Sabtu, 05 Desember 2009

Plagiator = Koruptor

Asarpin
Pembaca sastra



Pada suatu hari ada seorang penulis yang berlagak memahami segala hal. Karena ingin dianggap penulis yang hebat, ia pun menulis apa saja. Tapi jika ditanya lebih detail, ia sendiri gelagapan. Misalnya, ketika ada yang bertanya tentang Dewa Plagiat, ia tak siap dan memaksakan untuk menjawab: Dewa Kembar.

Tak lama berselang, terdengar kabar ia menerbitkan novel. Judulnya Demi Seekor Kupu-Kupu. Ceritanya tentang seorang ilmuwan yang putri tunggalnya menginginkan kupu-kupu berwarna biru. Lalu ada seorang penjelajah muda yang berwiba dan atletis berusaha mencarinya. Ia berlayar ke hulu Sungai Amazon untuk mencari kupu-kupu langka itu, dan dalam sebuah perjalanan ia dihadang ribuan hiu. Apakah si pemuda itu masih berwibawa dan bertampang atletis?

Konflik batin muncul dengan beruntun seolah gambaran yang ditampilkan terjadi dengan nyata. Tema, tokoh-tokoh, detail petualangan dalam kisah petualangan itu, ternyata berasal dari sebuah cerita bergambar yang terbit beberapa tahun sebelumnya. ”Plagiat yang memang disengaja”, katanya. Adakah plagiat yang tidak disengaja?

Plagiat tak lahir kebetulan. Seorang plagiator adalah seorang yang berilmu. Sama seperti seorang yang kerjanya maling, mereka punya ilmu maling yang kadang sangat canggih sehingga tak terdeteksi bahkan oleh dukun yang paling tahu diri. Kau tahu, yang menuturkan kisah di atas bukanlah orang dugu, tapi filsuf eksistensialis terkemuka Prancis abad ke-20, Jean-Paul Sartre?

Sartre menulis memoar berjudul ”Les Mots”, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Kata-Kata. Dalam satu bab ia menuturkan pengalaman masa kecilnya yang menulis novel plagiat tapi dianggap orisinal oleh para wartawan dan kritikus. Tak seorang pembaca pun tahu jika novel Demi Seekor Kupu-Kupu itu hasil menjiplak. Jadilah Sartre kecil sebagai penulis cerita hebat hingga ketika dewasa banyak menghasilkan novel dan drama yang mengguncang kemapanan kekuasaan. Sebagai puncak kreativitasnya, ia pun mendapat Nobel Sastra. Tapi hadiah itu ditolaknya.

Kisah Sartre itu memiliki kemiripan plot dari suatu babak dalam kehidupan Chairil Anwar. Seperti halnya dengan Chairil, perbuatan tercela Sartre itu tidak pernah menjadi batu pengganjal bagi dirinya untuk menjadi sastrawan besar yang berpengaruh pada zamannya. Seandainya Chairil pernah mengakui beberapa sajaknya sebagai plagiat, mungkin saja perbuatan tercelanya akan dianggap sebagai kekhilafan yang perlu dimaafkan. Namun Chairil sendiri sudah terlanjur besar kendati ia tak pernah menyinggung soal plagiat.

Sartre mau membagi rahasia pengalamannya melakukan plagiat. Mula-mula ia mengambil buku dengan tema lain yang akan diconteknya. Kemudian ia berusaha mengoreksi di sini, memperbarui di situ; misalnya ia dengan sengaja mengubah nama tokoh-tokoh ceritanya. Lalu ia pun mengubah judulnya, mengubah latar tempat cerita itu berlangsung. Perubahan-perubahan ringan itu memungkinkan ia mencampur-adukkan daya ingat dan daya khayal. Lalu kalimat-kalimat tampil kembali dalam otaknya dengan sekuat inspirasi murni. Ia pun menyalin kalimat-kalimat itu hingga membawa keplagiatan sampai jauh.

Sartre menulis: ”Aku sesunguhnya sering menjadi plagiator, justru karena seleraku yang snob itu, dan seperti yang akan aku ceritakan, aku membawa keplagiatan sampai ke ujung-ujungnya....Aku membuka ceritaku pada halaman yang cocok, lalu mengutip kata demi kata tanpa lupa membuka paragrap baru...Aku berlagak mengajarkan manusia sezamanku segala yang aku sendiri tidak ketahui...”.

Alangkah bangganya aku jika di Lampung ada orang yang dengan jujur bercerita tentang pengalamannya dalam melakukan plagiat. Beberapa kali ”negeri penyair” ini—mencuri istilah Nirwan Dewanto—dilanda wabah plagiarisme, tapi tak ada yang mau mengaku sekalipun bukti-bukti hampir tak terbantah. Yang namanya maling, kata orang tua kita, memang tak ada yang mau mengaku. Kalau ngaku penuhlah penjara di seluruh dunia!

Sampai sekarang tak ada peraturan yang bisa menggiring plagiator masuk penjara. Mungkin lantaran itu maka plagiarisme masih merajalela di sekitar kita. Tak ada hukuman formal dan sanksi yang bisa membuat plagiat berhenti. Para plagiator masih terus mempublikasikan tulisannya.

