahan bumi dan kehidupan secara bersama.

Orang Minangkabau menyebut negerinya sebagai Alam Minangkabau, yang merepresentasikan kedekatan manusia dengan alam. Bahkan mereka juga menyebut dirinya "Anak Alam". Dalam legenda masyarakat Lampung, banyak kita temukan kisah-kisah kehidupan ‘Anak Dalam’ yang begitu dekat dengan bumi dan lingkungan yang sakral.

Meruwat alam kembali dengan tradisi purba kian dirayakan, seakan-akan hidup memang betul-betul mengulang ke muasal yang silam. Meruwat semesta memang bisa memaknai kembali kehidupan bersama kita. Alam dan kehidupan perlu diruwat (dibersihkan) karena keberadaannya kini telah dijamah oleh tangan-tangan raksasa yang menabarkan bahaya. Kebobrokan dan ketidakjujuran yang tengah menghimpit hukum alam sudah selayaknya diruwat demi kelahiran kembali yang suci.

Kapan lagi misi profetis itu diagendakan lagi, kalau tidak sekarang nanti, atau lain kali. Karena kita tahu, sambil merujuk seorang penulis tarikh terkemuka dikalangan Kristen, bahwa manusia telah ditempatkan di akhir zaman. Goeterdaemmerung, senjakala, kalau boleh menggunakan istilah kaum postmodernis yang kini sedang ramai.

Tapi analogi itu terbukti tak juga meyakinkan, karena ”sejarah tak pernah mengenal senjakala bagi berhala”, tulis Goenawan. Setiap senja dimulai dari fajar, lalu tering yang garang dan senja yang berwarna lupa. Lalu kita masuk ke dalam malam, ke dalam sunyi ngilu dan mencekam. Tak ada lagi revolusi industri dan gerakan menyebarkan agama dengan senjata yang akan memisahkan waktu dari kehidupan manusia, masyarakat, dan alam semesta.

Alam raya, hamparan luas yang tidak lempang, dan bumi yang membentuk bola dunia, terus-menerus mengelilingi matahari tanpa akhir yang bisa kita pastikan. Maka demikian pula hidup dalam waktu, yang mungkin mengulang tapi tak mungkin berulang. Sebab segalanya kini tak pernah berakhir, tidak juga kembali. Bahkan sejarah pun adalah sebuah kelana dalam proses yang hidup, di mana yang lalu bisa hidup lagi di sini, dan yang kini atau besok bisa terhapus oleh perjalanan pematokan yang lain lagi.

Betapa musykil hidup dalam keakhiran, kepastian, ketunggalan. Tidak, kita tidak merayakan hidup sebagai satu, seperti filsafat matematika yang pongah itu, tapi kita hidup sebagai beda dan berubah. Bukan hidup dengan sesuatu yang menjulang megah dan gagah yang kita inginkan, karena terbukti tidak meyakinkan. Tapi hidup dalam transit, numpang singgah, sementara, untuk kembali berjalan undur atau maju, tak lagi tentu tuju.

Tak ada lagi ideologi yang mesti saya puja. Tidak juga pandangan-dunia, apalagi pandangan-dunia yang kukuh, bulat dan padu, karena waktu akan menuntun saya tidak menuju ke mana-mana. Antara, ruang bimbang mungkin bukan sesuatu yang pantas disebut tulus-menjadi, melainkan tulus-mencari. Kita berkata ya untuk “pasangan yang lengkap menari bersama” (Eliot) tanpa henti karena kita hidup dengan ”dua dunia belum sudah” (Rustam Effendi).

Pandangan-dunia tak lagi cocok bagi hidup di abad ke-21 ini, hidup yang intens dan meruwah, dan mungkin juga kalah. Hidup dalam rasa hayatan puisi yang tak terikat oleh ruang dan waktu; puisi yang “lahir dari dorongan untuk mengulang momen batin yang intens itu, untuk mencapai yang tak mungkin itu”, tulis Goenawan suatu kali. Dan firdaus yang hilang mungkin saja akan kembali, seperti sejauh-jauh elang terbang akan pulang ke kandang karena “di taman ini”, kata Ayu Utami, “saya adalah seekor burung; terbang beribu-ribu mil dari sebuh negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya”.

Barang kali kita rindu seperti Sapardi Djoko Damono yang begitu intens mencatat percakapan sunyi, tanpa berteriak, dari beribu saat dalam kenangan surut perlahan ketika mendengar bumi menerima tanpa mengaduh sewaktu detik pun jatuh, lalu kita dengar bumi yang tua masih dalam setia, Kasih tanpa suara, sewaktu bayang-bayang kita memanjang, mengabur batas ruang (Sajak Putih). Atau, yang sempat zarah ruang dan waktu yang capai menyusun Huruf, ketika sepi manusia, jelaga, dan duka-Mu abadi (Prologue), dan di ruang semakin maya dan musim tiba-tiba reda (Saat Sebelum Berangkat) dan kita gaib dalam gema (Dalam Sakit) karena waktu hari hampir senja, menunggu senja (Lanskap) dan di bawah bunga-bunga menua, musim senja telah tiba, dan kita bertanya dengan cemas: masih adakah? (Sehabis Mengantar Jenazah). Atau cukup diamlah, karena sementara burung-burung di atas rumah menghabiskan terik kemarau, sekali waktu kita mesti memilih kata-kata dalam ruang hampa udara (Suatu Siang di Kota M).

Dan arus waktu mengalir ke muara “sajak sunyi abadi dan kristal kata” Goenawan Mohamad hingga waktu pun dibayangkan Sapardi hanya sebagai detik-detik berjajar pada mistar yang panjang: sebuah waktu matematis, di mana Desember segera mengeras di tembok semula, lalu Januari tiba dan kita hanya mengikuti garis semula sampai musim pun masak sebelum menyala cakrawala. Dan tak terasa hujan bulan Juni tiba, dan jarum jam melewati angka-angka. Hingga akhirnya kita pun cemas bertanya: kemana kita?

Kita mengikuti gema di kejauhan, sewaktu hari kian merapat, di mana jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat (Hari pun Tiba), dan Pada Suatu Hari Nanti kita tinggalkan kota ini, ketika menyeberang sungai, terasa waktu masih mengalir, di luar diri kita. Dan di Dalam Doa 1 akan kita pandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya, kita pandang semesta, hingga Sebelum Surya Terakhir datang kembali memberikan tanda bahwa seluruh ruang telah siap menunggu. Namun, tiada jejak yang bisa kita simak, karena daun-daun di halaman, tirai jendela, helai-helai penanggalan, sudah mengabur dalam asap. Dan apa yang tersisa untuk kita genapkan, hanya tinggal jejak langkah, tak sampai.

Karena kita tak kuasa lagi mengekang luncuran waktu, tak mampu membebaskan diri dari alam kosmos yang telah diciptakan oleh para genius fisika dan astronomi yang memenjarakan manusia sejak Abad Pertengahan dan Renaisance. Maka sains senantiasa bergerak pada orbit-orbit tanpa batas, tanpa dapat kita kekang. Lalu waktu, bukan girilanku, kata Amir Hamzah mengingatkan. Lalu batu, lalu waktu, tulis Radhar pula: Walau kemarin berlalu tanpa hari ini, tetap kita harap nanti datang ini kali. Bahwa kita sekarang tidak ada dalam waktu, namun dalam penjara yang kita inginkan, sekaligus tidak kita harapkan.

Demikianlah hari ini, puisi hari ini. Orbit keindahan akan terus menggoda mimpi. Orbit cinta yang memberi arah bagi harmoni musik alam-manusia-dan Tuhan-terus kita kenang. Orbit kemuliaan, yang merupakan imbalan paling berharga bagi manusia yang sadar-diri, rendah hati, tulus, sabar dan tawakal, akan jadi remedi bagi luka besar manusia dan kemanusian.
















Tragedi, Komidi



Wawasan estetik perpuisian dunia, sejak abad ke-18, bergerak ke dalam ayunan antara tragedi dan komidi. Setiap penyair bahkan dapat disebut penyair tragedi sekaligus komidi. Hampir tak seorang penyair pun yang tak berurusan dengan tragedi dan komidi. Sajak-sajak—bahkan esai-esai—tak jarang mengandung parodi tersembunyi yang riang gembira namun sekaligus mengetengahkan suasana murung yang khas orang dewasa.

Tragedi dan komidi mendapat perhatian serius, dan ikut mengubah getaran impian dan rasa ria yang memabukkan. Kita mungkin pernah mendengar tragedi yang menimpa keluarga Luth, dewa-dewa, dan tragedi orang-orang kota Jakarta, Calcutta dan Beijing, yang kehilangan masa lalunya yang intim. Dalam sajak Kardus Pandora Afrizal Malna, misalnya, terdapat isyarat permainan tragedi dan komidi, alusi dan parodi yang bergoyang-goyang dan telanjang hingga melayang bagaikan penyair yang menari kesurupan.

Dalam teater, Afrizal seperti menggarisbawahi penciptaan sebuah drama tentang plot yang tragis. Di antara semua unsur yang perlu bagi tragedi—pentas, karakter, fabel, diksi, melodi dan pemikiran—sejak Aristoteles mengganggapnya yang paling penting adalah kombinasi kejadian-kejadian dalam ceritera, karena tragedi pada hakikatnya bukan imitasi pribadi, melainkan imitasi tindakan dan pancuran kehidupan yang menggerojok.

Dami N. Toda bahkan mengaitkan Kardus Pandora lebih jauh, mulai dari sisi motif mitos dengan menyusuri dari muasal pertama dalam mitologi Yunani hingga ke motif-motif magis-mitos modern. Dami mengaitkan bungkahan tragedi Kardus Pandora melalui karya dramawan Inggris Frank Wedekind tentang motif mitos dalam Eart Spirit (1895) dan The Dance of Death (1901) Strindberg sampai dengan tragikomidi abad ke-20 Luigi Pirandillo.

Apa yang disembunyikan Afrizal dalam Kardus Pandora justru motif tragedi, yang berusaha dipantulkan atau disilangkan dengan motif mitos lain dari Kitab Suci, tokoh Luth (Lot) yang keponakan nabi Ibrahim (Abraham), moyang suku Moabiter dan Ammoniter. Mitos Luth sangat spektakuler karena hanya ia dan kedua anak perempuannya yang diselamatkan oleh Allah dari kutukan badai api amarahNya dalam membasmi kota Sodom dan Gamorha. Sementara istri Luth dikutuk menjadi tiang batu garam.

Pembedan motif-mitos yang tragis dan motif-mitos yang kosmis begitu kuat membayangi isi sajak dan motif yang terpampang di baliknya. Pembedaan ini mungkin lebih ditujukan dengan isi dan motif bukan bentuk dan hakikat sajak. Afrizal melihat pembedaan itu nyaris mutlak. Ernst Cassier dalam An Essay on Man justru pernah menyorot hubungan antara tragedi dan komidi sebagai perbedaan konvensional, bukannya pembedaan secara mutlak.

Cassirer mencontohkan karya akhir Symposion Plato yang melukiskan Sokrates tengah terlibat dalam percakapan dengan Agathon—penyair tragedi—dan Aristophanes—penyair komidi—di mana Sokrates mengajak dua penyair itu mengakui dengan jujur bahwa: penyair tragedi ialah seniman komidi dalam arti sebenarnya, dan begitu pun sebaliknya. Dalam komidi maupun dalam tragedi, begitu kata Plato dalam dialognya, membuat kita senantiasa mengalami semacam campuran rasa ceria dan rasa getir.

Sang penyair mengikuti hukum-hukum alam karena ia memotret seluruh komidi dan tragedi kehidupan. Apa yang dilakukan Afrizal bukan sekedar motret, tapi “hasil sebuah representasi dari kawasan teks yang kaya: kawasan teks yang bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks dalam pergaulan literer seorang penyair”. Keduanya, kata Afrizal, diangkat lewat berbagai elemen dalam puisi: ide, latar puisi, metafor, pesan, bunyi. Pada mulanya elemen-elemen itu statusnya sama, tapi kemudian mengalami pergeseran.

Konteks sebuah puisi tak dapat dipisahkan dari bentuk dan strukturnya, dari bait, melodi, irama dan pikiran. Dan puisi adalah inti pernyatan filsafat dan inti sosial seorang penyair. Bahkan ada sisa-sia inkanasi realisme yang memusatkan diri pada material benda-benda yang abstrak dalam sajak Afrizal, menjadi lebih konkrit berada dalam cahaya nyata.

Afrizal dekat pandangan Aristoteles tentang tragedi, terutama dalam konteks lakon. Dalam sebuah teater Biografi Yanti Setelah 12 Menit, misalnya, aktor-aktornya tidaklah bertindak demi memotret karakter-karakter saja, melainkan karakter-karakter itulah yang ditampilkan demi tindakan. “Bukan akting yang menciptakan ruang, melainkan gagasan atas ruang yang mempunyai konsekuensi terhadap akting”, kata Afrizal.

Namun, seperti diingatkan pula oleh Ernst Cassirer, di sini pembaca dituntut berwawasan luas untuk membaca gelagat wawasan seni semacam ini. Apabila pembaca tak mampu menangkap nuansa-nuansa rumit dari corak-corak atau motif-motif perasaan yang berbeda, tak mampu mengikuti variasi-variasi kontinu dalam irama bunyi atau suasana nada-nada, serta tak tergerak oleh perubahan-perubahan dinamika yang mendadak, maka pembaca tidak dapat memahami dan menikmati sajak.

Kita boleh saja bicara soal bawaan pribadi si seniman, tetapi karya seni tidak memiliki fiil husus. Mengatakan musik Mozart riang-gembira atau tenang, musik Bethoven itu suram, muram dan agung, hanya akan menunjukkan bahwa si pembaca bercita-rasa dangkal. Dalam pengalaman estetis, komidi dan tragedi sama sekali tak terpisah. Pembedaan antara tragedi dan komidi tak lagi relevan.

Komposisi Bethoven yang mendaraskan pada karya “Himne bagi Kegembiraan” Schiller yang riang. Namun ketika mendengarnya, kita sedetik pun tidak melupakan aksen-aksen tragis “Simponi Kesembilan” Bethoven. Demikian pula antara Commedia Dante dan Faust Goethe atau Don Quixote Cervantes dan lakon-lakon Hamlet dan Raja Lear Skeaspeare atau Pickwick Papers Dickens, berbaur antara rasa riang yang murung dan rasa getir memabukkan. Apa yang kita rasakan setelah membacanya, sama seperti ketika kita mendengar seluruh spektrum emosi manusia dari nada terendah hingga nada tertinggi dalam musik; yakni gerak dan getaran seluruh keberadaan kita. Kegetiran para tokoh penulis komidi bukanlah kekecutan hati para penulis satire.

Seni, kata Santayana suatu hari, adalah pemenuhan kebutuhan akan hiburan dan kebenaran yang hanya bisa dirasakan sejauh untuk melayani tujuan. Tetapi, bila seni cuma komidi, maka seni akan gagal meraih maksud. Karena itu dibutuhkan pasangan tragedi. Skeptis dan optimis dua soal yang terkait dan berhubungan. Aksi dan saksi bukan masalah yang relevan dipisahkan, mengingat dalam sajak ada kecenderungan untuk beraksi dan bersaksi secara bersamaan. Ada tujuan dan fungsi yang mesti diisi oleh seni, dan penglihatan sang seniman tak cuma tatapan yang bereaksi atas kesan-kesan inderawi, tapi juga sebuah saksi akan makna kehidupan.

Pengalaman estetik adalah wilayah yang tidak semata-mata kasatmata melainkan wilayah pengalaman imajinasi. Pengalaman estetik ibarat pengalaman orang tenggelam dalam doa-diam atau seperti menghayati bunyi hening dan bahana, gelap dan gumun, antara ruang dan waktu. Pengalaman kreatif Chairil Anwar bisa jadi mirip klasikisme para penyair Prancis yang mendefinisikan bidang sebagai istilah yang objektif dan kesatuan antara ruang dan waktu lewat “logika imajinasi” yang dapat diukur dengan meteran atau jam.

Cemikian pula Afrizal Malna. Afrizal mungkin berusaha setengah mati untuk menengadahkan kembali pancuran mata air karya imajinatif yan memang tak pernah mongering karena memang tak bisa habis dan tak bisa rusak. Pada setiap zaman dan pada setiap seniman berbakat, kerja imajinasi selalu muncul kembali dan kebangkitan kembali yang terus-menerus; sajak-sajak tak mungkin menjentik sebuah benalu tanpa menuangkan dan mungkin juga meruangkan hidup batinnya. Inilah yang dikatakan Wordsworth dalam sebuah sajak dalam Perlude bahwa setiap bangun di alam “kuperciki bebatuan, buah-buahan, atau bunga-bunga, bahkan pun kerikil-kerikil yang tercabut dari aspal jalan raya: kulihat mereka merasa kulihat mereka terkait pada rasa-rasaku semuanya menempel pada dinding jantungku semuanya mempercepat detak debarnya dan semuanya kupandang dalam makna batin mengempis mengembang”.

Maka, agak aneh bila Afrizal masih percaya pada kelogisan, dengan mengatakan bahwa segala sesuatu mesti ada rasionalisasinya. Karena apa yang disebut pengalaman rasio-ilmiah, kata Bergson mengingatkan, justru bersifat sangat dangkal dan konvensional. Puisi ialah migrasi dari dunia konvensi yang sempit dan cetek ke sumber-sumber realitas yang dalam. Namun Bergson hanya melihat intuisi estetis sebagai gambaran pasif bukan kemampuan aktif, atau perasaan penyair tidak disebabkan melainkan disugestikan. Terpisahnya kemampuan pasif dan aktif masih berbau metafisika transendental abad ke-18!

Keberatan atas metafisika Bergson disampaikan Nietzsche dalam karya awalnya, Kelahiran Tragedi, yang ditulis ketika usianya dua puluh delapan tahun yang kemudian diinggriskan menjadi The Birth of Tragedy from the Spirit of Music. Nietzsche, yang telah menunjukkan gaya stilis dengan bahasa yang ekonomis, menentang konsepsi metafisika sekaligus membongkar pemikiran ideal Winckelmann dalam mitos Yunani. Tragedi Yunani adalah pewaris kultus Dionysios, kekuatannya adalah energi orgiastik. Tetapi orgy semata-mata tak dapat menghasilkan drama Yunani, karena itu kekuatan Dionysion diimbangi oleh daya kekuatan Apollo.

Polaritas dasariah di mata Nietzshe adalah hakikat setiap karya seni bermutu. Jika mimpi memberi daya khayal, asosiasi dan puisi, maka mabuk memberi kekuatan yang cenderung akan kebesaran, nafsu, dendang dan tari. Seni bermutu lahir—dari segala kurun—justru saling meresapnya pertentangan antara mimpi dan mabuk atau dari naluri orgiastik dan keadaan melamun. Pandangan Nietzsche ini masih kita temukan dalam kata pengantar buku Senjaka Berhala, di mana Nietzsche menyocor rasa ria memabukkan dan menghunjamkan kemuruman impian.

Di awal kata Senjaka Berhala, terjemahan Hartono Hadikusumo, Nietzsche mengatakan: tetap gembira ketika terlibat dalam urusan yang muram dan penuh tanggungjawab merupakan hal yang tidak remeh. Namun apakah yang lebih penting ketimbang keceriaan? Tidak ada yang sukses bilamana keceriaan tidak ikut berperan. “Cuma kekuatan yang berlebih-lebih itu merupakan bukti adanya kekuatan…tanda tanya yang demikian hitam ini, telah membiaskan imago-imago yang demikian besar atas dia yang mengajukannya—tugas yang demikian muram ini memaksa orang untuk setiap kali berlari ke luar, ke dalam curahan sinar matahari agar bisa menguakkan kesungguhan yang telah menjadi terlalu menekan. Setiap peluang untuk melakukan hal ini harus didukung, setiap peluang adalah kesempatan yang menggembirakan”.

Dari sana Nietzsche merumuskan teorema permainan yang sangat cantik. Permainan adalah fungsi aktif yang tidak terbatas pada kenyataan empiris. Saya kia di sinilah kita menempatkan apa yang dimaksud oleh Afrizal tentang dua kawasan teks yang bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks dalam pergaulan literer seorang penyair. Permainan dan seni menunjukkan kemiripan yang amat dekat. Keduanya tidak utilitaristis, tidak berkaitan dengan tujuan praktis apa pun.

