Sabtu, 05 Desember 2009

Refleksi

Oleh: Asarpin



Sampai kini aku masih bertanya-tanya bagaimana gerangan rasanya jadi penulis tetapi mendapati bahwa prospek yang ada tidak lebih dari sepetak padang ilalang yang diterpa kemarau panjang. Menjadi penulis pemula sungguh menyiksa. Keluarga senantiasa menuntut hasil dari yang kita kerjakan, sementara penulis pemula hanya bisa geleng-geleng kepala.

Tentu saja ada penulis pemula yang bisa langsung sejahtera. Tapi betapa langka orang yang bisa meraup untung berlipat-lipat dengan menulis artikel di surat kabar. Sudah beruntung kalau ada surat kabar mau memberi imbalan honor satu tulisan dengan sepuluh kilogram beras siap ditanak. Menulis di surat kabar, bagi penulis pemula, harus ekstra sabar, kalau tidak ia akan jadi penulis gelandangan yang terlunta-lunta.

Menjadi penulis artikel di media tak selalu menjanjikan imbalan materi yang bisa menutupi kebutuhan rumah tangga. Itulah gebalau yang banyak dirasakan penulis pemula seperti saya. Lulus kuliah untuk kemudian jadi sarjana, lantas melibatkan diri dalam dunia aktivis dan merangkap penulis yang dilanda depresi. Ingin rasanya tidak merasa apa-apa, bebas tanpa merasakan ke-akuan sebagai ini dan itu. Hidup sebelum ada tulis-menulis, dan di atas segalanya; aku ingin tak menjadi apa-apa.

Tapi pertanyaan demi pertanyaan terus membayang dalam pikiran. Seperti mengapa Lot tak berbuat apa-apa ketika istrinya jadi tiang batu garam? Apa karena kesalahan istrinya memasuki gerbang terlarang? Bukankah ketika Adam berdosa di sorga, ibu Hawa ikut menanggung kejatuhan dan terkutuk dalam labirin dunia yang asing? Merpati putih saja dengan sukarela membawakan ranting ke untuk nabi Nuh, mengapa Lot membisu saat menatap istrinya membeku? Oh Yunus, dimana Esau?

Bagaikan ngengat, gagak-gagak hitam beterbangan tak karuan. Pikiran pun dibuncah khayalan. Digaram bimbang. Dilanda kerusuhan. Tak ada pilihan kecuali memaksakan diri memilih berdiri di puncak pass. Menatap nanar pada sebidang tebing. Sementara di bawah tak ada angin, kecuali setumpuk bebatuan tergolek beku. Udara masih terasa hening; bening terbening. Gradasi bayang-bayang memanjang datar, dan permukaan laut mengular panjang di kejauhan.

Kutatap ngarai semampai di puncak sendirian. Mata menatap di bawah permukaan. Perasaan pun lebur-luluh ke inti bumi. Sementara batu-batu pualam di celah bukit, balok-balok mendorong langkah makin ke tengah hingga wajah mencium amis tanah kuburan. Kubayangkan aku tajungkang ke jurang. Lalu berlalu ruang, membeku dalam labirin kenyataan. Ironi yang jelas dan menyakitkan. Membusuk dalam galau di puncak menara keterasingan. Fana dalam waktu yang bertukar sapa dalam cemas dan bimbang.

Plagiator = Koruptor

Asarpin
Pembaca sastra



Pada suatu hari ada seorang penulis yang berlagak memahami segala hal. Karena ingin dianggap penulis yang hebat, ia pun menulis apa saja. Tapi jika ditanya lebih detail, ia sendiri gelagapan. Misalnya, ketika ada yang bertanya tentang Dewa Plagiat, ia tak siap dan memaksakan untuk menjawab: Dewa Kembar.

