Selasa, 05 April 2011

BUNGA RAMPAI TENTANG RUMAH

Asarpin
Aktivis dan Pembaca sastra









Tanah


Tanah adalah asal kejadian kita dan tempat kita kembali. Sebagai sumber atau akar sejarah kita, tanah tak jarang kita anggap suci, atau kita sucikan. Terlebih lagi bagi petani. Demi sepetak tanah mereka rela mati. Demi memperebutkan secuil tanah perbatasan, mereka tak jarang harus berkelahi. Maka jangan coba-coba mengambil tanah secuil pun yang bukan milik kita.

Bagi pak tani, tanah adalah jiwa, bahkan nyawa. Dalam bahasa agak politis dan sedikit berbau komunis: tanah adalah alat produksi. Sebagai alat produksi, setiap petani sudah semestinya mempunyai tanah, atau memiliki alat produksi. Petani tanpa tanah artinya penggarap. Sebagai penggarap ia tak punya kebanggaan apa-apa, dan tak memiliki posisi tawar yang kuat. Ia tergantung pada si pemilik tanah, menghamba kepada si tuan tanah.

Karena tanah begitu penting bagi para petani, maka tanah menjadi suci dan tak boleh diper-jual-belikan. Apalagi tanah warisan. Anda bisa kualat jika coba-coba menjual tanah warisan. Bahkan anda akan dibenci banyak orang di masyarakat jika seenaknya dan dengan gamang menjual tanah warisan.

Ali Syariati pernah menganalisis dengan sangat bagus tentang posisi tanah bagi petani. Dalam bukunya tentang hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah, Ali Syariati memulai pembahasan dengan mengangkat persoalan tanah dan lapisan masyarakat petani sebagai yang disebutnya masyarakat paling tertutup, rigid, beku. Kebekuan dan kestatisan itu disebabkan oleh keterkungkungan mereka yang sangat kuat dengan tanahnya. Keterikatan terhadap ladangnya menyebabkan petani memandang tanahnya sebagai tempat tinggalnya untuk selama-lamanya, dan ia merupakan pewaris nilai-nilai spiritual dan hubungan kekerabatannya, sehingga keterikatannya dengan tanahnya itu membentuk ikatan batin yang diwarnai oleh kesakralan ketuhanan yang gaib. Tanahnya menjadi tempat tinggal yang menyatu dengan kepribadiannya.

Kenyataan semacam itu menurutnya, diperkuat oleh temuan para filolog yang mengatakan bahwa nama-nama yang digunakan untuk menyebut petani lazimnya diambil—dengan beberapa variasi—dari kata “tanah” dan kata-kata yang ada kaitannya dengan itu. Dalam bahasa Persia, petani adalah khakasbur, yang berasal dari kata khaka yang artinya tanah. Bahasa Arab, al-turab, tanah. Dalam bahasa Prancis disebut paysan, yang berasal dari kata pays (tanah).

Kata khaka’ dalam bahasa Lampung mungkin dipengaruhi atau berasal dari Persia, artinya akar. Jadi tanah adalah akar atau mahia. Sebagai akar, maka posisinya tentu saja amat mendasar, sebagai sumber, sebagai kunci, sekaligus penentu. Pohon tanpa akar akan mati, dan manusia yang kehilangan akar kesejarahan akan mengalami konflik, terombang-ambing, menjadi yatim-piatu, cemas, resah, gelisah.

Dalam masyarakat petani, bila seseorang meninggalkan tanah nenek-moyangnya untuk hijrah atau merantau ke kota (sekalipun untuk mencari pekerjaan yang lebih baik) atau menjualnya, kata Syariati, dipandang tercela oleh masyarakatnya. Ini membuktikan sebegitu jauh keterikatan sakral antara petani dengan tanahnya. Maka, berpijak dari sini, Ali Syariati menyimpulkan bahwa, seseorang yang tertawan oleh lingkungan tempat tinggalnya, menjadi terpenjara dan statis, dan pada gilirannya tidak bisa berkembang dan berubah. Akibat lanjutannya sudah bisa diduga: pikiran, akal, kesadaran, ilmu, seni, kebudayaan, agama dan pandangan kesemestaannya menjadi terkungkung dan mandeg, atau didesak oleh peradaban, agama, dan masyarakat lain yang dinamis dan terbuka, yang lebih perkasa dalam kontak yang terjadi dengannya.

Solusi yang ditawarkan Syariati adalah hijrah. Ia mendefinisikan hijrah sebagai “pemutusan keterkaitan masyarakat terhadap tanahnya”. Tauladannya adalah Rasulullah dan para sahabatnya yang sukses melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, dan sukses membangun Peradaban Madani yang oleh Robert N Bellah dan Nurcholish Madjid disebut peradaban paling maju, bahkan terlampau maju untuk ukuran masyarakat pada masa itu.

Hijrah yang dilakukan Rasulullah dan para pengikutnya merupakan “loncatan besar manusia: ia meniupkan semangat perubahan dalam pandangan masyarakat, dan pada gilirannya menggerakkan dan memindahkan mereka dari lingkungan yang beku menuju tangga kemajuan dan kesempurnaan”, tulis Syariati dengan optimis.

Dalam kata-kata Syariati yang terkenal: “hijrah bukanlah suatu perjalanan yang bisa dilakukan setengah-setengah. Hijrah adalah perjalanan untuk memutuskan segala hubungan. Hijrah adalah kondisi kebebasan manusia (Ali Syariati mengutip satu judul buku Erich Fromm) ‘untuk menemukan dirinya’”.

Tapi ada sesuatu yang menarik untuk didiskusikan dalam tesis yang dilontarkan Syariati, lebih lagi untuk konteks keterbukaan saat ini. Masalah sikap dan watak petani di satu sisi, dan hijrah itu sendiri.

Pertama, dengan watak masyarakat petani yang demikian, maka tanah-tanah tidak mudah jatuh ke tangan hak kepemilikan pribadi yang berlebihan kepada satu-dua orang. Dengan memandang tanah sebagai yang sakral, maka tak ada penumpukan aset tanah yang berlebihan pada segelintir orang kaya. Dengan demikian, ini bisa mengurangi kesenjangan dan bisa memperkecil tumbuhnya petani tanpa lahan, mengurangi bertambahnya petani penggarap atau petani tanpa tanah yang sekarang ini amat banyak jumlahnya.

Dalam masyarakat yang terbuka, tanah begitu longgar, mudah dialih-tangankan, dan sebab itu banyak orang kaya dari kota-kota besar dan menengah dengan mudah membeli tanah dengan harga murah. Bayangkan luasnya aset tanah keluarga Soeharto atau keluarga Bakri di desa-desa, itu karena hukum begitu lentur, dan masyarakat mulai memandang tanah sebagai sesuatu yang profan.

Saya teringat sebuah tetralogi Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, terutama bagian dialog antara bunda dan putranya, Minke, tentang petani dan tanahnya. Sebagai bandingan izinkan saya kutip percakapan keduanya agak panjang di sini:

“Pernahkah kau lihat ada petani dalam cerita wayang? Tak ada. Karena mereka memang tidak pernah ada. Yang ada hanya raja-raja, para satria, dan para pandita. Makin dekat pekerjaan seseorang pada tanah, makin tak ada kemuliaan pada dirinya, makin tidak terpikirkan dia oleh siapa pun.”
“Tetapi, Bunda pernah dengar cerita sahaya tentang Revolusi Prancis”.
“Dongeng yang indah, Gus, anakku”.
“Di negeri Tiongkok Kaisarina telah digulingkan, Bunda. Mereka tak membutuhkan raja-raja lagi”.
“Di Tiongkok? Orang-orang Cina itu? Apa artinya Tiongkok? Apa artinya orang-orang Cina yang tak tahu Jawa itu? Orang-orang yang tak tahu sopan-santun itu?”
“Ah, Bunda, Bunda. Jangan anggap rendah bangsa-bangsa lain. Jawa kita ini hanya satu titik kecil di tengah-tengah samudra, Bunda. Setiap bangsa juga punya kebesarannya”.
“Tentu aku percaya padamu, Nak. Hanya salahmu, kau meninggalkan satria, kesatriaan. Itu salahmu terbesar”.
“Sahaya tidak mampu ikut menghinakan mereka yang dekat pada tanah itu, Bunda”.
“Kau sendiri jauh dari tanah”.
“Ingat Bunda? Dulu pernah Bunda ceritakan pada sahaya tentang satria Bisma? Dia tewas di medan perang, Bunda. Bunda ceritakan dia hidup kembali dan hidup kembali setiap mayatnya menyentuh bumi? Dia hidup lagi, berperang lagi, mati lagi, dan juga hidup lagi serenta tersintuh lagi pada tanah”.
“Mengapa Bisma, Nak?”
“Dia abadi, Bunda, abadi selama bersinggungan dengan bumi. Bumi adalah petani, Bunda, petani, petani itu juga”.


Kedua, hijrah mesti dipahami dalam kerangka waktu dan tempat. Syariati saya kira cukup jeli ketika mengutip prinsip “pergi dan kembali” dari Arnold Toynbee. Dan saya kira Rasulullah juga tauladan yang baik dalam soal ini—juga Ibrahim, Musa, Zoroaster, Budha, dll—terutama ketika beliau melakukan isra-mikraj dan kembali lagi ke bumi, ke tanah tempatnya berpijak. Meninggalkan masyarakat untuk kelak kembali lagi telah menjadi misi dan cita-cita perjuangan sebagaian besar orang-orang besar, tokoh-tokoh sejarah, yang di Indonesia tak kurang banyaknya tauladan yang bisa kita sebutkan, namun sayang saya mesti menutup bagian ini sampai di sini sebelum tulisan ini menikam saya sendiri.









Rumah


Rumahku dari unggun timbun sajak
Disini aku berbini dan beranak
--Chairil Anwar, Rumahku

Apa sebetulnya rumah itu sehingga Chairil menyebut sajaknya sebagai rumahnya. Kita tak mungkin bertanya kepadanya karena ia telah lama tiada, bahkan ketika ia masih ada pun bisa jadi kita takkan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Tapi tentu saja ada alasan mendasar mengapa rumah dipakai sebagai metafor dalam sajak yang amat terkenal dan sudah sering dikutip itu.

Satu kemungkinan dari kemungkinan tak terhingga, rumah adalah ”pusat eksistensi”. Ini kalau kita menggunakan kacamata eksistensialisme atau sekurang-kurangnya, fenomenologi. Konon sejak bumi ini tak lagi menjadi pusat universum dan tak ada negara yang bisa menganggap dirinya sebagai pusat dunia, maka hanya tinggal satu pusat dalam dunia luas ini: rumah.

Kata-kata itu bukan dari saya, tapi dari M.A.W. Brouwer, kolumnis favorit saya. Dalam bukunya, Psikologi Fenomenologis, ada satu bahasan mengenai rumah kediaman, yang menurut saya gagasan di dalamnya banyak yang menarik. Ia menyebut rumah sebagai unsur yang memberi kemungkinan untuk dinamika dasar dari eksistensi manusia, yaitu pergi dan kembali. Pergi artinya masuk hal lain, atau asing. Kembali artinya pulang ke dalam hal yang dialami sebagai milik kita sendiri. Milik itu ialah tempat-diam. Bertempat-diam bukan hal yang terjadi secara otomatis. Mempunyai rumah belum berarti ada pusat yang menarik waktu kita pulang. Heidegger telah mengamati bahwa manusia harus belajar bagaimana rumah bisa menjadi habitat. Habitat, sebagai fenomena, amat sulit dilukiskan. Ia lebih sebagai suatu konstitusi dari suatu hal di luar manusia. Kita mesti menciptakan habitat, suatu tempat di mana kita bisa berakar dalam geworfenheit eksistensi manusia.

Pergi, sebagai perjalanan masuk ke dunia asing, sejalan dengan esensi alam menurut orang eksistensialis; yaitu mengandung ketakutan, cemas, retak. Alhasil: suatu situasi dari orang yang berada dalam hal asing, homo viator, transenden selalu di luar dirinya. Menemukan habitat, karena itu, berarti menemukan diri sendiri, atau berada pada diri sendiri, mendiami badan, mendiami rumah. Habitat atau tempat-diam, ialah tempat di mana kita berakar, di mana ada perlindungan dan keamanan.

Filsuf Prancis yang mati muda, Bachelard (pernah menulis buku tentang puisi ruang), menggunakan istilah ”sarang” untuk menyebut rumah. Di negeri kita, kata sarang lebih sering dipakai untuk menyebut kandang burung, atau tempat buruk melahirkan dan menyusui anaknya. Burung membuat sarang di tempat yang dirasakanya aman. Demikian pula manusia mendirikan rumah memilih tempat yang aman, bahkan jika masih diragukan keamanan dan bakal kenyamananya, dibuatlah sesajen atau dibacakan mantra dan doa agar aman dan terasa nyaman bagi penghuninya. Tapi manusia modern dalam zaman sekularisasi, kata Brouwer, mendirikan rumah dengan mengabaikan fungsi sakral, hingga rumah yang dibangun lebih menyerupai Corbusier, rumah mesin.

Ada satu cerita dari Jalaluddin Rumi tentang seekor burung, yang dikisahkan-ulang oleh Annemarie Schimmel dalam bukunya, Engkaulah Angin Akulah Api. Burung itu terbang tinggi dan jauh hingga mengalami banyak rintangan. Suatu hari ia terperangkap oleh seorang perempuan tua yang kaya raya, dan hampir saja melupakan rumahnya. Tapi perlahan-lahan dia mulai ingat asalnya, dan akhirnya ia mendengar suara beduk yang menyerunya supaya kembali. Sejak itu ia terbang meninggalkan negeri asing.

Mengomentari kisah itu, Rumi berkata: “Mana mungkin burung cantik itu tidak terbang pulang ketika diseru suara beduk dengan kata-kata irji’i (Kembalilah!). Setelah mengalami banyak kesulitan, burung cantik itu setidak-tidaknya menjadi lambang nafs muthma ‘innah (jiwa yang damai) yang dipanggil supaya pulang oleh Penciptanya”.

Dengan cara yang mengharukan Maulana Rumi mengingatkan makna orang-orang mudik dari kota ke desa agar mendapatkan kembali rumah-jiwanya, tempat-diam-nya, yang tentram. Itulah mengapa rumah menjadi perlu, karena ia bagian dari degup hidup, menjadi tempat kelahiran kembali, bahkan menjadi remedi bagi mereka yang senantiasa resah dan gelisah.

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah kemana
(Chairil Anwar)



















Rumah, Pulang


Rumah dan pulang mungkin dua tema yang akan terus kita temukan dalam kesusastraan sampai kapan pun. Sebab kedua tema ini telah menjadi bagian penting sejumlah penyair, di mana pun penyair itu berada. Sebagian besar mereka pernah menulis sajak tentang rumah dan pulang dengan kadar dan kedalaman masing-masing.

Esai ini hendak menggali kedua tema itu dalam puisi-puisi kita, dan itu tentu tidak semuanya bisa disajikan di sini. Hanya beberapa sajak saja yang sempat saya kumpulkan yang bicara ihwal rumah dan pulang, sementara ratusan—bahkan ribuan—sajak dengan tema yang sama tak mungkin bisa disinggung di sini. Barangkali inilah kepentingan sekaligus ketidakadilan seorang pembaca; ia memilih sajak sesuka hatinya, sesuai dengan hasrat hati dan keinginan subjektifnya.

Sebagian besar puisi lepas dengan riwayat dan sejarahnya masing-masing, yang akan dibicarakan di sini, tak mudah disusun menjadi satu ”rumah” pemaknaan. Sajak lepas ibarat sebuah potongan jigsaw yang mesti saya susun dengan teliti sekaligus harti-hati, agar membentuk suatu kedalaman kemaknaan dari kehidupan.

Rumah ibarat sepetak nostalgia yang ingin ditengok selalu. Sama seperti kampung halaman, rumah adalah sejarah dan rasanya tak puas kalau tak mengingatnya, jika perlu mendatanginya sekadar untuk melihat, syukur kalau bisa menginap sehari dua hari. Tapi rumah juga bisa membuat orang tak bebas bepergian jauh. Pancangan kenangan selalu akan terngiang, memanggilnya untuk kembali.

Kita tak sepenuhnya bisa menjadi warga dunia, dan mampu menjadikan setiap tempat milik kita karena memori akan selalu mengingat asal kita. Dan kalau sudah punya rumah, panggilan untuk pulang menjadi semacam keniscayaan sejarah, atau tradisi, layaknya mudik setiap lebaran: ia telah dianggap bagian dari pengalaman wajib untuk memperkaya hidup orang zaman sekarang.