Dalam permainan dan kesenian, kita meninggalkan kebutuhan praktis untuk memberi “wajah baru” pada dunia. Namun analogi itu tidaklah mencukupi. Imajinasi artistik berbeda secara tajam dengan imajinasi yang menandai aktivitas permainan. Apa yang disebut dengan kemiripan estetis bukan gejala yang sama dengan yang dialami oleh mereka dalam permainan-permainan ilusi. Dengan kata lain: permainan memberikan citra-citra ilusif, seni membeberkan jenis kebenaran tentang bentuk-bentuk murni. Ada tiga macam imajinasi yang mesti dibedakan, yaitu kekuatan untuk menemukan, kekuatan personifikasi, dan kesanggupan memproduksi bentuk-bentuk indrawi yang murni.

Saya kira di sini pula makna ucapan puisi sebagai permainan predikat dunia anak-anak yang dimaksudkan Afrizal dalam esai proses kreatif yang ingin saya tempatkan. Dalam permainan anak-anak, ada kekuatan untuk menemukan dan kekuatan personifikasi. “Pada umumnya anak-anak bisa melepaskan ikatan wacana permainan dari subjek atau peralatan-peralatan yang mendukung permainan itu”, tulis Afrizal.

Apa yang diterima oleh anak-anak, kata Afrizal selanjutnya, hanyalah substansi dari wacana itu (konvensi). Di tangan anak-anak misalnya, sebatang lidi bisa berubah menjadi pedang, kuda yang ditunggangi, atau benda biasa yang menjadi rebutan antarsesamanya. Yang penting bagi mereka adalah konvensi yang mereka sepakati bersama. Kalau mereka sedang bermain pedang-pedangan, mereka harus sepakat dulu dengan konvensi atau wacana dari permainan itu. Setelah itu permainan bisa dijalani dengan peralatan apa pun. Wacana dan imajinasi di sini bekerja sama secara kompak dalam diri anak-anak.

Afrizal mencontoh anaknya, Jilan, ketika baru berusia 27 bulan telah menunjukkan sebuah kekuatan untuk menemukan sesuatu yang baru sekaligus menampilkan permainan tentang personifikasi atas sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu, seperti hujan dipersonifikasi dengan mata dan hidung. Di sinilah letak kesamaan antara permainan anak-anak dengan sang seniman atau penyair. Namun tetap ada perbedaan keduanya. Perbedadaan itu kata Erns Cassirer, terletak pada kenyataan bahwa: Jika si anak-anak bermain dengan benda-benda, maka si seniman bermain dengan bentuk-bentuk, dengan garis dan bagan, irama dan melodi.

Melihat si cilik sedang bermain, kita kagum pada kelincahan dan kecepatan perubahan. Tujuan-tujuan besar dilakukan dengan sarana-sarana sederhana. Sepotong pedang mainan dapat dimainkan sebagai makhluk hidup. Namun begitu, kata Cassirer, transformasi yang terjadi hanya merupakan metamorfosis objek-objek itu sendiri, bukan merupakan metamorfosis dari objek kepada bentuk. Seorang anak yang asyik bermain tidak hidup dalam dunia penyair dewasa yang fakta empirisnya ketat. Aktivitas permainan anak-anak dalam ilustrasi di atas, tidak menandai aktivitas kesenian yang sungguh-sungguh. Inilah yang membedakan antara seni dan hiburan, dan seni tidak cuma bermain-main untuk pemenuhan bagi kebutuhan akan hiburan.







































Cinta Iblis



Namaku al-Hallaj. Lengkapnya: Abi Mansur Husein ibn al-Hallaj. Tapi panggil saja aku orang Persia, sebab aku lahir di perbatasan negeri Kisah Seribu Satu Malam. Kakekku sangat taat pada Zoroaster, seperti Nietzsche yang bangga dengan Zarahustra-nya. Tapi aku berbeda. Aku lahir ketika Islam sudah ada. Maka aku memeluk Islam, agama yang sesuai dengan orang yang suka membidik lurus. Aku adalah orang Persia yang berkata apa adanya.

Begini ceritanya. Pada suatu pertemuan majelis darwis, tiba-tiba muncul satu makhluk aneh yang begitu taat kepada sang Mahapencipta. Orang menyebutnya sang Iblis. Dia kekasihku. Aku berguru dengannya karena kegigihannya dalam mengajarkan seni kearifan. Gelarnya si azali! Sementara aku dipanggilnya si Hallaj! Pada suatu ketika, kami mendengar suara orang bertengkar di Taman Sorga. Rupanya Tuhan marah pada guruku. Mungkin karena apa yang diperintahkan-Nya tak dituruti oleh guruku. Ada dua makhluk lain di sorga yang muncul tiba-tiba. Namanya Adam dan Hawa. Rupanya kedua makhluk ini tergoda oleh rayuan Iblis. Dan Tuhan murka. Lalu agak sedikit memaksa agar Iblis menyungkam di kaki Hawa, mengakui keibuan Hawa yang berasal dari tanah suci sebagai calon ibu manusia di bumi nanti. Iblis masih saja menolak. Bahkan ketika Tuhan menyuruhnya sujud pada Adam. Karena kalau Iblis turuti, siapa tahu Tuhan hanya menguji kesetiannya. Maka ia akan terkutuk selamanya.

Ketika Tuhan kembali menyuruh guruku bersujud kepada Ibrahim, Iblis masih berkata tidak. Bagi Iblis, kecintaannya pada Pencipta tak membuatnya mudah berpaling selain pada-Nya. Kasihan pada umat Ibrahim, khusunya istrinya, Siti Hajar, yang akan menyungkam di kaki suaminya jika aku bersujud padanya. Seperti Hawa yang meringkuk di kaki Adam.

Iblis itu bukan feminin dan bukan pula maskulin. Iblis bukan yin dan yang. Iblis sang pencinta dan pendamba sejati! Sekali cinta selanya tak akan lekang! Sekali pun dengan kekasih Tuhan, atau orang kesayangan Tuhan, aku katakan tidak, kata Iblis. Bahkan ketika Tuhan sendiri memerintahkan kembali untuk bersujud, Iblis dengan tegas mengatakan tidak untuk sebuah antromorfisme!

“Sujudlah Iblis!” seru Tuhan.
“Tidak! Tak ada yang hidup sebelum segala sesuatu kecuali Kau”, timpal Iblis.
“Bahkan bila kutukanKu menimpamu?”
“Justru hal itu akan membuat aku terhukum. Pengingkaranku pada Adam dan Muhammad untuk menegaskan kesucian-Mu, dan pikiranku telah bersiap untuk membangkang perintah-Mu kali ini. Dan bila Adam dipersandingkan bersama-Mu dan masa depan manusia di bumi, maka aku, Iblis, akan selalu dapat membedakan-Mu dengan dia. Oh, Tuhan yang mulia. Mengapa Kau ingin memisahkan cintaku pada cinta-Mu? Tidakkah hanya Kau yang pantas dicintai?

Tuhan tak ambil pusing, Iblis dijatuhkan ke bumi. Ketika Iblis sudah terlempar dari sorga dan jatuh ke sebuah bukit, ia pun berujar lirih: “Tak ada jalan lain bagimu untuk-menuju-selain-Mu. Akulah pencinta yang bersahaja”. Mendengar gumam Iblis itu, Tuhan pun menimpal: “Dan karenanyalah kau berbangga-hati!” Iblis menimpal sambil berkata panjang-lebar meyakinkan Tuhan:

“Apabila aku bertemu Kau dalam saling memandang, sungguh itu cukup membuatku bangga dan angkuh. Tetapi, aku mengenali-Mu dalam masa yang senja. Aku lebih baik dari Adam, karena aku telah mengabdi pada-Mu sejak lama. Tak ada makhluk yang dalam eksistensinya, mengenali-Mu lebih dari aku mengenal-Mu! Selalu ada kehendak dalam Diri-Mu untuk aku, dan ada keinginanku untuk-Mu—dan kedua-duanya mendahului terciptanya Adam. Bila aku bersujud sebelum yang lain, atau aku memilih tidak bersujud, lebih baik bagi aku untuk kembali pada muasalku, api. Bukankah Kauciptakan aku dari nyala api, dan api kembali jadi api—menurut keseimbangan dan takdir yang Kaukehendaki?

Mahakala. Waktu dan masa akhir perjalanan. Senjakala Sorga? Bagiku, tak ada jarak yang memisahkan-Mu, sejak aku percaya bahwa jarak dan kedekatan tak jauh berbeda, alias sama saja. Bagiku, bila kutinggalkan perintah ini, suatu pengkhianatan akan jadi sahabatku yang paling karib. Maka, bayangkan, betapa suatu pengkhianatan dan cinta sesungguhnya tiada beda! Keagungan bagi-Mu dalam kehadirat-Mu, dalam esensi Ketakterjangkauan-Mu, untuk hamba-Mu yang salih, yang tak bersujud kepada siapa-siapa selain Engkau”.

Iblis jatuh juga ke bumi dan hidup dalam sunyi di puncak perbukitan. Hamparan tanah tandus dan menjulang kian menambah kegersangan jiwanya. Maka, ketika Musa muncul di bukit Tursina dan bertemu dengan Iblis yang kesepian, Iblis merasa terhibur. Saat itu Musa membuka pertanyaan pada Iblis: “Wahai Iblis, apa yang menghalangimu untuk bersujud pada Adam?” Iblis balik berkata: “Yang mencegahku untuk menyembah Adam adalah keyakinanku pada Kekasih Yang Suci. Dan andaikan aku bersujud, aku akan menjadi seperti dirimu. Bukankah kau, ketika sekali diseru untuk memandang lembah ini, kau langsung memandangnya. Lain dengan aku. Meski aku diperintahkan seribu kali untuk bersujud pada Adam, aku tetap tak akan bersujud, karena aku bersiteguh terhadap keinginan dan pendirianku”.
“Lalu kau tinggalkan Perintah?” tanya Musa pura-pura.
“Aku menganggapnya ujian. Bukan perintah”, timpal Iblis.
“Kauabaikan tanpa merasa berdosa? Tetapi, lihatlah betapa kusam dan rusak wajahmu, Iblis”.
“Oh Musa, ini hanyalah sebuah ambiguitas penampakan ketika derajat batin tidak bersandarkan pada penampakan yang tak berubah-ubah. Makrifat ini akan tetap benar, bahkan seperti pada permulaannya, dan tak berubah kendati sang individu yang menerimanya berubah”.

“Kini ingatkah kau pada-Nya?”
“Oh Musa, sebuah pikiran yang bersih-berkilauan tak butuh ingatan—tetapi aku mengingat-Nya, dan Ia mengingatku. Lihat salju di balik bukit itu, dan kau tahu: ingatan-Nya adalah ingatanku, dan ingatanku yang seputih salju adalah ingatan-Nya. Bagaimakah, ketika mengingat diri, diri kita terbelah menjadi dua—dan tak lagi tunggal? Pengabdianku yang lebih tulus membuat waktu-waktu yang kujalani menyenangkan, dan ingatanku lebih cemerlang. Karena aku mengabdi pada-Nya dalam keberuntungan yang tulus-menjadi. Sekarang aku mengabdi pada-Nya demi-Nya semata.

Diriku bukan loba, bukan rakus, dan tidak tamak pada apa pun selain-Nya. Memang kuakui, aku tak takut kehilangan sesuatu. Ia memang telah membuatku terkucil dan jatuh, sama seperti aku yang membuat Adam dan Hawa jatuh. Tapi semua ini sungguh membuat aku riang-gembira sekaligus membuatku bingung, murung, dan cemas. Kekasihku mengasingkan aku justru karena kecemburuanku untuk-Nya. Ia mengagumiku, aku mengagumi-Nya, karena itu Ia menghukumku.

Sungguh, demi Kebenaran-Nya, aku sama sekali tidak bersalah di hadapan keputusan-Nya. Walau aku tak kuasa menolak takdir, aku memang tak terlampau peduli dengan akan hancur-luluh dan bopengnya wajahku ini. Aku cuma ingin menjaga keseimbangku dalam menghadapi keadaan ini. Bahkan, sekali pun Ia tega menghukumku dengan api keabadian-Nya, aku tak akan bersedia bersujud di hadapan siapa pun. Tidak juga kau, Musa! I’am Sorry! Aku tak dapat merendahkan kakiku di hadapan Adam dan kau, karena diriku tak mengenal sekutu dari-Nya! Pendirianku adalah Salam Takzim atas-Nya, dan akulah seorang yang tulus, sabar dan tawakal dalam mencintai-Nya”.

Hening. Bisu. Di situ, ketika Iblis melanjutkan: “Aku lebih baik dari Adam”, maka di detik itulah kilatan tanda di matanya tak terlihat apa pun selain diri-Nya. Sama ketika Firaun berkata: “Aku tahu, kau tak akan menemukan Tuhan selainku”. Firaun sesungguhnya sedang mengingkari kenyataan bahwa manusia bisa membedakan antara benar dan salah. Dan ketika aku berkata: “Bila kau tak mengenali-Nya, kenalilah ayat-ayat-Nya. Dan akulah tanda penampakan-Nya. Ana l-Haqq! Ini karena tak henti-hentinya aku merealisasikan Kebenaran. Maka, sahabatku adalah Iblis, dan guruku ialah Firaun”.

Mari merayakan mistik Iblis! Karena malaikat-malaikat lain bersujud di kaki Adam untuk mematuhi perintah-Nya yang salah kaprah, sedang Iblis tahu dan berkata tidak berkali-kali pada Tuhan. Mari serukan: hidup Iblis! Hidup Azazil! Namamu yang kemudian berubah ‘ayn yang menandakan keluasan tingkah-lakumu, zay yang menggambarkan cepatnya kau tumbuh dan hadir, alif yang adalah lorong yang kau lalui dalam jalan-Nya, ya adalah pengembaraanmu dalam penderitaan yang menyakitkan, lam tamsil bagi sikap teguh dan keras kepala dengan segala keletihanmu!

Seandainya Iblis tidak terkutuk dan jatuh ke bumi, maka sudah pasti tak akan ada Kitab Suci di bumi! Zabur, Taurat, Inzil, Quran diperuntukkan sebagai pedoman kasih dan sayang, rahman dan rahim. Kitab untuk melawan amnesia primordial. Bukan dalam arti identitas atau ras, karena belum ada identitas dan ras yang pantas dikenakan seperti baju kebesaran. Hanya perjanjian primordial; ikatan kesucian seperti janin dalam rahim ibunda Hawa.































Jaringan


Pembangunan merupakan sebuah metafor dari wastu modernitas. Dalam perkembangannya, tak hanya berlangsung dalam arsitektur modern, tapi sering juga digunakan dalam ilmu pengetahuan dan sastra. Kiasan bangunan telah berlangsung cukup lama dalam berbagai khazanah ilmu pengetahuan sehingga pada akhir abad ke-20 muncul gagasan tandingan yang disebut dengan jaringan.

Dalam pembangunanisme atau modernisme, sering kali kita mendengar tentang “bangunan-bangunan dasar benda-benda”, ”persamamaan-persamaan dasar”, “prinsip-prinsip dasar”, dan sebagainya. Lalu terjadilah pergeseran cara pandang, yang menggoyang dasar-dasar itu. Sekarang kita sedang berpindah dari kiasan pengetahuan sebagai sebuah bangunan menjadi sebuah jaringan, di mana segala sesuatu memiliki keterhubungan.

Dalam konsep jaringan, tak ada atas-bawah, tak ada hierarki-hierarki, bahkan tak ada suatu hal yang lebih fundamental dibanding yang lain. Perubahan metafor ini terjadi juga dalam politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, budaya, sastra, agama dan teologi. Kini terdapat banyak jaringan lintas-budaya dan interdisipliner, bahkan lebih banyak dari yang terdapat dalam ilmu fisika.

Dapatlah dikatakan bahwa konsep jaringan muncul sebagai kritik atas gagasan pembangunan yang mengedepankan struktur kekuasaan yang monolitik dan mutlak-mutlakan dengan menekankan pandangan yang fundamental. Orang tak lagi tertarik membicarakan pembangunan, struktur, dan kini istilah jaringan tampaknya menjadi alternatif dalam gerakan sosial.

Harus diakui, imajinasi kita sebagian besar dipengaruhi oleh konsep wastu yang menekankan pembangunan. Di mana-mana orang menyebut pembangunan, kebangunan, dan ini tak bisa dilepaskan dari dunia arsitektur yang dekat dengan kekuasaan, atau penguasa. Arsitektur itu adalah kekuasaan, arsitek = penguasa, kata Nietzsche dalam Anti-Krist.

Ada sebuah cerita menarik. Seorang wartawan di Lampung pernah berseloroh kepada penulis, kira-kira begini: ”kalau sebuah kota tanpa linkage bisa membuat orang tersesat dalam kota, maka sebuah kota tanpa Urban Poor Linkage akan membuat yang miskin tak terpikirkan dan pemerintah kota bisa bertindak sewenang-wenang”. Gurauan yang serius ini membuat saya berpikir untuk melakukan riset di komunitas pesisir pantai Bandar Lampung secara serius sambil mulai menulis soal urban linkage dalam hubungannya dengan perempuan pesisir yang mulai menyita perhatian saya sejak dua tahun terakhir.

Banyak mata rantai sejarah yang hilang bila kita mengamati perkembangan sebuah kota melalui pendekatan jaringan. Karena itu, konsep jaringan mempertemukan berbagai relasi atau missing link atau mata rantai yang hilang. Mari kita cari keterkaitan soal ini dengan teori urban linkage atau urban network, teori yang muncul dalam konteks ekologi kota yang fokus utamanya pada bentuk jejaring pelbagai elemen kawasan berdasarkan sumbernya. Dalam karya arsitektural yang kita kenal, sistem linkage banyak mengeksplorasi pemaknaan sebuah kawasan kota yang berfokus pada relasi pelbagai fragmen yang bersifat terbuka.

Selama ini orang banyak salah kaprah ketika menafsirkan elemen arsitektur kekotaan sebagai yang berfokus pada tingkat makro saja dan melupakan bahwa elemen kekotaan juga bersifat mikrokosmos. Maka banyak “arsitek pesanan” menganggap elemen arsitektur dalam ruang kota sebagai proyek mercusuar yang berhasrat menggenggam dunia dengan penggada besar. Kota melulu dilihat dari carbusier atau mesin waktu yang ingin menempatkan alam di bawah genggaman teori dan mesin teknologi pemangsa.

Gagasan kota sebagai network atau jejaring dari berbagai keragaman unsur di dalamnya tidak bisa dilepaskan ketika kita bicara soal ekologi kota masa kini, dalam arti hubungan timbal balik antara elemen kota sebagai artepak manusia dan lingkungan yang bersifat kosmos. Ekologi kota menempatkan manusia sebagai bagian dari alam, dan waktu adalah alam, bukan mesin waktu yang segalanya menghancurkan alam. Gagasan dasar yang penting dari ekologi kota adalah: bagaimana sebuah chaos yang seluruh perabotnya mengubah diri menjadi cosmos.

Berbagai sumber yang ada dalam fenomena kekotaan menjadi tidak mungkin lagi dilihat secara terpisah dan bisa begitu saja dilepaskan dari konteks berbagai sumbu dan sumbernya. Seperti nilon, kota adalah rajutan berbagai komponen spasial, sosial, kultural, politik, gender, dan budaya, yang membentuk kota bukan sebagai sebuah artepak untuk manusia dengan keangkuhannya, tapi juga menyangkut kosmologi dan kosmogoni sebagai rumah tangga dan pemukiman manusia.

Filosofi jaring atau jala yang biasa digunakan dan menjadi media para nelayan untuk menjaring ikan, bisa ditempatkan sebagai keinginan untuk merajut kota berdasarkan perspektif keragaman dan saling terhubung antara berbagai elemen. Satu nilon belum disebut jaring bila ia belum berhubungan dengan nilon yang lain dan tampil dalam bentuk rajutan berbagai nilon yang disebut jaring itu. Demikian pula satu helai isau bambu belum disebut bubu bila tidak dianyam.

Apa yang disebut jaring, jala, bubu, yang dirajut dan dianyam itu, akan berhubungan dengan tujuan, dengan makna, atau fungsi dari apa yang selama ini kita pahami. Jika sebelumnya nilon atau isau bambu adalah hal yang mungkin berfungsi sebagai tali, kini bermakna dan bertujuan sebagai alat menjaring ikan, sampah, dan sebagainya.

Gagasan urban network lebih mengacu pada gagasan linear thingking atau pikiran linear yang menempatkan waktu bukan sebagai “abad yang berlari”—minjam lema puisi Afrizal Malna—atau abad sebagai waktu mekanik yang rakus. Memandang kota sebagai linear berarti menempatkan kota bukan melulu sebagai “epistemologi kecepatan” dan menganggap kota melulu sebagai proyek.