Tak lama berselang, terdengar kabar ia menerbitkan novel. Judulnya Demi Seekor Kupu-Kupu. Ceritanya tentang seorang ilmuwan yang putri tunggalnya menginginkan kupu-kupu berwarna biru. Lalu ada seorang penjelajah muda yang berwiba dan atletis berusaha mencarinya. Ia berlayar ke hulu Sungai Amazon untuk mencari kupu-kupu langka itu, dan dalam sebuah perjalanan ia dihadang ribuan hiu. Apakah si pemuda itu masih berwibawa dan bertampang atletis?

Konflik batin muncul dengan beruntun seolah gambaran yang ditampilkan terjadi dengan nyata. Tema, tokoh-tokoh, detail petualangan dalam kisah petualangan itu, ternyata berasal dari sebuah cerita bergambar yang terbit beberapa tahun sebelumnya. ”Plagiat yang memang disengaja”, katanya. Adakah plagiat yang tidak disengaja?

Plagiat tak lahir kebetulan. Seorang plagiator adalah seorang yang berilmu. Sama seperti seorang yang kerjanya maling, mereka punya ilmu maling yang kadang sangat canggih sehingga tak terdeteksi bahkan oleh dukun yang paling tahu diri. Kau tahu, yang menuturkan kisah di atas bukanlah orang dugu, tapi filsuf eksistensialis terkemuka Prancis abad ke-20, Jean-Paul Sartre?

Sartre menulis memoar berjudul ”Les Mots”, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Kata-Kata. Dalam satu bab ia menuturkan pengalaman masa kecilnya yang menulis novel plagiat tapi dianggap orisinal oleh para wartawan dan kritikus. Tak seorang pembaca pun tahu jika novel Demi Seekor Kupu-Kupu itu hasil menjiplak. Jadilah Sartre kecil sebagai penulis cerita hebat hingga ketika dewasa banyak menghasilkan novel dan drama yang mengguncang kemapanan kekuasaan. Sebagai puncak kreativitasnya, ia pun mendapat Nobel Sastra. Tapi hadiah itu ditolaknya.

Kisah Sartre itu memiliki kemiripan plot dari suatu babak dalam kehidupan Chairil Anwar. Seperti halnya dengan Chairil, perbuatan tercela Sartre itu tidak pernah menjadi batu pengganjal bagi dirinya untuk menjadi sastrawan besar yang berpengaruh pada zamannya. Seandainya Chairil pernah mengakui beberapa sajaknya sebagai plagiat, mungkin saja perbuatan tercelanya akan dianggap sebagai kekhilafan yang perlu dimaafkan. Namun Chairil sendiri sudah terlanjur besar kendati ia tak pernah menyinggung soal plagiat.

Sartre mau membagi rahasia pengalamannya melakukan plagiat. Mula-mula ia mengambil buku dengan tema lain yang akan diconteknya. Kemudian ia berusaha mengoreksi di sini, memperbarui di situ; misalnya ia dengan sengaja mengubah nama tokoh-tokoh ceritanya. Lalu ia pun mengubah judulnya, mengubah latar tempat cerita itu berlangsung. Perubahan-perubahan ringan itu memungkinkan ia mencampur-adukkan daya ingat dan daya khayal. Lalu kalimat-kalimat tampil kembali dalam otaknya dengan sekuat inspirasi murni. Ia pun menyalin kalimat-kalimat itu hingga membawa keplagiatan sampai jauh.

Sartre menulis: ”Aku sesunguhnya sering menjadi plagiator, justru karena seleraku yang snob itu, dan seperti yang akan aku ceritakan, aku membawa keplagiatan sampai ke ujung-ujungnya....Aku membuka ceritaku pada halaman yang cocok, lalu mengutip kata demi kata tanpa lupa membuka paragrap baru...Aku berlagak mengajarkan manusia sezamanku segala yang aku sendiri tidak ketahui...”.