Rumah erat kaitannya dengan lokalitas. Rumah yang apak sekalipun tak akan pernah terkikis dan terbuang dalam ingatan para penyair kita. Sebab ”tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah”, kata Joko Pinurbo yang mengaku terus-terang dalam sajak ”Tiada”.

Tapi di situ pula soalnya. Kalau Tuan masih tak takut kehilangan rumah, tidakkah Tuan lihat: begitu banyak orang merindukan rumah yang ditinggalkan, dan berduyun-duyun mudik dengan segala risiko yang menghadang di perjalanan. Di sana mahia menjadi sesuatu yang mustahak. Dan rumah tidak selalu merupakan kehadiran yang mengungkung.

Iwan Nurdaya Djafar menjadikan tema pulang sebagai judul himpunan sajaknya. “Akhirnya aku pun paham, bahwa hidup adalah perjalanan pulang setelah terusir pada masa silam” (”Pulang”). Sementara Isbedy Stiawan harus kembali ke asal sebagai pengobat rindu: “kususuri masalalu, di sini matahari telah lesap, hingga sulit nemukan jejakku kembali…daun-daun luruh/menghapus arah, mengatup rumah/bagiku pulang” (“Kususuri Masalalu”).

Iswadi Pratama sama sekali tak ingin jadi pendurhaka dengan melupakan rumah, sampai-sampai “aku tak mau kehilangan bau keringatku” (“Pulang”). Sementara Ari Pahala mengajak membangun kembali rumah yang telah runtuh karena “ia tempat bagi bakal anak dan istrimu”, bahkan tempat “bagi nuranimu” berlabuh (“Membangun Rumah”). Dina Oktaviani membayangkan Tanjungkarang ditinggalkan sebagai bangkai yang kadang “menjelma hari kemarin, memberi semacam sakit dan ingatan” ( “Bangkai Tanjungkarang”). Jimmy Maruli berseru: “Pulanglah, atau kau sudah nemu rumah baru yang suwung/seperti tempat tinggal kita dahulu di kampung” (”Ayat Hikayat”).

Mengapa penyair kita begitu cepat memutuskan pulang? Secuil jawaban kita temukan dalam sajak Jimmy: “karena kota ini angkuh bagi pendatang, karena kita kadang dibaptis sebagai perantau, diberi indeks-indeks, rumah dengan kamar sempit, dimana kata tak menjamin segalanya rampung”.

Kalau sudah begitu, yang jadi soal bukan mengapa pulang, tapi bagaimana rumah dan pulang itu dihadirkan. Sebagian besar penyair kita ternyata takut kehilangan rumah. Hal ini bisa dimaklumi, sebab kita semua akan selalu kehilangan rumah. Disinilah konflik dan ketegangan itu bermain.

Bagi penyair yang gandrung pada mitologi Yunani, mereka mengambil tauladan dari beberapa tokoh. Chairil Anwar berusaha memecahkan ketegangan dengan memutuskan jadi manusia pengembara selamanya bagaikan Ahasveros yang dikutuk Dewi Eros. Karena dia penyair, rumah yang dibayangkan bukan seperti penyair kebanyakan, tapi ”Rumahku dari unggun-timbun sajak/Di sini aku berbini dan beranak” (”Rumahku”).

Sementara sebagian besar penyair kita mengambil tauladan dari sosok Odysseus, sekan-akan itulah dewa yang ideal. Padahal tokoh ini kata Emmanuel Levinas, masih merindukan pulang, dan akhirnya memang memutuskan pulang. Sitor Situmorang tipikal penyair model ini ketika mengatakan: “Rinduku/Pulang dalam Rumah dalam Seni/Angin manis meniup pasir benua Afrika/Di Eropa kutahu masih salju/Sampai ke padang-padang Siberia/Aku harus ke Moskow, tapi/Memenuhi harapan yang kusayang/Untuk kumpul di akhir Ramadhan/Aku pulang malam terbang garuda rindu” (sajak ”Panggilan”).

Sementara Toto Sudarto Bachtiar dalam sajak ”Rumah” bilang: ”Terkadang terasa perlunya ke rumah/Atau terasa perlunya tak pulang rumah”. Sutardji C. Bachri ”terpaut nyeri dalam guratan kicau Riau parah yang dalam, riwayat lengah tak sampai paham, meski pulang selama pulang, tak hilang kau dari ingatan (”Buat Idrus Tintin”). Pencarian akan Tuhan juga harus diakhiri dengan bertobat: ”Ya, Tuhan, jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar, tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia, kini biarkan aku menenggak marak cahayaMu, di ujung sisa usia” (”Idulfitri”).

Begitulah sekelumit kegelisahan para penyair kita dalam menentukan tempatnya berpijak. Persoalan rumah dan pulang menjadi semacam daerah pergulatan, atau pergolakan, yang eksistensial sifatnya. Ada kalanya mereka berusaha mempertanyakan kembali apakah sebaiknya penyair memang tak memiliki rumah. Adakalanya mereka merasa cemas dan takut kehilangan rumah. Tapi satu hal yang jelas: kita memang akan selalu kehilangan rumah.





”Rumah Prosa” Indonesia


Pramoedya Ananta Toer, prosais terbesar yang pernah dimiliki Indonesia, cukup sering bicara soal rumah dan pulang dalam karya prosanya. Pram menempatkan rumah sebagai sejarah, rumah sejarah, sebagaimana ia menempatkan novelnya sebagai bagian dari ”novel sejarah” sekaligus ”filsafat sejarah”.

Dalam karya klasiknya, Bukan Pasarmalam, Pram dengan liris bicara soal rumah, kampung halaman, di samping tempat seorang anak di zaman revolusi. Sekeras-keras hati si tokoh Aku untuk bertahan menjadi manausia rantau di kota Jakarta, tetap saja perasaannya luluh-larut ketika harus dihadapkan pada kenyataan orang tuanya jatuh sakit dan dibayangkan tak akan sembuh lagi. Akhirnya ia memutuskan pulang menengok orang tuanya yang sedang terbujur di rumah sakit karena TBC. Tapi bukan hanya sosok orang tua yang ditengoknya, tapi juga rumahnya dulu, kampung halamannya, saudaranya, orang-orang kampung yang telah lama ditingalkannya.

Si Aku memang kembali lagi ke Jakarta setelah ayahnya dimakamkan karena ia telah bertekad dan memutuskan di Jakarta itulah tempatnya yang baru, sekaligus pertaruhan hidup-matinya di masa depan.

Dalam novel tetralogi, Pram memang begitu keras menanamkan semangat modernitas, menjajakan manusia modern tanpa ampun kepada pembaca, walau kemudian sikap itu akhirnya sedikit lunak pada bagian akhir serial terkenal itu. Dalam Jejak Langkah dikatakan dengan sangat keras, dan nyaris menjadi semacam ”pemujaan”, ketika Minke baru saja tiba di Batavia:

Akhirnya Bumi Betawi terhampar di bawah kaki, kuhirup udara darat dalam-dalam. Selamat tinggal, kau kapal. Selamat tinggal, kau, laut. Selamat tinggal semua yang telah terlewati. Pengalaman-pengalaman masa silam, kau pun tak terkecuali, selamat tinggal.
Memasuki alam Betawi—memasuki abad dua puluh. Juga kau, sembilan belas! selamat tinggal!
Aku datang untuk jaya, besar dan sukses. Menyingkir kalian, semua penghalang!....orang bilang: hanya orang modern yang maju di jaman ini, pada tangannya nasib umat manusia tergantung. Tidak mau jadi modern? Orang akan jadi taklukan semua kekuatan yang bekerja di luar dirinya di dunia ini. Aku manusia modern. Telah kubebaskan semua dekorasi dari tubuh, dari pandangan.
Dan modern adalah kesunyian manusia yatim-piatu, dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya.

Itulah Pram. Nada bicaranya amat lantang. Semangatnya gigih. Keberaniannya layak dipuji, walau ia sendiri tak butuh pujian. Ajakannya untuk jadi modern, meneladani manusia modern, bukan yang pertama dan mula-mula, memang. Sebelumnya, kita telah mengenal Takdir Alisjahbana yang berapi-api. Sjahrir yang begitu percaya diri. Bahkan sebagian besar aktivis pergerakan, angkatan 1928, terbakar oleh fajarbudi dan semangat kemajuan, semangat modern, semangat yang dibawakan abad ke-20.

Baik mereka yang berlatar agama, politik, sastra, atau berlatar apa saja, ikut ambil bagian dari kampanye tentang kemajuan itu. Ada yang malu-malu, ada yang mencoba memberi catatan kritis, ada yang munafik, ada yang mencoba mencari jalan tengah, ada yang terlampau berani dan gagah.

Tema rumah tak hanya terdapat dalam novel yang pernah ditulis Pram. Bahkan dalam sejumlah cerpennya, tematik rumah begitu dominan. Satu di antaranya tergambar dalam buku kumpulan Cerita dari Jakarta. Ada satu cerita dengan tema sangat sederhana, yaitu tentang kecapi. Lewat kecapi Pram meletakkan desa dan rumah bukan merupakan entitas yang lebih luhur, apalagi lebih mulia dari kota. Rumah dan desa tidak selalu tempat untuk pulang. Bahkan dalam kumpulan cerita pendek itu, kesucian dan pulang bukanlah persoalan yang utama. Tokohnya yang hidup murung di Jakarta tahu bahwa di dusun asalnya di Lembah dan Gunung, kecapi bisa terdengar tiap saat, tapi di sana tanahnya terlampau sempit dan ia teramat miskin, dan sebab itu desa tak memberinya dasar untuk kembali.

Bahkan justru di kota, di mana seseorang bisa mengikuti imajinasinya sendiri dan mau mengerjakan sesuatu yang baru, meskipun ditertawakan oleh orang banyak di sekitarnya, tokoh Maman yang kere tidak terhanyut oleh perasaan nostalgis, bahkan ia mampu berdiri tegak.

Kampung halaman yang oleh Sutan Takdir Alisjahbana disebut ”tasik yang tenang” yang selalu dirindukan banyak orang kota, tak membuatnya merasa rindu. Ia tak melakukan mudik. Ia tetap tinggal di kamar petak berukuran 4x4 meter. Bahkan kampung halaman yang oleh Albert Einstein disebut ”kerinduan orang kota untuk selalu lari ke lingkungan yang bising ke lingkungan yang damai, masuk ke dalam keheningan perbukitan—dimana pandangan bebas menembus udara murni dan tenang, yang seolah-olah diciptakan untuk selamanya”—tidak membuat tokoh-tokoh Pram tergiur untuk pulang.

Tapi pada cerita lain sikap Pram berubah. Akhirnya ia juga mesti kompromi. Dalam cerpen Jakarta, misalnya, Pram justru melukiskan tokoh Ridwan yang kalah dalam perjuangannya, yang cuma sekadar untuk tinggal di Jakarta saja untuk beberapa hari tak betah. Ridwan akhirnya harus hengkang, mencari kedamaian hati di tempat kelahiran. Rencana tinggal di Jakarta selama-lamanya dibuyarkannya dan ia kemudian pulang mencari kedalaman yang baru di desa.

Dalam melukiskan konflik perjalanan Ridwan pulang ke kampung halaman di desanya, Pram dengan gamblang menyatakan bahwa, apa yang dimiliki sang tokohnya hanyalah sebuah arca yang ditatahnya dalam hati gadis pujaannya. ”Selamat tinggal, Jakarta!” Demikian ucap Ridwan di bagian akhir cerita itu.

Sementara dalam cerita berjudul Sunyi Senyap Di Siang Hidup, Pram menarasikan niat tokohnya yang mendekati cerita autobiografis yang sangat kuat. Sang tokoh pergi meninggalkan kota praja yang telah menghidupkan aneka cerita tentang kegagalan. Pergulatan dalam perjalanan tokohnya dalam revolusi mengingatkan dirinya untuk kembali. Dan rumah dibayangkan sebagai pusat eksistensi. Pusat dari kehidupan penghuninya.
Pulang berarti kembali ke akar, kembali dalam ikhwal yang dialami sebagai milik kita sendiri. Apa yang dinamakan milik ialah tempat-diam: tempat di mana kita berakar; di mana di rumah kita merasakan jiwa yang tenang.

Rumah tak akan pernah bisa kita lupakan karena ia tertanam jauh dalam memori. Maka, barangsiapa ingkar pada rumah, lupa pada kampung halaman, dengan sendirinya ia akan dicap sebagai Malin Kundang. Dan cap ini begitu dominan dalam sejarah sastra Indonesia.

Bagi sebagian penyair, rumah telah menjadi bagian darah dan daging. Rumah merupakan cerminan dari sebuah kosmos. Tempat berlangsungnya kehidupan. Karena itu sering bersifat suci. Rumah menjadi sesuatu yang sakral atau disucikan, yang sering ditempel hiasan untuk menunjukkan keberkatan. Agar yang pergi ingat kembali. Agar yang tinggal merasa nyaman dan aman. Agar tak menjadi pendurhaka seperti si Malin Kundang dalam legenda lama.
















Mudik Primordial


Jutaan orang kini mempertaruhkan hidupnya di kota. Dan jutaan pula yang kembali ke kampung asal ketika menjelang Lebaran. Sebagian besar pulang karena kemauan sendiri, rindu sanak keluarga dan rumah tempat dia dilahirkan. Sebagian karena ada yang diminta oleh keluarganya untuk pulang atau kembali, berkumpul bersama-sama sambil merayakan hari raya Idul Fitri dengan suka cita.

Tak heran jika mudik jadi tradisi paling menyita perhatian di Indonesia. Dari musik sampai puisi terdapat tema mudik. Dari cerita sampai berita dipenuhi oleh tema mudik. Dan rumah tidak lagi bermakna sesuatu yang hanya fisik, tapi sesuatu yang religius.

Dari sisi agama, rumah adalah tempat kembali. Dalam Kitab Suci, al-Qur’an misalnya, cukup banyak menggambarkan persoalan reantau atau hijrah, pulang dan rumah. Ada rumah Allah (bayt-al Allah) atau bayt-al-Ma’mur, rumah yang dituju. Semuanya menunjukkan makna pencarian dan kembali dalam arti fisik sekaligus batin. Idul Fitri disebut sebagai hari raya untuk meraih kesucian kembali. Kembali menjadi suci lagi setelah diri ternodai.

Idul Fitri juga bisa disebut momen nostalgis, sebuah hari untuk mengingat ikrar dan perjanjian dengan yang Mahasuci. Segala kenangan di rumah dan di kampung halaman atau di perut ibunda, yang telah kita tinggalkan, ingin kita raih kembali, ingin kita datangi kembali. Tak heran jika hanya sedikit orang di negeri ini yang tidak melakukan mudik saat Lebaran, sementara sebagian besar berbondong-bondong untuk bisa pulang ke tanah kelahiran, sekalipun yang ingin didatangi hanya rumah bambu beratapkan ilalang dan berdindingkan geribik, seperti dalam lagu Rumah Kita Ahmad Albar .

Memang ada yang kenes dan nenes di situ. Ada sesuatu yang terasa rutin dan karena itu kehilangan kedalaman di situ. Tapi apa boleh buat, kita bukan tanpa masalalu. Kita tidak lahir dalam rumah yang vakum. Karena itu, pulang dan kembali adalah bagian sah dari sebuah perjalanan. Tapi terlampau mengingat rumah dan masalalu juga, akan membelenggu ruang gerak kita sendiri. Karena itu, sikap yang jumawa adalah menerima kehilangan masa lalu dengan lapang dada.

Tanpa itu maka konflik antara masa lalu dan masa kini akan terus mewarnai perjalanan hidup kita. Memang, untuk sebagian orang ada yang sengaja mempertahankan konflik batin tersebut. Sengaja memupuk tarik-ulur antara dua dunia tersebut. Terutama di kalangan seniman. Tapi ada yang tak betah hidup dalam tarik-menarik semacam itu. Ia ingin segera membunuh yang satu dan demi menyemarakkan yang satu.

Sastra dan agama cukup banyak memberi teladan soal itu, juga pilihan-pilihan yang mestiu diambil atau tak hendak diambil. Yang jelas kita tak bisa menolak dua dunia itu, ia kenyataan yang akan selalu memergoki kita. Kita bisa saja memberi porsi lebih tinggi pada yang satu atau lebih rendah pada yang satunya, tapi ia kenyataan sejarah yang tak mungkin sepenuhnya bisa ditampik. Dualisme itu memang ada dan menjadi bagian dari hidup.