Pikiran linear merupakan cara berpikir dengan membuat kaitan pikiran antara bermacam soal yang secara langsung berhubungan secara kesinambungan—tidak harus kronologis—dengan karakter alam. Teori ini lebih memandang evolusi manusia sebagai keniscayaan, lebih percaya pada cara berpikir arus bawah ketimbang sebagai arsitek atau insinyur, kelambanan perubahan kota menjadi berkah, bukan revolusi kota yang gegap-gempita.

Dalam kajian arsitektur, teori pikiran linear memang telah dikritik habis sejak sebelum kemunculan gerakan posmodernisme atau kajian budaya (cultural studies) dan kini dianggap ketinggalan zaman. Demikian pula sebutan evolusi dan tradisi tak jarang dinggap usang dan karena itu harus diganti model kota megapolitan.

Gagasan negara-desa atau negara-kecil (nagari kata orang Minang) dan kaizen di Jepang, sudah harus dibuang. Padahal gagasan kota bersifat kedesaan ini merupakan langkah strategis yang berdasarkan pikiran inovatif dan kearifan arsitektural rakyat bawah, di mana secara struktural pemerintahan sebuah negara tidak dikembangkan berdasarkan sistem top-down (atas-bawah(an)) seperti yang dilakukan di dunia Eropa-Barat, melainkan diterapkan melalui sistem bottom-up (bawah-atas artinya bawah dulu baru di atas). Hal ini mungkin terdengar klise.

Dalam teori urban network, ada dua model yang umum diterapkan dalam perencanaan sebuah kota; yakni jaringan visual dan jaringan struktural. Jaringan visual memandang beberapa fragmen kota yang dianggap memiliki kekhasan secara khusus dapat dihubungkan dalam kesatuan secara visual. Teoritkus yang memberi perhatian pada jaringan struktural, seperti Colin Rowe (1979) mengkritik jaringan visual dengan mengusulkan jaringan struktural yang bersifat kolase karena kawasan-kawan perkotaan yang tidak terhubungkan secara struktural akan menimbulkan suatu kualitas kota yang diragukan.

Dalam jaringan struktural, Colin menempatkan tatanan sebuah kota sebagai prioritas yang menghubungkan struktur, bentuk, wujud atau fungsi dengan elemen tambahan, sambungan, tembusan, yang akan menjadi penghubung setiap kolase dalam jejaring kota yang tak dapat dilakukan secara visual.

Gagasan Colin Rowe di atas dikembangkan oleh Roger Trancik dengan melihat datum (keserasian) antara lingkungan kota dengan komposisi musik. Vandana Shiva, feminis sosialis India yang jadi juru bicara terkemuka yang mengkritik keras soal pembangunan kota di dunia ketiga, lebih jauh mengusulkan konsep eco-feminis dengan pendekatan khas perempuan, mulai dari perencanaan kota hingga pengembangannya lebih lanjut.

Sebuah kota memiliki arti lebih luas dari sekadar yang dibayangkan dan diimajinasikan dalam jaringan visual dan struktural, yaitu jaringan sebagai bentuk kolektif yang memiliki karakter yang penting dalam lingkungan perkotaan. Perencanaan dan pengembangan kota tak mungkin bisa dilepaskan dari analisis keadilan gender, karena di mana-mana kota lebih banyak merepresentasikan wajah dan sifat purba kaum laki-laki yang selalu ingin menguasai.































Matahari



Matahari terdiri dari terik yang panjang, biasanya memancar garang ketika siang. Sementara fajar hanya menyimpan terik yang sebentar untuk kemudian menghilang digantikan matahari. Lalu senja datang sesaat untuk digantikan malam yang juga terasa panjang.

Siang dan malam adalah waktu yang menyita sebagian besar pengarang. Tak banyak sastrawan yang betah berada pada siang dengan terik sering kelewat panjang itu. sebagian besar seniman tak mendasarkan proses kreatifnya dengan matahari, tapi dengan bulan (baca: malam). Al-Hallaj, Nietzsche, Chairil hingga Goenawan, akrab dengan malam. Bahkan kita masih ingat secarik sajak Chairil tentang malam:

Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Sementara siang identik dengan gerah, bukan gelisah. Sangat jarang penyair betah berada pada tubir siang karena siang identik dengan panas (sekali pun siang tak jarang menduang atau hujan). Kita tak betah dengan matahari karena membuat kita gerah dan berkeringat. Kita tak bisa tidur dalam keadaan dipanggang terik yang garang. Sebaliknya; ketika kita kedinginan di malam hari, kita tidur dengan lelap.

Tapi di Prancis tahun 1942 terbit novel asing yang gandrung pada matahari yang asing: L’Etranger, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Orang Asing oleh Apsanti Djoko Sujatno. Pengarangnya adalah putra terbaik Aljazair yang menjadi warga negara Prancis setelah perang. Dia adalah Albert Camus, novelis dan dramawan yang tak jarang menggetarkan lantaran menulis dengan sangat bagus dan stilis.

Novel ini dianggap karya asing, lantaran kisahnya tentang matahari terasa asing bagi orang Prancis atau Eropa pada umumnya. Tapi Camus tak ambil peduli. Ia menampilkan citraan matahari yang asing tapi intim, aneh tapi menggugah.

Saya sedang memperhatikan gambar sampul L’Etranger dan Orang Asing, dan betapa indah matahari di situ. Pantas saja jika Merusault—si tokoh utama—takjub pada matahari dan berkali-kali melukiskan dengan sejumlah frasa dan sinonim. Matahari yang menyengat hamparan bumi yang gelap dengan cahaya yang menjanjikan, tidak sebagaimana novel musim dingin yang merayakan kesepian dan kesunyian diri jauh dari terik yang ganas dan bahana yang menggetarkan.

Meursault yang nyaris jadi nihilis itu, atau yang tak peduli dengan Tuhan dan menolak menemui pendeta dan menjadi pembunuh yang terhukum dengan tanpa rasa bersalah, tampak menimbulkan perasaan absurd. Orang Asing memang novel debutan Camus yang dipuji-puji oleh kritikus justru karena tema yang diangkatnya terasa asing. Matahari yang dilukiskan jauh dari kenyataan sehari-hari orang Prancis.

Camus tampak sengaja meneror borjuisme Eropa dengan menghadirkan novel asing dengan tokoh kere. Orang Asing adalah novel tipis syarat makna. Novel ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama banyak melukiskan matahari dengan berbagai variannya, yang tampak menggiring kita ke dalam perasaan absurd. Ketika Meursault berada di panti wreda membesuk jenazah ibunya, ketika malam berlalu dan fajar tampak begitu singkat, Meursault di bawa ke rumah penjaga pintu panti, mandi dan kemudian ke luar rumah. Pada saat itu Meursault menatap matahari yang indah. Ketika ia keluar, matahari telah sepenuhnya terbit. Di atas bukit-bukit yang memisahkan Marengo dari laut, langit dipenuhi warna kemerahan, tapi bukan seperti senja. Sementara angin yang lewat di atasnya membawa bau garam ke situ. Itulah sebuah hari yang indah sedang mempersiapkan diri.

Matahari terus mencengkram imajinasi pembaca. Camus memang pintar membawa pembaca ke dalam perenungan dan mendesak kita untuk ikut merasakan terik yang menyengat. Ketika matahari mulai naik sedikit lagi di langit, pada saat itu matahari mulai menghangatkan kedua kaki Meursault. Pada saat iringan jenazah ibunya melintas ke jalan menuju pemakaman, siang begitu terik, cuaca begitu memaksa. Meursault berpeluh. Orang-orang mengucurkan keringat. Iringan jenazah terus berjalan, sedikit lebih cepat. Pedusunan tampak berkilauan dilimpahi cahaya matahari yang asing itu. Sementara kilauan langit tak tertahankan hingga membuat aspal yang dilalui para penunggang jenazah ibunya, terasa meleleh.

Camus menampilkan tema matahari dualis. Perhatikan ungkapan-ungkapan tentang matahari dan turunannya melalui penuturan Merusault dalam detik-detik melepas peluru pistol ke arah orang Arab di depannya sebagai penutup bagian satu Orang Asing:

Sengatan matahari mencapai pipiku dan aku merasakan butir-butir peluh mengumpul di alisku. Mataharinya sama seperti waktu aku menguburkan ibu, dan seperti waktu itu, keningku terutama terasa sakit dan semua pembuluh darahku berdenyut-denyut bersama-sama di bawah kulit. Karena sengatan matahari tak tertahankan lagi olehku, aku melakukan suatu gerakan ke depan. Aku tahu bahwa tindakan itu tolol, bahwa aku tak akan terbebas dari matahari dengan jalan berpindah tempat selangkah. Tetapi aku telah melangkah, hanya satu langkah ke depan. Dan kali ini, tanpa bangkit, orang Arab itu mencabut pisaunya yang diacukannya kepadaku di bawah matahari. Cahaya memercik di atas logam dan peristiwa itu seperti mata pisau dan menyilaukan yang menikam keningku. Pada saat yang sama, keringat yang terjumpul di alisku mengalir semua ke pelupuk dan menutupinya dengan tirai yang hangat dan tebal. Aku tak dapat melihat akibat tirai air mata dan garam itu. Aku hanya merasakan dentang simbal matahari di keningku, dan samar-samar, kilatan seperti lembing menyilaukan dari pisau itu senantiasa di depanku. Lembing pijar itu menggigiti alisku dan menusuki mataku yang pedih. Pada waktu itulah semua bergoyang. Laut meniupkan hembusan yang pekat dan bergelora. Aku merasa seakan-akan langit seluruhnya menganga untuk mencurahkan hujan api. Seluruh tubuhku meregang dan aku menekankan tanganku pada pistol yang licin...dan saat itulah, dalam suara yang sekaligus kering dan memekakkan, semua ini dimulai. Aku mengibaskan keringat dan matahari. Aku mengerti bahwa aku telah menghancurkan keseimbangan hari, kebisuan luar biasa dari sebuh pantai tempat aku pernah merasa bahagia...

Masih ada lanjutan dari kutipan itu, yang memperlihatkan sosol Meursault sebagai pembunuh sadis seperti Sade. Tapi bukan itu yang ingin saya tonjolkan di sini. Camus mengerti betul bagaimana menerjemahkan terik matahari dalam sebuah cerita liris yang mengandung isyarat dan sugesti. Terik yang ganas dan memanjang itu, mengingatkan kita pada situasi perang dunia yang membahana dan merenggut jutaan nyawa. Camus memang tak menghadirkan sesuatu yang tenang dan sunyi, tapi semacam ”epidemi matahari” dengan cahayanya yang panjang dan mematikan.

Pada bagian kedua, Camus kembali melukiskan matahari yang asing itu. Dalam kalimat pembukaan nomor tiga bagian kedua, Meursault—nama yang berarti laut dan matahari kata Apsanti Djoko Sujatno—melukiskan musim panas yang disusul musim panas berikutnya sehingga udara menjadi panas bertambah panas. Jika sudah demikian, akan muncul sesuatu yang baru baginya. ”Perkaraku terdaftar dalam masa sidang yang terakhir di pengadilan, dan masa sidang itu akan berakhir dalam bulan Juni. Perdebatan dibuka dengan matahari yang memancar penuh di luar”.

Bayangkan jika manusia hidup dengan matahari terus-menerus. Bayangkan pula apa yang akan terjadi bila ada matahari bersemayam dalam jantung dan hati kita. Camus merasakan hidup yang asing, dengan matahari penantian. Meursault menjadi pembunuh dan tertuduh, yang merasakan kebosanan yang tak terlukiskan ketika berhadapan dengan orang-orang pengadilan. ”Bahkan di bangku tertuduh, selalu menarik mendengarkan diri kita dibicarakan orang”, tulis Camus.

Albert Camus seperti sedang meneror kita dengan menghamparkan tragisnya hidup sebagai paria. Mirip seperti kisah Keluarga Pascual Duarte, tak ada harga diri yang tercabik-cabik melebihi harga diri karena didera kemiskinan dan hidup dalam tuduhan sambil membayangkan tiang gantungan.

Matahari Camus bukan kemewahan, bahkan sejenis sampar yang mematikan. Tapi ada yang tak lengkap dalam pelukisan Camus tentang matahari. Ada sesuatu yang terasa kurang dari ganasnya matahari. Orang Asing memang bukan novel lengkap tentang matahari, tapi fragemen-fragmen yang muncul di sana-sini.

Tapi, sebagai pembaca, saya merasa lega justru karena ketidaklengkapan matahari yang dilukiskan itu. Dan saya bisa mencarinya ke tempat lain dalam karya yang lain. Dan saya menemukan kisah Nigel Watts—penulis novel biografi mengenai Rumi—dalam pendahuluanThe Way of Love—yang diterjemahkan ke Indonesia menjadi Jalan Cinta Rumi oleh Gramedia, 2003— mengenai matahari dalam diri kaum sufi.

Ada matahari dalam diri kita. Dan, matahari itu begitu terik menyengat sehingga sengatannya meski sekejab sanggup menghanguskan kita hingga menjadi abu. Ada pula matahari-matahari, yang berjalan dalam bentuk manusia. Jika kita membuka mata hati kita, kita dapat melihat mereka. Melihat jejak-jejak kaki mereka yang berasap, yang meninggalkan aroma dupa dari hati mereka yang terbakar. Namun, orang-orang seperti itu jarang; dan lebih jarang lagi yang bisa melihat mereka. Sedikit yang punya mata yang bisa melihat orang seperti Syams Tabriz, Matahari dari Tabriz.

Ungkapan ”Matahri dari Tabriz” biasanya dilekatkan pada sosok kesufian Jalaludin Rumi—sufi besar penulis Matsnawi. Julukan itu tampak tak sinkron dengan kesufian Rumi yang justru memuja malam dan pekatnya kegelapan. Gelar itu diberikan padanya mungkin lantaran hidupnya yang menyala oleh cahaya cinta ilahi. Ada satu kutipan syair Rumi dalam buku Nigel Watts yang agaknya perlu saya kutipkan juga di sini. Rumi mengatakan:

Akulah benih dalam api Kekasih
Panasnya membara hingga aku pun berpendar
Bajuku yang meleleh bebas berhamburan
Kekasih melebur, melebur, melebur
Aku tiada lagi, bahkan sampah pun tiada tersisa.

Atau perhatikan syair Hamusy—si pendiam—Rumi yang dikutip Nigel pada halaman 139:

Para penjaga, pergilah ke menara jagamu
Bawa kepadaku semua kabar tentang orang asing—
Siapa tahu Syams Tabriz telah melintasi jalanmu
Janganlah seorang pun menyebut dirinya Muslim
Kalau ia tak sanggup menyampaikan kabar
tentang matahari itu padaku

Rumi adalah kekasih Tuhan, cahaya mata batin, mutiara berkilau dan berharga tapi langka. Andaikan di Afganistan sekarang masih ada Rumi, saya tak tahu apakah Afganistan akan lebih tentram dan memilih doa diam ketimbang perang. Di dalam diri Rumi cahaya kerinduan senantiasa hidup dan menyala, tidak seperti kita yang justru redup dan pucat. ”Matahari tersembunyi di dalam diri kita”, tulis Nigel Watts; ”kita adalah batu koral yang tak berharga dan berlumuran lumpur”.

Terik matahari yang ganas dan panjang tak mampu menghanguskan Rumi menjadi abu menjadi debu. Rumi adalah perumpamaan manusia yang telah sampai pada puncak pendakian pada lotus terjauh. Rumi dengan ringan menari dan melayang menemu Tuhan pada terik siang.







































Islam dan Jahiliah


Tidak semua tradisi yang ada pada masyarakat Jahiliah dihapuskan oleh Islam. Ada yang dibiarkan saja dan ada yang diislamkan. Misalnya saja soal haji. Orang-orang Arab non-Islam waktu itu sudah pergi thawaf, sudah pergi sai, sudah pergi wukuf. Haji sudah ada sejak lama, jauh sebelum Islam ada. Ketika Islam datang, hal itu dihidupkan lagi. Jadi apa yang ada di zaman Jahiliah itu diambil-alih oleh Islam, atau dibenarkan oleh Islam.

Menurut Nurcholish Madjid, ketika bicara tentang tidak adanya negara Islam, masalah haji sebetulnya peninggalan dari Ibrahim yang pada waktu nabi Muhammad tampil sudah berlangsung sekitar 2000-an tahun. Jadi banyak sekali peningalan Ibrahim yang terlupakan, yang kemudian ditemukan lalu disucikan dan dibersihkan kembali oleh Nabi dengan ditambah beberapa manasik dengan wukuf di Arafah sebagai yang paling utama.

Maka, ada yang mengatakan bahwa wukuf di Arafah digunakan oleh Nabi untuk menyampaikan pidato perpisahan (khutbatul wada’). Oleh karena itu, apa yang dinamakan haji mabrur itu kita kaitkan dengan satu ungkapan hadis bahwa haji itu tidak sah tanpa wukuf di Arafah. Maksud hadits itu ialah bahwa haji harus meresapi nilai-nilai kemanusiaan universal seperti yang tercermin di dalam pidato perpisahan Nabi. Sebab Nabi itu sendiri tidak pernah naik haji kecuali satu kali itu. Hal inilah yang banyak dilupakan orang karena tidak mau menggunakan pendekatan sejarah. Lalu serta-merta mengatakan bahwa haji itu Arafah, al-Haju Arafah. Bila diterjemahkan menjadi suatu teknik fikih, bahwa orang tidak sah hajinya tanpa wukuf di Arafah biarpun hanya semenit saja, hal itu tidak lebih dari suatu ”fundamentalisme kosong”.

Mungkin ada yang bertanya: apa gunanya saya memunculkan hal-hal itu lagi di sini? Bisa jadi betul, untuk apa persoalan kesejarahan itu ditampilkan lagi. Tentu saja niat saya menampilkan pembacaan sejarah haji semacam itu bukan untuk menolak konsepsi haji sebagai rukun Islam kelima. Saya ingin mengingatkan bahwa banyak sekali ajaran Islam yang sebelumnya sudah ada. Islam adalah agama kontinuitas. Islam datang sebagai kelanjutan dari ajaran-ajaran agama sebelumnya.

Banyak ajaran Jahiliah yang telah diislamkan oleh Nabi. Banyak pula yang tetap apa adanya. Banyak tradisi yang masih kita jalankan padahal tradisi tersebut adalah warisan peradaban Jahiliah atau agama Hindu. Demikianlah Islam datang ke Nusantara tidak seluruhnya kebudayaan dan tradisi yang sudah ada diislamkan.

Haji pada mulanya adalah tradisi, budaya, kemudian jadi agama. Ada proses peng-agama-an terhadap tradisi dalam sejarah haji. Dengan begitu, derajat haji yang semula hanya ekspresi budaya, kemudian menjadi bagian dari ajaran agama. Bahkan menjadi rukun Islam yang terakhir, walau hanya bersifat sunnah.

Islam tidak lahir dalam ruang vakum udara. Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang telah memiliki kepercayaan dan nilai-nilai. Bisa jadi agama Islam akan ditolak dengan gigih kalau seluruh kebudayaan dan tata cara yang dikerjakan masyarakat digusur oleh Islam.

Peradaban Arab menjadi besar karena ditopang oleh dua kekuatan besar; yaitu Jahiliah dan Islamiah. Hal ini pernah disinggung oleh Adonis dalam bukunya tentang yang mapan dan yang berubah. Para mufasir, kata Adonis, menganggap bahwa Islam sebagai penghujung atau penutup bagi pandangan ke-Arab-an, kemanusiaan, kehidupan dan alam semesta. Maka, apa yang disebut Jahiliah, ditafsirkan sedemikian rupa menurut kacamata Islam, sehingga tanpa kita sadari, yang Jahiliah sendiri menjadi permulaan. Menjadi permulaan di sini berarti menjadi yang baru, menjadi segar dan kreatif, sementara Islam menjadi sebaliknya.

Secara fenomenologis, Jahiliah mendahului Islam. Tapi secara substantif Islam mendahuluinya. Kita tak mengenal Islam melalui Jahiliah, tapi kita mengenal Jahiliah lewat keterangan Islam. Oleh karena itu, Islam dapat dikelompokkan sebagai “yang asal”, yang darinya kita dapat mengetahui yang sebelumnya sekaligus yang akan muncul setelahnya. Karena itu, kata Adonis mengingatkan: Islam termasuk dalam kategori yang mapan (tsabit) atau rigid, dan Jahiliah atau yang akan datang adalah yang berubah (mutahawwil).