Alangkah bangganya aku jika di Lampung ada orang yang dengan jujur bercerita tentang pengalamannya dalam melakukan plagiat. Beberapa kali ”negeri penyair” ini—mencuri istilah Nirwan Dewanto—dilanda wabah plagiarisme, tapi tak ada yang mau mengaku sekalipun bukti-bukti hampir tak terbantah. Yang namanya maling, kata orang tua kita, memang tak ada yang mau mengaku. Kalau ngaku penuhlah penjara di seluruh dunia!

Sampai sekarang tak ada peraturan yang bisa menggiring plagiator masuk penjara. Mungkin lantaran itu maka plagiarisme masih merajalela di sekitar kita. Tak ada hukuman formal dan sanksi yang bisa membuat plagiat berhenti. Para plagiator masih terus mempublikasikan tulisannya.

Dulu pernah muncul soal plagiat, dan pelakunya dihujat. Si plagiator dilaknat dan dicerca hingga tak berani keluar rumah saking malunya. Seandainya Chairil masih hidup saat tuduhan plagiat terhadap beberapa puisinya dilontarkan dan dibicarakan di mana-mana, mungkin Chairil tak sanggup menanggung malu. Sebab tuduhan itu tidak main-main. Sejumlah penulis sudah siap dengan sejumlah bukti.

Tapi sejak Orde Baru, masyarakat kita lebih mengedepankan etika sopan-santun terhadap para plagiator. Tak ada pengganyangan dan hinaan bagi yang terbukti tulisannya adalah plagiat. Yang muncul dengan ramai di media massa justru soal pengaruh-mempengaruhi dan bukan pencurian. Bahasa pengucapan pun terasa sangat halus dan sopan.

Belakangan, orang kembali berteriak ketika menemukan kasus plagiarisme di media. Tapi tindakan yang diberikan tak pernah bisa membuat si pelaku jera. Bagi media massa tempat tulisan sang plagiator dimuat, hukumannya hanya sebatas ”tidak dimuat” tulisan-tulisannya yang akan datang. Tapi jarang ada seorang redaktur media yang tega. Sebagian besar justru merasa kasihan, lalu kembali memuat tulisan-tulisan orang tersebut.

Sejumlah penyair Lampung yang sudah dikenal luas, tiba-tiba tersangkut kasus plagiarisme, seperti Dahta Gautama dan Y. Wibowo. Dahta melakukan praktek memalukan itu lewat sebuah esai, sementara Y. Wibowo lewat cerpen. Apakah maksud kedua penyair ini? Apakah keduanya menganggap esai dan cerpen memang pantas diperlakukan demikian, sementara puisi terlalu suci untuk dikotori?

Gelar sebagai penyair rupanya tak cukup bagi Y. Wibowo dan Dahta Gautama. Keduanya ingin disebut penulis serba-bisa. Y. Wibowo harus menulis cerpen agar juga disebut seorang cerpenis. Baru-baru ini saya membaca cerpennya di Lampung Post, ”Jejak Hujan” (25/10/2009), yang tak menduga sebelumnya jika cerpen ini adalah plagiat.

Saya berusaha membaca sampai selesai karena pada kalimat pembuka cerpen Jejak Hujan itu menarik perhatian. Coba perhatikan bunyi paragrap pertama cerpen tersebut: ”Hujan deras menampar-nampar bubungan rumah panggung, angin laut kencang, ombak bergulung menyabet pinggang pantai di sebelah rumah itu”.

Cerpen itu menggunakan pengucapan liris dan mengejar rima yang puitis. Namun selanjutnya, cerita itu menjadi buyar. Temanya melebar dan berubah. Mula-mula si narator ingin melukis imaji hujan, tapi kemudian berubah setting dan kejadian. Pembaca dibuat sedikit ditantang kendati tak sampai kehilangan jejak makna yang mau disampaikan.

Dua hari setelah cerpen itu dimuat di Lampung Post, saya mendapat kabar dari seorang kenalan yang mengatakan cerpen Y. Wibowo tersebut 90 % mirip dengan cerpen ”Doa Lelaki Yang Kehilangan Ibu” karya Khrisna Pabichara yang pernah dimuat oleh Jurnal Bogor edisi Minggu (04/10/2009).