Kita tidak sedang bicara soal rumah papan atau rumah tembok, atau rumah semi permanen. Kita sedang bicara soal rumah sejarah. Sebuah tempat, sebuah identitas, bahkan sebuah kosmos. Demikian pula ketika bicara soal rantau atau hijrah; kita sedang memperkarakan sebuah pergolakan, perasaan, emosi, jatidiri, hakikatdiri, bahkan hargadiri. Semua itu syarat konflik, baik konflik fisik maupun konflik batin.

Ada cerita nyata soal kebijakan mudik di negeri ini. Pada suatu hari raya pemerintah—terutama aparat kepolisian—mengeluarkan ketentuan agar pemudik dilarang mudik membawa kendaraan roda dua dengan membawa anak dan istri serta barang-barang dalam satu motor. Hal ini terlampau berisiko. Seorang pemudik tetap saja nekat. Satu-dua orang juga nekat. Bahkan cukup banyak yang memaksakan mudik dengan melanggar ketentuan yang dikeluarkan kepolisian.

Di sebuah perjalanan ada razia kendaraan bermotor. Seorang pemudik terkena razia dan ditanya oleh polisi mengapa memaksakan diri mudik dengan membawa anak-istri dan barang-barang di atas motor. Si pemudik tak mau kalah jawab: ”Kalau saya mampu Pak, kami sekeluarga mudik dengan naik pesawat! Kami tahu risiko mudik dengan motor, apalagi penuh muatan seperti ini, tapi ini yang kami punya! Kalau tidak sini kan uang kami mudik naik pesawat! Kami mudik dengan motor semacam ini karena nanti kalau di kampung motor bisa kami pakai ke sana ke mari, untuk kendaraan berkunjung ke rumah pamiliki, teman. Kalau kami pulang naik kendaraan umum, ketika Lebaran di kampung kami hanya gigit jari. Kami tak bisa persiran ke mana-mana karena tak ada kendaraan pribadi!”

Polisi itu diam dan menyuruh si pemudik melanjutkan perjalanan. Tentu setelah memberi saran agar si pemudik berhati-hati. Si pemudik tampak begitu puas, merasa menang berdebat dengan polisi.

Itulah fenomena yang terjadi di negeri kita. Orang akan memaksakan mudik sekalipun ada aturan formal yang mencegahnya. Dengan kata lain, mudik tak bisa dicegah. Saya sendiri punya pengalaman yang cukup banyak soal mudik. Saya pernah jatuh dari motor ketika mudik. Saya pernah mengalami tabrakan dengan kendaraan motor yang berlawanan arah ketika mudik dengan motor juga. Sungguh, tak bahagianya bila seorang pemudik yang karam dalam perjalanan pulang menuju kampung halaman. Betapa kecewa ia ketika tidak sampai di rumahnya dan harus mendekam di rumah sakit saat orang merayakan hari Raya Idul Fitri.

Kita tak ingin jadi pemudik yang tak sampai pada pencarian yang kita impikan, karena kita manusia yang membawa sifat ”rindu-rupa rindu rasa”, kata Amir Hamzah. Kita memang manusia yang cengeng. Baru sehari kita tinggalkan rumah dan kampung halaman sudah rindu menggebu. Hanya orang-orang tertentu yang betah jadi manusia rantau, manusia hijrah, selamanya. Kendati begitu, perasaan rindu terhadap rumah, keluarga, kampung halaman, tentu saja tak sepenuhnya bisa disirnakan.

Apa sesungguhnya hakikat mudik itu hingga setiap tahun kita menyaksikan jutaan manusia Indonesia menjalaninya. Ribuan jawaban dan alasan bisa kita cari pembenarannya. Mudik bisa dilihat secara individual, sosial, atau bisa dibaca dalam kerangka antropologi, fenomenologi, sosiologi, psikologi, filsafat, puisi, prosa, dan banyak lagi. Bagi kaum sufi makna mudik tentu berbeda bagi kaum pemuja syariat.

Saya teringat sebuah kisah tentang al-Hallaj. Dalam kitabnya dengan judul sangat simbolik, Ta-Sin (atau Tawasin), ia menamakan perjalanan menuju Tuhan sebagai lingkaran "titik primordial". Dalam penjelasannya, titik primordial tersebut digambarkan sebagai sumber sekaligus muara kehidupan manusia, yang tak pernah bertambah atau berkurang. Tidak pula habis-kikis dengan sendirinya, karena pencarian tak pernah selesai, terus mengulang dan berputar dalam lingkaran primordial yang sama. Dosa yang pernah datang mendekat, akan terkikis, sambil mencari ia datang kembali, berhamburan ia pergi, menggairahkan ia hadir, menjauh ia terbang, sambil mencari ia datang, dari ketakjuban, ia bergegas, sambil bermaaf-maafan ia lebur, dan seterusnya, dan seterusnya.

Lingkaran primordial itu dilukiskan al-Hallaj dalam bentuk simbol tanda baca titik yang membentuk lingkaran yang tak putus-putusnya, terus berulang, belum sudah, dan berulang kembali. Dalam bahasa ibu saya, fenomena ini diistilahkan sebagai olok mulang; yang dekat dengan pemaknaan arus balik dari darat ke laut dalam roman tebal Pramoedya Ananta Toer.

Adalah menarik ketika makna mudik primordial itu juga diapresiasi oleh sastrawan peraih Nobel Sastra di bidang kepenulisan puisi, Octavia Paz, dalam karyanya The Other Voice (Suara Lain). Ia melukiskan perjalanan puisi modern ibarat perjalanan sejarah kemanusiaan yang mencari kepenuhan martabatnya dengan semangat menghadirkan kembali asal primordial: perjalanan bolak-balik ke kala mula, sebelum ketidakadilan lahir, ke kurun sebelum munculnya kesenjangan, perselisihan, ke mudian menyusuri waktu kini dan ke masa depan, terus-menerus mencari persilangan waktu, memusar ke satu titik, pertemuan yang melebur kala silam, kini dan kelak.

Kembali ke dalam konteks mudik primordial, setipa pemudik merindukan asal primordial. Ketika si pemudik telah sampai ke rumah primordial, ia ibarat telah sampai ke kampung halaman. Kemudian ia akan bergegas memenuhi panggilan-Nya; mula-mula membersihkan diri, mandi, bersalin, menanggalkan baju yang berpeluh keringat saat di perjalanan dan menggantinya dengan baju yang bersih untuk menyambut panggilan takbir dan tahmid dengan harapan agar mudik fisiknya bisa dibalas Tuhan.

Penyair yang mencari rumah sejarah akan mencari kepenuhan dirinya lewat apa saja. Ada yang lewat agama dan ada pula lewat sastra. Tatkala ia mengamati kisaran air, atau ombak suak ujung kalak, ia akan terinspirasi dan menulis puisi. Ketika ia sedang mandi di kali dan terperangkap alimbubu, ia membayangkan pusaran waktu, lalu lahirlah puisi.

Menghayati mudik primordial dalam puisi-puisi penyair kita sungguh tak ternilai harganya. Mereka jarang menampilkan identitas atau rasa kedaerahan yang sempit, sebagaimana banyak dikhawatirkan oleh para kritikus. Tak ada manusia suku Chandala dan Arya dalam puisi-puisi penyair kita yang bicara tentang rumah dan identitas. Tak pernah saya temukan adanya semangat etno-nasionalisme sebagaimana dalam karya-karya sastra Amerika Latin, yang dikhawatirkan para kritikus ketika penyair kita gandrung kembali ke asal, ke akar, ke alam lokal dan tanah air.

Penyair kita hanya kembali ke dalam pencarian kedalaman di pedalaman, yang walau meniscayakan keterbatasan karena itu memang bahasa ruang, namun lebih baik ketimbang melanglang-buana di negeri-negeri mancanegara tapi tak menghasilkan karya yang sebanding dengan jauhnya perjalanan kecuali hanya beberapa catatan perjalanan yang dangkal.











Mudik, Balik



Tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah,
bahkan jika rumahnya hanya ada di balik iklan
yang ia baca di perjalanan.
Tiada rumah yang tak merindukan seorang ibu
yang murah berkah, bahkan jika ibu tinggal ada
di bingkai foto yang mulai kusam…
--Joko Pinurbo, sajak Tiada (2003)


Sebuah foto hitam putih tergeletak di dinding tua. Foto itu menampilkan kesunyian para pemudik. Dengan warna hitam-putih yang menonjol, foto itu memotret dengan jeli dua sosok manusia yang tengah melintas tepat di tengah-tengah rel kereta sambil menenteng sebuah koper. Di kiri dan kanan rel yang tampak berwarna hitam pekat, terlihat kerumunan orang yang berdesakan menunggu kereta tiba.

Foto itu tentu tak dimaksudkan sebagai teror mental, tapi lebih sebagai foto realis yang menyuguhkan tempat atau rumah bagi seorang penyair. Atau pulang bagi para pemudik. Atau mudik akbar bagi para peziarah yang resah.

Menapa dengan foto? Ketika puisi ternyata tidak sepenuhnya mampu menangkap gelora kerinduan, dan ketika prosa hanya menyuguhkan narasi yang terasa aus dan metafora porak-poranda, sebuah foto bisa jadi mampu menyumbang bagi tafsir kamera dalam permainan.

Bahkan, jika buku-buku analekta puisi tak juga membuat kita bertanya tentang apa dan untuk apa peristiwa yang terekam di dalamnya, apalagi tak memberikan kedalaman makna sehabis membacanya, maka gambar atau foto bisa berlaku sebaliknya: Karya foto—dengan realisme yang menuding-nuding realita sekali pun—bisa memainkan dengan lincah arti sebuah peristiwa, juga kesunyian dan kemenjadian.

Foto karya Yuniadhi Agung itu dimuat di harian Kompas bersama sebuah tulisan tentang “pulang”, menampilkan empati dengan sebuah kesunyian; empati bukan muncul dari sebuah kenenesan, apalagi kecengengan, sebagaimana banyak kita temukan dalam puisi bertema kampung halaman. Sang fotografer memotret kebimbangan dua orang yang sedang menyeberang rel, tapi tak bermaksud menghadirkan masa silam sebagai ratapan.

Bahasa gambar, foto, bisa jadi sebuah pilihan ketika puisi kian kehilangan tenaga. Ia bisa melampaui keindahan dan keterfanaan kita dalam menghayati tempat berpijak, atau rumah. Ia juga dapat mengajak kita untuk ikut merasakan apa yang orang-orang sedang berjalan pulang itu rasakan: merasakan usaha mereka yang penuh harap dan cemas dalam menempuh stasiun demi stasiun dalam mencari tanda-tanda kehidupan di mana kita merasa menemukannya kembali sebelum kita melupakannya.

Dengan menyinggung tafsir kamera di latar depan tulisan ini, saya telah memasang semacam ancang-ancang untuk tak sekadar berselancar ke dalam puisi yang saya singgung di bawah ini. Puisi-puisi yang saya pilih secara acak namun menghadirkan tematik yang sesuai dengan konteks pembicaraan yang saya pilih. Pulang dan rumah adalah dua persoalan yang hampir tak pernah absen dalam puisi sejak Pujangga Baru sampai puisi tahun 2000-an. Penyair Pujangga Baru dan angkatan 45 sudah banyak melukiskan semangat mudik dan balik. Goenawan Mohamad kerap kali mencemooh penyair atau sastrawan yang merayakan alam lokal, tanah air, atau warna setempat, yang telah melahirkan esai-esai yang menggugah seperti “Puisi Yang Berpijak Di Bumi Sendiri” (1960), “Kesusastraan Indonesia dan Kebimbangan” (1968), dan “Masa Lampau Tak Mati-mati” (1970). Puluhan esai pendek ”Catatan Pinggir” juga tak luput memperkarakan persoalan rumah dan pulang dalam pemaknaannya yang beragam dan sangat luas.

Kita tahu, Sutan Takdir Alisjahbana pernah menulis puisi tentang semangat meninggalkan tasik yang tenang. Asrul Sani pernah menulis puisi Surat Dari Ibu, yang menampilkan konflik seorang anak yang merindukan kampung halaman setelah jauh ditinggalkan. Asrul mengekspresikan situasi kejiwaan seorang anak yang tersang, yang pergi ke alam bebas selama angin masih buritan dan mentari pagi menyinari daun-daunan:

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutupi pintu waktu-lampau

Jika bayang-bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
bolehlah engkau datang padaku

Kembali pulang anakku sayang
kembali ke balik malam
jika kapalmu telah rapat ke tepi
aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari

Demikian pula pada Sitor Situmorang yang begitu rindu kembali ke Danau Toba, Ajip Rosidi rindu pada bahasa Sunda, dan banyak lagi penyair generasi 1945-1965 yang merindukan tanah kelahiran. Tahun 1950-an, ajakan untuk pulang ke desa memang sempat mewarnai banyak puisi dan berlanjut hingga tahun 1970-an. Pulang sering dilukiskan melalui aku lirik yang hidup terlunta-lunta di tikungan jalan, di ruang antara, desa dan kota, lokal dan global sebagai “si anak hilang” kata Sitor, yang berjalan dengan tujuan rutin yang nyaris kehilangan arti.

Begitulah perjalanan puisi modern Indonesia. Persoalan rumah dan pulang akan terus merundung sebagian penyair. Apa boleh buat, kota bukan dunia yang cocok bagi daya khayal dan fantasi kebanyakan penyair kita yang memang berasal dari desa. Puisi memang tak pernah lahir 100 % di kota. Keliaran kata dan imaji tak mampu mengungkai kedalaman renungan dan pikiran, dan sering masih takut dianggap pendurhaka, sebagaimana kata Goenawan Mohamad pernah melukiskan: ”kita tak ingin melihat kepongahan menjadi pemberontakan, reda dan usai, yang kepada kita rasa bersalah tradisional pun muncul kembali: kita tak ingin jadi manusia yang terkutuk, kita takut seperti Malin Kundang yang mendurhakai ibunya, sebagaimana dalam cerita lama, dan kita juga tak mau jadi pengembara yang bermahligai di atas langit terus-menerus sementara kaki masih berpijak di bumi”.

Sampai pada tahun 1980-an, daya tarik puisi pulang ke rumah asal semakin kencang, seiring hangatnya perdebatan tentang sastra kontekstual. Ajakan pulang menggema kembali dengan kehadiran gerakan postmodernisme di tahun 1990-an di negeri ini. Pulang dan rumah memang tak mati-mati, sebagaimana pernah diharapkan Goenawan. Rumah dan kampung halaman tak kunjung bisa dilupakan, mungkin karena kuatnya imajinasi tentang bahasa ibu yang pertama di desa, maka ia menjelma semacam jejak tanda dan penanda yang tak mudah dilupakan, nostalgia yang bersemai di kala gebalau memuncak di kota.

Kampung halaman berikut segudang nostalgia masa lalunya akan terus dipahat kembali kandungan rasa jati diri di kalangan para penyair kita. “Tuan bertanya tidakkah saya takut akan kehilangan rumah”, kata Goenawan dalam esai “Rumah”: “Saya cenderung bertanya kembali dengan pertanyaan panjang yang tak menarik: apa yang kini tersisa dari lokalitas dan stabilitas yang pernah ada dahulu? Tuan lihat: kini begitu banyak orang digusur, begitu banyak orang mengungsi. Mahia menjadi yang mustahak. Rumah—meskipun bukan sebuah puri yang angker—bisa merupakan kehadiran yang membatasi. Kedalaman adalah kata yang meniscayakan keterbatasan dalam pencarian. Takutkah saya kehilangan rumah? Bukankah kita akan selalu kehilangan rumah?”

Ragam puspa pertanyaan Goenawan itu tak membuat masa lalu dengan mudah bisa dilupakan dan rumah dengan cepat dapat digusur. Rumah dan masa lalu tak akan pernah terkikis dan terbuang dalam puisi dan dalam ingatan penyair. Ramalan dan harapan Goenawan tak selalu terbukti. Beberapa esainya belakangan ini menunjukkan kegamakan atau kegamangan dan pembelaan dengan retorika tulisan yang nyaris menjelma semacam antitesa retorika spontan dari Sutardji. Sampai pada generasi penyair mutakhir, generasi angkatan Ulfatin Ch, Joko Pinurbo, Jimmy Maruli Alfian, Y. Wibowo, dan Inggit Putri Marga, dan masih banyak lagi, rumah dan masa lalu masih terus ditulis dan dikenang dalam puisi.

Saya merasakan bagaimana penyair Ulfatin Ch berusaha menjernihkan tema pulang dalam puisi Keberangkatan (1998): “Duduk di stasiun tugu/kita menunggu malam, kereta tak juga datang/mengiring gelisah/sampai kapan”. Keberangkatan adalah sebuah perjalanan ke hulu kehidupan ibu, bahkan ke dalam semesta, atau kosmos. Keberangkatan menjadi semacam korelasi budaya bagi keranjang takakura dalam hidup kita. Segala bentuk, residu masa lalu, yang semula didaur-ulang oleh alam, mulai membalik kemanusian. Dan ajakan kembali ke asal primordial seakan niscaya.