Jadi, ada proses yang berbalik di sini. Islam pada mulanya agama kreatif, yang berubah, dan tidak rigid. Kaum muslim mengakui jika Islam berubah sesuai dengan perkembangan tapi sekaligus berusaha untuk taat ajaran. Tapi sekarang, yang banyak ditonjolkan justru budaya Arab. Dan ironis, apa yang disebut budaya Arab dianggap semuanya telah diislamkan dan wajib diikuti. Padahal di negeri kita banyak adat dan budaya yang lebih bagus tidak diikuti.

Apa yang disebut sastra Arab itu, kata Adonis, sebetulnya menemukan fase otentiknya bukan dalam sejarah Islam-nya sendiri, tetapi jauh pra-Islam, yaitu masa Jahiliah. Oleh karena itu kalau ada sebuah kata dalam Alquran yang agak aneh dan tidak dikenal, tidak lazim didengar oleh orang, maka untuk mencari apa arti kata itu biasanya para penafsir itu merujuk kepada puisi-puisi Arab kuno.

Menurut Ulil Abshar Abdalla juga, Alquran sebagai penciptaan literer, untuk ukur, parameternya, sebetulnya adalah sastra Jahiliah. Jadi Alquran sebagai karya sastra yang hebat, yang mukjizat. Disebut mukjizat karena parameternya sebetulnya adalah puisi Arab Jahiliah sehingga masa yang ideal di dalam pengucapan literer Arab itu sebetulnya bukan pada masa Islam, tapi sebelum Islam. Tetapi isinya adalah Islam. Jadi, sebetulnya ada unsur gabungan yaitu unsur Jahiliah dan aspek-aspek literar dalam penciptaan sastra Arab Jahiliah tetapi kemudian isinya diambil dari Islam itu sendiri. Adonis mencoba untuk menunjukkan bahwa Islam sebetulnya tidak memutus sama sekali kaitan dengan fase-fase itu.

Jadi, tradisi Jahiliah itu tidak semuanya islami dan di-Islam-kan. Kita ambil contoh di Sumatera Barat, di sana terdapat tradisi yang tidak diislamkan, tapi dijadikan dasar untuk membagi warisan. Dalam soal pembagian harta pusaka, orang Minang tidak menggunakan acuan hukum Islam tapi adat merekalah yang digunakan.

Mengapa sampai demikian? Bisa jadi karena para tokoh adat Minang zaman dulu peka terhadap keadilan gender sehingga harta pusaka jatuh pada perempuan. Hukum waris dengan pola 2:1 di mana anak laki-laki mendapatkan dua dan perempuan memperoleh satu dengan alasan bahwa kewajiban laki-laki lebih berat, pernah digugat oleh Munawir Sjadzali dengan mengatakan ketentuan itu tidak qath’i meskipun hal itu terdapat dalam Alquran (QS 4:11).
Saya kira di situlah letak tantangan yang menghadang sekarang. Masa Jahiliah yang kita hujat dan kita caci-maki itu, ternyata dari segi literer, jauh lebih unggul. Tak perlulah kita sampai memuja masa Jahiliah dari segi literer, seperti Adonis, tapi maukah kita mengubah sedikit pandangan miring kita tentang Jahiliah itu?















Sastra dan Psikologi tentang Kematian


Agak aneh bahwa sastrawan kita akhir-akhir ini banyak sekali menulis tentang kematian. Padahal inti karya seni atau sastra, kata Jean Paul Sartre: mengangkat renungan tentang kehidupan, bukan tentang kematian. Seni dan sastra tidak bisa direduksi menjadi sebuah dialog dengan orang yang sudah mati, sebab itu akan sulit sekali sekaligus terlalu cetek!

Apa hendak dikata, sejak tsunami 2004 menghantam Aceh dan kepulauan Nias, lalu diikuti bencana yang beruntum di sejumlah daerah, banyak sastrawan menulis psikologi kematian. Tapi yang saya sayangkan justru miskinnya karya yang bergulat sungguh-sungguh dengan tema kematian. Sama halnya ketika saya membaca puisi atau prosa yang mengangkat tragedi 1965-1966, yang dikenal dengan sejarah pembunuhan massal. Peristiwa itu menelan 2 juta nyawa (versi Bridget Mellor (1966) atau 500 ribu (versi Washington Post), tapi apa yang terjadi pada karya sastra kita?

Indonesia pernah mengalami peristiwa pembantaian di Timor-Timur, Papua, dan Aceh. Namun para penyair dan sastrawan kita nyaris kehilangan bahasa pengucapan yang ontologis dan estetis ketika behadapan dengan kematian. Masalah kematian menjadi bagian yang sangat intim dalam karya sastra sejak lama. Baik dalam bentuk ungkapan kenyataan dalam cerita, peristiwa, maupun pandangan tokoh terhadapnya. Hampir semua genre kesenian—puisi, novel, cerpen, drama, teater, tari, film, dan lainnya, mengangkat tema kematian.

Kita pernah punya seniman atau sastrawan yang begitu akrab menghadirkan lema kematian yang dahsyat. Chairil Anwar dan Iwan Simatupang adalah yang paling intim mendedah ontologi kematian. Pada zamannya, kedua seniman petualang dunia batin ini tak henti-hentinya mengabarkan kematian melalui persingungan dengan sastra dan filsafat, khususnya filsafat eksistensialis.

Sudah banyak memang karya sastra bertema kematian, dan ini tak mungkin dimungkiri. Tapi setelah Chairil ”kita memang mengidap nekrofilia” kata Enin Supriyanto: tidak menulis walau tengah berada dekat timbunan mayat dan kematian, dan tak pernah menyadainya. Kematian kian menjauh dari gambaran dan perenungan kita, tersamar di balik gemerlap urban dalam sosok si periang dan jelita terlalu lama.

Setelah tsunami Aceh di mana-mana begitu banyak berita kematian. ”Begitu banyak orang mati di dekat kita hari-hari ini”, kata Goenawan tahun lalu dalam catatan pinggir ”Mati”. Dalam sekejab ratusan orang mati dengan bebagai sebab; kecelakaan pesawat, tabrakan kereta, tenggelamnya kapal, tanah longsor, bencana alam, flu burung...Tapi mana karya sastra seperti Buah Renungan Multatuli yang mengekspresikan bencana dahsyat pulau Jawa begitu kuat, sampai bumi bergemeretak nyaris terdengar dalam alunan kata-katanya?

Tengok analekta cerita pendek pilihan Kompas 2002, separuh lebih cerita mengangkat tema kematian, tetapi sekali lagi; kematian tidak akrab seperti yang dimaui Subagio Sastrowardoyo dulu. Yanusa Nugroho menulis kematian dalam cerpen Anak Kecil yang gemar Menjilati Pipiku, Gus tf Sakai melukiskan gambaran maut dalam cerita Gambar Bertuliskan Kereta Lebaran, Ismet Fanany dalam Batu Menangis meratapi kematian, Haris Effendi Tahar dalam Kain Batik dari Ibu, Jujur Prananto pada cerpen Doa yang Mengancam, Seno Gumira Ajidarma mengenai Drupadi Seda, AA. Navis melalui Mak Pekok; kesemuanya menampilkan tema kematian yang makin tidak akrab.

Begitu juga cerpen Frans Nadjira, Bercakap-cakap di Bawah Gugur Daun, dengan jelas mengungkapkan kematian yang agaknya mengandung tabiat ganda antara yang—minjam istilah GM—antara yang “groteks dan kocak”. ”Kenyataan yang paling sulit diterima saat datangnya kematian”, kata Nadjira, “telah banyak kudengar penyebab kematian; tersebar wabah, turun lahar dari pucuk-pucuk gunung, putus asa, kecelakan, atau terbakar perang dengan saudara sekandung sesama manusia”.

Banyak jalan menuju kematian. Pintu maut berada dalam ambang hilang, antara yang sakral dan yang profan. Namun setiap saya membaca cerita pendek bertema kematian, entah mengapa kematian menjadi semacam kabar yang kehilangan kesyahduan. Di zaman nenek moyang kita dulu, dongeng tentang kematian seakan benar-benar nyata di depan kita hingga masih terus kita bawa sampai tua. Kematian mebuat sekujur tubuh merinding ketakutan. Menyelinap daam baang-bayang dan dihantui oleh perasaan luar biasa. Sampai-sampai dalam tidur kita masih membayangkan wajah kematian.

Cerpen Hudan Hidayat, “Lelaki Mati” (Suara Merdeka, 26/1/2003), melukiskan susana kematian yang tak membuat kita merasa bergidik apalagi dihantui rasa waswas. Ceritanya bermula dari aku yang menggelepar dalam kamar; seandainya si aku betul-betul mati, maka ia akan menyesal. Tapi aku ternyata tidak menyesal bahkan belum bertemu dengan si dia yang dibunuhnya. Si aku ternyata baru sebatas menamparnya:

“Kutampar dia. Kutampar dengan tenaga penuh. Dia meraung. Kujambak rambutnya. Diam! kataku, diam kau pelacur. Nanti aku bunuh kamu. Dia diam, terisak di sudut itu. Dadaku bergelombang, seperti lautan. Aku ingin mencekiknya. Kalau aku mencekiknya selesailah sudah. Tapi aku tidak punya hiburan lagi...Belati kutarik ke atas melalui dadanya. Ia merintih mau bicara. Apa yang akan kau katakan sayangku; lihat nasib kita seperti ini. Apa yang terjadi pada kita. Apa. Aku tak mendengar. Pasti sakit sekali tubuh dimasuki pisau. Sayatan ke atas, merobek menembus dada. Jadi, diamlah jangan bicara.”

Tidak ada tanda seru dalam cerita yang melompat-lompat kerasukan itu. Tabiatnya seperti pola yang lahir pasca-mabuk minuman. Monolog batin dan igauan orang mabuk yang kejam dilukiskan dengan detail yang menarik dan sagat mengagumkan. Berbeda misalnya dengan Eka Kurniawan dalam novel Cantik Itu Luka (2002), di mana kematian sebagai sebuah kelumrahan. Sejak paragraf awal Kurniawan sudah memberikan aba-aba tentang kematian, tentang kebangkitan, tentang kelahiran, yang mendedah sublimitas peristiwa biasa. Pintu-pintu menuju kematian hadir dengan beragam alaan; karena perang berkumandang, karena cinta tak sampai, karena duel preman, karena penyakit dan kelaparan, karena usia yang telah sampai di ujung perjalanan, dan seterusnya.

Psikologi kematian yang lebih detail adalah kehadiran hantu-hantu komunis akibat pembantaian luar biasa pada era 1966. Gambaran yang tereksplorasi dengan baik dan luar biasa tapi sama sekali tak menunjukkan sebuah teror mental dan rasa kilauan cahaya, melainkan buruk muka cermin ditinju. Meski dipaksa, kendati diprotes atas pengambilalihan hak mencabut nyawa dari malaikat Maut, walau dilarang, sang pengarang tak ambil puising.

”Dan kematian makin akrab”, kata Subagio Sastrowardoyo, karena beragam peristiwa tentangnya bisa dengan mudah kita baca di surat kabar maupun kita tonton di televisi. Kini kita menikmati berita kematian dengan senang hati sambil makan siang dan minum kopi, mengudut dengan santai seraya bercanda ria bersama keluarga atau orang yang berada di samping kita.

Sulit dibayangkan bagaimana sibuknya malaikat harus mencabut nyawa manusia di hari-hari ini, betapa ngerinya proses sejarah pada manusia yang terkutuk sebagai “binatang jalang” yang ”ingin hidup 1000 tahun lagi” ini. Dibandingkan binatang berkawan, manusia ternyata paling kemaruk melalap hukum evolusi. Manusia menjadi bengis di antara binatang berkaki, seperti kata Goerge Orwell dalam dalam Animal Farm: “kaki empat baik, kaki dua jahat, kaki empat baik, kaki dua jahat”.

Kematian seakan menjadi tinanda dari sebuah realitas dan sikap mayoritas diam di negeri karam ini. Adakah ini menunjukkan bahwa kematian tak perlu lagi ditulis? Perhatian tentang kematian dalam sastra kian menyempit justru ketika kita hidup dalam negeri dengan mayat bergelimpangan. Sungguh tak tebayang jika Chairil Anwar menawarkan iman kematian sejak mula berkarya hingga detik-detik kematiannya, justru ketika negeri ini masih 4-5 ribu nyawa melayang: ”Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa”, kata Chairil dengan tenang tapi tajam.


Anak dan Cermin


Anak, seperti juga hewan, menggunakan semua indra mereka untuk menemukan dunia. Kemudian seniman datang dan menemukannya lagi dengan cara yang sama
(Eudora Welty).


Seorang anak adalah pribadi spontan. Kadang penuh kejutan. Sementara cermin adalah tempat mengaca diri, menatap bayang-bayang wajah sendiri. Sebuah refleksi yang tak jarang melahirkan kebuncahan. Seperti kata parodi yang disukai Jorge Luis Borges, di depan cermin wujud kita berubah lebih dari satu. Antara cermin dan perempuan terdapat persamaan: yakni sama-sama melahirkan banyak manusia.

Orang yang mencintai anak-anak adalah orang yang mencintai banyak kejutan dan hal-hal tak terduga, penuh kenaifan dan kepolosan, tapi juga kejujuran. Sementara orang yang mencintai cermin, tidak harus orang yang gemar bercermin, mendamba hidup penuh warna. Sang pemuja malam dan bayang-bayang, seperti al-Hallaj, Nietzsche, Chairil Anwar. Berdiri di depan cermin menatap wajah lebih dari satu. Di depan cermin Jorge Luis Borges menghayati Tuhan bukan sebagai satu, tapi berbeda:

“Baginda Tuhan adalah maha tanpa muasal sekaligus maha tanpa nama atau wajah”, kata Borges dalam Sejarah Aib (LKiS, 2006) bab Cermin-Cermin Jahanam. “Dia tuhan yang tak pernah berubah, namun citranya merebakkan sembilan bayangan—mungkin juga sembilan ruang dan sembilan waktu—yang, seraya menurun ke penciptaan, mengemban dan mengepalai surga pertama. Dari mahligai turunan ilahi pertama ini muncul mahligai kedua, dengan malaikat-malaikat, kuasa, dan takhtanya sendiri, dan ini membentuk surga yang lebih rendah, yang merupakan pencerminan simetris dan surga pertama. Majelis kedua ini dicerminkan pada majelis ketiga. Lalu dicerminkan pada majelis yang lebih rendah, dan seterusnya, hingga berjumlah 999. Pengurus surga terindah ialah dia yang memerintah kita—bayangan dari bayangan dari bayangan lain lagi—dan pecahan keilahiannya mencapai nol”.

Mereka yang mencari kemurnian Tuhan bukanlah pada angka satu, atau bahwa Tuhan itu satu. Tuhan lebih pantas disebut nol, tak berbilang walau masih berupa bilangan. Nietzsche mendaraskan karya-karyanya yang orisinal dengan tiga metamorfosa (three metamorphoses): metamorfosa dari seekor unta; lalu seeokor unta menjadi seekor singa; dan seekor singa menjadi anak-anak. Metamorfosa pertama mengandung spirit yang pasrah-menerima, sementara kedua syarat dengan sepak-terjangnya yang garang, manusia bebas, pemberontak, dan spirit ketiga, seorang pendatang baru, suatu permainan, suatu gerakan pertama, suatu yang masih murni dan bebas dari “dosa”, dan karena itu menjadi kreatif, murni, orisinal.

Nietzsche pun berkata: "Seandainya aku tahu bagaimana caranya membujuk kalian kembali dengan seruling gembala! Seandainya singa betina kebijaksanaanku mau belajar mengaum dengan lembut! Sebab banyak yang telah kita pelajari dari satu sama lain! Kebijaksanaanku yang liar menjadi bunting di pegunungan yang sunyi; di atas batu-batu kasar dia telah melahirkan anak kesayangan!”

Banyak pengarang besar mencurahkan perhatiannya pada dunia anak-anak. Kalangan sastrawan—yang terkadang bersifat infantil dan penuh kenaifan sebagaimana anak-anak—sering mengajak kita untuk kembali ke masa kecil, menghayati pengalaman dunia anak-anak. Kecenderungan ini di negeri kita sering diperolok sebagai “masa kecil yang kurang bahagia”.

Mengapa banyak kalangan sastrawan mendambakan kembali masa anak-anaknmya? Sastrawan berkarya dengan kata atau bahasa, dan kata-kata yang dirindukan setiap kali seorang sastrawan mencipta sastra adalah kata yang segar, yang murni, yang orisinal. Dan bahasa jenis ini hanya terdapat pada anak-anak, dengan segala kepolosan dan kenaifannya. Tanpa kemurnian dan kebaruan tak akan ada kebudayaan. Tanpa keorisinal orang akan terus-terusan merasa tidak menjadi dirinya sendiri, atau teralienasi. Maka, sungguh kena apa yang pernah dikatakan Carmel Bird dalam buku Menulis dengan Emosi (Kaifa, 2001): ”Jika Anda bisa memiripkan diri dengan dengan diri Anda sewaktu kecil, Anda akan lebih mudah dan mampu melihat segalanya dengan lebih segar”.

Di mata Carmel Bird, seorang penulis tak hanya membutuhkan mata seorang anak, tetapi juga rasa ingin tahu dan imajinasi seorang anak. Pendapat ini dipertegas beberapa penulis perempuan yang jauh lebih dekat dan intim dengan dunia anak-anak. Arundhaty Roy misalnya, dalam The God of Smal Things, secara kreatif dan empatik melukiskan dunia anak-anak dengan tokoh kembar yang sering melontarkan kata-kata yang “murni”, “main-main”, “menohok”, dengan membalik seenaknya kata dan frasa yang telah dianggap “baku” oleh guru bahasa Inggrisnya, yang ternyata oleh sang narator disebut sebagai bahasa ibu yang pernah hidup di Kerala sebelum dihancurlkan oleh kolonial Inggris.

Banyak sastrawan yang secara terang-terangan menganjurkan kepada para penulis untuk merenggut kembali kata dan gaya bahasa anak-anak, seperti Nietzsche, Virginia Wolf, Charles Dickens, Chomsky, dan masih banyak lagi. Anak merupakan simbol dari orang yang secara lengkap dapat menghadirkan diri sendiri. Anak merupakan sebuah antitesa dari alienasi—merasa asing karena seluruh aktivitas dan laku hidupnya bukan cerminan dari diri sendiri.

Saya teringat satu paragrap dari Carmel Bird saat menyinggung kejeniusan Charles Dickens. ”Sebagian kejeniusannya terletak pada kenyataan bahwa dia tampaknya bisa mengakses alam emosional masa kanak-kanaknya. Oleh karena itu, dia mampu menyusun kembali, dalam cara yang sangat hidup, dunia tersebut dengan segala kesegarannya”.

Dari manakah sumber kata dan bahasa anak-anak muncul sehingga kita harus belajar pada mereka? Pertanyaan ini tampak lugu dan terlampau sederhana, namun ternyata sempat juga menyulut polemik yang cukup serius pada 1959 antara ahli linguistik Noam Chomsky dengan filsuf B.F. Skinner. Bagi Chomsky, anak-anak punya kemampuan dari lahir untuk menciptakan kata dan bahasa; mereka hanya diharuskan belajar perbendaharaan kata ketika sudah dewasa. Skinner bilang, tidak, anak-anak mendapatkan bahasa dari orang tuanya—membeo.

Terlepas dari argumen siapa yang lebih meyakinkan, namun kalau mengikuti argumen kedua tokoh ini, maka keduanya tak menapikan bahwa anak-anak bisa melahirkan kata-bahasa dan diksi yang jika dirangkai maka menjelma sebuah puisi atau bahkan prosa. Chomsky melihat kata-kata yang keluar dari mulut anak-anak adalah sesuatu yang murni dan orisinal yang ditandai dengan spontanitas. Cerocosan anak-anak sering kali menyerupai cerocosan orang yang sedang intens membacakan puisi, atau seperti mendengar para majelis pengajian yang sedang berzikir keras-keras.

Sejauh ini terdapat dua model bahasa puisi yang sering dicirkan puisi anak-anak, seperti pernah diungkap Hartojo Andangdjaja (1991): pertama, puisi yang lahir dari proses belajar kata dan bahasa pada anak-anak. Kedua, puisi yang lahir dari ketaksadaran si penyair. Dalam niveu ketaksadaran penyair ternyata terpendam lapisan kehidupan kanak-kanak. Ciri kedua ini diyakini kebanyakan oleh kaum neorolog (seperti Heyer, Rothaker, Donal B. Calne).

Ciri kedua ternyata banyak diterapkan penyair kita: beberapa puisi Sapardi Djoko Damono menampilkan puisi jenis kedua, di mana si penyairnya belajar kata-diksi pada anak-anak. Dalam puisi “Di Tangan Anak-anak” (1981), Sapardi menulis: “Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu, jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan, dan di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci”.