Cara, proses dan modus penjiplakan yang dilakukan Y. Wibowo mirip dengan cerita Sartre di atas. Bowo mengubah judul dan mencomot kata demi kata tanpa lupa membuka paragrap yang baru. Nama-nama tokoh diganti. Bambang jadi Syahroni, Ratna jadi Adi, Deasy jadi Rudi, Ibu Ramah jadi Rahayu Sari, dsb. Tempat kejadian diganti: di kantor Dewan Cibinong diganti kantor Dewan Kalianda. Tebet-Parung berubah jadi Bandarlampung-Kalianda, dsb.

Jika sebuah cerpen punya hak cipta, maka Y. Wibowo tak punya hak cipta. Ia mencuri cerpen Khrisna Pabichara! Dan kita tahu, para koruptor itu adalah pencuri. Antara koruptor dan plagiator sama-sama mencuri materi. Bedanya: Kalau koruptor mencuri materi dalam arti uang, plagiator mencuri materi tulisan orang lain.

Kendati tak ada pengadilan untuk plagiator dan tak ada lembaga semacam KPK untuk menangkap para maling, pengadilan dan hukuman pembaca tak kalah kejamnya bagi para plagiator kotor. Tak percaya? Silahkan mencoba!

Teologi Plagiat atau Teologi Kiamat?

Asarpin
Peminat masalah sosial-agama


Dalam dua dekade terakhir, kajian tentang teologi diberbagai media begitu semarak. Begitu banyak varian teologi yang coba digagas, mulai yang abu-abu sampai yang terang-benderang, mulai dari yang malu-malu sampai yang gagah berani, mulai dari “teologi tuhan mati" sampai "teologi harga diri".

Bahkan, ada pula "teologi sepak bola", dalam arti melihat sepak bola dari kacamata teologi. Ada pula teologi permainan, teologi postmodernisme dan masih banyak lagi. Jangan tanya tentang teologi transformatif, teologi pembebasan, teologi pluralis, teologi humanis, teologi liberal, yang memang banyak pengikut di negeri ini.

Kalau dulu hanya orang Kristen yang menyebut istilah teologi, kini hampir semua penulis yang beragama Islam menggunakan istilah teologi. Istilah kalam kalah pamor dan di mana-mana orang menyebut teologi. Dan ini tidaklah salah. Bahkan Muhammad Natsir pernah menyebut istilah gending Islam, Sukidi menggunakan istilah Islam Protestan.

Kendati demikian, tidak ada salahnya jika orang masih berhati-hati dengan kajian teologi, karena tidak semua tulisan berlabel teologi itu bergizi. Ada teologi yang pahit, masam dan pedas. Ada yang bisa bikin kita geleng-geleng kepala karena sedikit-sedikit dihubungkan dengan teologi. Film 2012 yang sedang beredar, juga tidak luput dikaitkan dengan teologi.

Tidak pantas jika orang menulis tentang film 2012 dengan menghubungkannya dengan “teologi kiamat” padahal ia belum menonton film tersebut. Ia mengetahui film itu dari pemberitaan sejumlah media, dan itu tafsir media. Lebih parah lagi, ia mengetahui informasi film itu dari berita selebritis yang menampilkan demam ketakutan mereka terhadap kiamat, lalu ditulislah "teologi kiamat dan fil 2012".

Saya yakin Budiman belum menonton film itu, tapi dengan berani menulis di harian in dengan judul yang sepintas orisinal: “ Teologi kiamat dan Film 2012”. Selama ini saya mengenal Budiman karena tulisan-tulisannya tentang teologi dan kajian tentang pluralism agama terhitung menyegarkan untuk konteks kehidupan bbergama di Lampung yang memang majemuk. Dari segi gagasan, apa yang ditulis Budiman selama ini sudah digarap Th Sumartana, Banawiratma, Gus Dur dan Cak Nur, serta yang lain-lain. Bahkan beberapa kali saya melihat kesamaan gagasan tentang pluralisme agama yang ditulis Budiman dengan pendahulunya.