Apa yang terjadi jika keinginan pulang yang menggebu-gebu tapi di stasiun “kereta tak juga datang”? Ulfatin punya jawaban yang umum dalam sebuah laku menunggu: “menggiring gelisah” entah “sampai kapan”. Joko Pinurbo masih sempat juga menulis puisi bertajuk “Tiada” (2003) dengan kata-kata yang nyaris menjelma kesimpulan: “Tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah, bahkan jika rumahnya hanya ada di balik iklan yang ia baca di perjalanan. Tiada rumah yang tak merindukan seorang ibu yang murah berkah, bahkan jika ibu tinggal ada di bingkai foto yang mulai kusam…”

Dan ada juga yang berterus terang secara telanjang: “Pulanglah,” kata Jimmy Maruli Alfian dalam puisi Ayat Hikayat (2007). Lalu ia pun berpantun: ”Biji gandum serak di kebun. Ranumnya sampai ke teluk semangka. Aku pergi isak mengalun. Daripada capai dikutuk wasangka”. Pantun ini masih dekat dengan imaji puisi Bukit Barisan yang pernah dirilis Muhammad Yamin sebelum kemerdekaan: “Hijau tampaknya Bukit Barisan. Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang. Putuslah nyawa hilanglah badan. Lamun hati terkenang pulang”.

Dengan menghadirkan pantun Melayu kembali, nostalgia masa kecil seakan hadir lagi dalam kekinian. Dengan berpantun rasa rindu seakan terobati. Namun dengan pantun pula hidup di antara dua dunia tak selamanya bisa bikin hidup lebih hidup. Terkadang justru sang penyair merasa sebagai orang yang belum sempat menambatkan hati di tempat yang baru, sementara tak lagi berarti untuk mencintai tempat asal. Terkadang juga merasa terlanjur melupakan kampung halaman, sementara merasa gagal tinggal di tempat yang baru.

Dan inilah yang dirasakan Ulfatin Ch: “jiwaku sendiri telah pergi, mengunjungi Tuhan tak kembali. Dalam kesendirian, aku memuja tahta, lalu menghitung jari: kapankah berakhir waktu yang memenjara ruang dengan ruang” (sajak Aku Sendiri).

Dengan kembali pada ”isi”, seorang akan merasa terbebas dari ”bentuk”. Karena isi dengan bebas menyuarakan suara hati, tapi dengan bentuk tidak. Lebih lagi terhadap bentuk formal. Tapi mengapa harus melulu isi, tidakkah ruang tak selamanya memenjara waktu, atau sebaliknya ”waktu yang memenjara ruang demi ruang”. Bukankah puisi sesunggunya makhluk yang melampaui ruang dan waktu? Bukankah masih ada yang namanya wilayah tranhistoris, pasca-misteri, yang melintasi penjara ruang dan waktu hingga tak lagi terikat oleh keduanya?

Dalam sajak Jimmy, si aku memang ditunjukkan sebagai yang tak pernah menyerah untuk terus mengajak si istrinya pulang. Namun pada akhirnya ia sampai pada pertanyaan mencemaskan: “ke mana lagi hendak pulang/sedang kampung halamanku ialah kau”, tulisnya sambil mengurungkan niat tokohnya untuk pulang.

Wachid BS punya alasan lain mengapa setelah di kota harus kembali lagi pulang ke desa: karena tuntuk apa kita tetap tinggal terus-menerus di rantau, sedang kota telah menjelma “sebuah chaos, yang seluruh perabotnya mengubah diri menjadi cosmos”, tulisnya dalam puisi “Gentayangan Pulang”.

Penyair Lampung dari generasi muda yang sangat produktif menulis puisi tentang pulang dan rumah di media lokal, di antaranya adalah Y. Wibowo. Dalam antologi puisi Operasi Kebun Lada (2005). Y. Wibowo melakukan traveling ke desa-desa yang sunyi. Sebuah tempat untuk kembali. Salah satu puisinya tentang tema ini adalah puisi berjudul “Kutempuh Jalan Pulang, Kenangan Mencipta Lambang-lambang”. Membaca puisi ini tak ayal membuat kita ikut merasakan kerinduan si aku lirik untuk segera pulang ke lubuk mata air sumber kecemerlangan.

Hasrat untuk pulang kampung tak tertahankan lantaran semakin lama meninggalkan tanah kelahirannya, justru kian kuat aroma kopi dan lada sulah memanggilnya. Rupa-rupanya anggapan bahwa “semakin kita melupakan justru semakin kita mengingat” berlaku dalam prinsip kepengarangan Y.Wibowo. Dalam puisinya ia banyak menggunakan majas tentang batang jelatang yang gatal itu—yang banyak tumbuh di desa di Lampung—sebagai petanda dari rasa rasa ke-kesih-an (kegatalan) untuk segera bersua kembali dengan mak-bapak, adik-kakak, minan-mamak, tamong-kajong, dan sebagainya.

Si aku akhirnya hengkang dari kota lantaran apa yang ia saksikannya setiap hari di kota hanyalah pemandangan yang rutin dan membosankan; papan reklame di sudut-sudut jalan, silau kaca plaza, gedung-gedung tinggi yang bisu, suara bising kendaraan di jalan raya, yang membuatnya bimbang. Namun, ketika kerasukan untuk pulang tak lagi bisa dihalang, maka pulang adalah pilihan hidup yang realistis dan paling punya alasan dan retaorika—lisan mau pun tulisan. Terlepas apakah si aku menyadari atau tak atas pilihannya itu akan dianggap sebagai bentuk kecengengan, nostalgis, atau romantis.

Secara ekstrim si aku lirik melukiskan situasi dunia rantau sebagai apa yang disebutnya “pembuangan paling tersembunyi” atau “pengasingan dari petilasan kerabat” atau “berpendaran ke pelosok desa dan riuh-gaduh sudut kota”.

Ungkapan-ungkapan semacam itu menampilkan suara eksistensialis yang keras, yang tak tertahankan, tak tertangguhkan, yang bisa melahirkan sebuah pemberontakan. Di sini lagi-lagi saya bertanya: apa yang membuat aku harus pulang? Rindu? Bagaimana kalau yang dirindukan di desa itu ternyata tak lagi bisa ditemukan, kecuali hanya “kelainan yang jauh” atau “noktah yang membosankan?” Atau, seperti yang pernah ditegaskan juga oleh Dina Oktaviani—penyair yang lahir dan besar di Lampung dan hijrah dan membangun keluarga di Yogyakarta—dalam puisi Agoni-nya: bagaimana jika “engkau bukanlah pulang itu?”

Tak lengkap rasanya jika Bowo tak mengenang dan mencicipi kembali riak gelombang Wai Semangka yang tenang itu—Bowo tak pernah melihat apalagi mandi di Teluk Semangka— kendati di hatinya sudah terpaut di kota rantau. Tabiat puisi semacam ini sering digolongkan kritikus yang lalu sebagai puisi pelancong atau traveling, namun travelingnya hanya di negara sendiri, itu pun terbatas hanya Lampung dan Yogya.

Bila biografi penyair kita kenakan dalam membaca puisi-puisi Bowo, maka puisinya merefleksikan kegundahan diri sendiri. Ia pernah trans dan menetap di Yogyakarta dalam rangka studi dan mencari pengalaman, atau mungkin juga demi sebuah alasan untuk berjarak sejenak dari Lampung yang mulai gersang—kalau bukan malah demi alasan untuk menanjak.

Semua itu ditempuh dengan harapan ketika sudah berada di kampung halaman kembali akan membawa sekoper penuh ide yang tercerahkan, kalau bukan malah terkalahkan. Pada momen ketika aku sudah berada di kampung lagi, tampak koper ide dan pengalaman yang dibawanya dari dunia rantau memang tak sia-sia.

Puisi-puisi Bowo sangat dekat dengan bentuk pengucapan Terry Mc Donagh—penyair Irlandia, yang buku puisinya telah diterjemahkan Sapardi dan Dami N. Toda menjadi Tiada Tempat di Rawa. Geografi puisinya—seperti puisi “Orang-orang Teluk Semangka”, “Labuhan Maringgai, Arus Masih Menderas”, “Membaca Senja di Kalianda”—bisa dengan mudah dituduh sebagai puisi yang menampilkan “romantika banal”.

Puisi yang melukiskan arus sungai di Labuhan Maringgai, secara geografi memang bisa dicari jejaknya dalam sebuah peta Lampung, namun tidak demikian sesungguhnya kondisi arus sungai dalam arti faktual. Sebab yang saya tahu—saya sering mandi di sungai Maringgai itu—bahwa sungai tersebut tak memiliki arus yang deras dan lebar, melainkan hanya sungai kecil—yang oleh orang Lampung disebut siring—yang dibuat kolam-kolam pemandian dengan cara menumpuk batu agar membentuk sebuah kolam.

Ketajaman intuisi Y. Wibowo dalam menghadirkan arus sungai di Maringgai, terlepas masih dangkalnya arus imaji sang penyair dalam menyelam peta wilayah itu, memberikan pada kita bagaimana warna lokal mesti dihadirkan. Y. Wibowo bukan tidak tahu bahwa di Labuhan Maringgai terdapat tradisi dan kesenian Malinting yang menurut para penyair dan kritikus sastra yang keranjingan pada tema local genius di Lampung, dianggap sebagai warisan penting dari seni/tradisi subkultur. Bowo lebih memilih sungai sebagai kerinduan masa kecil yang tak kunjung bisa dilupakan.

Nama-nama tempat seperti Teluk Semangka, Way Nipah, Terbaya, Batu Tegi, Negeri Ratu, Cukuh Balak, dan Pringsewu, semuanya berada di kabupaten Tanggamus propinsi Lampung, yang selama ini memang jarang dijamah oleh penyair Lampung yang lain.

***

Puisi Indonesia modern rupa-rupanya tak pernah berhenti bersinggungan dengan masalah rumah sejarah atau rumah eksistensial. Sebagaimana saya singgung di muka, puisi-puisi terbaru pasca-1990-an, tampak secara tematik masih kuat mengekspresikan kedesaan sebagai geografi merayakan kebalauan yang nonsens. Peta perjalanan—kalau memang layak disebut begitu—semacam itu sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa penyair kita punya indra penciuman yang tajam tentang masa lampau dan kampung halaman.

Menghadirkan geografi dalam puisi memang sulit mengelak dari keranjingan untuk menempatkan desa sebagai latar depan. Kofi Awnoor—novelis Ghana—pernah berseru: mari kembali ke cenayang desa agar penyair memperoleh inspirasi. Rendra menyerukan tak sekadar inspirasi lagi.

Afrizal secara lebih ekstream ingin membalik kota ke latar belakang penciptaan seraya mencoba menempatkan kembali desa sebagai latar depan proses kreatif. Afrizal bahkan pernah menegaskan bahwa kebanyakan penyair Indonesia telah meletakkan “desa sebagai latar belakang” bagi kreativitasnya. Oleh karena itu, apa yang dinamakan puisi Indonesia kata Afrizal adalah, puisi urban; puisi yang lahir dari pembunuhan terhadap etno di desa lewat bahasa Indonesia”.

Para penyair yang puisinya dibicarakan di atas adalah para pemudik yang terus hidup dalam kesinambungan masa lalu yang tak ingin diputuskan karena mereka tak ingin terus-terusan dihinggapi kecemasan, rasa bersalah, yatim piatu yang meragu, yang lahir dari pengingkaran terhadap waktu lampau. Masa lalu adalah mata rantai yang menghubungkan tiga waktu secara berkesinambungan: waktu kini, esok, dan yang akan datang, lalu kembali berputar terus-menerus dalam persilangan waktu primordial.





Petualang



Petualang dan petualangan seringkali kita temukan dalam sajak-sajak lirik. Chairil Anwar mungkin satu di antara penyair Indonesia yang paling banyak mengangkat dunia Sinbad, dunia petulangan dan petualangan. Sebuah sajaknya berjudul Tak Sepadan menyebut Ahasveros: ”kau kawin, beranak dan berbhagia/Sedang aku mengembara serupa Ahasveros”.

Ahasveros adalah seorang Yahudi dalam cerita Injil yang pernah menolak yesus datang ke rumahnya. Oleh Tuhan kemudian oranmg itu dikutuk untuk menjadi petualang abadi, tidak pernah punya tempat tinggal seumur hidupnya. Kisah ini serupa tapi tak sama dengan Odysseus, tokoh dalam legenda Perang Troya yang mengembara tapi akhirnya kembali. Ahasveros justru lebih mirip dengan Abraham yang hijrah untuk selama-lamanya dan tak pernah kembali. Odysseus lebih pas kalau dibandingkan dengan kisah Isra-Mikraj yang ditempuh nabi Muhammad. Kita tahu, walau telah sampai ke puncak pohon lotus pada batas terjauh, Muhammad akhirnya kembali lagi ke bumi sehingga Muhammad Iqbal berkomentar dengan ringan: ”Seandainya saya yang menempuh Isra-Mikraj itu, maka saya tidak akan kembali lagi ke bumi”.

Di negeri ini ada banyak kisah petualang, hijrah dan mikraj. Ada cerita tentang Columbus. Ada cerita tentang para pelaut Bugis dan Mandar yang mengarungi samudera yang ganas. Bahkan ada cerita tentang petualangan yang tak kembali pulang, seperti Ahasveros dan Abraham.

Columbus bertualang di samudera luas karena menemukan kapal. Dan kita bertanya: apa yang istimewa dari cerita Columbus itu? Tanpa Columbus mungkin kita akan tetap bisa berlayar bersama kapal di laut yang luas, kelak, entah kapan. Tapi Columbus telah menemukan jalur perjalanan lewat laut dengan menggunakan kapal yang bahkan belum terbayangkan pada zamannya.

Mungkin karena hidup adalah petualangan di sebuah dunia maritim dengan 17.00 pulaunya, di Indonesia nama Columbus menjadi bagian orang ramai. Sebenarnya cerita tentang petualangan atau arung, tak cuma cerita tentang Columbus. Kita pernah mendengar juga kisah tentang Laksamana Cheng Ho, Marcopolo, Ibnu Batutah, Tome Pires, orang-orang Bugis dan Mandar. Mereka semua adalah para pengembara yang berani meninggalkan kampung halaman. Kisah-kisah rantau orang Minang juga bagian dari kisah petualangan: ada yang kembali tapi ada pula yang tak lagi kembali ke tanah asal. Mereka ada yang dikenal, tapi kebanyakan tidak. Mereka semua para petualang yang telah mencatat bagaimana dunia dibentuk dan perjalanan punya batas dan selesai atau tidak pernah selesai.

Nenek moyang kita—orang pelaut kata orang—adalah para petualang yang telah menjelajah separuh dunia. Orang-orang Bugis atau Bajau adalah para pelaut yang jadi legenda dalam kejayaan Maritim, karena mereka terbiasa mengarungi samudera dan menjelajah bidang-bidang liputan, yang kadang harus mempertaruhkan nyawa, tapi kita tetap saja menyanyikan lagu heroik ”Nenek-moyangku, orang pelaut...” itu.

Mereka mengarung laut yang ganas. Kemudian ada yang mati ditelan ganasnya ombak, tanpa jejak dan makam. Apakah yang mereka tinggalkan untuk kita? Bukan gelar laksamana, bukan pejuang, tapi petualang. Ya, mereka hanya petualang lepas dari kamera dan pena kita. Mungkin juga, sejenis Sinbad dalam sajak-sajak Adonis (Ali Ahmad Said).






Sekolah, Rumah


Merosotnya kesadaran kita tentang alam dan lingkungan tidak hanya tercermin pada perubahan yang terjadi di lingkungan sekolah, tapi juga di lingkungan rumah kita. Jika dulu kita memagari sumur di halaman atau di samping rumah kita cukup dengan tanaman yang rindang, kini semua telah berubah menjadi pagar beton. Jika atap sumur cukup dengan ilalang atau daun-daun, kini mesti pakai seng, asbes atau genteng. Belum lagi perubahan mental para pekerja yang menebang pohon di sepanjang jalan untuk memanasi aspal yang diperlukan untuk memperbaiki jalan yang sedang dibangun.

Dan yang paling mencolok adalah gerakan mengganti pagar halaman rumah dari pagar tanaman menjadi pagar beton dan besi. Akibatnya pepatah lama warisan nenek moyang kita tentang “pagar makan tanaman” juga ikut punah, dan sebagai gantinya adalah “pagar makan orang”.