Di ujung puisinya, Sapardi sengaja mengutip perkataan seorang anak ketika ada orang yang usil dan mengganggu kata dan permainan diksinya, yang menjelma semacam amanah untuk menampilkan sebuah kamuflase: “Tuan, jangan kauganggu permainanku ini”, bisiknya. Selain Sapardi adalah Hartojo Andangdjaja, yang beberapa puisi dan esainya lahir dari keintiman menghayayati dunia anak-anak yang ia lukiskan sebagai puisi noise (bunyi).

Selain Sapardi dan Hartojo, agaknya Sitor Situmorang layak juga disebut penyair yang menerapkan ciri puisi yang menempatkan anak-anak sebagai tempat belajar. Ketika buku kumpulan puisi dua bahasanya terbit, Paris La Nuits: Paris di Waktu Malam (2002), yang kebetulan peluncuran bukunya saya ikut menghadiri, ada yang menggugat puisi Sitor terlampau iseng, main-main, lugu. Tanpa disangka-sangka Sitor menjawab: “Ya, bahasa puisi saya dalam Paris La Nuits kebanyakan iseng kayak anak-anak. Saya belajar menggunakan kata dan diksi dari anak-anak. Penyair harus kembali ke bahasa anak-anak”.

Mungkin jawaban Sitor tak sepersis itu, tapi kata “iseng” dan “anak-anak” itu tak pernah bisa saya lupakan. Di perjalanan pulang dari menghadiri acara peluncuran buku itu, saya bertanya pada Afrizal tentang pendapat Sitor tadi, dan Afrizal langsung berkata: “Nulis puisi itu kalau bisa bikin orang mual,” ketusnya. Puisi saya banyak lahir dari mulut Jilan”, lanjut Afrizal. Kita tahu Jilan adalah anaknya, yang waktu itu belum baru berusia tujuh tahun.

Sutardji Calzoum Bachri banyak menampilkan ciri puisi anak-anak sebagai niveu ketaksadaran penyairnya sendiri. Tardji tidak belajar kata dan diksi pada anak-anak, tapi sebuah niveu’ ketaksadaran dirinya sebagai penyair. Salah satu puisi Tardji sebagai niveu ketaksadarannya dalam penggunaan kata-diksi puisi anak adalah puisi “Belajar Membaca” dan “Sepisaupi” yang menampilkan diksi yang imun terhadap penjelajahan arti dan mirip cerocosan anak-anak, seperti “lukakakukakiku lukakakukakikaukah” atau “Sepisaupi/sepisau luka sepisau duri”.

Letupan kata-kata dengan mengandalkan iterasi atau tautologi yang muncul secara spontan menimbulkan rangsangan yang sebanding, sama dengan cerocosan anak-anak, bahkan cerocosan anak-anak yang mengalami gangguan bahasa yang bersifat khusus (specific language impairment); atau anak-anak yang mengalami delusi autistik, hiperaktif, diseksekutif, dan skizofrenia.

Beberapa puisinya sering hanya muncul fonem tunggal seperti p, a, m, a yang baru punya arti ketika beberapa fonem itu digabung, seperti pa atau ma. Namun kehendak untuk mencari arti dan makna pada puisi jenis ini tak juga banyak gunanya di sini, karena tetap saja menyisakan arti yang tak eksplisit, walau pun rasa sugestifnya nikmat dicecap. Puisi “Tragedi Winka & Sihka” yang bermain-main dengan kata Pot: “potapa-potitu potkaukah potaku” menarik dibandingkan dengan kenaifan si kembar dalam novel The God of Small Things karya Arundhaty Roy yang secara sengaja mempermainkan kata “Stop” yang diajarkan salah seorang guru bahasa Inggris dengan membaliknya menjadi “Pots-Pots-Pots”.

Misi yang dikandung diksi puisi semacam itu merupakan kehendak untuk berkata-kata dalam banyak wicara secara bersamaan, yang dalam bahasa neourologi sering dinamakan sebagai gejala glossolalia—gejala yang berupa letupan kata-kata yang tak berujung-pangkal pada orang yang tampaknya sedang kesurupan, atau mendapat ilham, wahyu.

Dalam situasi berbahasa Tardji tak jarang memunculkan sejenis aphasia—di mana tatabahasa lenyap dan pembaca yang berusaha ingin menyelam makna diksi puisinya pun mengalami reseptive aphasia—kerusakan pada fungsi tertentu pada bahasa sehingga kemampuan menangkap dan menafsirkan juga lenyap.

Penyair yang mengalami ekstase akan ikut membuat kata-diksi puisi yang dilahirkannya mengalami mabuk, bergetar melalui isyarat-padat yang mungil-bugil. Delusi-delusi akan muncul dengan spontan, bagaikan dentuman suara halilintar yang mengeluarkan bunyi dahsyat dan berusaha untuk menyambar keteraturan gelombang lautan lirik yang mengalunkan suasana nada-nada melankolis, dan semuanya terbungkus dengan berbinar-binar, halus, licin, dan rasa yang ditimbulkannya pun mirip orgasme yang bertahan lama.

Tardji lebih memilih bahasa dan diksinya sendiri sebagai cerminan anak-anak ketimbang bahasa kamusan yang dianggap sudah baku. Tapi di tangannya, bahasa Indonesia bisa berkembang sangat kreatif dan hidup, sebagaimana diakui banyak orang. Anak-anak kecil gemar mencari bentuk ucapan dan pengucapan yang tak biasa, yang beda, dan sering dianggap oleh guru sekolahnya mengacaukan ragam puspa tata bahasa, dan sering tak mudah dicerna, tapi dipaksakan juga untuk diberi arti.

Karena sering dianggap tak punya arti, maka sering dibilang kacau, ruwet, gelap, dan gagal. Maka jika ada remaja—yang jiwa serta perilakunya masih sangat dekat dengan masa anak-anak—menuliskan puisi sejenis ini, akan dianggap tak layak untuk dirayakan. Baca misalnya, bagaimana Budi Hutasuhut dengan percaya diri menceramahi puisi-puisi remaja untuk menghindari kecenderungan penggunaan kata dan bahasa model puisi Tardji dan menyarankan untuk menggunakan “bahasa yang baik dan benar”—frasa yang meninabobokkan yang lahir dari sebuah kecelakaan sejarah yang banyak mengandung laknat ketimbang berkat ini.

Demikian pula yang terjadi pada kritikus yang dipercaya untuk mengulas puisi-puisi remaja yang terbit di harian Radar Lampung. Mengikuti ulsan-ulasan kritikus di harian ini, betapa sangat hebatnya mereka menjejalkan amanahnya agar remaja-remaja kita mengikuti anjuran mereka dan segera sadar akan ampuhnya sindiran licentia poetica yang kerap kali mereka gunakan.

Wajar saja jika dari tahun ke tahun kita sering mengeluhkan miskinnya penyair yang melakukan pemberontakan secara kreatif dari kecenderungan bentuk diksi dan isi atau gaya yang berliris-liris dan menampilkan suasana nada-nada yang mengharu-biru membosankan.

Kini sudah saatnya bagi seorang yang terus menulis untuk sedikit bercermin pada niveu ketaksadarannya sebagai anak-anak sekaligus berkaca pada cermin. Karena dengan itu kita akan merasa sebagai orang merdeka, tanpa dibudak dan dikendalikan oleh orang lain. Tanpa terus-terusan merasa teralienasi lantaran tak bisa berdiri di kaki sendiri?






































Bahala Gunung Putri



Namanya terpacak pada lempengan nisan keramat Gunung Putri. Ia adalah putri tunggal Pengeran Paksi Marga pertama Gajah Minga. Usianya baru 20 tahun ketika bahala menimpa. Sang putri dikenal ramah di kalangan kawula. Sangat rancak dan cantik parasnya. Karena itu usianya tidak lama dan namanya segera diabadikan dalam sebuah hikayat yang disampaikan dari mulut ke mulut.

Dalam sebuah majelis pumpun yang dihadiri para punggawa kerajaan Gajah Minga, sang putri duduk dengan wajah yang tampak berseri. Lalu tak seberapa lama, ia berjalan dengan anggun ke arah hadirin dengan anggun. Saat itu patih Gajah Minga mengumumkan sebuah sayembara untuk mengusir hama. Selama bertahun-tahun negeri Padang Ratu terus dilanda bencana. Sawah-sawah para kawula gagal panen. Simpanan padi di lumbung hampir habis. Tak ada tanda-tanda wabah akan segara sirna.

Patih berdiri dengan penuh percaya diri di hadapan majelas pumpun. Dengan penuh nyali ia berdiri menjelaskan aturan sayembara. Sayembara diadakan dua tahap dan terbuka untuk siapa saja. Kemudian dari sepuluh pemenang akan bertanding kembali memperebutkan hadiah putri tunggal pundita Pangeran Paksi Marga. Setiap orang boleh mengeluarkan seluruh ajian sakti untuk memperebutkan sang putri.

Suasana hening dan tak seorang pun tampak bergeming. Hanya suara kaki melangkah yang diikuti hembusan suara angin. Semua mata para hadirin termangu menatap sosok jelita sedang berjalan ke arah pertemuan. Semua mata terfana bagaikan menelan tetes anggur dalam bening gelas piala. Bahkan mirip seperti serdadu lidah berahi yang muncul tiba-tiba. Satu persatu hadirin berdiri menyambut Siti Indra Puri tiba di beranda—sebuah gerakan tanpa mereka sendiri sadari. Tak lama kemudian diikuti rasa berbunga-bunga bermekaran dalam dada para calon pangeran muda. Halusinasi berjalan seketika dan diikuti bayang-bayang hidup dalam ranjang pengantin istana. Semua muncul seketika. Daya khayal berterbangan menembus kelambu merah jambu dan hampir saja membuat urat-urat syaraf menegang dan batu-batu sendi kejantanan tak lagi dapat dikendalikan.

Suara gong bertalu-talu. Tak ada yang beranjak dari tempat duduknya—bagai dipulut getah karet, lengket tak berkutik. Putri Puri dibawa ke beranda lewat halaman istana, duduk bersama junjungan Pangeran Paksi Marga yang gagah perkasa. Seseorang tiba-tiba melompat ke lebuh istana, berdiri menantang dengan kuda-kuda. Lalu berjalan puntar puntir mengawasi setiap gerak-gerik yang lewat. Dua orang melompat bersamaan. Seketika memasang jurusan. Kedua tangan mulai berkelai dan kaki kanan menyapu debu-debu di lebuh istana.

Suara canang bercampur suara teriakan, pecah berhamburan seketika di udara. Jurus-jurus kuntau bertemu dengan jurus-jurus sapu jagad. Satu per satu lelaki yang gagah berani itu terhuyung kehabisan tenaga, terpental di lebuh jalan melewati pagar bambu gaba-gaba istana. Hanya tinggal sepuluh orang yang masih berdiri memainkan simpanan jurus maut, berjalan lintang pukang dengan tangan berkelai, mata menyala, pikiran terpusat hanya pada satu persoalan: mengawasi setiap gerak-gerik yang mencoba merapat.

Babak pertama pertarungan para bujang di depan istana Gajah Minga yang dituturkan Nenek Puyang dalam Hikayat Gunung Putri berakhir sampai di sini. Sepuluh calon pangeran muda akan bertanding lain kali. Mereka adalah para bujang perkasa yang datang dari Banten, Kalianda, Krui, Bengkunat, dan Ngakhas. Lima orang lainnya berasal dari utusan kerajaan marga Way Semaka; Teba Bunuk, Padang Ratu, Padang Manis, Pekon Balak, dan Rajabasa.

Kesepuluh pendekar muda duduk bersila tanpa ragu, tanpa ba bi bu, hanya punggung beradu yang diikuti bisikan senyap dari makna sunyi mutlak. Sepi seakan enggan pergi. Sebuah kediam-dirian yang bening. Segalanya tangguh dan tuntas—persis desah pelan bisikan Ellen Dissanayake saat melukiskan rasa haus estetik yang melayang meluap di dada menyaksikan sang putri duduk di beranda istana. Bagai menatap lengkung kubah katedral yang menjulang atau ketika menangkap nada biola menggulung naik; rasa sekat di kerongkongan, gemetar dan tangis ketika mengikuti alunan harmonika; getar birasa di tangan tatkala mengelus lekuk gambus tua, meraba selidik pahatan di kayu; gebalau kerinduan merengkuh nadi kehidupan dari makna sunyi, lalu mencoba mengaitkannya dengan diri sendiri, menyatukan dan membantunkan sebuah rasa tak terlukiskan bahwa kata-kata rupanya punya sosok juga. Bahwa warna bisa diraba atau didengar, bahwa bunyi punya lekuk dan bobot.

Namun siapa sangka alunan musik kebahagian sebentar kemudian pecah berkabung bahkan satu per satu para bujang tampan itu harus menghembuskan nafas penghabisan yang disaksikan sang putri harapan. Semua kedengkian menjadi terpola. Rangsangan akibat sentuhan minuman anggur diikuti dengan desakan hati berahi pasca-mabuk. Ketika pikiran dan fantasi mulai bekerja membanding-bandingkan makna kecantikan putri istana, mata menjadi kalap, jiwa jadi bengis, dada berguncang, keserakahan dan sifat ingin menang sendiri muncul bersamaan dengan tangan terkapal ke atas—seperti kepalan tangan petinju yang siap merontokkan apa saja yang terasa mengganggu.

Merpati putih datang dengan sayap berbisa, antara lawan dan kawan, antara putih dan hitam, antara cantik dan jelek, antara putri istana dan putri jelata. Terlalu cepat kecemburuan memuncak jadi perkelahian. Lebih cepat lagi dalam memberikan pembelaan demi meraih hasrat purba yang telah digariskan sejak Adam dan Hawa di taman firdaus. Demikianlah Nenek Puyang mengisahkan hampir tanpa jeda. Sementara di lebuh istana gong terus bertalu dan canang mengerang tanda dimulai kembali genderang berperang.

Tak ada senapan, hanya bersenjata pusaka trisula bermata tiga, keris dan pedang. Kepaksian dan kesultanan Gajah Minga hidup dalam bayang-bayang dua dunia, jauh di atas jangkauan paduka mulia Pangeran Paksi Marga tua. Tak ada lagi warga dunia, rumah-rumah telah dihuni masing-masing marga dan tak ada lagi yang tak berumah. Istana Padang Ratu berubah seperti bunga Dahlia yang berkembang dua warna, yang tak lagi membentuk komposisi serasi untuk saling melengkapi, melainkan kontras berlawanan dan bersaing unjuk kebolehan warna di hadapan sang putri kumbang. Sang Penguasa Jagat pun telah di beri tempat di mana, bukan dimana-mana atau tidak di mana-mana. Baju zirah telah dipasangkan pada Batara Dewata Raya.

Sebabnya sama dengan cerita perang Troya selama sepuluh tahun. Ketika Helena melintas di gaba-gaba istana, ketika putri Siti Indra Puri baru menyandarkan punggung di kursi kebesaran putri pundita ratu, calon-calon pangeran muda Paksi Marga jatuh hati. Putri Siti Indra Puri seperti sedang memerankan sang Helena cantik jelita yang tertuduh penyebab pecahnya perang Troya dalam epos mahakarya terkemuka. Perang memperebutkan si Puri dan si Helena, perang tanding oleh itu tubuh—bagaikan perang sesungguhnya: di mana ada peran yang memainkan bahasa lidah api, di mana ada suguhan anggur dan kesempatan menuangkan alibisi.

Jika perang dalam epos Illiad berakhir dengan amorfati yang dahsyat, perkelahian dengan pemagasan dalam Hikayat Siti Indra Puri berakhir dengan ditemukannya kata-kata kunci yang terus dilisankan turun temurun dengan sebutan amorfana. Dua-duanya ternyata mengandung mitos, tetapi dipercaya adanya hingga menciutkan jarak antara fiksi peperangan dengan fakta pertempuran. Siapa sangka akan menimpa Siti Indra Puri juga. Kisah yang dituturkan Nenek Puyang mengakhiri ketragisan sang putri. Sayembara telah usai. Pemuda perkasa dari Banten memenangkan perang tanding memperebutkan sang putri kecintaan rakyat jelata.

Bahala demi bahala datang menyapa. Sang pangeran muda rupanya telah naik takhta menggantikan Pangeran Paksi Marga tua bersama sang istri Siti Indra Puri. Nenek Puyang menyebut kisah pengurbanan. Tumbal kerajaan. Dua anak manusia yang telah dinobatkan Pangeran Paksi Marga tua sebagai penggantinya, memilih jadi kurban pertama agar bencana segera sirna. Namun malang bagi keduanya, hama tak juga sirna mengepung negeri Padang Ratu. Sang Patih terlanjur mengayunkan pedang berbisa dan seketika darah muncrat ke lebuh istana. Seketika terdengar suara krok krok, seperti babi ngorok. Sang dayang istana lari mengambil talam yang tergenang darah untuk disimpan rapat di bilik istana Gajah Minga.

Babak akhir Hikayat Siti Indra Puri berakhir dengan iring-iringan para penunggang jenazah menuju keramat Gunung Putri. Berduyun-duyun setiap hari Lebaran orang ziarah ke makam keramat ini dengan kaki telanjang. Mereka tak membawa apa-apa, hanya kenangan, masa lalu yang tak pernah hilang kendati generasi demi generasi silih berganti. Tak ada lagi jarak yang nyata dan khayalan: antara mitos dan realitas telah terkubur dalam liang lahat. Setiap mitos di zaman mitos selalu dipercaya sebagai kebenaran sejarah dan karena itu setiap cerita terus hidup dari generasi ke generasi.

Semakin dekat rasa hayatan, betapa tak bergunanya memisahkan fiksi dengan kenyataan. Hikayat bahala Siti Indra Puri telah diabadikan dalam buku-buku teks sejarah masuknya Islam ke wilayah Teba Bunuk hingga Teluk Semangka. Para pewarah tragedi Siti Indra Puri akan dikenang atau hanya kenangan, kita hanya membayangkan pohon Keranji yang menusuk langit, yang mahia-mahianya menancap ke bumi. Semoga panjanglah usia kematian.





























Mengapa Takut Para Pendahulu?



Entah mengapa akhir-akhir ini ‘para pendahulu’ sering disebut-sebut dan dianggap sebagai beban dalam proses kreatif bagi generasi muda. Seakan-akan para pendahulu yang pernah menghasilkan sederet panji-panji sastra bertenaga di negeri ini memang sengaja menanamkan diskursus yang menyihir kita agar mau mengekor begitu saja apa pun yang mereka tulis.

Setelah Nirwan Dewanto menyerukan agar pengarang mutakhir segera “membunuh para pendahulu” dalam esainya berturut-turut di mingguan Tempo edisi akhir tahun 2003 dan harian Kompas 20/12/2003 lantaran pendahulu dianggap membebani proses penciptaan sastra generasi mutakhir, baru-baru ini Oyos Saroso HN di harian Media Indonesia (29/5/2005) juga menganjurkan agar para penyair generasi 2000 berjuang keras untuk bisa keluar dari bayang-bayang para pendahulu mereka.
Nirwan Dewanto bahkan dengan sinis menyebut puisi karya Joko Pinurbo, Dorothea Rosa Herliany, serta Ulfatin Ch, sebagai puisi yang mengekor para pendahulunya (mengekor pada Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad). Puisi-puisi yang ditulis Pinurbo, menurut Nirwan, meluweskan gaya Sapardi dan begitu pula sebaliknya, puisi Dorothea meruwetkannya. Bahkan, puisi Ulfatin Ch menurut Nirwan hampir sepenuhnya bergantung pada Sapardi dengan teks-teks terjemahan (penyair Yunani George Seferis)-nya sekaligus. Para penyair generasi sekarang bukan terberkahi, melainkan terbebani pendahulu mereka.

Oyos Saroso HN melihat para penyair angkatan 2000—angkatan yang juga tak kalah problematisnya—seperti Pranita Dewi, Lupita Lukman, Jimmy Maruli Alfian, Marhalim Zaini, Agus Hernawan belum mampu keluar dari bayang-bayang para pendahulu mereka. Jika Nirwan secara eksplisit menyebut nama-nama para pendahulu yang membayang-bayangi puisi Joko Pinorbo, Dorothea Rosa Herliany, dan Ulfatin Ch, maka Oyos sama sekali tak menyebutkan nama para pendahulu yang disebutnya telah membayang-bayangi atau membuat puisi-puisi Pranita Dewi, Lupita Lukman, Jimmy Maruli Alfian, Marhalim Zaini, Agus Hernawan menjadi kian seragam.