Tentu saja saya tidak sedang menuduh tulisan-tulisan Budiman seputar teologi dan pluralisme merupakan plagiat. Saya malah sempat mengatakan pada seorang kawan yang juga konsen dengan masalah teologi dan pluralisme bahwa tulisan-tulisan Budiman di Lampung Post itu sangat bagus. Budiman terhitung yang masih terus mengkampanyekan isu-isu teologi dan pluralisme yang humanis dan membebaskan, sementara yang lain sudah tiarap dan jenuh.

Tapi saya kecewa tatakala seorang kawan mengirim pesan singkat ke HP saya. Bunyinya: tulisan Budiman “Teologi Kiamat dan Film 2012” di Lampung Post (24/11/2009) nyatut tulisan Luthfi Assyaukanie “2012 dan Teologi Kiamat” (18/11/2009) di situs www.Islamlib.com.

Tentu saja saya harus periksa dan membaca kedua tulisan itu baru bisa menyimpulkan. Ternyata,setelah membaca berkali-kali saya tertegun karena tak percaya. Budiman ternyata tidak hanya nyatut tulisan Luthfi Asyaukanie tapi mencuri. Proses mencuri yang dilakukan itu lebih akrab kalau disebut plagiat. Dan kita tahu, berkali-kali Lampung Post menurunkan tulisan plagiat.

Budiman mencuri dengan sangat bodoh. Semua kata-kata dan kalimat Luthfi diambil begitu saja. Hanya saja judulnya sengaja dibalik sehingga terkesan provokatif. Simak misalnya kalimat pembuka yang digunakan Luthfi Assyaukanie: “Film 2012 yang tengah beredar di bioskop-bioskop dunia adalah film fiksi ilmiah. Ia bukan film teologi atau film tentang agama. Film 2012 mendapat sambutan yang sangat meriah bukan semata karena film itu terkait dengan isu hari kiamat yang diramalkan bakal terjadi pada 2012, tapi karena ia adalah sebuah film bagus yang penuh dengan adegan memukau. Ada banyak film tentang hari kiamat (doomsday) tapi tak banyak yang mendapat perhatian sebesar 2012”.

Bandingkan kalimat itu dengan kalimat pembuka tulisan Budiman: “Film 2012 yang tengah beredar di bioskop-bioskop dunia adalah film fiksi ilmiah (science fiction). Ia bukan film teologi atau film tentang agama. Film 2012 mendapat sambutan yang sangat meriah bukan semata karena film itu terkait dengan isu hari kiamat yang diramalkan bakal terjadi pada 2012, melainkan karena ia adalah sebuah film bagus yang penuh dengan adegan memukau. Ada banyak film tentang hari kiamat (the doomsday), tapi tak banyak yang mendapat perhatian sebesar film 2012”.

Jadi, kalau mau gagah-gagahan, tulisan Budiman itu lebih pas kalau dikatakan “Teologi Plagiat” ketimbang “Teologi Kiamat”. Disebut “teologi plagiat” karena tulisan itu menyebarkan ajaran tuhan tentang mencuri, yakni mencuri tulisan orang lain. Budiman bisa dikutuk Gereja karena dengan berani mencuri milik orang lain untuk dijadikan milik sendiri.

Dosa seorang teolog yang plagiat sama dosanya dengan seorang imam yang mencuri. Plagiat itu dari sisi teologi sama dengan maling, tapi yang membedakannya mungkin hukuman. Kalau maling materi orang lain bisa dipenjara, maling materi tulisan orang lain tidak dipenjara. Maka banyak sekali yang plagiat karena tidak bakal dihukum, tidak bakal masuk bui.

Ayo, siapa lagi yang mau plagiat? Bukankah hukumannya hanya berupa sangsi moral yang sebentar?