Salah pengertian mengenai sifat usaha pembangunan ditambah sikap mental dan pola hidup yang boros dan tidak peka pada alam, menyebabkan krisis yang memang sudah sejak lama mulai dirasakan, dan baru kini tampaknya mulai jadi kesadaran nasional. Tapi apa betul soal menjaga alam, bumi, lingkungan dan kelangsungan hidup umat manusia sudah jadi kesadaran nasional, atau baru sebatas kesadaran sejumput manusia yang peka?

Rasanya saya ragu. Kita telah terlalu sering mendengar retorika tentang kesadaran nasional, tapi jangankan sampai menasional, melokal dan dalam skala rumah tangga masing-masing saja kita tak pernah sadar. Soal disiplin misalnya, jangankan terwujud gerakan disiplin nasional sebagaimana sering kita dengar, disiplin diri sendiri saja belum. Kita mengajak orang memilah sampah tapi di rumah kita—termasuk di rumah tangga saya—sampah tak pernah terpilah. Kita melakukan kampanye “nol sampah” tapi di lingkungan rumah kita terdapat “1000 jenis sampah”.

Mungkin kita memang mesti segera mengikuti anjuran kaum posmo untuk mulai dari hal-hal kecil. Mulai dari hal-hal besar seringkali menipu karena sesungguhnya kita memang tak pernah mampu. Mulai dari yang besar lebih sering mengalami kegagalan ketimbang keberhasilan. Maka, ketimbang berharap untuk terjadinya perubahan nasional, apalagi perubahan dunia, lebih baik menatap dan menampung dunia sebagai kemungkinan-kemungkinan. Sebagaimana sastrawan besar Rusia, Leo Tolstoy, pernah mengingatkan: “semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tapi tak seorang pun berpikir untuk mengubah dirinya”.

Saya kira usulan semacam itu bukan hanya terdapat di sekolah alam, tapi benar-benar hendak jadi landasan dan prinsip dasar yang sedang diterapkan. Dan tidak arif rasanya kalau kita hanya menunggu hasil kerja Anak Alam dan Guru Alam di sekolah-sekolah alam yang kini mulai menjamur, sementara kita tetap ongkang-ongkang. “Mulailah dengan menyadari diri sendiri, lalu berbenah diri, dan kau akan tahu arti kesejatian diri”, kataku kepada diri sendiri.







Tempat, Non-Tempat:
Pergulatan Al-Hallaj dan Nietzsche




Nietzsche adalah al-Hallaj yang diasingkan orang dalam negerinya. Ia lolos dari tangan para mullah, tapi terjerambab ke tangan para dokter!
--Mohammad Iqbal, Javid Namah (Kitab Keabadian), terj.Mohamad Sadikin, Panjimas, 1987, h. 80


Ia seorang sufi, yang dalam riwayat dicatat sebagai yang paling berani, dan karena itu ia dihukum mati. Para periwayat menyebutkan, ia seorang keturunan Persia dari garis kakeknya, tapi tentu saja ia bukan orang Persia tulen, atau orang Arab asli. Ia mungkin seorang hibrid. Tempatnya ada di mana-mana sekaligus tak di mana-mana. Tanah airnya seluas benua.

Sayang sekali ia hidup pada zaman ketika rahasia pengalaman puncak kebatinan hanya bisa dinyatakan lewat bahasa bisu kesyuhadaan. Rahasia pengalaman pribadinya dianggap belum sudi dibagi. Maka, ketika pergolakan kekuasaan memuncak di negerinya, ia pun sempat meninggalkan tanah airnya dan mengembara ke belahan dunia, berharap menjadi warga negara dunia. Mula-mula ia bertolak dari Jazirah Arabia untuk menyeberang ke India, Turkestan, bahkan sampai ke perbatasan negeri Cina. Dalam perjalanan mencari sumber-sumber mata air kesucian itu, sang darwis yang dekat dengan kaum papa itu ternyata masih menyempatkan diri untuk mengunjungi majelis para darwis di berbagai negeri Islam di tanah Asia.

Dalam lawatannya ke negeri seberang, bergulat dalam batinnya puspa pertanyaan: “Siapakah Kau, dia berkata, Kau! Tetapi untuk-Mu, kata ‘di mana’ berarti tak bertempat. Dan tak ada kata ‘di mana’ yang melekat padaNya. Pikiran pun tak sanggup membayangkanNya, pada suatu saat yang memberi peluang untuk mengetahui ‘di mana’ Kau berada. Engkaulah Tuhan yang meliputi setiap kata ‘di mana’, hingga sampai pada kata ‘tak ada di mana-mana’. Jadi, di manakah Kau?”

Sang sufi membayangkan ”tempat”-nya adalah ”non-tempat” (”Di mana” tidak lagi memiliki tempat, tulisnya dalam puisi terkenal). Tapi walau bagaimana pun ia menggunakan sebuah tempat tertentu pada tingkatan kosmis, di mana prinsip yang menentukan adalah hierarki para wali. Dan terbukti sejak itu, sang darwis yang menganjurkan lebih baik memberi makan yatim-piatu ketimbang pergi haji ini, memaklumkan dirinya sebagai guru sejati, dan mencoba menuliskan untaian tafsirnya tentang at tawasin al-azal wa al-Iltibas sebelum datangnya zaman nirakhir; tentang sebuah dalih menjadi dalil; tentang sebuah titik lingkaran yang tak terputus.

Kelak ajarannya menggegerkan para penguasa ketika ia berfatwa: “Dan akulah tanda penampakan-Nya: ana’l Haqq: sebuah kata yang sering diterjemahkan di sini menjadi ”Akulah Kebenaran”. Bahkan ada yang mempelintirnya menjadi ”Akulah Allah”. Sejak menyatakan ini sampai hari ini, hampir semua penyair sufi Persia pernah menyebut namanya, memujinya, menghadirkan alusi terhadap ketragisan hidupnya. Fariuddin Attar, Jalaluddin Rumi, hingga Khomeini, menabuh ”Tambur Mansur” sebagai bukti kecintaan kepada sufi yang tak lain adalah al-Hallaj ini.

II

Di sebuah tempat yang jauh, puluhan abad kemudian, muncul seorang pujangga-filsuf di tanah Jerman, yang sepanjang hidupnya telah menuliskan aforisme-afotegma perjalanan seorang suci dari Persia—sebuah negeri yang menurutnya memiliki banyak pemikir yang berani berkata jujur dan membidik lurus. Dalam usia tiga puluh tahun, ia meninggalkan kampung halamannya, mengembara turun gunung dan mendaki lembah-lemabah sunyi di belantara kusut dan sahara luas tak bertepi. Dalam suatu perjalanan ia berjumpa dengan orang suci di tengah hutan. Ketika orang suci itu sudah berpaling di hadapannya, ia pun bergumam: “Sungguhkah ini? Orang suci di tengah hutan itu belum mendengar, bahwa, Tuhan telah mati!”

Filsuf ini dikenal sebagai mistikus, walau di Eropa, kata Iqbal, tak seorang pun kenal akan liku-liku jalan mistik. Nietzsche adalah filsuf-mistik besar Jerman yang pengaruhnya masih terasa hingga kini.

Tapi siapa Nietzsche? Apakah ia metamorfosis al-Hallaj? Tak penting riwayat hidup tokoh ini. Yang jelas, ide-idenya yang anti-ide telah mengguncang singgasana kepausan dan keuskupan Jerman. Akibat untaian penanya yang paling pribadi, segalanya seolah tertidur dan bangun seketika oleh pekiknya yang terkenal: ”Tuhan telah Mati!”

Dalam jiwa yang hancur, fisik yang didera derita, sang tokoh kita tetap memaksakan untuk meneruskan perjalanan menuju negeri yang tak bertepi, ketika Tuhan tak lagi disebut-sebut sebagai dewa penolong. Dalam setiap perjalanan, ia menjumpai orang ramai di sebuah pasar yang ribut membincangkan ajarannya: “Di sana mereka tertawa, mereka tidak mengerti diriku; aku bukan mulut bagi telinga-telinga ini”, gumamnya.

Dalam fantasinya yang liar, ia pun berkhayal duduk di sebuah tempat yang belum pernah dilewati oleh telapak kaki manusia, kecuali binatang-binatang buas yang siap memangsa, lalu bersama kapal-kapal yang memuat lumpur dari muntahan bumi yang terabaikan, ia berangkat mengarungi samudera luas tak bertepi.

Sang filsuf yang sering dianggap sebagai ”pembunuh Tuhan” ini, berkali-kali menjelaskan pendiriannya tentang berfilsafat dengan palu. Dengan palu, hidupnya menjadi gairah, menjadi kreatif. Gairah pencarian dan dahaga estetiknya menghunjam sampai ke relung terdalam penafsiran. Dialah si penantang gereja paling ulung di Jerman dan pernah menyatakan Sabda Zarahustra yang menantang register Kitab Suci dan Anti-Krist yang mengingkari keberadaan Trinitas suci.

***


Nah, kisah perjalanan kedua virtuoso yang hidup di zaman yang sangat berjauhan itu, ibarat sebuah lautan pengetahuan yang paling sering digali, namun hingga kini tak pernah kering untuk ditimba kembali dari berbagai sisi.

Saya sendiri tak tahu siapa sesungguhnya Zarahustra orang Persia—si jenius yang meninggalkan jejaknya di belakang meja untuk mengembara ke dunia yang lebih luas itu—sebagaimana dikisahkan Friedrich Nietzsche lewat semangat amsal manusia pujangganya dalam Zarahustra (saya kutip dari versi terjemahan H.B.Jassin).

Apakah Zarahustra sebagai sosok alim Zoroaster yang pernah mengajarkan dualisme kehidupan di tanah Persia, yang pernah diuraikan dengan sangat mengagumkan oleh Tagore dalam salah satu bab buku The Religion of Man? Entahlah. Yang saya ketahui ialah: al-Hallaj memang orang Bagdad, tapi semua orang tahu bahwa si jenius agung yang dipancung pada masa Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Sultan al-Muqtadir itu seorang yang berdarah Persia dan ajarannya sangat khas para filsuf-sufi Persia.

Kita tahu, karya al-Hallaj yang terkemuka, at tawasin, telah diterjemahkan sejak abad ke-15 di Jerman melalui seorang ahli teologi Protestan jerman: F.A.D. Tholuck. Bisa jadi Nietzsche pernah bersentuhan dengan pemikiran al-Hallaj jauh sebelum ia menulis tentang Zarahustra yang mengingatkan kita pada Zoroaster di negeri Iran lama itu. Gumam-gumah lirih kedua pujangga yang kesepian itu begitu menghunjam kesadaran ratusan, atau mungkin ribuan manusia di muka bumi.

Zoroaster adalah ”penjaga malam hari, yang berdiri di puncak, sendirian menghadap ke Timur dan menyanyikan lagu-lagu pujaan cahaya kepada dunia yang tertidur ketika matahari muncul dari tepi cakrawala”, tulis Tagore.

Apakah yang kita rasakan setelah mengikuti maksim-maksim singkat dari kedua pemikir-sufi yang paling terkemuka itu? Adakah sesuatu yang bisa membuat kita ingin mencampakkannya jauh-jauh ke dasar jurang, atau membuat kita justru takzim, luluh ke dalam amor fati dan kefanaan yang masih belum habis-habisnya itu? Adakah selapis tipis makna selain nama dan makna, selain isyarat dan tempat, yang bisa membuat kita merasa bahagia tidak sebagaimana mengupas kulit bawang, dan tidak sekadar merepotkan pikiran sendiri oleh maksim-maksim dan aforisme-aforismenya yang keras kepala?

Sekali lagi, hanya Nietzsche yang tahu apa yang dimaui dengan amor fati-nya, sebagaimana al-Hallaj sendiri lebih tahu apa makna di balik kefanaan dalam ajaran Zen-Avesta—kitab suci yang dibawa Zoroaster—yang diakui kebenarannya oleh kakeknya. Namun, jika delusi John Forbes Nash—sang penderita skizofrenia yang kemudian mengantongi Hadiah Nobel itu—bisa dipercaya, barang kali Zarahustra adalah nabi bagi orang Iran lama—negeri yang “orangnya mudah bersimpati dan berbelarasa kepada orang yang kesepian”.

Zoroaster atau Zarahustra, bukan orang yang “mempunyai unta kuning” (sebagaimana ungkapan orang Iran untuk orang yang dianggap tidak waras namun cerdas). Warna kuning adalah warna gila, sebagaimana berkali-kali juga kita temukan dalam prosa-prosa Iwan Simatupang yang sangat fasih menerjemahkan kegelandangan Nietzsche.

Kita tahu, pandangan sufistik yang pernah hidup di Iran sejak Zoroaster sampai Khomeini di dasarkan pada tiga prinsip yang terkenal: kepatuhan pada imam, resistensi/revolusi terhadap tiran, kesucian diri seperti bayi. Api dianggap suci. Cahaya dan kegelapan terus berseteru. Anak-anak adalah harapan masa depan.

Para pemikir Iran dikenal sangat apresiatif terhadap dunia anak-anak, karena selain mengajarkan makna kepolosan dan kemurnian, anak-anak sering melahirkan ungkapan-ungkapan yang justru dianggap paling orisinal dan murni. Saya ingat Husein Thabataba’i—si cilik usia lima tahun yang telah fasih hapalan Quran dan meraih gelar doktor kehormatan dari Islamic University College Inggris yang hidup di zaman kita kini—sambil bermain mobil-mobilan dan menarik-narik kabel mikrofon, secara spontan ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan penggemarnya dengan mengeluarkan ayat-ayat Quran dengan bahasa Persia yang sangat sastrawi dan syarat inspirasi.

Baik al-Hallaj maupun Nietzsche, banyak bersinggungan dengan dunia fantasi infantil. Apa yang menarik pada kedua tokoh ini bukan pada ada tidaknya pengaruh al-Hallaj terhadap Nietzsche, melainkan ketajaman imajinasi al-Hallaj yang telah menyumbang bagi perkembangan genre tafsir alegori mistikum. ”Dalam sifat dasar Adikodrati, kata al-Hallaj, terkandung sifat dasar adimanusia”. Dalam Adimanusia, kata Nietzsche, terkandung sifat Adikodrati. Di kalangan sufi, Adam sering dianggap adimanusia yang menjadi huwa huwa, ”persis Dia”, tapi kata Ibnu ’Arabi pula: ”Dia bukan Dia”.

Al-Hallaj telah mengajarkan tentang lingkaran “titik primordial”, Nietzsche seakan mengganti radar kecemasan Eropa dengan mengatakan: “kembalinya segala sesuatu secara abadi” setelah munculnya Adimanusia (Ubermensch). Dan bahala yang menimpa al-Hallaj di tiang gantungan puluhan abad lampau itu, telah mengajarkan pada kita tentang rahasia rasa pribadi yang tak sudi dibagi, sebagaimana juga bisa kita baca pada getaran imaji Albert Camus atau George Orwell ketika menuliskan adagium-adagiumnya saat menatap dingin tubuh para martir yang terkulai lemas di tiang gantungan dalam esai-esai mereka yang brilian.

”Bunuhlah aku, O sahabat-sahabatku yang terpercaya”, pekik al-Hallaj, ”karena dalam pembunuhanku adalah kehidupanku”. ”Aku mati sebagai mineral, dan menjadi tanaman. Aku mati sebagai tanaman, dan muncul sebagai hewan. Aku mati sebagai hewan, dan aku adalah manusia”, tulis Rumi dalam secarik sajak alegori mistik yang mengenang al-Hallaj.

Dalam melukiskan tragisnya kematian, al-Hallaj menjawabnya dengan prosa kefanaan—prosa kematian sekaligus kehidupan kembali. Kematiuan mesti disambut karena mempercepat pertemuan dengan Kekasih. Tragedinya, seperti halnya kisah bahala dalam legenda lama, epos atau mitos, sering kali resisten terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu mereka tak bisa lama menghirup udara dunia. Para martir, sepanjang hidupnya, kerap kali berada dalam ruang antara dan bayang-bayang kematian. Hanya dengan begitu mereka bisa hidup dalam lorong-lorong jiwa manusia dalam setiap zaman dan masa. Al-Hallaj menggapi kehidupan yang berpuncak-puncak melalui kematian. Dan inilah tujuan para sufi. ”Maut itu indah, sebab ia menggabungkan sahabat dengan Sahabat”, tulis sufi Yahya.