Para pendahulu, para pencipta tradisi, para pembuat versi, dan istilah-istilah keren lainnya, anehnya melulu dilihat sebagai palu godam yang siap untuk membunuh generasi-generasi yang hidup di zaman ini. Seolah-olah pencipta sastra atau penyair generasi sekarang merupakan makhluk yang hanya pandai mengekor dan membeo tanpa mampu memberikan catatan kritis terhadap para pencipta tradisi sebelumnya. Kritik-kritik yang dilontarkan memang tak pantas dicela kalau saja kritik sastra yang mereka hadirkan ke hadapan publik pembaca bukan sekedar melempar kata dan ungkapan murahan. Sementara para pencipta sastra masa kini bukan cuma konsumen yang begitu mudah tunduk oleh rayuan pendahulu, melainkan pencipta tradisi sastra yang berurusan dengan nilai dan perasaan manusia saat ini dan di sini.

Maka, seturut dengan Ahmad Syubbanuddin Alwy yang menggugat Nirwan Dewanto sebagai kritikus sastra yang telah bertindak gegabah, serta persepsi yang lebih bertolak pada perspektif serbaselintas-terbatas dan kerumunan stigmasi dan impresi yang tidak memiliki validitas data-data analitis sebagai suatu bangunan untuk menyusun konstruksi argumentasi, maka beberapa pertanyaan layak saya ajukan di sini.
Begitu berbahayakah para pendahulu dibidang kesusastraan hingga mereka harus dijauhi oleh generasi-genarasi pencipta sastra sekarang ini agar karya yang dihasilnya layak disebut orisinal? Apakah karya sastra yang dihasilkan para pendahulu justru bisa memberikan peta dunia sastra agar kita tidak tersesat arah dan beranggapan bahwa karya sastra yang kita ciptakan sebagai bentuk kebaruan? Tak adakah jalan lain untuk bisa menghindar dari perangkap para pendaahulu selain dengan cara membunuh mereka agar kelak karya sastra yang dihasilkan generasi baru tak menjadi beban?

Dengan menyebut penyair generasi 2000-an, Oyos seakan mengambil posisi penting sebagai seorang kritikus yang telah mengkhatamkan bacaan puisi-puisi Pranita Dewi, Lupita Lukman, Jimmy Maruli Alfian, Marhalim Zaini, dan Agus Hernawan hingga ke inti kata dan emosi bahasa, diksi yang digunakan, kemiripan rima-nada, hingga harus menyarankan kepada para penyair itu untuk (secepatnya) keluar dari cengkraman para pendahulu?

Demikian pula Nirwan Dewanto seolah telah menamatkan bacaan sastranya atas detail kata puisi-diksi Joko Pinurbo, Dorothea Rosa Herliany, dan Ulfatin Ch, hingga begitu percaya diri menyarankan agar para penyair itu segera menghunuskan pedang untuk membunuh para pendahulu mereka. Disadari atau tak, lontaran perasaan yang tak menyentuh dasar-dasar yang jelas itu justru bisa menjebak diri sendiri ke dalam cara berpikir simplistis dan sekedar melempar kata tanpa pernah membaca atau bila membaca hanya membaca sepintas lalu?

Sungguh aneh tapi nyata bayangan para pendahulu harus dihunusi pedang pedati lantaran karya mereka telah di pungut sepanjang proses kreatif seseorang dan disimpannya baik-baik dalam laci kenangannya. Semua itu jangan-jangan merupakan sejarah pribadi yang membentuk proses dan pencarian jati diri yang membentuk watak, membentuk ideologi, membentuk versi yang dihasilkannya atawa membentuk pandangan hidupnya. Bukankah pribadi bermula dan beranak pinak di benak lantaran dibentuk dari berbagai unsur campuran? Sentuhan dengan alam luar, bahkan dengan alam batin sekali pun akan menimbulkan gaung yang berpribadi dan berwatak?
Bukankah sebuah genta lahir dari berbagai macam campuran, dari berbagai macam sumber, dari berbagai persenyawaan, yang kemudian menghasilkan bunyi, menghasilkan gema dan suara? Dan pengaruh dentuman bunyi atau suara akan tergantung pada seberapa tepat adonan yang satu dan lain logam bisa tepat. Mengapa genta yang satu harus takut pada bunyi genta pendahulu yang berdering di dalam jiwanya? Mengapa seorang sastrawan harus mengelakkan diri dari bahan-bahan yang menjadikan adanya sendiri?

Saya percaya atas pergeseran puitika puisi mutakhir lantaran penyair generasi sekarang telah menemukan “estetika baru”, “cara pandang baru”, “cara ungkap baru”, yang membedakan dengan penyair generasi sebelumnya. Tapi sama sekali tak beralasan mengatakan bahwa penyair angkatan 2000 yang memublikasikan puisi-puisinya dalam lima tahun terakhir ini dengan pola ungkap yang nyaris seragam tanpa meneliti dan membaca yang serius.

Pada siapakah tuduhan yang dilontarkan Oyos ditujukan? Apakah pada mazhab Utan Kayu dimana Nirwan Dewanto sebagai salah nakhodanya? Tapi mengapa diam-diam Oyos ikut mengamini pernyataan Nirwan Dewanto? Bila kita berani berkata ada ratusan puisi mutakhir yang terperangkap dalam mengejar mahabayangan bunyi dan liris yang sejenis, mengapa kita begitu enggan menyebut barang secuil pun contoh-contoh yang bisa menguatkan argumentasi, agar kita tak sekedar dituduh melempar gagasan yang mudah luntur?

Menurut saya, kesimpulan yang melihat para pendahulu melulu menjadi beban proses kreativitas akan membuat para pencipta sastra generasi mutakhir seperti ditakut-takuti oleh pernyataan yang sekedar menuding-nuding tanpa realita.
Maka, saya setuju dengan Richard Oh agar para pencipta sastra—para penyair, para cerpenis, para novelis—generasi sekarang ini tak lagi ditakut-takuti oleh yang namanya kritikus sastra yang berlagak sebagai peneliti yang bergelut dengan jantung persoalan dan bacaan namun menyembunyikan ketidakmampuan menampilkan detail refleksi puisi hingga ke kata paling tersembunyi. Saya pun curiga gairah kritik yang demikian telah sengaja menciptakan (o)posisi yang saling berhadap-hadapan antara kritik dan kreativitas dan mengandung bias prasangka yang berbahaya.













Kemerdekaan tanpa cap Berdosa



Saya sedang membaca buku Membakar Rumah Tuhan karangan Ulil Abshar-Abdalla. Tiba-tiba sebuah motor berhenti, seorang yang sudah agak tua turun dan menghampiri saya sambil menyodorkan buku berjudul Cukup 1 Gus Dur Saja! Buku ini karangan Abu Muhammad Waskito, terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta (2010).

Lelaki itu duduk. Tak seberapa lama ia menyuruh saya membaca: “Bacalah!” katanya sambil menyodorkan buku itu. “Bukan buku ini—buku Membakar Rumah Tuhan—yang pantas kamu baca! Nanti kamu sesat, anakku. Sudah saya perhatikan tulisan-tulisanmu banyak menyimpang. Kembalilah pada al-Quran dan al-Sunnah”.

Betapa tak enak telah dicap menyimpang. Dan persoalan cap-mengecap ini pernah dibahas dengan sangat menarik oleh Goenawan Mohamad dalam esai Cap. Goenawan mengilustrasikan bagaimana pahitnya kalau seseorang telah diberi label atau stigma ini atau itu. Pada masa ”demokrasi terpimpin”, kata Goenawan, jepit dan jerat terhadap seseorang terbentuk dalam kata ”kontra-revolusioner”. Kata ini, bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok, atau satu pola sikap, bisa membuat yang dikenai seakan-akan tertangkap. Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang atau—dalam kata yang dominan waktu itu—”diganyang”.

Lelaki itu bukan hanya sekali menggoreskan cap dengan tinta warna hitam. Setiap kali ia berkunjung, dengan cepat nasehat meluncur dari mulutnya. Dia teman bapak saya sewaktu kecil, tapi ia beruntung pernah mengenyam pendidikan pesantren di Solo, dan kemudian jadi sarjana agama yang puritan. Saya sendiri pernah ke rumahnya dan mau dipinjami bukunya Adian Husaini yang menyerang Islam liberal dengan bersemangat. Tapi saya bilang saya sudah membaca. Dan memang saya sudah membaca buku itu.

Saya bukan penganut Islam liberal, atau masuk jadi anggota Jaringan Islam Liberal. Saya bahkan pernah mengkritik liberalisme pemikiran Islam model yang ditawarkan JIL dengan kacamata ilmu sosial transformatif, karena saya seorang aktivis sebuah LSM. Pemikiran Ulil dan kawan-kawannya bagi saya waktu itu tidak relevan untuk kaum miskin. Dan para pemikir liberal itu tidak mencoba memahami bagaimana perasaan para aktivis muslim masa lalu yang begitu kecewa dan tersudut ketika kemudian Islam tidak bisa jadi dasar negara dan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dihapuskan.

Tentu saja sekarang saya tidak bisa lagi mempertahankan pandangan itu. Saya sadar bahwa pandangan para aktivis muslim, terutama yang tergabung dalam Masyumi, yang begitu marah atas dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, tidaklah tunggal. Ada aktivis Masyumi yang justru menganggap dihapuskannya tujuh kata itu dan gantinya justru lebih pas. Kata “ketuhanan yang Maha Esa” dianggap lebih tepat karena jelas-jelas hanya Islam yang menganut Tuhan yang Maha Esa. Kalau hanya “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam”, kata ketuhanan di situ tidak jelas. Tuhan siapa?

Demikian pendapat Abujamin Roham yang saya baca dalam buku terbarunya yang bersemangat, Ensiklopedi Lintas Agama (2009). Walau pun kita tahu tidak sekali-dua kali Abujamin Roham menyerang bangunan teologi Kristen, namun beberapa pendapatnya dalam buku itu sangat menarik untuk jadi bahan diskusi yang jernih.

Berhadapan dengan lelaki tua tadi, terus terang saya selalu waspada. Apalagi ketika ia mulai rajin datang untuk “meluruskan” tulisan-tulisan saya. Dia memang mengikuti tulisan-tulisan saya di Lampung Post, dan kalau ada tulisan yang tidak berkenan dengan hatinya, ia akan datang dan berceramah dengan menghamburkan sejumlah dalil. Tak jarang juga ia mencaci maki dan menyinggung-nyinggung soal hidayah. Katanya, orang seperti Gus Dur itu tidak dapat hidayah.
Pernah, suatu ketika, saya hampir terpancing ketika saya menulis soal haji. Ia marah dan mencaci-maki saya karena referensi yang saya gunakan bukan dari al-Quan dan al-Sunnah, tapi sebagian malah dari buku yang dikarang orang Kristen.

Lelaki itu “ngoceh bau” dan menuding ke sana ke mari. Ulil dituduhnya sebagai agen Zionis, liberal kafir, dan judul buku Ulil itu disebutnya sangat sok, sombong. Bacalah buku ini, buku Cukup 1 Gus Dur Saja, katanya. Kamu akan tahu kalau Gus Dur itu sengaja menghancurkan Islam dan membela minoritas. Gus Dur itu ulama yang sesat!

Untuk apa Gus Dur dan Ulil itu membela minoritas? Bukankah yang tertindas selama ini adalah Islam? Sejak Sokerano sampai Soeharto berkuasa, Islam selalu terpojok dan orang-orang seperti Gus Dur malah membela yang minoritas.

Sambil berincang dengan pak tua itu, tangan saya mulai membalik-balik buku yang diberikannya, dan mata saya tertuju pada sebuah bab berjudul Sekedar Coretan yang berisi caci-maki terhadap Gus Dur. Ia bilang, coba baca, baca dulu, dan ia pergi ke WC.

Dalam buku itu dikatakan: Gus Dur menganiaya hak-hak mayoritas, mengaku dirinya yang paling besar dan yang lain tidak, Gus Dur itu sosok “pahlawan” bagi siapa saja yang tidak mau melihat nilai-nilai Wahyu hidup di tengah masyarakat, karena bagi Gus Dur, ajaran apa pun bisa diterima kecuali Islam. Kemudian, Gus Dur itu “raksasa” yang diciptakan media massa. Gus Dur membalas kemurahan Islam dengan kebencian tanpa ampun.

Saya tak tahu yang menulis itu penerbit atau pengarang buku itu. Mungkin penulisnya, karena pada bagian Kalam Pembuka dari penulisnya disebutkan kesalahan-kesalahan orang-orang yang membesar-besarkan Gus Dur ketika tokoh ini telah meninggal. Katanya, dari momentum kematian tokoh NU itu, mengalir deras gelombang pemujaan sosial atau kultus individu terhadap sosok Gus Dur. Kultus individu adalah salah, katanya, yang seakan-akan orang yang mengusulkan agar Gus Dur diberi pahlawan itu memang mengkultuskan Gus Dur.

Yang dimaksud kultus individu bagi penulis buku itu adalah, “meratapi wafatnya Gus Dur, memberikan julukan-julukan besar tanpa memperhatikan fakta-fakta obyektif, secara massif membentuk opini masyarakat agar mengagungkan sosok Gus Dur”. Selanjutnya, “kalau sampai pemerintah mengabulkan keinginan para aktivis dan DPR agar Gus Dur diberi gelar Pahlawan Nasional, alamat bangsa ini akan diadzah oleh Allah dengan berbagai benacana”.

Saya tutup buku itu, kemudian saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi tiga. Kata “kultus” ada tiga arti: (1) penghormatan resmi dalam agama, upacara keagamaan, ibadat. (2) system kepercayaan, 3) penghormatan secara berlebihan kepada orang, paham atau benda.

Kalau ada tiga pengertian tentang kultus, mengapa pengertian ketiga saja yang selalu digunakan. Mungkin karena kata itu terkait dengan kultus individu atau penghormatan secara berlebihan kepada seseorang. Tapi apakah tindakan para demonstran yang mengusulkan agar Gus Dur diangkat sebagai pahlawan dapat dikateegorikan kultus?

Melihat keterangan si penulis buku itu tentang kultus, ketahuanlah bahwa ia tak membaca dengan baik makna kata itu. Meratapi wafatnya Gus Dur sama sekali tidak bisa disebut kultus. Demikian pula memberikan julukan-julukan besar tanpa memperhatikan fakta-fakta obyektif, secara massif membentuk opini masyarakat agar mengagungkan sosok Gus Dur, itu bukan kultus.

Kalau menghormati seseorang karena jasanya yang besar harus dicap mengkultuskan, repot amat hidup ini. Dulu dengan gampang kita mengatakan bahwa NU itu mengkultuskan kiai. Orang Syi’ah itu mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Tapi mengapa kita tak mempersoalkan bahaya mengkultuskan nabi Muhammad? Apakah memang nabi Muhammad pengecualian?
Orang semacam itu cukup banyak dan saya cukup gentar berhadapan orang yang ekstream semacam itu. Tapi alangkah piciknya saya kalau begitu saja sudah merasa luka tak terhingga. Ulil Abshar-Abdalla saja, yang pernah dihalalkan darahnya, tidak cengeng. Gus Dur dan Cak Nur yang digayang dan dihantam begitu banyak orang, masih terus menulis.

Manusiawi kalau saya merasa takut. Dan dari dulu saya ingin beragama dengan tulus, tidak terusik, tidak takut. Meminjam istilah Goenawan Mohamad, saya beragama dengan mengharapkan “kemerdekaan sebuh pikiran yang tak ditakut-takuti oleh cap berdosa atas nama Tuhan ataupun kewaspadaan”. Tapi rupanya tak mudah. Dan memang tak ada yang gampang di bawah kolong langit yang warna-warni ini.







































Air


Kelompok musik Slank meluncurkan lagu baru berjudul ”Air” sebagai bentuk partisipasi dalam kampanye stop pemborosan air. Walau Indonesia sebagai negara yang kaya akan air, namun tanda-tanda krisis air sudah mulai tampak di permukaan.

Penyebab krisis air bermacam-macam. Namun sejak kehadiran perusahaan-perusahaan air kemasan di berbagai daerah, air semakin berharga dan karena itu menjadi semakin langka. Saya ingin mengambil contoh kasus kekeringan sawah petani di Lampung Timur akibat adanya perusahaan air keamasan. Berkurangnya volume air sungai yang masuk ke sawah petani di daerah Rawasragi II dan Rawasragi III, Lampung Timur, tidak terlepas dari pengkaplingan sungai oleh pengusaha air.

Berdasarkan riset yang saya lakukan bersama teman-teman di Urban Poor Linkage (Uplink) Lampung bulan Agustus-November 2006, kekeringan air sawah petani di lima desa—Mumbang Jaya, Asahan, Adirejo, Beteng Sari (kecamatan Jabung) dan Labuhan Ratu (kecamatan Pasir Sakti), Lampung Timur— menunjukkan bahwa ada faktor eksternal yang menyebabkan sawah petani mengalami kekeringan. Faktor eksternal itu berhubungan dengan bisnis swasta yang memproduksi air kemasan dari sungai Mumbangan di wilayah Jabung, Lampung Timur.

Berdasarkan hasil penelitian bersama petani di lima desa tersebut, kami menemukan bahwa masuknya PT. Water Indek Tirta Lestari yang memproduksi air kemasan bermerk Grand di daerah tersebut telah menyebabkan kekeringan air sawah petani seluas 42.000 Ha. Bagi petani di lima desa itu, penyebab kekeringan sawah mereka tak lain karena perusahaan Grand telah menyedot air sungai Mumbangan lebih banyak ketimbang yang mengalir ke sawah mereka. Sejak PT. Water Indek Tirta Lestari yang mulai memproduksi air kemasan pada tahun 1996 sampai tahun 2006, hampir setiap tahun petani di lima desa itu mengalami penyusutan air pada sawah mereka. Puncaknya, pada musim gadu tahun 2006, separuh dari luas sawah petani itu mengalami gagal panen.

Sepanjang Benteng Pematang gelam ke arah Labuhan Ratu saja, misalnya, sawah petani seluas 2611 Ha yang baku dan 2212 Ha yang berfungsi, yang dialiri air hanya 20 % dari total lahan tersebut. Petani pun hampir terancam gagal panen kerena saat ini air di sungai tidak bisa dipompa ke sawah karena air yang mengalir di sungai terlalu kecil.

Sedangkan sepanjang Benteng Pematang Gelam ke arah Asahan, luas sawah petani seluas 2602 Ha (baku) dan 2484 Ha (fungsi), saat itu mengalami kekeringan karena suplai air makin hari semakin berkurang. Bila dilihat dari Parid 1-12, maka sawah petani sudah mengalami kekeringan total. Dari Parid 12-17 bahkan telah gagal panen.

Keberadaan perusahaan swasta itu telah menyebabkan lebih dari empat ribu petani Rawasragi mengalami kerugian mencapai miliaran rupiah, karena padi yang sudah ditanam pun akhirnya mati. Ini diakibatkan karena perusahaan Grand terlampau besar menyedot air sungai Mumbangan (yakni 250-300 meterkubik perdetik). Menurut kepala desa Mumbang Jaya, Junaidi Ahdah, perusahaan grand itu memproduksi air kemasan sebanyak 550-650 meterkubik perdetik ( setiap hari sebanyak 35 dam truk perusahaan itu mengangkut air. Satu dam truk mengangkut 740 galon, per galon 18 liter. Ini artinya lebih kurang perhari 466.200 liter air yang dirampas grand.

Selain itu, perusahaan Grand itu telah menambang air sungai Mumbangan dengan cara membuat sumur-sumur pipa dan kolam-kolam bertanggul, mengubah bentangan sungai Mumbangan, menyempitkan lebar sungai melalui pengurukan/penimbunan. Semua itu tujuannya agar air yang mengalir ke arah sawah petani menjadi lambat, dan perusahaan Grand akan memproduksi air sungai Mumbangan dengan leluasa dan bebas.

Mengacu pada tesis Vandha Shiva (2001), penggunaan sumur-sumur pipa dan bisnis swasta di bidang air menjadi penyebab borosnya penggunaan air. Dengan adanya sumur-sumur yang dijalankan dengan tenaga listrik, telah mendorong terjadinya privatisasi informal atas air tanah, sehingga mengakibatkan kekeringan air sawah masyarakat.

Beberapa kali petani melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan Grand, namun sampai saat ini masih belum ditanggapi secara serius. Karena itu, sudah mendesak jika pemerintah daearah (Pemda) Lampung Timur segera mengambil tindakan. Bila tidak, potensi konflik memperebutkan air akan semakin tajam.