Dulu pernah muncul soal plagiat, dan pelakunya dihujat. Si plagiator dilaknat dan dicerca hingga tak berani keluar rumah saking malunya. Seandainya Chairil masih hidup saat tuduhan plagiat terhadap beberapa puisinya dilontarkan dan dibicarakan di mana-mana, mungkin Chairil tak sanggup menanggung malu. Sebab tuduhan itu tidak main-main. Sejumlah penulis sudah siap dengan sejumlah bukti.

Tapi sejak Orde Baru, masyarakat kita lebih mengedepankan etika sopan-santun terhadap para plagiator. Tak ada pengganyangan dan hinaan bagi yang terbukti tulisannya adalah plagiat. Yang muncul dengan ramai di media massa justru soal pengaruh-mempengaruhi dan bukan pencurian. Bahasa pengucapan pun terasa sangat halus dan sopan.

Belakangan, orang kembali berteriak ketika menemukan kasus plagiarisme di media. Tapi tindakan yang diberikan tak pernah bisa membuat si pelaku jera. Bagi media massa tempat tulisan sang plagiator dimuat, hukumannya hanya sebatas ”tidak dimuat” tulisan-tulisannya yang akan datang. Tapi jarang ada seorang redaktur media yang tega. Sebagian besar justru merasa kasihan, lalu kembali memuat tulisan-tulisan orang tersebut.

Sejumlah penyair Lampung yang sudah dikenal luas, tiba-tiba tersangkut kasus plagiarisme, seperti Dahta Gautama dan Y. Wibowo. Dahta melakukan praktek memalukan itu lewat sebuah esai, sementara Y. Wibowo lewat cerpen. Apakah maksud kedua penyair ini? Apakah keduanya menganggap esai dan cerpen memang pantas diperlakukan demikian, sementara puisi terlalu suci untuk dikotori?

Gelar sebagai penyair rupanya tak cukup bagi Y. Wibowo dan Dahta Gautama. Keduanya ingin disebut penulis serba-bisa. Y. Wibowo harus menulis cerpen agar juga disebut seorang cerpenis. Baru-baru ini saya membaca cerpennya di Lampung Post, ”Jejak Hujan” (25/10/2009), yang tak menduga sebelumnya jika cerpen ini adalah plagiat.

Saya berusaha membaca sampai selesai karena pada kalimat pembuka cerpen Jejak Hujan itu menarik perhatian. Coba perhatikan bunyi paragrap pertama cerpen tersebut: ”Hujan deras menampar-nampar bubungan rumah panggung, angin laut kencang, ombak bergulung menyabet pinggang pantai di sebelah rumah itu”.

Cerpen itu menggunakan pengucapan liris dan mengejar rima yang puitis. Namun selanjutnya, cerita itu menjadi buyar. Temanya melebar dan berubah. Mula-mula si narator ingin melukis imaji hujan, tapi kemudian berubah setting dan kejadian. Pembaca dibuat sedikit ditantang kendati tak sampai kehilangan jejak makna yang mau disampaikan.

Dua hari setelah cerpen itu dimuat di Lampung Post, saya mendapat kabar dari seorang kenalan yang mengatakan cerpen Y. Wibowo tersebut 90 % mirip dengan cerpen ”Doa Lelaki Yang Kehilangan Ibu” karya Khrisna Pabichara yang pernah dimuat oleh Jurnal Bogor edisi Minggu (04/10/2009).

Cara, proses dan modus penjiplakan yang dilakukan Y. Wibowo mirip dengan cerita Sartre di atas. Bowo mengubah judul dan mencomot kata demi kata tanpa lupa membuka paragrap yang baru. Nama-nama tokoh diganti. Bambang jadi Syahroni, Ratna jadi Adi, Deasy jadi Rudi, Ibu Ramah jadi Rahayu Sari, dsb. Tempat kejadian diganti: di kantor Dewan Cibinong diganti kantor Dewan Kalianda. Tebet-Parung berubah jadi Bandarlampung-Kalianda, dsb.

Jika sebuah cerpen punya hak cipta, maka Y. Wibowo tak punya hak cipta. Ia mencuri cerpen Khrisna Pabichara! Dan kita tahu, para koruptor itu adalah pencuri. Antara koruptor dan plagiator sama-sama mencuri materi. Bedanya: Kalau koruptor mencuri materi dalam arti uang, plagiator mencuri materi tulisan orang lain.

Kendati tak ada pengadilan untuk plagiator dan tak ada lembaga semacam KPK untuk menangkap para maling, pengadilan dan hukuman pembaca tak kalah kejamnya bagi para plagiator kotor. Tak percaya? Silahkan mencoba!

1 komentar:

  1. Harrah's Casino & Hotel - Mapyro
    View the harrah's casino and hotel 정읍 출장안마 in Council Bluffs, IA. 수원 출장샵 See photos, videos 문경 출장샵 and read 238 reviews: "Very 의왕 출장안마 good hotel! We had a great casino, 하남 출장샵 very nice rooms, and was always

    BalasHapus