Al-Hallaj dan para martir sesudahnya, telah menunjukkan kepada kita sebelum yang lain-lain tentang bagaimana cara memanusiawikan kematian. Namun, para martir kerapkali membikin orang-orang yang ditringgalkannya hidup dalam ”epidemi kematian”. Para martir tak jarang justru membius kita dengan keinginan untuk berkorban demi perubahan nilai perjuangan. Padahal, seperti ditandaskan Nietzsche, mengorbankan diri demi perubahan nilai perjuangan hanya akan menjerumuskan orang lain yang fanatik ke lembah kematian.

Dengan memilih sebagai martir, murid-murid al-Hallaj merasa apa yang diajarkannya adalah benar, bahkan menganggap dirinya sebagai wali di atas para wali. Pernahkah kita di sini membayangkan al-Hallaj menghayati Tuhannya sebagai apa yang dalam bahasa kita dengan sederhana sering dinamakan “kemanunggalan aritmetik”? Sebuah penyatuan, di mana, katanya, “Tuhan tak pernah bisa terumuskan, tak memiliki perhitungan, permulaan, atau akhir yang dapat mencapai-Nya”.

Sufi memang akrab dengan misteri-misteri bilangan, dan tak henti-hantinya mempersoalkan bilangan-bilangan yang dianggap misteri dan mengandung nilai khusus. Ketika suatu waktu al-Hallaj ingin menyampaikan kesaksian mata batinnya, seorang tiba-tiba berlari mencari pertolongan padanya dengan jiwa yang kosong. Karena takut pada percikapan kembang api yang berletusan di udara, dan tertipu oleh segala hasrat dunia, hancur, berantakan, lalu dari dalam mulutnya tampak mengeluarkan percikan lidah api.

Sebagai mana dilukiskan al-Hallaj lewat perlambangan yang agak absurd namun dahsyat ini: “Aku mengisap samudera keabadian yang dalam, karena ia yang mencapai Titik Primordial akan menyusuri tepian laut malam hari; membiarkan diri digaram olehnya, berguling dalam debu-debu api. Sayang, ia tiba-tiba menghilang dari pandanganku, dan aku melihat sekawanan burung bertebaran di tubuhnya; terbang dengan dua sayap batinnya. Sayang, ia tak percaya apa yang aku katakan; ia lebih memilih terus terbang hingga di kejauhan malam”.

Di tengah samudera yang kelam, bayangan ke hitam-hitaman seakan datang menerjang, dan sang petualang pun berkata: “Aku terbang dengan kepak sayapku, nuju Kekasihku. O, karena tak satu pun menyerupai Ia, lalu ia pun roboh; terjungkal dalam laut pemaknaan, tenggelam. Ia bertanya kepadaku soal kesucian, kujawab: retakkan sayap-sayapmu dengan pedang kefanaan. Bila tidak, jangan berharap ikut aku.”

Mari kita renungkan juga permadani kata yang diucapkan al-Hallaj ini: “Keagungan bagi Tuhan yang Mahasuci, Ia yang takkan pernah terjangkau ajaran-ajaran para ahli makrifat, bahkan intuisi para Rasulullah yang menerima wahyu suci sekali pun”. Atau, seperti kritiknya tentang dikotomi “orang awam” dan “orang terpilih” sebagai apa yang disebutnya dengan jalan ke “lorong-lorong waktu dari apa yang mereka tempuh itu ternyata lenyap; dualitas itu pun kabur, dua tonggak itu pun lebur, dua dunia keadaan itu pun hancur; dan segala bukti dan makrifat pun habis-kikis-tak berbekas!”

Dalam kitab at-tawasin bab ”Misbah Kenabian” terjemahan Muhammad Al-Fayyadl, al-Hallaj melukiskan Muhammad sebagai “substansinya cahaya, dawuhnya profetik, makrifatnya surgawi, bentuk ekspresinya berlogat Arab, bangsanya ‘bukanlah Timur atau Barat.’” itulah bangsa yang ”non-tempat”. Sebuah pandangan yang menarik dibandingkan dengan ungkapan Nietzsche yang ditulis belakangan dalam Penari Jagatnya, yang tidak lagi terikat pada suatu tempat saja, melainkan dengan ringan memutar dan beralih dari satu posisi ke posisi lain. Dan inilah yang dicari Nietzsche: Tuhan yang menari.

Penari Jagatnya Nietzsche, kata Huston Smith dalam Agama-Agama Dunia, adalah sang Warga Dunia itu, yang mengingatkan kita pada Descartes yang tetap akan menjadi putra kandung dari kebudayaan yang melahirkannya, tetapi ia akan mempunyai hubungan darah dengan semua kebudayaan yang ada. Bukan Barat bukan Timur, inilah warga dunia yang belum sempat terwujud kendati telah lama jadi impian para penyair dan kaum sufi.








Dari Ramadan ke Idul Fitri:
Sebuah Refleksi


Ramadan baru saja usai. Puasa di bulan Ramadan ditutup dengan perasaan lega dan mengucapkan rasa syukur alhamdulillah tak terhingga. Tanda bahwa kita telah melewati satu bulan penuh cobaan, godaan, sekaligus bulan mulia, bulan penuh berkah serta bulan ampunan.

Sekarang saya ingin mengajak kita semua untuk bersama-sama merenung sejenak untuk mengetahui kualitas ibadah puasa yang kita jalani. Untuk mengetahui kadar puasa kita, tak usah jauh-jauh kita bertanya kepada Allah karena hanya orang tertentu yang akan mendapatkan jawaban langsung dari Allah. Tidak usah pula kita bertanya kepada orang lain karena mereka tidak mengetahui apakah kualitas puasa kita kemarin sudah memuaskan atau belum.

Sekarang mari tanya pada diri kita masing-masing berapa kali mata kita tergelincir melihat hal-hal yang tidak diinginkan oleh puasa itu sendiri, berapa kali lidah kita berucap atau berbisik tentang hal-hal yang justru seharusnya kita diam, berapa kali hati kita kesal, dongkol, ngomel, misuh, mencaci-maki, berapa kali kita menggunjingkan orang lain, berapa kali kita emosi, berapa kali kita tidak bisa menahan sabar, berapa kali kulit kita menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak boleh disentuh, berapa kali kita mendengar sesuatu yang seharusnya tidak kita dengar, berapa kali hidung kita mencium sesuatu yang seharusnya tidak kita cium, berapa kali kita bohong dan mendustai Allah dan menustai diri kita sendiri.

Kalau kita sudah punya jawaban, sekarang saatnya kita merenungkan hakikat Idul Fitri, yaitu hari meraih kesucian diri kembali, hari meminta agar kita taubat lagi, hari tempat kita kembali kepada Allah sang Pencipta Jagad Semesta ini..

Setiap Idul Fitri kita selalu berusaha kembali. Tapi bukan sekadar kembali dari rantau ke kampung halaman seperti yang kerap kita tonton dalam layer televisi. Apalagi kembali melakukan maksiat lagi. Kembali mengerjakan perbuatan dosa lagi. Kembali di sini adalah kembali kepada kesejatian diri, kembali merenungkan hakikat penciptaan diri, kembali meraih kesucian lagi.

Dalam bahasa Arab, ada beberapa kata untuk menunjukkan makna kembali, sebagaimana dijelaskan dengan sangat fasih oleh KH. Jalaluddin Rakhmat dan M. Quraish Shihab dalam suatu khutbah Idul Fitri. Dalam bahasa Arab ada beberapa sinonim yang menunjukkan makna kembali. Yang paling kita ketahui adalah kata id atau ‘awd yang berasal dari kata ‘ada-ya‘udu-idan-awdan, yang artinya kembali. Sebagian orang mengatakan bahwa Idul Fitri artinya kembali pada fitrah. Ada yang mengatakan fithr di situ berasal dari kata futhur sehingga Idul Fitri diartikan bahwa kita kembali lagi pada kegiatan makan siang seperti hari biasa.

Masih ada kata lain untuk menunjukkan makna kembali dalam bahasa Arab, yaitu ruju’, dari kata raja’a-yarji’u-ruju’an. Di kalangan kita, kata ruju’ hanya digunakan khusus untuk orang yang setelah bercerai kemudian kembali lagi. Jadi ada nikah, talak, rujuk. Tapi di dalam Al-Qur’an, kata ruju’ lebih sering digunakan untuk menunjukkan kembalinya kita kepada Allah. Kita, misalnya, menyebut Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Orang yang kembali disebut raji’ dan tempat kembali disebut marji’. Dalam Al-Qur’an Surat Luqman ayat 15 Allah Swt berfirman: ikutilah jalan orang yang kembali, kepada Aku-lah tempat kembali kalian semua. Dalam Surat Ali Imran ayat 55 juga dijelaskan: “Hanya kepada Aku-lah tempat kembali kalian semua (marji’ukum)”. Di tempat lain Allah terang-terangan berjanji bagi yang bersegera untuk kembali kepada-Nya. “Jika kamu kembali, Kami pun akan kembali” (QS.7’: 8), kata Allah. Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya, dan sungguh aneh kalau manusia masih tidak merindukan kembali kepada-Nya. Sungguh sombong manusia yang hanya minta Allah yang kembali kepada dirinya sementara ia tidak mau kembali kepada Allah!

Sekarang kita menemukan lagi kata lain untuk makna kembali, yaitu anaba-yunibu-inabah. Karena keindahan Al-Qur’an, Kitab Suci ini tidak mengulangi kata-kata yang sama walaupun artinya sama, sehingga tidak membosankan. Seorang penulis yang bagus berusaha mengganti kata yang bermakna tertentu dengan kata-kata lain yang bermakna sama untuk menunjukkan keindahan bahasa sekaligus agar mudah dicerna. Sayangnya, Bahasa Indonesia kurang begitu kaya dibandingkan dengan bahasa Arab. Tidak ada kata lain untuk makna kembali. Kita menerjemahkan kalimat, ‘Ittabi sabila man anaba ilayyatsumma ilayya marji’ukum” dengan “Ikutilah jalan orang yang kembali, kepada Aku-lah tempat kembali kalian semua”.

Di situ kita memakai kata kembali untuk dua kata yang berbeda (anaba dan raja’a), karena tidak ada kata lain. Sebetulnya ada kata pulang, tetapi kata ini kurang enak didengar. Sementara dalam bahasa Arab, kata kembali ditunjukkan oleh kata id, ruju’ dan inabah.

Masih ada satu lagi kata dalam bahasa Arab yang sangat khas yang berarti kembali, yakni tawbah. Kata tawbah berasal dari kata taba-yatubu-tawbatan. Orang yang kembali disebut ta’ib dan yang kembalinya berulang-ulang dan terus-menerus disebut tawwab.

Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 222 terdapat ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang memelihara kesucian dirinya”.

Jadi, Idul Fitri dapat dipahami sebagai suatu Hari Raya bagi orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang selalu mensucikan dirinya. Ibarat pakaian yang kita kenakan saat shalat Idul Fitri, yang walau pun tidak baru, namun dijamin bersih. Kita ganti baju yang kotor dengan baju yang bersih untuk menghadap yang ilahi. Sebagai manusia, kita adalah makhluk ciptaan Tuhan yang penuh kotoran, dan karena itu perlu segera dibersihkan agar tidak terlanjur berkarat.

Dengan kembali terus-menerus membersihkan diri, maka pribadi kita akan seperti miskat yang bercahaya. Nur akan mendatangi kita. Pelita akan menerangi hati kita. Jiwa akan diterangi oleh oncor ketaqwaan dan kesucian. Lampu yang mulai redup di hati kita akan kembali semarak dan menyala-nyala. Jadi, Idul Fitri adalah bulan kelahiran kembali, sekaligus bulan kelahiran kedua kali untuk menepati janji, untuk memakai kiasan Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah puisi.

“Sesungguhnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci)” kata Nabi Saw. Hanya saja lingkungan tempat tinggal kita sering tak mendukung, sering tercemar dan ternodai, hingga kita pun terbawa arus kezaliman dan kekotoran. Tapi Tuhan telah berjanji. Kita telah berkjanji. Barangsiapa ingin kembali maka Tuhan kembali\. Barangsiapa tak hendak kembali jangan harap Tuhan mendatangi kita kembali.

Seorang Prof. biologi yang mengajar di Harvard University, Amerika Serikat, yang pada tahun 2004 lalu menerbitkan sebuah buku yang menyebut sudah ada “Gen Tuhan” dalam diri manusia. Profesor itu namanya Dean Hamer, yang mengarang buku “The God Gene, How Fith Is Hardwired into Our Genes”, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Gen Tuhan: Iman Sudah tertanam dalam gen kita”.

Perlu kita ingatkan kembali di sini bahwa Islam punya teori tentang manusia sebagai makhluk suci. Kesucian itu merupakan bawaan yang diberikan oleh Allah dan sudah tertanam sejak sebelum kita dilahirkan. Banyak orang tidak mempercayai kalau pada dasarnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, tapi penelitian Prof. Dean Hamer dari sisi biologi menguatkan pendapat Al-Qur’an dan Sunnah Rasul tadi. Dean Hamer itu memang bukan muslim, tapi ilmu biologi yang ditekuninya membimbing dia membukakan cakrawala jutaan orang Barat tentang hubungan manusia dengan Tuhan.

Kalau masih ada yang ragu-ragu tentang pernyataan Nabi bahwa “manusia itu pada dasarnya diciptakan dalam keadaan fitrah”, silahkan saja. Tak ada yang melarang ia ragu-ragu. Tapi mari kita renungkan apa yang sebulan penuh kita lakukan di Bulan Ramadan kemarin. Untuk apa itu semua? Mengapa kita mau menahan haus dan lapar dan lelah menjalankan ibadah puasa, shalat lima waktu dan shalat sunnah serta shalat sunnah Tarawih?

Manusia telah berjanji dengan Tuhan tanpa paksaan, yang oleh orang-orang sekolahan disebut “Perjanjian Primordial”. Mari kita ingat janji itu kembali. Menumbuh-suburkan lagi kerinduan itu dengan kembali menemui yang Mahasuci.











Kembali



Sebagai kelanjutan dari menunaikan kewajiban Zakat Fitrah di penghujung Ramadan, umat Muhammad merayakan Hari Raya Idul Fitri. Setiap Idul Fitri kita berkumpul di sini, shalat berjamaah, di mana imam selalu membacakan surat Al’Ala (atau Surat Sabihis/Yang Mahatinggi). Apa rahasia dibalik surat Al-‘Ala itu hingga tiap Idul Fitri imam selalu membaca surat tersebut?

Semua surat dalam al-Qur’an sama utamanya karena ia berasal dari Allah. Tapi dalam sebuah riwayat disunnatkan untuk membaca surat al-‘Ala ketika shalat idul Fitri. Surat ini selalu dibaca tiap shalat ‘Id karena maknanya sejalan dengan lafadz makna pengagungan kepada Allah. Kita bertakbir (Allahu Akbar), Mahasuci Allah dri segala keslahan. Kemudian kita memuji Tuhan kembali dengan sebutan Yang Mahatinggi. Tak ada gelar Yang Mahatinggi selain Allah tempat kita kembali. Kita merasa tinggi, tapi di atas kita masih banyak yang lebih tinggi. Tapi puncak tertinggi itu hanya milik Allah. Tak ada lagi yang lebih tinggi melebihi Allah. Oleh karena itu surat ini menekankan penyucian nama Tuhan Yang Mahatinggi melalui zikir, takbir, dan tahmid. Hanya Yang Mahatinggi yang pantas kita fuji, kita agungkan, dan kita sembah. Sebab

Idul Fitri adalah jalan yang disediakan oleh Allah untuk kita kembali. Kembali mendekatkan diri kepada-Nya. Allah mengajak kita kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridoi dan jalan yang diberkahi. Makna kembali di sini bisa juga diartikan mudik. Di sini banyak saudar-saudara kita melakukan mudik dari rantau ke kampong halaman. Ada yang mudik dari Bratasena sana, ada yang kembali dari Tanjungkarang ingat rumah dan kedua orang tuanya, ada yang mudik dari Jakarta atau Jawa. Mudik dalam arti ini adalah mudik fisik. Alangkah indah dan mulianya kalau kita lanjutkan menjadi mudik kepada Allah. Kembali kepada Allah.

Tuhan berfirman dalam ayat terakhir Surat Al-Fajr:

Wahai jiwa yang damai
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridoi
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku
Maka masuklah ke dalam surga-Ku

Bagi orang-orang yang bersegera kembali ke jalan Allah lagi, Allah Swt terang-terangan berjanji dalam Surat Al-Israa:8: “Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu; dan Sekiranya kamu kembali niscaya Kami kembali. Maka bersegeralah untuk kembali. Jangan sampai kita termasuk orang yang disebut Allah dalam Al-Qur’an sebagai summum bukmum ‘um yun fahum layarziun (orang yang tuli, bisu, buta, sehingga kita tidak bisa kembali)”.