Kontrak produsen air minum kemasan Grand dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Timur mendesak agar nota kesepakatannya ditinjau ulang. Konstribusi yang diberikan perusahaan Grand tersebut perlu dilihat lagi apakah memang sudah sesuai dan adil. Sebab menurut penuturan Junaidi Ahdah, pemerintah kabupaten Lampung Timur hanya mendapat pemasukan dari Grand sebesar Rp. 17 juta (itu pun dari Pajak Bumi Bangunan). Ini tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung petani dan krisis air yang diakibatkan oleh perusahaan itu.

Pelanggaran yang dilakukan perusahaan multinasional itu sudah berlangsung lima tahun belakangan ini. Perusahaan itu telah melanggar kelestarian alam dengan mengubah bentangan sungai Mumbangan dan menebang seluruh pohon yang ada disepanjang sungai Mumbangan tersebut.

Menurut Dirjen Sumber Daya Air (Tempo 11/2/2004), perusahaan air tidak diperkenankan menyedot air dari tanah melebihi 18 liter per detik. Karena itu, perusahaan yang bergerak di bidang air dilarang menyedot air melebihi ketentuan perundang-undangan. Sementara perusahaan Grand yang berdiri di Mumbang Jaya, Lampung Timur tersebut, terbukti melanggar ketentuan perundang-undangan.

***
Bila kita lihat relasi perusahaan air kemasan bermerk grand dengan kekeringan air pada sawah petani di Lampung Timur, maka keberadaan lembaga swasta yang bergerak di bidang air itu bukan hanya berperan penting dalam memunculkan persoalan swstanisasi di bidang air, tapi juga mentransformasikan air menjadi kesempatan pasar yang kemudian diperebutkan oleh korporasi-korporasi dunia.

Dewasa ini, mengacu pada Vandhana Shiva, Bank Dunia mengucurkan pinjaman senilai 20 miliar dollar As dalam proyek-proyek air; 4,8 miliar dollar diantaranya disalurkan untuk proyek air dan sanitasi di daerah urban. Bank Dunia memperkirakan potensi pasar air senilai 1 triliun dollar AS. Bisnis air saat ini merupakan industri yang paling menguntungkan bagi para investor. Banyak korporasi besar seperti Monsanto yang bergerak dalam bioteknologi, terpikat dengan pasar yang menguntungkan ini. Nama Monsanto tak ubahnya seperti merek dagang, ia dengan mudah ditemukan pada kaos yang dipakai oleh petani di Lampung Timur.

Monsanto sekarang ini sedang merintis jalan masuk ke dalam bisnis air hingga ke seluruh pelosok desa, dan perusahaan ini juga mengincar kemungkinan pendanaan dari lembaga-lembaga penyedia dana pembangunan.

Privatisasi air yang didanai oleh Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya biasanya dilabeli dengan kata “kemitraan publik swasta”. Label itu sangat ampuh, baik karena bunyinya maupun karena maksud yang tersembunyi di dalamnya. Label itu menyatakan partisipasi publik, demokrasi, dan akuntabilitas. Namun label itu menyembunyikan fakta bahwa kesepakatan kemitraan publik-swasta biasanya mendorong pembiayaan ongkos privatisasi barang-barang kebutuhan pokok dengan dana-dana publik.

Krisis air merupakan krisis ekologis dengan penyebab komersial yang tidak dilengkapi dengan solusi pasar. Meski ada solusi pasar, namun ternyata solusi pasar yang meletakkan ekonomi sebagai panglima ternyata telah menghancurkan bumi dan kian memperburuk kesenjangan. Pemecahan terhadap krisis ekologis (harus) bersifat ekologis pula.

Investigasi dari ICIJ tentang kasus swstanisasi air di sembilan negara—Indonesia, Afrika Selatan, Argentina, Kolombia, Filipina, Kanada, Australia, Prancis, dan Amerika Serikat—telah menyerahkan penguasaan dan pengelolaan air dari negara ke perusahaan-perusahaan swasta raksasa. Hal ini memiliki kaitan erat dengan kepentingan lembaga keuangan Internasional seperti Bank Dunia dan IMF yang memaksakan kebijakannya kepada negara miskin yang mempunyai utang kepada mereka agar menjual perusahaan negara kepada swasta.

Swastanisasi pengelolaan air menyebabkan harga air menjadi tinggi. Perusahaan swasta jelas hanya berorientasi pada keuntungan dan menapikan pentingnya kepentingan sosial. Meniadakan akses rakyat pada air dengan swsatanisasi distribusi air atau mengotori sumber air dan sungai, juga merupakan bentuk pelanggaran alam. Negara-negara maju seringkali bersembunyi di balik persyaratan swastanisasi yang ditentukan oleh Bank Dunia dan IMF.

Untuk mengakhiri krisis air disyaratkan pembaruan demokrasi ekologis. Swastanisasi atas air harus dihentikan. Tugas kita semua untuk mengembalikan air pada sifat dasarnya sebagai sumber kehidupan, sebagai hajat hidup orang banyak, yang sakral, yang tak boleh dibisniskan. Bagi petani Lampung Timur, air merupakan kebutuhan utama untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari, serta untuk kepentingan pertanian, lingkungan, dan lainnya.   Setiap orang berhak untuk mendapatkan air yang cukup, layak dan sehat tanpa pengecualian.

Negara wajib menjamin kebutuhan tersebut. Negara wajib memberikan perlindungan pada kelompok-kelompok tidak mampu dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau. Peran sosial tersebut tidak dapat digantikan oleh swasta yang memiliki tujuan utama mengejar keuntungan.

















Tulus



Orang yang bisa tulus adalah orang yang bisa hidup dengan lapang. Tentu saja bukan lapang uang, tapi lapang hati dan pikiran. Seorang yang memiliki hati dan pikiran yang lapang, hidupnya akan senang. Dan untuk bisa senang, tak cukup dengan punya uang segudang!

Seseorang pernah bertanya kepada saya: apa hubungan “tulus” dengan “pulus”? Sudah jelas tak ada hubungan. Tapi keduanya punya kesamaan, yaitu sama-sama langka. Orang yang dengan jujur bersikap tulus tidak banyak di negeri ini. Sama tidak banyaknya dengan orang yang punya pulus. Yang punya pulus itu segelintir orang tapi ia menyimpan kekayaan berjuta orang. Yang bisa tulus itu sedikit tapi ia bisa jadi tauladan jutaan orang.

Pada zaman lampau, ketika manusia di seluruh bumi masih berbahasa satu dan berlogat sama, mereka berencana mendirikan sebuah kota di tanah Sinear dengan sebuah menara di tengah yang tingginya sampai ke langit. Tujuannya: agar mereka bisa berhimpun di suatu tempat, tidak tercerai-berai ke seluruh bumi.

Namun, Tuhan rupanya tahu niat setiap orang. Ia tak berkenan melihat manusia mau mendirikan Menara Babel, dan Ia pun muncul ke bumi untuk menghancurkan proyek ambisius itu, dan mengacaukan rencana manusia itu, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing. Mereka pun berserakan ke seluruh penjuru bumi.

Pesan dari metafor Babel itu amat jelas: Tuhan tak berkenan melihat perbedaan harus punah lantaran ambisi manusia akan kesatuan, keutuhan, keterpaduan. Perbedaan selalu menunda hasrat akan kehadiran dalam proses, dan penyeragaman tak mungkin direalisasikan, selamanya dan sampai kapan pun juga.

Kisah Babel menjadi refleksi dalam sejarah manusia yang paling purba tentang betapa mustahilnya menyatukan umat manusia ke dalam satu puak yang sama. Mereka mesti menyadari bahwa mereka diciptakan secara beda. Tapi dalam sejarah umat manusia, rupanya tak mudah untuk menghargai perebedaan. Betapa banyak orang yang terluka karena perbedaan suku, atau karna beda keyakinan.

Tak banyak muslim yang mau mengucapkan salam yang tulus kepada orang Kristen yang sedang merayakan hari besar agamanya, apalagi sampai ikut berbaur dalam ritual mereka. Betapa susah mengakui perbedaan dengan tulus, sambil kemudian mencari cara-cara menghargai keragaman agar tidak jadi laknat, di sebuah dunia yang lebih suka pada penyeragaman.

Kita berharap banyak pada dunia pendidikan. Tapi pendidikan kita gagal mengenalkan semangat menghargai keragaman sejak pendidikan dasar. Pendidikan sedang sibuk menyusun standardisasi pendidikan untuk menangkis kemungkinan lahirnya perbedaan. Dan setiap perbedaan akan dikembalikan kepada kurikulum yang sudah distandarkan.

Di tingkat mahasiswa, aset bangsa yang bernama keragaman itu tak pernah bisa dikelola dengan baik. Selalu muncul mahasiswa-mahasiswa yang merasa paling benar. Jurusan Ilmu Perbandingan Agama di IAIN, yang diharapkan bisa melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang mampu menghargai kepelbagaian dan mau hidup berdampingan tanpa waham, ternyata hanya jadi tempat menyemai benih-benih kebencian.

Ada sebuah cerita tentang mahasiswa jurusan Ilmu Perbandingan Agama yang sedang melakukan praktek lapangan. Kebetulan, tempat mereka praktek adalah di kampung-kampung yang mayoritas beragama Kristen. Pada awal praktek mereka harus berkunjung dari rumah ke rumah. Mereka merasa haus dan lapar. Tapi masih beberapa rumah lagi belum dikunjungi. Ketika mereka masuk ke sebuah rumah lagi, mereka melihat salib terpajang di ruang tamu. Tiba-tiba rasa haus dan lapar yang mereka tahan berjam-jam langsung hilang.

Cerita lain tentang seminar di tempat orang Kristen. Pesertanya adalah aktivis LSM yang 100% muslim. Tiap sore diadakan evaluasi tentang materi, tempat, dan makanan. Semua peserta menjawab kalau tempat seminar dan makanan yang disediakan membosankan. Ketika panitia menggali apa sesungguhnya yang membuat mereka bosan, ternyata tempat seminar itu banyak tergantung salib.

Selama kita belum mampu menghargai perbedaan dengan tulus, dan mau makan-minum di rumah orang yang beda agama tanpa mata curiga, akan sulit menghargai agama lain sebagaimana kita menghargai agama kita sendiri. Sejak lama saya berharap agar jarak yang terlalu renggang antara orang muslim dan orang Kristen perlu diperpendek.

Dalam Al-Quran ada sebuah kisah tentang Siti Maryam merasa sakit perut menjelang persalinan, lalu ia bersandar di sebatang pohon kurma. Dalam hatinya ia ingin sekali mati. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Hai Maryam, lihat ada anak sungai di bawahmu, goyangkan pangkal pohon kurma ke arahmu, lalu makan-minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang kepadamu, katakan: 'Aku bernazar tidak bicara.'"

"Hai Maryam, engkau telah melakukan hal yang amat buruk. Ayahmu bukan pembegal, ibumu pun bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya. Tetapi Maryam diam-membisu. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali."

Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran dalam Surat Maryam ayat 34. Al-Quran membolehkan orang muslim mengucapkan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia, Isa a.s. Menarik bahwa Quraish Shihab pernah menafsirkan ayat itu dengan mengaitkan larangan sebagaian orang muslim mengucapkan selamat Natal. Menurut pak Quraish, larangan itu muncul dalam rangka untuk memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya, maka larangan itu menjadi tidak beralasan lagi.

Kalau saya bisa bersikap seperti pak Quraish, atau menjadi muslim tapi sekaligus rajin mengucapkan selamat hari besar agama lain dengan tulus, seperti dalam tauladan Gus Dur, saya bisa menjamin diri saya sendiri bahwa masing-masing pemeluk agama bebas merayakan hari besar agamanya, dan tanpa rasa takut. Tapi sayang hanya ada satu orang Gus Dur di negeri ini, dan tidak ada pewarisnya. Gus Dur itu praksis, tak banyak teori dan jarang mengutip Al-Quran sebagai landasan dalam setiap tulisannya. Tapi kita tahu, Gus Dur begitu tulus dalam bergaul dengan umat agama lain.

Mungkin yang kita butuhkan hari ini memang sikap tulus-menjadi, sekaligus sikap tulus-ikhlas, seperti Gus Dur itu. Kalau kita bisa bersikap macam itu, maka kita tak cuma bisa bersikap terbuka menerima perbedaan, tapi mengakui perbedaan sebagaimana kita mengakui dan memelihara tubuh kita sebagai anugerah dari yang ilahi.













Bangsa jadi Bangsat!


Saya baru tahu kalau tiga proyek yang terdapat dalam teks Sumpah Pemuda 1928 terdapat tiga tingkatan nasionalisme: nasionalisme bangsa, nasionalisme tanah air dan nasionalisme bahasa. Di sana terjawab sudah persoalan mendasar: apakah mungkin terebntuknya suatu bangsa, maka jawabnya mungkin dibentuk bangsa itu. Kalau pertanyaannya apakah tanah air diingini maka para pemuda menjawab bahwa satu nusa itu begitu didambakan. Kalau pertanyaannya apakah satu bahasa nasional itu diperlukan, jawabannya sangat perlu dan mendesak.
Tapi kalau ada konsekuensi dari kehendak ke arah persatuan itu, maka konsekuensi itu di luar rencana para pemuda yang berkumpul pada 28 Oktober 1928 itu. Bila tekanan diberikan pada persatuan bangsa saja, kita pantas bertanya: bagaimana menyikapi keragaman suku bangsa yang ada di bumi nusantara? Kalau tekanan diberikan bagaimana persatuan tanah air, bagaimana tanah air yang lain yang notabenenya ada dan eksis? Kalau tekanan diberikan pada persatuan bahasa Indonesia, bagaimana bahasa-bahasa lain di Indonesia?
Cetusan perasaan ingin memiliki satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa pada kongres 28 Oktober itu nyaris jadi senjata pamungkas untuk menyingkirkan kemungkinan adanya keragaman budaya. Perasaan kemenangan yang telah tumbuh di kalangan pemuda dan cendekiawan Indonesia, nyaris melupakan perasaan suku bangsa dan bahasa daerah yang bertebaran di sepanjang bumi Indonesia.
Sebagai bangsa yang bahasa nasionalnya berasal dari tanah air sendiri, Indonesia tidak bisa mengabaikan suku bangsa dan bahasa daerah yang ada. Mereka berhak berkembang sebagaimana bahasa Indonesia berkembang. Tapi masalahnya: setelah delapan puluh satu tahun kita menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, lantas apakah mesti kita tolak perannya sebagai pengikat dan perekat dalam pergaulan bersama?
Beberapa waktu lalu sebagian orang yang mengkhawatirkan masa depan bahasa Lampung yang terancam punah, dan sempat mendesak agar digunakannya bahasa daeah ini di lingkungan pemerintahan. Kalau saya tidak salah, beberapa penulis juga mengusulkan agar bahasa Lampung diperdakan sehingga ada kewajiban untuk menggunakannya di ranah formal. Dengan begitu, ancaman tentang akan punahnya bahasa Lampung tak perlu lagi ditakutkan.
Bahkan bahasa Jawa, yang digunakan oleh lebih dari separuh pendduk di negeri ini, juga sempat diramalkan akan punah. Maka langkah yang dilakukan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah mengharuskan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan kantor pemerintahan dianggap wajar dan beralasan.
Sultan memerintahkan agar pegawai negeri sipil di seantero Yogyakarta membiasakan diri berbahasa Jawa dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari—sejak 15 Agustus silam. Menurut Sultan, kebijakan itu merupakan upaya untuk mempertahankan tradisi dan menunjukkan kebanggaan terhadap budaya adiluhung masyarakat Jawa.
Keinginan Sultan tersebut ditanggapi oleh Agung Y. Achmad di majalah Tempo dengan menyebut imbauan itu tidak bijak mengingat paham keindonesiaan dan kebangsaan masyarakat kita masih compang-camping. Yang juga disayangkan, belum ada reaksi yang berarti dari kaum intelektual, terutama cendekiawan Yogyakarta. Penerapan bahasa daerah di ranah formal semacam itu, kata Achmad, akan kontraproduktif terhadap upaya penguatan identitas keindonesiaan yang selama ini dilakukan banyak pihak. Tidak bisa dibayangkan dampaknya bagi kehidupan berbangsa bila hal serupa itu dilakukan provinsi-provinsi lain.
Tapi yang jadi soal klasik adalah terletak pada ketidakjelasan paham kebangsaan kita. Dari tiga proyek yang terdapat dalam Sumpah Pemuda, yang paling memilukan justru proyek bangsa. Gagasan kebangsaan kita dalam perkembangannya telah kehilangan ruh dan jiwanya dari bahasa Indonesia. Nasionalisme yang kita anut tak jarang menjadi sandera bagi perjalanan bangsa. Lalu ada tawaran ”nasionalisme yang sejuk”, sebagaimana diajukan Presdien Yudhoyono dalam pidato pelantikan yang lalu, namun masih belum jelas sosok dan wujudnya. Mungkinkah yang dimaksud adalah nasionalisme inklusif yang menolak nasionalisme sebagai sandera sejarah?

Sebuah bangsa, kata Remy Silado, bisa berubah menjadi bangsat karena meninggalkan budaya sebagai acuan nilainya. Bahasa Indonesia adalah satu-satunya yang kini disebut sebagai kebudayaan nasional. Maka bangsa yang meninggalkan bahasa nasionalnya bisa jadi bangsa yang kehilangan ikatan dan perekat bagi kehidupan bersama.

Sekalipun Remi Sylado hanya bercanda, saya kira itulah canda yang tidak main-main. ”Bangsa jadi bangsat” mampu menggelitik pikiran dan rasa ingin tahu kita yang terpendam cukup lama. Jangan-jangan memang bangsa kita telah berubah jadi bangsat, mengingat di mana-mana etika sudah ditinggalkan, dan bangsa berjalan tanpa busana. Tengoklah tingkah laku para elite politik kita, para pengambil kebijakan di parlemen, para menteri, mahasiswa, kalangan LSM, sampai para tukang khotbah keagamaan!

Sekarang ini, bila ada istilah yang paling banyak bikin manusia Indonesia merasa malu dan iba terhadap dirinya sendiri, maka istilah itu adalah kebangsaan. Mengapa? Karena proyek bangsa telah menjauh dari gagasan kultural dan menjelma menjadi proyek negara. Politik kebangsaan kita justru hanya melototkan mata ke arah dalam diri yang sempit dan deskriminatif.

Beberapa dekade terakhir kita menyaksikan munculnya gejala etno-nasionalisme Jawa, Batak, Lampung, Bugis, Minang, Papua, Aceh, Riau, dll. Semua ini tampaknya akan usang dengan sendirinya, kalau “nasionalisme sejuk” itu memang diterapkan secara konsekuen.

Kita memang perlu belajar banyak bagaimana mengelola bangsa dengan mempelajari novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Pram telah menghadirkan proyek bangsa yang kritis, yang tak lagi menjadi sandera sejarah, dengan semangat menegakkan martabat kemanusiaan. Novel Arus Balik bisa menjadi praksis alternatif terhadap persoalan tanah air dan kebangsaan lewat menghidupkan kembali kejayaan bahari Nusantara: ”ideologi” yang mengarungi laut bukan menjelajah bidang liputan darat yang militeristik dan melulu berhenti paa nasionalisme NKRI yang sempit pula.

Tapi Pram bicara soal kebangsaan abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang memang memukau, dan cocok untuk mengkritik paham kebangsaan Ode Baru. Perwatakan Minke yang digambarkan dalam tetralogi memang menunjukkan sosok pelopor penggunaan bahasa Melayu ketimbang bahasa Belanda dan Jawa. Namun kini kita hidup di abad ke-21, dan berharap pada bangsa yang tidak menjadi sandera sejarah sebagaimana dalam imajinasinya Pram, sudah dirintis dan diikuti banyak orang. Apakah kini mesti juga terus-terusan memproduksi resistensi yang sama?

Tantangan kebangsaan abad ini begitu besar, dan sangat picik kalau melulu diterjemahkan dengan ajakan untuk mengangkat kebudayaan daerah. Sekarang ini kita menyaksikan relativitas sedang menemukan media barunya, dan bahasa pengucapan teknologi baru pula. Segalanya menjadi tidak selesai dan menuntut proses yang panjang.

Para prospektor dunia pertama tengah memburu habis-habisan kekayaan genetis dan menyerang sistem ekologis dan pertahanan budaya, hingga memasuki kawasan-kawasan yang selama ini tak terjamah dan menghasilkan penajajahan baru. Perniagaan atau perdagangan bebas tidak lebih dari pencurian, perampasan, dan pengisapan atas manusia, seperti dalam teori ras-nya Ludwig Gumplowicz (1838-1909).