Allah menghimbau, jika kita menghadap-Nya maka Ia akan menghadap juga kepada kita, jika kita rindu, maka Allah jauh lebih rindu kepada kita. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Anas bin Malik, Allah pernah berkata: “Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal saja, Aku mendekat kepadanya sehasta, bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa, bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik).
Masyaallah. Itu janji Allah kepada kita. Tapi kita sering tak bersyukur, tak berterimakasih atas kemurahan Allah yang tiada tara. Kemurahan Allah kita balas dengan main-main. Kita masih saja beribadah tapi tidak meninggalkan larangan-Nya. Kita mengaku menyembah Allah, tapi juga mengingkari-Nya. Ya kita mencintai-Nya, tapi juga menyakiti hati-Nya. Puncak ibadah apa pun kini tidak dijamin pasti menghalanginya melakukan pencurian, kecurangan, menyakiti orang lain, merendahkan orang kecil, mengordinir kejahatan, suap dan manipulasi, melakukan aniayaya dengan orang lemah dan berbagai macam perilaku yang membuat Allah malu mengakui kita sebagai hamba-Nya yang paling mulia.
Maka, saudara-saudara yang berbahagia, mari kita songsong Idul Fitri ini dengan kembali kepada Allah, kembali merebut kesucian diri kita. Allah itu selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya, dan sungguh aneh dan tak tahu berterimakasih kalau manusia masih saja tidak merindukan kembali kepada-Nya. Sungguh tidk bersyukur orang tersebut kalau masih saja tidak ingin kembali ke jalan Allah sementara pintu telah dibuka oleh Allah selebar-lebarnya.

Allah dan Nabi kita dengan tegas mengatakan: setiap manusia pada dasarnya diciptakan dan dilahirkan dalam keadaan bayi merah yang bersih dan suci. Kemudian ketika dewasa hidup kita dilumuri lumpur dosa dan noda. Tapi dengan adanya Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri ini, Allah mengajak kita mensucikan diri lagi. Qullu mauludin yuladul alal fitrah, kata sabda Nabi Saw. “Sesungguhnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci)”.

Dalam hadis lain, yang diriwayatkan Ibn Majah dan Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda: Sahrul ramadana sahhar katabullah ‘alaikum siyamahu wasatatu lakum qiyamah, faman somahu waqomahu imanan wahtisaban, khoraja min junubihi kayauma waladathu ummuhu (Bulan Ramadan adalah bulan dimana Allah mewajibkan kita semua berpuasa. Dan aku, kata Nabi, menyunahkan kamu sekalian agar shalat malam. Barangsiapa yang berpuasa siangnya dan shalat sunnat pada malamnya karena dorongan iman dan karena Allah, maka dosa-dosanya keluar, sehingga dia itu laksana bayi yang dilahirkan oleh ibunya).


Dalam al-Qur’an Surat Ar-Rum 30 Allah Swt berfirman: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Kesucian, keimanan dan ketaqwaan itu mesti diperjuangkan. Ia tidak datang dengan sendirinya. Tanpa usaha untuk memperolehnya ia tidak mungkin dapat kita raih. Maka orang Arab punya pepatah terkenal: Man Jadda wajad (siapa berusaha dia mendapat). Yang tidak berusaha ya tidak mendapat. Mau mengharap diri disucikan lagi bagaikan kapas, tapi tidak ada air wudhu yang menyiram wajah dan sekujur tubuhnya, ya tidak mungkin. Mau mendapatkan kelezatan Ramadan tapi tidak pernah puasa, itu tidak mungkin. Mau diampuni oleh Allah tapi tidak menjalankan shalat, tidak mungkin.

Demikianlah, inti dari perayaan idul Fitri ialah bersihnya kita dari dosa-dosa kepada Allah, kemudian kita lengkapi dengan memohon maaf kepada sesama serta saling memaafkan. Sebaik-baik memaafkan adalah mengikuti teladan Rasulullah yang memaafkan semua orang yang bahkan jika orang itu terang-terangan akan mencelakakan dirinya. Sungguh tidak ada manusia sebegitu lapang dadanya seperti Rasul yang mau memaafkan musuh-musuhnya. Kemudian mari kita tutup khutbah ini dengan bersama-sama merenungkan ucapan Nabi Yusuf ketika memafkan saudara-saudaranya yang bersalah dalam Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 92: "Seluruh kesalahan telah aku lepas. Pada hari ini tidak ada apa-apa lagi dalam hati saya kepada kalian, Semoga Allah mengampuni kalian. Sebab Allah adalah Maha Penyayang di antara Para Penyayang".

Ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin (semoga Allah menjadikan kita semua kembali ke fitrah dan menang melawan dosa kita sendiri, serta diterima seluruh amal ibadah kita). Amin.









Buyung dan Upik


Ada sebuah keluarga yang memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan, yang tak sempat diberi nama. Bahkan hingga dewasa kedua anak itu tak sempat punya nama. Orang tuanya merasa tak pernah memberi nama. Tapi karena setiap manusia mesti dipanggil dengan sebuah nama, maka keduanya dipanggil Buyung dan Upik. Sebuatan Buyung dan Upik tidak hanya terdapat dalam masyarakat Minang. Orang Lampung juga menggunakan sebuatan itu, hanya saja kalau dia perempuan disebut Opek dan laki-laki sama, disebut Buyung.

Kalau orang tua melahirkan seorang anak dan tak sempat memberinya nama, sudah lazim kalau anak itu berjenis kelamin laki-laki akan dipanggil Buyung dan kalau perempuan dipanggil Upik. Dan keduanya, biasanya, tak merasa masalah dipanggil Buyung dan Upik. Namun jadi masalah ketika keduanya mau bikin Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Di kampung saya, ketika menjelang Idul Fitri, ada seorang Buyung yang ingin membuat KTP. Ia ingin merantau ke Jakarta setelah Idul Fitri, ikut bersama temannya. Ia ingin jadi pengamen, karena di kampungnya ia tak bias bertani. Kaki sebelahnya cacat sejak lahir dan karena itu ke mana-mana ia selalu membawa tongkat kayu. Tapi suaranya sangat bagus. Ia pintar menyanyi lagu klasik Lampung, juga berbagai lagu dangdut. Orangnya sangat ramah, juga tampan.

Ketika pagi itu ia mendatangi rumah kepala pekon (Kepala Desa) dengan mengutarakan maksudnya, yaitu meminta surat pengantar untuk membuat KTP di kantor kecamatan, pak lurah mengambil formulir di laci meja kemudian bertanya perihal nama. Tentu saja ia menyebut namanya Buyung. Tapi pak lurah rupanya protes: “Buyung itu kan panggilan, bukan namamu! Ada nama lain selain Buyung?” tanya pak Lurah. Si Buyung menjawab: “Nama saya Buyung, tidak ada nama lain”. “Aduh, bagaimana ini ya”, kata pak Lurah sambil menatap kea rah wajah Buyung.

Pak Lurah tahu betul kalau nama Buyung bukan nama sebenarnya dari kedua orang tuanya, tapi nama sementara karena orang tuanya tak pernah memberi nama. Maka si Buyung akhirnya diminta harus punya nama selain nama Buyung, baru bisa bikin surat pengantar untuk membuat KTP. Singkat cerita, si Buyung akhirnya mengalah dan ia menyodorkan nama Zainuddin.

Begitulah yang terjadi. Kasus orang tua yang tak sempat memberi nama pada anaknya memang tak begitu banyak, tapi dari satu dua kasus, ada yang unik dan menggelitik di situ. Hal ini ada kaitannya dengan sebuah perbincangan yang amat luas yang selama ini dikenal dengan sebutan “identitas” dan “non-identitas”.

Anda mungkin tak percaya kalau orang tua sampai tak punya persiapan nama untuk calon si buah hatinya. Anda mungkin akan menuduh mereka terpengaruh ucapan William Shakespeare ketika si Juliet berkata kepada Romeo dalam sebuah adegan: “Apalah arti sebuah nama? Harum mawar tetaplah harum mawar, andaikan mawar bersalin dengan nama lain. Ia tetap bernilai sendiri, sempurna, dan harum tanpa harus bernama mawar. Romeo, tanggalkan namamu. Untuk mengganti nama yang bukan bagian dari dirimu itu, ambillah diriku seluruhnya”.

Tapi kata-kata itu terlampau puitis dan tinggi untuk ukuran orang kampung seperti Buyung atau orangtuanya. Saya tak yakin orangtuanya pernah membaca atau menonton drama Romeo dan Juliet. Tapi saya yakin orangtuanya menganggap nama bukan segala-galanya. Orangtua Buyung tipe orang yang santai, tidak terlampau menggebu memberi nama bahkan kepada anak pertamanya.

Karena setiap orang mesti dipanggil dengan sebuah nama, maka nama Buyung yang tak pernah diberi orangtuanya tetap ingin ia pertahankan. Walau ia tahu status nama itu hanya nama panggilan. Ia sebenarnya tak punya nama. Masyarakat-lah yang memberi nama demikian. Dan mustahil kalau seseorang tidak punya panggilan sekalipun tidak mustahil bahwa seseorang terlahir tanpa menyandang nama.

Nama terpaut dengan persoalan filsafat dan politik sekaligus. Nama adalah tanda atau penanda. Dalam bahasa Arab ada istilah asma atau ayat. Nama diberikan kepada orang dan benda untuk memberikan tanda pada mereka sehingga dengan tanda tersebut mereka dapat dikenal dan dibedakan satu dengan yang lain. Nama-nama Allah juga merupakan tanda-tanda dari Hakikat Suci-Nya; dan hanya nama-Nya yang dapat dikenal oleh manusia. Hakikat Tuhan itu sendiri tidak diketahui oleh siapa pun. Bahkan penghulu para nabi (khatam al-anbiy), manusia yang paling berpengetahuan dan mulia, tidak dapat mencapai pengetahuan tentang-Nya. Manusia hanya dapat mengetahui nama-nama Allah, yang dalam Islam dikenal istilah asmaul husna.

Untuk mengetahui nama-nama Allah sendiri, di kalangan sufi dikenal tiga tingkatan, yaitu kita dapat mengerti sebagian nama, sebagian lain hanya dapat dimengerti Rasulullah, para awliya, dan orang-orang yang mendapat petunjuk-Nya.

Nama adalah sebuah ciri, sebuah langkah untuk memudahkan pengkategorian. Nama berfungsi untuk memudahkan pengklasifikasian. Memudahkan memberi tafsir, memudahkan mengontrol, gampang untuk diseragamkan, gampang diberi cap ini dan itu. Karena itu setiap benda setiap makhluk, apalagi manusia, mesti punya nama atau mesti dinamai. Tidak bisa tidak orang harus punya nama. Tidak punya nama bukan manusia!

Alhasil, nama jadi segala-galanya. Pada mulanya adalah nama. Lalu nama berubah jadi unit. Pada mulanya adalah nama, kemudian makna. Hasrat memberi nama adalah karena hasrat untuk memberi makna. Nama berubah menjadi pokok sekaligus tokoh dalam fakta maupun fiksi. Makna menjadi sesuatu yang mesti ada, kalau perlu diadakan. Itulah kasus yang menimpa Buyung dan Opek yang berubah jadi Zanuddin dan Maimunah.

Nama hampir sama dengan kata. Setiap kata mesti ada makna, kalau tidak, bukan kata. Ketika Sutardji menulis kredo puisi tentang membebaskan kata dari beban makna yang disandangnya, sekaligus menulis puisi tidak melulu tergantung pada kata, banyak orang yang terperangah dan menampik. “Menulis puisi bagi saya berarti membebaskan kata-kata dari beban makna yang disandangkan padanya”, tegas Tardji. Dengan kata lain, yang dilakukan Sutardji sebetulnya pembebasan dari nama dan makna.

Nama memegang peran kunci terhadap hal-ihwal. Bahkan dalam Kitab Suci disebutkan: apa yang membedakan manusia dengan malaikat adalah nama. Adam bisa memberikan nama, sedang malaikat sebagai makhluk yang sepenuhnya instrumental, tidak. Nama, mengutip tafsiran Goenawan Mohamad (dari pemikiran Adorno dan Benjamin), adalah sebuah cara menangkap kembali pengetahuan kita yang konkrit tentang yang-partikular. Nama merupakan tempat kita membebaskan diri dari “dorongan hati untuk mengklasifikan”.

Nama juga bisa menjadi sarana manusia untuk menebus kembali apa yang unik yang dihilangkan oleh klasifikasi dan pertukaran. Maka kini banyak orang bicara tentang “nonidentitas” sebagai perlawanan terhadap politik klasifikasi, politik pencirian, politik pelabelan. Tapi perlawanan “sang nonidentitas” itu kini tak mudah lagi, terutama ketika dunia sudah terlanjur terdiri dari kehidupan politik yang tak memberi tempat kepada yang “tanpanama”.






Ruang


Sensibilitas—cara merasa, mengindra dan memaknai sesuatu—berada dalam relasi saling bentuk dengan ruang. Ruang-ruang kota Jakarta misalnya, kerapkali digambarkan dalam konteks ketegangan antara apa yang disebut ”enclave dan access”: yakni antara logika yang memaksimalkan penutupan dan memperlancar akses. Ruang dalam rumah pun demikian. Ketegangan antara ruang yang tertutup dan ruang yang bisa diakses semakin lama semakin rumit, tumpangsusun dalam berbagai paras dan bentuknya, dan akhirnya semakin tak terasa dan tak disadari oleh para penentu kebijakan.

Para perencana, arsitek, pengelola, dan pemodal bahkan masih saja berpikir dan berlomba-lomba untuk membuat berbagai macam enclave dengan tujuan untuk memberi mereka akses dalam memanfaatkan ruang-ruang yang ada.

Tak mengherankan jika setiap saat kita mengamati ruang, kita menangkap akibat sampingan, di mana ruang-ruang kota yang bukan enclave, yang berada di pinggir, atau ruang sisa, menjadi tak terpikirkan, diabaikan, dan lambat laun dihilangkan dan siap dikonstruksi dan diubah-jadikan enclave model lainnya. Logika ruang semacam inilah yang oleh Ilya F. Mahardika dalam salah sebuah esainya mengenai arsitektur, dinamakan sebagai logika ruang kolonial, yang menghasilkan ruang yang seragam, tertutup dan kehilangan keunikan dan kreativitasnya. Sejarah lokal ruang Jakarta mengalami pengrusakan. Penghuninya mengalami alienasi, tak bisa menentukan keberadaan ruang huniannya sendiri.

Rakyat miskin perkotaan, yang tinggal di ruang-ruang sisa, seringkali dibiarkan dalam kondisi nyaris tidak tahu apa-apa terhadap persoalan, keadaan, perubahan dan bencana yang akan menimpa mereka akibat hasrat untuk menguasai semua potensi ruang yang ada. Rakyat, katanya, telah jauh kehilangan medianya melalui berbagai politik perijinan dan legitimasi hukum yang dijalankan. Imajinasi sosial kita tentang ruang menjadi impian-impian buruk di masa depan.

Berbagai fenomena baru yang muncul dalam pengalaman ruang kita di hari ini, sebagaimana juga pernah disinggung Bambang Sugiharto (2002), telah mengalami perubahan peran dan fungsi. Karena itu, kini dituntut bukan saja sekadar melakukan koordinasi atas relasi ruang dan tubuh kita, melainkan juga menciptakan pola persepsi baru atas pemahaman akan nilai ruang bersama.

“Siapa yang tak butuh ruang-ruang yang nyaman, aman, ramah dan indah sebagai tempat berteduh”, kata Ilya F. Mahardika, karena “ruang yang sempit, kumuh, sumpek, dan bau apak, bila perlu dibuat seindah mungkin agar kita merasakan kenyamanan”. Bila perlu ruang-ruang yang sudah disulap bagus-bagus dan menetereng itu kita buat rumah dan ditempel lukisan Picasso atau Hanafi, sudut-sudutnya diberi pentilasi dan sirkulasi agar udara bisa bebas keluar-masuk, dan di halamannya didirkan gardu satpam untuk mengawas maling, hingga semuanya seperti mal Taman Anggrek yang mampu menampung kenyamanan dan selera konsumen.

Tapi, jangan pernah bermimpi bagi para pengemis, tukang pancong, tukang sol sepatu, tukang becak, dan gelandangan; jangan pernah berharap kalian bisa masuk ke dalam, bahkan di teras depannya, walau pun saya tahu kalian hanya sekadar numpang berteduh dari guyuran hujan! Saya punya pengalaman pribadi soal ini ketika masih aktif di UPC Jakarta.