Televisi kabel dan jaringan internet yang gila-gilaan serta berbagai produk paling mutakhir yang menggoda mimpi-mimpi kita untuk ambil bagian mencicipi kebudayaan baru tersebut. Aikon dunia musik, olah raga dunia, dan belanja mutakhir lewat kartu kredit yang canggih yang dibarengi prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi, pluralisme, multikulturalisme, mendapat tantangan terutama dari apa yang dinamakan realitas baru dan berbagai aliansi realitas semu dan maya yang belum banyak dijamah secara sungguh-sungguh.

Saya kira, kelebihan seorang sastrawan sebagai yang berdepan-depan dengan zaman dan memiliki intuisi yang futuristik sambil melakukan resistensi atasnya, seperti yang dilakukan para pendahulu kita, mesti jadi agenda bersama yang segera kita jalankan, kalau kita memang tidak mau melihat bangsa ini benar-benar jadi bangsat.
































Indonesianisasi Istilah



Dulu jadi dahulu ketika bahasa Indonesia berkembang tanpa pendahulu. Tanpa referen. Tanpa preseden. Ia ada dan diakui sebagaimana nama Indonesia ada dan diakui, sekalipun nama itu tidak lazim dan tidak berasal dari bumi sendiri.

Bahasa Indonesia lahir dari kaum pergerakan. Sejak lama ia jadi angan-angan untuk diwujudkan, tapi baru pada 28 Oktober 1928 ia diakui sebagai bahasa persatuan. Pada mulanya ia masih terasa begitu kaku dan beku untuk jadi kendaraan gagasan-gagasan modern yang lahir dari ilmu modern. Sebelum perang ia bersusah payah merebut tempat di hati kaum cerdik-cendikia Indonesia, di mana justru bahasa asing yang dapat tempat karena politik pengajaran.

Penggunaan bahasa asing di kalangan pemuda tidak begitu dipersoalkan. Tapi lama kelamaan Indonesia diguncang demam kampanye pengindonesian nama-nama merek dagang yang dianggap asing. Belakangan, imbauan untuk Indonesianisasi istilah semarak kembali.

Apakah yang asing itu? Dari luar negeri? Tidak nasional? Tidak sebangsa? Atau tidak dikenal, tidak akrab dan terpisah? Lalu bagaimana kalau ada istilah yang sudah begitu akrab padahal ia berasal dari luar? Lalu apakah bahasa Indonesia jadi seperti sekarang ini sepenuhnya terlepas dari sumbangan bahasa asing?

Ada sebuah cerita tentang seorang turis naik becak di Yogyakarta. Ketika si turis itu telah tiba pada tempat yang dituju, ia bilang kepada si abang becak: minggir! minggir! Becak itu memang minggir, tapi terus saja berjalan. Lalu si turis kembali bilang: berhenti! berhenti! Tapi becak tetap saja melaju. Tiba-tiba si turis itu berteriak: stop! Maka becak itu langsung berhenti.

Saya lupa sumber cerita itu, tapi ia selalu saya ingat ketika bicara soal yang asing dan bukan asing. Dalam kisah itu, mana yang lebih asing dan mana Indonesia? Si abang becak baru nyambung ketika si turis menggunakan istilah stop, sementara ketika si turis bilang minggir dan berhenti, becak terus saja berjalan.

Dulu saya mencoba membayangkan, bagaimana perasaan pemuda kita yang beberapa kali mengadakan kongres tentang bahasa, tapi dalam setiap pidato dan dalam tulisan-tulisan, semuanya menggunakan bahasa Belanda. Walau pun sedang bicara tentang emansipasi bahasa Indonesia, tapi bahasa yang digunakan tak jarang bahasa asing dan dimengerti ketimbang ketika mendengar orang berbahasa Jawa atau Minahasa. .

Gejala anti-asing ini lama-lama jadi xenophobia (maaf saya belum menemukan istilah Indonesianya). Lalu “rasa nasionalisme” sepertinya terasa tebal, padahal nasionalisme itu sendiri dari mana asalnya? Sikap semacam ini sudah seharusnya dilihat dengan jernih, karena bagaimana pun hal ini ada kaitannya dengan sisa-sisa nasionalisme yang sempit, chauvinisme (maaf saya tidak menemukan istilah lain yang asli Indonesia).

Bahasa Indonesia yang sebelum perang laksana sang dara dijaga ketat oleh tokoh-tokoh adat, dan tiada bebas dalam gerak-geriknya, meskipun dilakukan usaha-usaha oleh satria-satria Pujangga Baru yang hendak memberinya semangat baru, akhirnya berkembang mekar selama pendudukan Jepang dan dalam tahun-tahun revolusi karena bersentuhan dengan bahasa Arab, Sansekerta, Belanda, Inggris, Jawa, dan sebagainya. .

Bahasa Indonesia sudah membuka diri bagi pergaulan dunia, yang oleh Sutan Takdir tak henti-hantinya disebut sebagai pergaulan internasional, ukuran internasional, dengan menempuh segala kemungkinan. Tapi satria-satria yang dulu membantunya dalam emansipasi, akhirnya berubah menjadi kuatir pula saat melihat perkembangannya, dan dengan cemas bertanya-tanya: hendak ke mana dia?

Bahasa Indonesia berusaha mencari jalannya sendiri, kendati coba dikekang dengan gramatika, perubahan ejaan dan ikatan leksikografis, ia terus memberontak karena jalan begitu jauh dan alam semesta amat luas. Indonesia kini memasuki pergaulan global, dan hampir tak mungkin melepaskan diri dari penggunaan istilah-istilah internasional yang telah umum.
Berusaha agar bahasa asing sebaiknya diindonesiakan, tentu saja usaha yang terpuji. Kita berharap agar setiap kata asing yang bisa diterjemahkan sebaiknya diterjemahkan, tapi yang tidak bisa jangan dipaksakan, sebab sudah banyak kasus hilangnya makna sebuah kata akibat penerjemahan yang tidak memadai.
Apalagi jika dikaitkan dengan perbandingan antara jumlah entri dalam kamus bahasa Indonesia dengan kamus bahasa asing. Menurut Warief Djajanto Basorie, pengajar jurnalisme di Lembaga Pers Dr Soetomo di Jakarta, dalam KBBI edisi keempat saja kita baru punya 90 ribu lema atau entri. Ini belum sebanding dengan Webster’s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English Language edisi 1989, yang berisi 250 ribu lema. Berarti ada 140 entri yang tidak bisa diindonesiakan?
Banyak sekali kata asing yang tidak diusahakan mencari ekuivalennya dalam bahasa Indonesia ataupun mengindonesiakan ejaannya, baik di surat kabar maupun dalam makalah-makalah ilmiah. Adakah hal ini ada kaitannya dengan keinginan agar disebut pintar membuat neologisme? Wallahu’alam bi al-shawab!









































Epilog:
Segalanya seolah Tertidur


Sahabat, masih kuingat saat kau mengirimkan pesan pendek ke telepon genggamku sebagai tanda perpisahan: “Malam ini aku berangkat, kawan. Melanjutkan ziarah yang begitu meletihkan”.

Pesan singkat itu sayangnya tak sempat aku balas. Baru sekaranglah aku sempat menanggapinya, justru ketika kau sudah pulang dari rantau, dan tak lagi dirundung kecemasan. Kau sudah diterima sebagai pegawai negeri sipil, menjadi dosen bahasa Arab yang menjanjikan masa depan yang cerah, meninggalkanku sebagai gelandangan yang tak bisa membahagiakan keluarga.

Maafkan aku. Sejujurnya aku ingin melupakan secarik kalimat itu, tapi entah mengapa setiap kali aku ingat dirimu kata-kata itu selalu terlintas. Jawaban ini sudah terlambat lebih dari setahun, dan tampaknya tak layak lagi untuk aku kirimkan kepadamu. Tapi saya berharap kau masih mau membacanya, sekali pun aku tahu kau sekarang sangat sibuk, dan kegiatanmu sangat padat.

Terus terang, aku tak begitu paham apa yang kini sedang kau perjuangkan setelah kau diterima menjadi PNS. Aku hanya ingin mengingat pesanmu waktu itu, pesan yang begitu kurasakan sebagai perpisahan yang mendalam; sebuah kesendirian yang melelahkan. Bahkan sebuah perjalanan tanpa tujuan.

Tapi, adakah itu masih kau rasakan kini, sahabatku yang baik budi?

Setelah selesai merenungkan pesan pendek itu, aku langsung membayangkan kau sedang berjalan sendirian, dengan perasaan yang tak menentu, gundah, hingga kulihat lututmu seperti tak mampu menyangga tubuhmu. Kau memang peziarah yang resah. Yang muncul bukan dari sebuah keterpaksaan, tapi sebuah pengganti bagi sebuah eksistensi yang lebih bahagia kau dapatkan. Keinginan segala keinginan, hasrat segala pencarian, seperti terbang ke dalam rengkuhan malam.

Siapa sesungguhnya yang selalu aku cari, jika bukan kau yang kesepian. Telah kusaksikan kakimu berdiri di atas tembok yang berlumut karena tak pernah dibersihkan. Kudengar suara lonceng azura yang abadi. Dan sesungguhnya sebuah berkat dan bukan sebuah kutukan ketika kau mengingatkan aku dari segala kehampaan. Di atas segalanya, hidup tampak terbentang dalam perjalanan panjang yang tak kuasa kau lanjutkan.

Di kota yang kesepian karena kau tinggalkan, aku menghabiskan waktu bersama bintang-bintang yang meneteskan ludah harapan. Di dada perjalanan yang tak berbintang, aku merindukan pendakian yang sejati; kerinduan yang sebelumnya tidak pernah kita alami. Adakah kita peduli pada sebuah zaman yang tak punya waktu di masa depan, sahabat? Tak ada, jika kau yang di seberang sana hanya diam tanpa kata-kata.

Kini segalanya membeku. Segalanya seolah tertidur. Bahkan laut pun tertidur. Tetapi kau masih saja memaksakan diri berangkat naik kapal malam hari, menuju ke negeri impian. Kau tampak ingin segera sampai ke pelabuhan, bersama-sama dengan datangnya fajar. Di sana ada sebuah tempat duduk yang biasa kau tempati, bersama gadak kapal yang memuat lumpur dari muntahan bumi yang terabaikan.

Lautan yang kelam tampak ke hitam-hitaman. Segalanya gelap menyelinap hingga ke dasar dermaga. Seakan seluruh isi lautan hendak memuntahkan karang-karang gersang. Tetapi, dengan teka-teki dan kekuatan tersembunyi, kau masih sempat membaca sebuah puisi yang diam-diam menggelorakan imaji melalui perpaduan antara sunyi dan bunyi. Sebuah kecenderungan romantisme yang bermetamorfosa dengan lokalisme, yang datang meradang dengan ide-ide yang mengagung-agungkan masa silam.

Gelombang sunyi berputar memandang ke arah masa lalu, lantas kau pun berputar memandang ke arah masa depan yang jauh—pandangan yang seakan siap menerkam setiap perjalanan. Gelombang itu datang begitu tenang, dengan baju-baju jirah berselimut kemarahan. Tetapi bagaimana aku tidak melihat segala keindahan, sedang sang futurolog telah datang mengabarkan sajak terakhirnya tidak jadi diterbitkan di dasar lautan. Ia hanya mampu membuang dari segala yang datang dari masa silam seraya menatap ingar-bingar menuju waktu depan dan mengharu biru sambil menjunjung negeri pencerahan.

Aku tak tahu pasti apakah yang mesti aku katakan, kepadamu yang gelisah dalam penciptaan. Sepastinya kita telah bersahabat sejak awalnya: kesedihan, kengerian, keresahan dan pijakan adalah tempat kita bersama; bahkan senja dan matahari tempat kita menggali inspirasi bersama. Kita tak banyak bicara satu sama lain, karena kita tak ingin terlalu banyak melakukan pembocoran teks demi mengejar konteks, menghancurkan esensi untuk sebuah eksistensi.

Aku kini begitu muak dengan kota yang kutinggalkan. Aku ingin kembali pada diriku yang sunyi; kembali ke dalam pangkuan esksistensiku tanpa kehadiran orang lain. Seperti kau, sahabatku, aku juga si pengembara yang asing terhadap dunia sekeliling. Aku juga menyimpan keyatimpiatuan di dalam tubuhku; yatim piatu yang selalu ragu pada sebuah kepastian. Dan sadar akan diriku untuk tak mengingkari eksistensiku, maka mulai kujauhkan orang-orang lain disekitarku.

Aku ingin melampaui ruang dan waktu diriku sendiri untuk sampai pada diriku yang abadi. Untuk sekadar tersenyum, senyum yang bergelayut mendung, seperti puisi yang lahir dari rasa sunyi yang murung. Dengan mata jiwa yang merana, dari jarak kita yang bermil-mil jauhnya, aku berjalan dengan rasa bersalah yang tak lagi menghantui langkah. Dan untuk yang terakhir kali aku ingin mengabarkan padamu, hikayat makrifat belum juga bisa diterbitkan.

Masih kau ingat, sahabat, saat aku ingin bertemu, kau berlari tunggang-langgang mencari teman bergadang, dan ngobrol berdua hingga larut malam. Bersama-sama kita membasuh luka dengan puisi-puisi yang menjerit dirajam kehampaan. Dan itu semua mengingatkan kembali saat-saat yang tak terlupakan, ketika aku membaca pesan pernikahan yang kau kirimkan:

“Maafkan aku, kawan. Seharusnya aku berada di tempatmu, menemani kebahagianmu. Tidak di sini, ribuan mil jaraknya dari tempat yang seharusnya aku berada di sampingmu…..”

Saat sesudah pernikahan, kau juga menitipkan pesan singkat untuk selalu saling mengingatkan betapa dalamnya untaian puisi yang paling pribadi. Kau ziarahi kehidupan, kesepian, sendirian: “ziarah yang begitu meletihkan,” katamu. Dan kesendirian yang melelahkan, kata orang bijak, adalah kesendirian yang jauh dari kerabat dekat, sanak pamili, minan-mamak, dan di atasnya adalah: Jauh dari masa depan yang membahagiakan.

Aku tahu, kau memang peziarah di dunia yang gelisah, yang muncul bukan dari sebuah keterpaksaan. Tapi sebuah pengganti bagi antroposentrisme yang lebih sakit kau dapatkan. Keinginan segala keinginan, hasrat segala kehidupan, terbang ke dalam rengkuhan malam, ke dalam kesepian yang meradang-nerjang seisi lautan.

Siapa yang selalu aku cari, sahabatku, jika bukan kau yang kesepian? Telah kusaksikan kakimu berdiri di dinding kampus yang malang. Kudengar suara lonceng azura yang abadi. Dan sesungguhnya sebuah berkat dan bukan sebuah kutukan, ketika kau mengingatkan aku dari segala kehampaan. Di atas segalanya, di atas semuanya, terbentang tembok kampus yang berlumut karena tak pernah dibersihkan.

Di kota yang kesepian karena lama kau tinggalkan, bintang-bintang seakan meneteskan ludah harapan. Di dada perjalanan yang tak berbintang, kau merindukan pendakian yang sejati; kerinduan yang kita semua alami. Adakah kita peduli pada sebuah zaman yang tak punya waktu di masa depan? Tak ada, jika kau yang di seberang sana hanya diam tanpa kata-kata.

Kini aku terus mengingatmu, sahabat, bukan karena kau penuh seluruh, tapii karena kau telah membangunkan kembali kisah-kisah yang tercecer dari terumbu karang yang berdetak ketakutan, hingga membuat seluruh dinding kapalmu seakan membeku, seperti dulu, kata temanmu: “Nuh tersesat di situ”.

Nuh tersesat di lautan bukan karena ia tak tahu arah pulang, tetapi, seperti kata temanmu yang selalu mengingatkan untuk meruwat lautan, karena kapal di tengah samudra yang kau layari dengan hati bimbang, dengan tasbih irama diam dan doa-zikir-sembahyang usang. Kami khawatir kau juga akan terdampar bersama perahu Nuh di lautan, karena konon kapalmu telah menjelma rumah baru yang lebih muatan.

Chairil Anwar melukiskan situasi kejiwaan semacam itu dengan berkata lirih: “berbaring tak sadar, seperti kapal pecah di dasar lautan, jemu dipukul ombak besar”. Namun lanjutnya, “bagi kita ini bukan halangan, karena dalam taman punya kita berdua: kau kembang, aku kumbang, aku kumbang, kau kembang”.

Kau mungkin masih ingat, sahabat, saat ketika Zarahustra berumur tiga puluh tahun, ia meninggalkan rumah dan kerabat dekat untuk mengembara ke tengah hutan. Ia pun sempat mengarungi lautan. Dan di sana ia menikmati kesendirian, menziarahi semesta sambil tiduran, seperti juga Kierkegaard yang hampir-hampir tak pernah menyadari artinya hidup hingga ketika bangun ia menemukan dirinya mati. Zarahustra bertemu orang suci di tengah hutan sambil berucap lirih pelan: “Sungguhkah ini, orang suci di tengah hutan, belum mendengar kabar tentang kematian Tuhan.”

Zarahustra terus melangkah, kendati lututnya nyaris tak mampu menyangga tubuhnya. Dan ketika ia berdiri di depan sebuah cermin, sahabat, ia seakan tak percaya menatap kata-kata yang tergores dengan darah di depannya.

“Wahai bintang agung! Apalah arti kebahagianku seandainya tidak ada mereka yang menyinari?”

Seperti kau, sahabatku, Zarahustra sendirian ziarah dari hutan ke hutan hanya untuk menemukan teka-teki yang belum pasti, kecuali apa yang ia nantikan begitu jauh di masa depan, begitu samar di kejauhan. Tapi ia terus berjalan, melepas angan-angannya (dan aku berharap kau juga demikian) sambil mengucapkan: “bayang-bayang ini yang berlari di depanmu, sahabatku, maka teruslah berjalan seperti bayang-bayang dari apa yang harus datang.”

Pengalaman, persahabatan, angan-angan, kegembiraan, kekecewaan, seakan larut dalam kesendirian. Dan di atas segalanya, di atas semua penderitaan, kau mungkin berbahagia—lebih bahagia ketimbang aku—karena kau telah mencoba meniti harapan.

Di kota ini banyak orang berbicara tentang harapan, seakan-akan harapan memang seperti cita-cita yang dengan mudah bisa kita dapatkan. Tapi di dalam kitab-kitab perjalanan, dengan mudah kita temukan orang-orang tersesat oleh harapan. Mereka berjalan di tengah malam tanpa cahaya bintang dan sinar rembulan, merintih oleh angan-angan yang membuai menghanyutkan. Mereka tak tentram dalam kegelapan, mengutuk diri sendiri tanpa berani menyalakan lilin penerang bagi malam.

Manusia memang lebih tertarik dengan kepastian ketimbang keraguan, lebih condong pada jawaban daripada pertanyaan. Tapi orang-orang semacam itu hanya merindukan ketentraman tanpa mengerti nikmatnya kegelisahan. Dan kita tahu: tanpa kegelisahan tak ada perubahan.

Dalam waktu-waktu tertentu memang kita membutuhkan kepastian dan jawaban untuk setiap persoalan yang ingin dipecahkan, tapi itu hanya sementara sifatnya. Ada banyak keraguan dan pertanyaan yang lebih nikmat didapat.

Jika benar hari esok tak ada cahaya di ujung terowongan, apakah yang terbentang di sana buat kita untuk dikerjakan? Barangkali, seperti dalam untaian pena pribadi Nietzsche, “sebuah pemandangan yang paling mengerikan, tapi juga sebuah pemandangan yang sangat paling penuh harapan”.

Harapan pada saat terakhir ini hanyalah bingkai dari seluruh kehidupan yang itu-itu juga, yang sama dengan kehidupan sebelumnya: tanpa kepastian, tanpa perspektif selain bahwa dunia kini sudah beroleh sepuhan derita, dan oleh sebab itu bisa dijadikan titik bertolak yang lebih sah lagi bagi kerja-kerja nyata di masa depan. “Harapan pada saat yang terakhir ini justru memberikan relief bagi ketiadaan harap”, tulis Iwan Simatupang.

Karena perjalanan malam tak selamanya menjanjikan bintang, seperti halnya setiap perubahan tidak pasti menjanjikan kebaikan, barangkali harapan memang seperti dikatakan Goenawan: ibarat meniti perjalanan di daerah pedalaman, sendirian, yang pada awalnya memang tak ada jalan setapak harapan, namun sesudah kau berjalan di atasnya, jalan itu tercipta untuk kau kerjakan.