Dengan memanfaatkan cara pandang terhadap ruang ketiga, banyak seniman melakukan resistensi terhadap kebijakan penguasa kota. Afrizal Malna, misalnya, beberapa kali menulis sajak yang menohok kekuasaan melalui gagasan puisi ruang dan teater ruang. Cara ini ditampilkannya dengan mencoba melebur, mengaduk, menyandingkan dan membaurkan dimensi ruang dan waktu dalam puisi maupun teater.

Dan ”waktu adalah air”, tulis Afrizal suatu hari. Sementara ruang seakan menjelma ”sungai yang terpanjang dalam waktu”. Dan Afrizal berusaha menempatkan ruang di jalan-jalan kota Jakarta tidak lagi seolah-olah nyaman dan aman, humanis, tapi sesungguhnya dibalik gagasan-gagasan yang bagus dan memikat itu tersembunyi mata-mata penjaga, mata-mata kamera yang mengawasi segala sesuatunya agar tampak kondusif dan terkendali, padahal sesungguhnya hanyalah semu. Ruang di jalan mengalami perubahan yang berlangsung sangat dinamis. Tak ada relasi di jalanan. Antara tukang bakso, sopir mobil, sopir bajai, dan becak sering berjalan sendiri-sendiri tanpa relasi. Begitulah ruang yang terjadi di jalanan. Afrizal pernah menggagas “rumah gerobak” untuk pemukiman kaum miskin kota Jakarta karena—minjam salah satu bait puisi Hujan di Pagi Hari:

Kita pernah membuat rumah, sebuah dunia. Tetapi
dengan merasa heran kita bertanya: ke mana mau
pulang? Segala yang bergerak diam-diam sedang
mengubah dirinya sendiri, hanya untuk mengenali
kembali, jalan-jalan yang pernah dilalui.

Tak urung, sajak di atas menghadirkan imajinasi tentang orang-orang kota Jakarta yang kehilangan jejak sejarahnya lantaran rumah-rumah mereka telah digusur. Dan Afrizal agaknya ingin menjadi ”yang Lain”. Dan ide ini menghancurkan ide dasar ruang dalam sebuah rumah yang umumnya bersifat statis. Dengan rumah gerobak maka rumah bersifat mobile, lentur dan dinamis. Namun ide ini rupanya tak mudah dan sudah bisa diduga sebelumnya: gagal.

Ruang dalam rumah bagaimana pun adalah sebuah “tempat-diam”. Karena itu rumah menjadi pusat dari kehidupan penghuninya. Sebagai eksistensi bagi manusia yang menempatinya. Rumah sebagai pusat kembali, atau pulang dari persiran. Dan pulang berarti kembali ke mahia, kembali dalam hal-ikhwal yang dialami sebagai miliknya sendiri. Apa yang dinamakan milik, tak lain kecuali tempat-diam itu: tempat di mana sang penyair berakar; di mana di rumah ia merasakan kenyamanan, adanya perlindungan dan ketentraman. Bagaimana jika keinginan untuk kembali pulang ke rumah namun rumah itu telah tiada?












Elemen Dasar Hak atas Perumahan


Nenek moyang kita dulu punya alasan sendiri mengapa mereka begitu khawatir jika anaknya pergi meninggalkan rumah, merantau jauh ke negeri orang. Mereka takut anaknya tak kembali. Tak ada yang bakal ngurus sapi, kambing dan sawah. Tak ada yang bakal menjaga dan merawat rumah. Tapi sekarang zaman telah jauh berubah. Orang berlomba-lomba hijrah, pergi merantau, membangun rumah baru, dan tentu dengan setumpuk masalah baru.

Di kota-kota besar kita menyaksikan begitu banyak orang rantau, atau bahkan di kota-kota besar di negara kita, sebagian besar penduduk adalah orang rantau. Sebagian besar penduduk itu berlomba-lomba membangun rumah, mendirikan rumah, bahkan mula-mula yang dipikirkan ketika tiba di kota adalah tempat tinggal.
Memiliki rumah adalah hak setiap orang yang juga dijamin oleh negara. Maka sekarang ada baiknya kita bicara soal rumah dalam kerangka fisik dulu, dalam arti rumah yang berhubungan dengan hak setiap negara untuk punya rumah yang layak, yang memang dijamin oleh konstitusi. Dan uraian berikut agak sedikit ”ilmiah” dan formal: sesuatu yang tak bisa saya hindarkan, tentunya.

Hak Asasi Manusia (HAM) setidaknya memberikan argumentasi moral kepada setiap pengambil kebijakan untuk menciptakan warisan bersama umat manusia, juga bahasa yang sama yang digunakan dalam wacana dan dialog antara manusia dan negara. Di samping itu, HAM juga melindungi setiap orang dari proses dehumanisasi dan keterasingan (alienasi). Ada lima Konvensi Internasional yang berkaitan dengan hak atas perumahan:

Pertama, Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Kekerasan Terhadap Perempuan. Dalam konvensi ini dikatakan: Hak setiap perempuan. Laki-laki, dan anak-anak untuk mendapatkan dan secara berkelanjutan menikmati rumah dan komunitas yang aman tempat mereka hidup dalam damai dan penuh harga diri. Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini.

Kedua, Deklarasi HAM: "Setiap orang berhak atas tingkat kehidupan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan...termasuk makanan, pakaian, perumahan, kesehatan dan pelayanan sosial yang dibutuhkan " (UDHR, pasal 25), dimana Indonesia telah menandatangani kesepakatan ini.

Ketiga, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Anak: 148 negara "mengakui hak setiap orang atas tingkat kehidupan yang layak…termasuk makanan, pakaian dan perumahan" dan kewajiban untuk “mengambil langkah yang sesuai untuk memastikan perwujudan hak ini.” (ICESCR, pasal 11(1). Hanya ada dua negara yang tidak meratifikasi konvensi ini, yakni Amerika dan Somalia. Amerika menganggap hukum mereka sudah jauh lebih maju dan demokratis, sehingga merasa tidak perlu meratifikasi Konvensi Perlindungan Anak tersebut. Sementara Somalia lebih karena kondisi negara ini sampai sekarang tidak ada kepastian.

Keempat, Konvensi Anti Diskriminasi: ”Hak milik pribadi maupun kelompok dan hak atas perumahan“. Di sini juga dijelaskan bahwa diskriminasi tidak boleh dilakukan atas dasar kemiskinan“. Konvensi ini begitu penting sebagai kerangka hukum legal formal atas tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat secara luas. Sayangnya, sampai sekarang Indonesia tak punya keinginan untuk meratifikasi konvensi tersebut.

Kelima, Konvensi Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Kultural (Ekosok). Dalam pasal 2 ayat 1 dikatakan: negara harus menggunakan “seluruh cara-cara yang sesuai, termasuk penggunaan langkah-langkah legislatif, untuk meningkatkan seluruh hak yang dilindungi oleh konvensi. Sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi ini. Konvensi lain yang juga berkaitan dengan hak asasi manusia yang belum diratifikasi, seperti buruh migran, konvensi sipil dan politik (Sipol).

Sudah jelas bahwa argumen hukum di atas bia dijadikan landasan utama untuk membangun sistem perlindungan hukum yang efektif. Kebijakan hukum internasional di atas termasuk langkah-langkah yang (a) menyediakan kemungkinan keamanan yang paling tinggi atas tanah untuk mendiami rumah dan tanah, (b) sejalan dengan Konvesi, dan (c) dirancang untuk secara ketat mengontrol kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya penggusuran. Peraturan itu juga membahas seluruh agen yang bekerja dibawah otoritas negara atau bertanggung jawab kepadanya. Lagipula, dalam kerangka bahwa kecenderungan di banyak pemerintahan yang mengurangi tanggung jawabnya dalam sektor perumahan rakyat, negara harus memastikan bahwa langkah-langkah legislatif dan langkah lain mencukupi untuk mencegah dan, kalau sesuai, menghukum pelaksanaan penggusuran yang dilakukan oleh orang perorang atau lembaga tanpa tanpa pengamanan yang memadai. Negara karenanya harus melihat kembali legislasi dan kebijakan-kebijakan untuk memastikan bahwa mereka sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang hak perumahan yang layak dan mengubah perundang-undangan atau kebijakan yang tidak sesuai dengan ketentauan konvensi.

Akhirnya, pasal 11 (1) konvensi Ekosok menyimpulkan bahwa negara berkewajiban untuk mengakui “syarat penting untuk melakukakan kerjasama internasional adalah kesepakatan yang tanpa tekanan”. Secara tradisional, kurang dari 5 persen dari bantuan internasional yang ditujukan untuk perumahan atau pemukiman, dan seringkali cara penyediaan dana-dana itu sedikit sekali memperhatikan kebutuhan mereka yang miskin. Negara-negara, baik penerima maupun penyumbang, harus memastikan bahwa sebagian besar dana pembiayaan ditujukan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang akan memungkinkan penambahan jumlah orang yang akan mendapatkan perumahan yang layak. Negara-negara harus, ketika merencanakan kerjasama keuangan internasional, mempertimbangkan hal-hal yang relevan tentang hak atas perumahan yang layak yang akan terpengaruh secara langsung oleh pembiayaan eksternal itu. Permintaan itu sebaiknya benar-benar mempertimbangkan kebutuhan dan pandangan dari kelompok-kelompok yang terkena dampak.

Dari sekian elemen hak atas perumahan, saya mengidentifikasi sembilan elemen dasar atau yang utama. Saya akan mulai dengan satu kosakata, yaitu kelayakan (adequacy). Kelayakan yang dimaksud dalam arti luas, tidak semata-mata terkait dengan jurnalisme, seperti yang pernah digagas BillKovach, melainkan juga penting untuk hak atas perumahan rakyat. Dalam hal ini hak atas “perumahan yang layak” (adequate housing), seperti yang dinyatakan oleh Konvensi Ekosok, terutama pasal 11 ayat 1. Meskipun kata “kelayakan” ditentukan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, kultural, iklim, ekologi, dan lain-lain, namun masih mungkin untuk mengidentifikasi sembilan elemen hak atas perumahan, di antaranya:

Pertama, jaminan keamanan tempat tinggal. Legalitas tempat tinggal terdiri dari berbagai bentuk, termasuk akomodasi yang disewa (baik milik negara maupun swasta), kontrakan, pengalihan hak tinggal, perumahan darurat dan pemukiman informal, termasuk pendudukan tanah atau bangunan. Terlepas dari tipe rumah tinggalnya, semua orang harus memiliki tingkat keamanan rumah tinggal yang menjamin perlindungan hukum dari penggusuran, pelecehan, dan ancaman-ancaman lain. Negara harus secara konsekuen mengambil langkah-langkah segera yang bertujuan untuk menerapkan keamanan hukum atas rumah tinggal kepada oang-orang dan keluarga yang sedang mengalami kekurangan perlindungan, dengan sebelumnya mengadakan pembicaraan dengan perorangan maupun kelompok yang akan terkena dampak.

Kedua, ketersediaan pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur. Suatu rumah yang layak harus memiliki fasilititas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan dan gizi. Hak-hak atas perumahan yang layak harus tercermin dalam pemilikan akses yang terus menerus terhadap sumber daya alam dan sumber daya bersama, air minum yang sehat, energi untuk memasak, pemanasan dan pencahayaan, sanitasi dan fasilitas mencuci, alat untuk menyimpan makanan, membuang kotoran, alat drainase, dan pelayanan darurat.

Ketiga, keterjangkauan. Pembiayaan perumahan untuk individual ataupun keluarga haruslah berada pada tingkat yang tidak mengganggu atau menurunkan mutu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar yang lain.Langkah-langkah yang harus diambil oleh negara untuk memastikan bahwa prosentase biaya perumahan, secara umum, sebanding dengan tingkat pendapatan. Sejalan dengan prinsip keterjangkauan, penghuni harus dilindungi melalui cara-cara yang sesuai dari harga penyewaan yang mahal atau peningkatan biaya. Pada masyarakat di mana bahan-bahan alam merupakan sumber utama untuk membangun rumah, langkah-langkah untuk menyediakan hal-hal itu harus diambil oleh negara.

Keempat, keamanan dan kenyamanan. Perumahan yang layak haruslah dapat dihuni dengan aman dan nyaman dalam pengertian, perumahan ini menyediakan ruang yang cukup yang melindungi penghuninya dari dingin, lembab, panas, hujan, angin atau ancaman lain terhadap kesehatan, perusakan struktural, dan penyebaran penyakit. Keselamatan fisik penghuni juga harus dijamin. Negara harus secara menyeluruh menerapkan prinsip-prinsip kesehatan untuk perumahan yang dicanangkan oleh WHO.

Kelima, aksesibilitas. Perumahan yang layak harus dapat diakses oleh mereka yang berhak. Kelompok-kelompok yang lemah seperti orang tua, anak-anak, orang cacat, orang sakit yang tak tersembuhkan, pengidap HIV, korban bencana alam, orang yang hidup dalam wilayah rawan bencana, dan kelompok-kelompok lain yang harus dipastikan tingkat prioritasnya untuk mendapatkan perumahan. Baik peraturan perumahan dan kebijakah harus benar-benar mempertimbangkan mendesaknya kebutuhan perumahan bagi kelompok-kelompok ini. Peningkatan akses terhadap tanah bagi orang-orang yang tidak punya tanah atau rakyat miskin harus menjadi tujuan kebijakan yang sentral.. Kewajiban-kewajiban pemerintah yang nyata harus dikembangkan untuk mewujudkan hak semua orang terhadap keamanan tempat hidup, untuk hidup dalam damai dan penuh harga diri, termasuk mengembangkan konsep akses terhadap tanah sebagai suatu hak.

Keenam, lokasi. Perumahan yang layak harus dalam lokasi yang memungkinkan mudah untuk diakses, terutama untuk pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat perawatan anak, dan fasilitas sosial lainnya. Hal ini berlaku baik di kota besar maupun pedesaan dimana jarak antara rumah tinggal dengan lokasi pekerjaan dapat menghabiskan anggaran rumah tangga setiap orang miskin. Begitu juga, perumahan seharusnya tidak dibangun pada wilayah yang tingkat polusinya tinggi atau dalam jarak yang mudah terpengaruh olehnya yang mengancam kesehatan penduduknya.

Ketujuh, kelayakan kultural. Cara perumahan dibangun, bahan-bahan bangunan yang digunakan, dan kebijakan-kebijakan yang mendukungnya harus sesuai dengan ekspresi identitas kultural dan keragaman perumahan. Aktivitas yang dilakukan dalam pembangunan atau modernisasi dalam ruang perumahan harus memastikan tiadanya pengorbanan dimensi-dimensi kultural, dan bahwa, diantaranya, memastikan penggunaan fasilitas-fasilitas modern yang sesuai.

Delapan, partisipasi dan eksperesi diri. Acuan tentang hal ini dibuat tentang konsep harga diri manusia (human dignity) dan prinsp non-diskriminasi. Lagipula, terpenuhinya hak-hak yang lain—seperti hak atas kemerdekaan berekspresi, hak untuk berkumpul (seperti untuk penghuni rumah dan kelompok-kelompok berbasis komunitas lainnya), hak untuk menjadi penduduk suatu tempat dan hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan keputusan publik.—adalah tidak terpisahkan dalam mewujudkan hak atas perumahan yang layak dan dalam pemeliharaannya oleh semua kelompok dalam masyarakat. Begitu juga, hak ini juga tidak boleh dilemahkan oleh campur tangan yang sewenang-wenang dan di luar hukum terhadap terhadap privasi seseorang, keluarga atau relasi antar orang yang menjadi dasar pendefinisian hak atas perumahan yang layak.


Sembilan, pemukiman kembali. Langkah-langkah yang dirancang untuk memenuhi kewajiban negara dalam penghormatan terhadap hak-hak perumahan yang layak harus mencerminkan langkah-langkah sesuai yang telah diambil bersama-sama oleh negara maupun swasta. Meskipun pada beberapa negara pembiayaan perumahan langsung digunakan untuk pembangunan pemukiman baru, dalam banyak kasus, pengalaman menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan perumahan dengan pembangunan rumah untuk rakyat (target Menkimpraswil membangun satu juta rumah per tahun takpernah tercapai). Penigkatan strategi yang memungkinkan, yang dikombinasikan dengan komitmen penuh untuk memenuhi hak atas perumahan yang layak, karenanya, harus selalu didorong. Pada dasarnya, kewajiban ini berguna untuk menunjukkan bahwa, langkah-langkah yang tengah diambil mencukupi untuk mewujudkan pemenuhan hak individual dalam jangka pendek sesuai dengan sumber-sumber daya yang ada.